Pada 2022, Sekolah Pemikiran Perempuan membuka ruang belajar informal bagi para perempuan yang berkecimpung di bidang seni dan budaya. Kelas ini akan mengulik berbagai soal perihal sejarah pemikiran feminisme anti-kolonial, pemikiran feminis di Indonesia, politik gender dalam seni budaya di Indonesia, hingga upaya menggerakkan aktivisme kultural yang berperspektif feminis.
Di negeri ini, pernah pula ada beberapa sekolah perempuan, di antaranya sekolah perempuan yang digagas oleh R.A. Kartini, sekolah yang dikelola oleh para pengajar dari Wanita Taman Siswa, Sekolah Van Deventer (sekolah yang difokuskan untuk para guru perempuan), Rahmah El Yunisiah dengan Madrasah Diniyah khusus untuk putri, Rohana Kudus yang mendirikan Kerajinan Amai Setia di Kota Gadang, Rasuna Said dengan Perguruan Putri di Medan, hingga Sakola Kautamaan Istri yang dipelopori Raden Dewi Sartika.
Sekolah Perempuan dalam Jejak Sejarah
Sekolah khusus perempuan dipelopori oleh Dewi Sartika pada 16 Januari 1904 di Paseban Kulon Pendopo Kabupaten Bandung, dikenal dengan nama Sakola Istri. Selama tujuh tahun berselang, cabang sekolah ini lantas tersebar di Tasikmalaya, Sumedang, Cianjur, Ciamis, Kuningan, dan Sukabumi. Pada 1910, sekolah ini berganti nama menjadi Sakola Kaoetamaan Istri.
Sakola Kaoetamaan Istri beraspirasi pada keutamaan bagi perempuan, lewat pengajaran membaca, menulis, berhitung, dan berumah tangga. Ini sesuai dengan cita-cita Dewi Sartika untuk mendidik anak perempuan dari berbagai kalangan. Tiga pengajarnya ialah Raden Dewi Sartika, Nyi Poerwa, dan Nyi Oewid. Materi sekolah ini meliputi beragam keterampilan, seperti membatik, menjahit, merenda, dan menyulam. Selain keterampilan, silabus juga memuat pelajaran bahasa Melayu, pelajaran agama, bahasa Belanda juga bahasa Inggris, serta Ilmu Kesehatan yang diajarkan perawat Situsaeur bernama L. van Arkel.
Selain Dewi Sartika, Kartini–feminis modern pertama negeri ini–adalah sosok yang dikenal luas dengan perjuangannya menghadirkan sekolah perempuan pertama yang menerima subsidi dari pemerintah Belanda. Dukungan pemerintah kolonial ini tak pelak lantaran Van Deventer mengagumi tulisan-tulisan Kartini semasa hidup. Surat-surat Kartini bercerita tentang kondisi yang dialami perempuan saat itu. Kejahatan yang menimpa para perempuan dalam masyarakat Jawa tradisional seperti poligami dan kawin paksa, ataupun tidak tersedianya peluang pendidikan bagi perempuan tertuang dalam surat-suratnya.
Yang kita tahu kemudian, surat-surat Kartini yang dikumpulkan dan diterbitkan oleh J.H. Abendanon itu menyentuh hati pasangan Belanda, Van Deventer dan istrinya yang lantas mendirikan Yayasan Kartini untuk membangun sekolah-sekolah perempuan seperti yang diinginkan oleh Kartini. Sekolah Kartini kali pertama dibuka di Jakarta pada 1907, selanjutnya Yayasan Kartini membuka cabang enam sekolah swasta di Malang, Cirebon, Semarang, Bogor, Pekalongan, dan Surabaya. Saat Van Deventer wafat, kerabatnya berinisiatif mendirikan Yayasan Van Deventer pada 1917, yang lantas memprakarsai Sekolah Guru Perempuan Van Deventer pada 1918. Sekolah ini terdapat di Bandung, Semarang, Solo, dan Malang, diperuntukkan bagi para calon guru yang dapat mengajar dan membimbing para perempuan untuk dapat maju dan berkembang.
Sementara itu, di negeri Belanda berlangsung Kongres Pengajaran Kolonial I pada 28-30 Agustus 1916 di Den Haag. Dalam diskusi tentang pengajaran gadis-gadis, Nyonya Kandau membela pengajaran lanjutan untuk gadis-gadis di Minahasa, sedang Siti Soendari Darmabrata melakukan hal yang sama untuk gadis-gadis Jawa.
Di tanah Minang, pada 1923, Rahmah El Yunisiah mendirikan Madrasah Diniyah khusus untuk putri atas bantuan Persatuan Murid-murid Diniyah School yang didirikan oleh kakaknya. Sebelumnya, pada 11 Februari 1911, Rohana Kudus telah mendirikan Kerajinan Amai Setia (KAS) di Kota Gadang, Sumatera Barat. KAS adalah organisasi yang bertujuan meningkatkan derajat perempuan dengan jalan mengajarkan baca tulis huruf Arab dan Latin, mengatur rumah tangga, kerajinan tangan, dan mengatur pemasarannya. Di Medan, pada 1932, selepas dari hukuman penjara di Bulu, Semarang, Rasuna Said mendirikan Perguruan Putri di Medan.
Keberadaan sekolah-sekolah dan gerak perempuan dalam sejarah pengajaran itu mengubah citra masyarakat kala itu terhadap perempuan. Para perempuan yang semula melakukan pekerjaan rumah tangga lantas turut setara belajar bersama di bangku sekolah dengan sejawat lelaki. Para orang tua mengirimkan anak perempuan mereka untuk bersekolah, emansipasi perempuan terwujud melalui sekolah-sekolah ini.
Dewi Sartika, Pelopor Sekolah Perempuan
Cita-cita Dewi Sartika untuk mendirikan sekolah termaktub dalam karangannya De Inlandsche Vrouw–atau Perempuan Pribumi. Pemikirannya ini dilandasi pengalaman pribadinya melihat ketidakberdayaan ibunya, Raden Ayu Rajapermas setelah ditinggal wafat oleh ayah Dewi Sartika, Raden Rangga Somanagara. Begitu pula, pengalamannya selama tinggal di rumah paman maternalnya saat ayah dan ibunya dibuang ke Ternate.
Sekolah-sekolah menolak kelima anak Raden Ayu Rajapermas begitu ia dan suaminya dibuang ke Ternate. Dewi Sartika dikeluarkan dari sekolahnya. Di waktu yang bersamaan, dia melihat bagaimana ibunya yang seorang priayi tidak mendapat pengajaran dan pendidikan, sehingga ia tidak bisa mencari nafkah bagi kelima putra-putrinya selepas suaminya diasingkan di Ternate. Hidup mereka pun menjadi serba kekurangan dan menghadapi berbagai kesulitan.
Dari sana, Dewi Sartika tahu bahwa seorang perempuan tidak boleh bergantung kepada suami, keluarga, atau kebaikan hati orang lain. Kaum perempuan harus memperoleh pendidikan sehingga mereka dapat berdikari. “Ari jadi awewe kudu sagala bisa ambeh bisa hirup” (menjadi perempuan harus memiliki banyak kecakapan agar mampu hidup), demikian ungkap Dewi Sartika, perihal pengalaman hidupnya itu.
Dewi Sartika mulai mengajar dan mendidik kaum perempuan pada 1902 saat ia kembali ke rumah ibunya di Bandung. Dia mengajar di sebuah ruangan kecil di belakang rumah ibunya di Bandung, seperti merenda, menyulam, merancang pakaian, tata krama, memasak, menjahit, membaca, dan menulis. Sebagai imbalan, murid-muridnya memberikan makanan, beras, garam, dan buah-buahan bagi sang guru. Atas dorongan Den Hammer, pejabat Inspektus Pengajaran Hindia Belanda, Dewi Sartika lantas menemui Bupati Bandung R.A.A. Martanegara pada 16 Januari 1904 untuk menyampaikan keinginan membangun sekolah.
Saat Dewi Sartika mengajukan hal tersebut ke Bupati Martanagara, konon tanggapan sang bupati ialah, “Entong, awewe mah entong sakola asal bisa nutu-ngejo, bisa kekerod, bisa ngawulaan salaki, ngeus leuwih ti cukup, ganjaranna ge manjing sawarga.” (Jangan, perempuan tidak usah sekolah, asalkan bisa menanak nasi, menjahit, mengabdi kepada suami sudah lebih dari cukup, pahalanya surga.)
Menanggapi penolakan itu, Dewi Sartika tetap teguh pendirian. Akhirnya, sekolah impiannya pun terwujud. Seiring waktu, kalangan priayi yang semula menolak hadirnya sekolah tersebut lantas justru berbalik memberi dukungan. Selama tujuh tahun, sekolah ini mengalami perkembangan pesat.
Sekolah Dewi Sartika: Perspektif Kelas dan Anti-kolonial
Kisah keberhasilan Dewi Sartika tertuang dalam pidatonya—De Inlandsche Vrouw–atau Perempuan Pribumi—untuk perayaan tujuh tahun sekolahnya sekaligus menyambut undangan acara Sarekat Islam di Surabaya dari HOS Tjokroaminoto. Beberapa hal yang dia tuangkan dalam tulisan tersebut di antaranya keinginannya menggerakkan pendidikan bagi perempuan pribumi, kegelisahannya menghadapi penolakan masyarakat, pendapat tentang generasi muda, perjuangan selama mengembangkan sekolah, pandangan tentang kehidupan, hingga kerinduannya untuk meningkatkan derajat perempuan bumiputra agar setara dengan bangsa lain.
Selain perihal pendidikan, Dewi Sartika juga banyak menyampaikan pendapat mengenai kondisi buruh perempuan pada masanya. Di antara sembilan perempuan dalam laporan umum kedudukan perempuan di tanah jajahan yang disusun oleh pemerintah kolonial Hindia Belanda, tampak bahwa Dewi Sartika adalah satu-satunya tokoh yang berani menyuarakan isu buruh perempuan. Dia menyadari isu ekonomi politik di tanah jajahan. Tiga hal utama yang diangkat oleh Dewi Sartika dalam pemikirannya di antaranya, isu soal kesenjangan upah, hak cuti hamil, dan soal perlakuan tidak adil di tempat kerja.
Berbeda dari Sekolah Kartini, yang semula dibuka bagi kalangan perempuan priayi dengan tenaga pengajar dari Belanda—kendati di kemudian hari pintu Sekolah Kartini terbuka lebar bagi siapa saja—Dewi Sartika telah sejak awal membuka kelas-kelas sekolahnya untuk kalangan orang biasa. Barangkali, dari kepekaannya akan perspektif soal kelas itu pulalah maka Dewi Sartika merancang modifikasi atas kurikulum sekolah yang diterapkannya.
Kurikulum sekolahnya memang mengacu pada Tweede Klasse School, mengikuti sistem pemerintah kolonial, yang di antaranya memasukkan materi Bahasa Belanda sebagai salah satu mata pelajaran wajib, begitu pula materi berhitung, menulis, membaca, Bahasa Sunda, Bahasa Melayu, Bahasa Inggris, dan olah raga. Mata pelajaran Bahasa Inggris terbilang suatu terobosan di masa itu, karena bahasa tersebut dianggap bahasa saingan oleh pihak kolonial—tindakan menaruh ini di dalam kurikulum juga dapat dipandang sebagai tindakan anti-kolonial yang dapat dipandang radikal pada zaman itu. Dengan penguasaan atas bahasa Inggris, penduduk pribumi tidak perlu bergantung pada bahasa Belanda untuk mengakses informasi dari luar negeri. Selain itu, Dewi Sartika juga menambahkan materi ajar yang baginya penting: materinya disesuaikan dengan kebutuhan kaum perempuan dalam kehidupan sehari-hari. Ini dilakukannya untuk membuktikan bahwa materi-materi keterampilan wanita merupakan materi pelajaran khusus yang dipelajari di Sakola Kautamaan Istri. Tak tanggung-tanggung, porsi pengajaran pendidikan keterampilan wanita ini mengisi 61% porsi kurikulum.
Mandat utama sekolah Dewi Sartika sejalan dengan yang dilakukan oleh Rohana Kudus dengan Sekolah Kerajinan Amai Setia, sekolah keterampilan untuk perempuan. Dalam artikelnya “Perhiasan Pakaian”, Rohana menyebut keterampilan perempuan Minangkabau dalam menjahit dan merangkai manik-manik atau hiasan pada pakaian perlulah diwariskan turun-temurun. Menurut dia, keahlian itu tidak diturunkan dengan sempurna. Padahal, jika ditekuni, keahlian ini bisa membantu perempuan secara finansial. Lewat sekolahnya, Rohana mengajak perempuan berbisnis dengan modal keahlian menghias baju.
Dari kurikulum sekolah yang dirancangnya, kita pun tahu bahwa Dewi Sartika tidak berhenti hanya berkubang di ranah pemikirannya yang berperspektif ekonomi politik tersebut. Dia memetik hikmah dari pengalamannya pribadi, merefleksikannya dengan pengalaman para perempuan di sekelilingnya–sebagai seorang priayi, dia rasa-merasa dengan apa yang dialami pula oleh para abdi dalemnya–dan dari refleksi pemikirannya itu, dia langsung terjun melakukan tindakan konkret: mengajar. Bukan sekadar pengajaran, melainkan pengajaran yang dapat menjadikan para perempuan dapat berdiri di kakinya sendiri. Seperti katanya sendiri, “menjadi perempuan harus memiliki banyak kecakapan agar mampu hidup”.