DIA menutup pintu apartemen. Tubuhnya lebih letih dari hari-hari yang lain, tapi begitu melihat tumpahan bir dan botol-botol yang tergeletak di lantai, dan asbak dengan belasan puntung rokok di meja makan, dia merasa sanggup membanting apa saja.
Saat membanting pintu kamar, dia sempat mendengar suara kasur reot, genjotan demi genjotan dan lenguhan demi lenguhan dari kamar sebelah.
Sudah ratusan kali dia ingatkan ibunya untuk tak menjajakan tubuh di hunian mereka.
Enam bulan lalu, kabar buruk itu datang di lapo langganan mereka, saat dia sedang khusyuk mengunyah babi panggang Karo favoritnya.
“Bantu Ibu,” pinta ibunya saat itu. “Kita lunasi utang ke para rentenir itu,” sambil mengunyah babi panggang, sang ibu dengan yakin ingin melanjutkan profesi lawasnya.
Merasa tidak perlu memberi persetujuan, dia menyudahi obrolan itu, “Ibu selesaikan urusan Ibu sendiri. Ini bukan utang yang harus aku tanggung.”
Lamunannya terusik ketika perempuan itu memanggil nama Tuhan dari ruangan sebelah, lantas berteriak kesetanan. Ibunya, dan pelanggannya yang entah siapa, kembali bergulat seperti hewan liar, seperti malam-malam sebelumnya.
“Ibumu ini dulu primadona Kramtung,” ujar ibunya bangga saat dia beranjak dari kursinya. “Kita bisa dapat banyak.”
Dahinya mengernyit. Dia bisa menghidupi dirinya sendiri, bahkan dialah yang selama ini membayar sewa rumah kontrakan mereka. Dapat banyak? Dia tak merasa butuh lebih!
Dia kepalang gengsi meminta penjelasan bagaimana bisa ibunya berutang banyak. Dia merasa dialah yang selama ini bekerja paling keras. Yang dia tahu, dia tak ingin punya urusan dengan Kramat Tunggak. Meski tak betul-betul mengingat semua detail masa kanak-kanaknya di sana, dia tahu itu bukan masa-masa yang indah untuknya, juga untuk ibunya.
Saat lebih dewasa dia tahu bahwa Kramat Tunggak adalah mantra yang mewujudkan keajaiban Jakarta. Dengan duit dari lokalisasi itu, gubernur membiayai sebagian pembangunan, dari jalan tol ibukota sampai kompleks kesenian Taman Ismail Marzuki.
Tapi baginya segala polesan informasi dan pembenaran itu tak memperbaiki apa pun.
“Aku masih cantik dan tidak perlu kerja terlalu banyak. Tiga tamu sehari cukup untuk bayar utang dan membiayai hidup kita,” Ibunya masih berusaha memberi penjelasan.
“Kramtung itu masa lalu kita!”
“Kita enggak kembali ke sana!” tegas ibunya.
Dan, di sinilah mereka, pindah ke tower apartemen yang disewa per bulan di Kalibata. Dia terus menunjukkan keengganannya, tapi seperti yang sudah-sudah, dia mengikuti keputusan ibunya. Untuk membayar biaya apartemen, dia harus merelakan tabungan biaya semesteran kuliahnya ludes. Sembari memaki dalam hati, dia pindah ke Kalibata dengan berbagai prasangka buruk.
Dengan lidah pedasnya dia sebut tempat itu Taman Hidung Belang. Tempat itu ramai, semua jenis manusia tinggal di sana; para pekerja kantor, juga pedagang, juga pelajar, juga bandar, juga pekerja seks. Sebutan tempat itu apartemen, mentereng, dengan pusat perbelanjaan, dan kedai kopi, dan lapangan basket, tapi tempat itu juga sarang nyawer dan jajan lendir, markas bandar gelek dan pengedarnya, tempat seorang gadis bunuh diri loncat dari lantai 8 karena patah hati. Ringkasnya: tempat itu kolong dunia terkutuk.
Semua itu cocok jadi amunisinya jika sewaktu-waktu mesti melontarkan amarah, “Kenapa kita pindah ke tempat terkutuk ini?!”
Di pagi saat mereka pindahan, seorang pria berusia sepantarannya sedang bugil menggedor-gedor pintu kamar sebelah. Tampak mabuk, si pria bugil tersenyum menyapa ke arah mereka, “Wah, tetangga baru. Sori, gue dikerjain orang-orang sinting di dalam karena kalah taruhan.” Sambil memegang karton bekas untuk menutupi selangkangannya, ia sibuk menggedor dan menggedor.
Kamar sebelah ditempati lima orang buruh yang bekerja untuk kontraktor di kamar sebelahnya lagi. Pergi pagi, pulang larut malam dengan berpeluh-peluh dan pakaian dekil berlumpur. Kepulan asap rokok mengisi sepanjang lorong saat mereka bersantai di petang hari.
Mendapati tetangga semacam itu, dalam hitungan hari, dia justru merasa betah. Dengan cepat dia mengakrabi mereka, berbagi bungkus rokok atau saling pinjam korek dengan si pria bugil dan teman-teman buruh dan kontraktornya. Sempat pula salah satu buruh menawarinya pil koplo, tapi dia menolak dengan halus.
Sementara itu, ibunya berjejaring dengan lebih cepat lagi. Walau tak muda lagi, tamu yang butuh layanannya terus bertambah, dari oom-oom bau domba sampai bocah SMA bau kencur. Ibunya memang masih molek. Tapi dia tahu betul ibunya akan butuh riasan, pakaian baru yang cukup bagus, ataupun pakaian dalam seksi yang membangunkan hasrat nakal lelaki paling alim sekalipun. Dia tahu ibunya butuh uang darinya sebagai modal.
Sehari diniatkannya melayani tiga pria, meski tak selalu begitu karena pelanggannya datang manasuka, semestinya mereka bisa tajir. Tapi karena ini upaya mendadak demi membayar utang, dan karena dia tidak pernah benar-benar setuju akan keputusan ini, dia berserah saja saat semua penghasilan masuk ke rekening ibunya. Dia hanya dapat ampas-ampasnya: lenguhan, jeritan, barang-barang terdengar berjatuhan, dan kegiatan beres-beres.
Kali ini, dia tidak membantu beres-beres. Dia terlalu lelah untuk memulai ritus bertengkar.
Tamu terakhir ibunya pulang pukul 2 pagi. Namanya dipanggil karena ibunya tahu dia masih mengetik.
“Tadi Ibu beli nasi padang buat kamu. Kok, masih utuh? Enggak enak, lho, kalau basi.”
Sementara si anak menyendok nasi padangnya, si ibu yang masih segar seusai melayani tiga pria pergi keluar membawa bungkusan plastik besar berisi sampah.
Seisi ruang apartemen sudah bersih, seolah tidak pernah dipenuhi asap rokok atau tumpahan bir. Tapi tetap saja, tempat itu berbau apak. Dinding-dindingnya dingin berjamur.
Hingga nasi padangnya tandas, ibunya masih di luar. Tahu kebiasaan ibunya untuk menikmati dini hari dengan menelusuri jalan, dan dengan jalur berbeda-beda setiap kalinya, dia menyalakan televisi dan memutar film sembari menunggunya kembali.
Kualitas keping DVD bajakan baru ini buruk sekali. Andai punya cukup waktu, dia ingin mengajari ibunya mengunduh film bajakan dari torrent agar tidak harus memandangi tontonan kualitas rendah begini.
Tapi mereka sama-sama sibuk. Saat lulus SMA, dia hampir tak lanjut kuliah. Mengirim anak perempuannya ke kampus memang impian sang ibu, tapi uang adalah penghambat segalanya. Dia bekerja menjadi SPG di mal, dengan izin yang diberikan ibunya dengan berat hati. Dua tahun kemudian, setelah menderetkan kampus-kampus swasta murah, dan dengan tabungan hasil kerjanya, dia akhirnya berani mendaftarkan diri.
Dia mengambil jurusan akuntansi supaya saat lulus bisa cepat mendapat kerja lagi. Semula dia merasa lebih cocok dengan seni rupa, tapi ibunya menyanggah minatnya, “Jurusan itu hanya untuk anak-anak orang tajir yang enggak butuh lihat duit lagi.”
Sementara ibunya bekerja jadi buruh cuci untuk tiga rumah tetangga dan menitipkan masakan di kantin kampus, dia tetap bekerja paruh waktu di kafe bilangan Cikini, dekat wilayah mereka tinggal. Dari sana dia mendapat uang untuk membayar tagihan-tagihan di rumah dan membiayai penuh perkuliahannya.
Hidup berdua dengan kebutuhan tidak banyak, dia sebenarnya masih bertanya-tanya, bagaimana mungkin ibunya dikejar-kejar rentenir? Bukankah dia mencicil biaya kuliahnya sendiri? Selain paruh waktu di kafe, dia juga mendapat upah dari mengetik transkrip untuk dosen fakultas sebelah. Namun, lantaran gengsi untuk terlalu peduli, dia memutuskan untuk tidak bertanya lagi.
Dia sadar betul mereka miskin. Sejak kecil, dia diajak berpindah-pindah tinggal dari satu gang kumuh ke gang kumuh lain, dari pinggir sungai ini ke pinggir sungai itu, berkawan dengan bocah-bocah preman sepenjuru Jakarta. Dia tak sempat menanyakan mengapa mereka miskin, di mana ayahnya, dan bagaimana bisa ibunya melonte di Kramat Tunggak.