Jess Melvin
Macmillan Centre, Yale University, New Haven, CT, Amerika Serikat
Abstrak
Artikel ini menyajikan selayang pandang bukti baru yang ditemukan dari arsip milik bekas Badan Intelijen Negara di Banda Aceh yang mampu membuktikan, untuk kali pertama, keterlibatan militer di balik penjagalan 1965-66 di Indonesia. Berkas-berkas ini menunjukkan bahwa jajaran pimpinan militer memprakarsai dan melaksanakan penjagalan sebagai bagian dari operasi militer nasional yang terkoordinasi. Operasi militer ini digambarkan oleh para petinggi militer sebagai “operasi pemusnahan” dan dilaksanakan dengan maksud yang dinyatakan untuk “memusnahkan sampai ke akar-akarnya” saingan politik utama militer, Partai Komunis Indonesia (PKI). Bukti baru ini secara mendasar mengubah apa yang kini mungkin diketahui tentang penjagalan 1965-66, khususnya terkait pertanyaan tentang niat militer. Demikian juga, proses di mana kelompok sasaran militer diidentifikasi dan ditargetkan untuk dihancurkan kini dapat dipahami dengan menempatkan militer sendiri sebagai pelaku di balik bagaimana proses penjagalan ini terjadi. Artikel ini mengetengahkan bahwa bukti baru ini memperkuat argumen, yang diajukan oleh para pakar genosida sejak awal 1980-an, bahwa penjagalan 1965-66 harus didudukkan sebagai kasus genosida.
Kronologi pemuatan
Artikel diterima pada 16 Februari 2017
Artikel disetujui pada 23 September 2017
Kata kunci
Genosida Indonesia, penjagalan massal 1965-66; Aceh; Sumatra; militer Indonesia; Partai Komunis Indonesia (PKI)
Pengantar
Sejak peristiwa penjagalan 1965-66, para pengamat politik dari Indonesia dan luar negeri telah memperdebatkan istilah yang sesuai untuk melabelinya.[1] Skala penjagalan—diyakini telah merenggut hingga satu juta jiwa—beserta pernyataan para jagal yang bertujuan untuk “menumpas sampai ke akar-akarnya” kelompok masyarakat tak bersenjata agaknya telah menggiring banyak pihak untuk menyelidiki apakah penjagalan 1965-66 merupakan kasus genosida. Sejak awal 1980-an, para pakar kunci mengenai genosida berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya memenuhi definisi genosida sesuai Konvensi Genosida 1948. Kesulitan terbesar untuk mendukung klaim ini adalah dalam membuktikan niat militer di balik penjagalan ini dan menguatkan argumen bahwa kelompok sasaran militer dapat dipahami sebagai kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi. Artikel ini menyediakan selayang pandang mengenai bukti-bukti kunci dari Provinsi Aceh yang dapat menjelaskan “persoalan bukti” ini. Dengan menggunakan catatan dari pihak militer sendiri, artikel ini akan menunjukkan bagaimana penjagalan dimulai dan diterapkan sebagai bagian dari operasi militer yang disengaja. Artikel ini juga akan menunjukkan bagaimana militer secara eksplisit mengidentifikasi kelompok sasarannya melampaui batasan “kelompok politik”—dikecualikan dari perlindungan di bawah Konvensi—untuk mengidentifikasi kelompok sasaran ini termasuk kelompok nasional yang dibentuk secara ideologis (“kelompok komunis” Indonesia) dan sebagai anggota kelompok agama (sebagai “kaum ateis”).[2] Dengan landasan itu, artikel ini berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya dapat dipahami sebagai kasus genosida.
Kisah tentang bagaimana kasus ini terungkap tampaknya adalah suatu kebetulan karena nasib mujur saya. Pada 2010, saya pergi ke bekas kantor arsip Badan Intelijen Negara di Banda Aceh. Saya telah mewawancarai para penyintas dan pelaku penjagalan di provinsi tersebut sebagai bagian penelitian disertasi doktoral saya. Lantaran tidak dapat mengakses arsip secara langsung, saya meminta untuk melihat katalognya dan memesan sejumlah berkas berdasarkan tanggal pembuatannya. Saya hampir tidak bisa percaya ketika saya kemudian disodorkan sebuah kotak berisi 3.000 halaman berkas rahasia militer. Berkas-berkas ini, digabungkan dengan laporan yang dihasilkan oleh komando militer Aceh,[3] adalah berkas-berkas awal yang ditemukan dari sepenjuru Indonesia. Berkas-berkas ini lantas dikenal sebagai berkas genosida Indonesia.
Soal Pembuktian
Tantangan terbesar yang dihadapi para peneliti penjagalan 1965-66 adalah kurangnya berkas yang tersedia untuk bahkan sekadar menetapkan kronologi dasar atas peristiwa, apalagi untuk mengetahui rantai komando yang jelas di balik terjadinya peristiwa kekerasan ini. Selama setengah abad terakhir, militer Indonesia mengutarakan kekerasan sebagai akibat dari pemberontakan “spontan” oleh “rakyat”,[4] dan “ledakan” lantaran “bentrokan komunal yang berakibat pada pertumpahan darah di beberapa wilayah di Indonesia”.[5] Sementara itu, penyebutan spesifik tentang siapa pelaku di balik peristiwa jagal ini justru dihindari. Komando Militer Aceh menjelaskan: “gerakan spontan rakyat di seluruh Aceh secara bersamaan menghancurkan PKI [Partai Komunis Indonesia] sampai mayoritas anggota PKI terbunuh ….”[6] Tujuan dari laporan resmi oleh Komando Militer Aceh ini adalah untuk menolak bahwa penjagalan oleh operasi ini mendapatkan komando dan disengaja oleh militer. Seperti dikemukakan oleh Vedi Hadiz, dukungan jagal dan perubahan rezim yang dipengaruhi peristiwa ini tetap menjadi “pembenaran” berlakunya tatanan sosial Indonesia saat ini.[7]
Penolakan ini berlanjut hingga hari ini. Pada April 2016, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan (Menkopolhukam) RI, Luhut Pandjaitan, secara bersamaan menyangkal bahwa jagal berskala massal telah terjadi selama peristiwa penjagalan 1965-66, sekaligus menegaskan kembali penolakan pemerintah untuk menerbitkan pernyataan permohonan maaf kepada para korban jagal.[8] Bangsa Indonesia juga lanjut membungkam dan mengintimidasi mereka yang ingin menentang narasi propaganda resmi tentang peristiwa kekerasan tersebut.[9] Pada September 2017, pihak kepolisian di Jakarta menutup diskusi akademik tentang kekerasan 1965-66 di perkantoran salah satu organisasi masyarakat sipil yang paling disegani, Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI).[10] Para polisi menyerah pada tuntutan demonstran anti-komunis yang, dengan dukungan dari jajaran kunci pimpinan militer, telah mengepung kantor-kantor LBH, menjebak para peserta diskusi di dalam sementara secara keliru menyatakan bahwa kelompok tersebut tidak memperoleh “izin” untuk berkumpul. Para aktivis HAM mengecam Presiden Joko “Jokowi” Widodo yang memperuncing sentimen anti-komunis ini dengan mengumumkan pada Juni 2017 bahwa ia akan “menggebuk” Partai Komunis Indonesia (PKI), yang telah dilarang oleh pemerintah Indonesia sejak 1966, jika mereka berani “muncul kembali”.[11]
Selama hampir lima puluh tahun, diyakini bahwa betapa sedikit bukti dokumenter tersedia terhitung sejak masa penjagalan lantaran tidak ada catatan yang pernah dibuat. Sejak setidaknya dasawarsa 1970-an, dikatakan bahwa tidak ada perintah tertulis dikeluarkan oleh pimpinan militer untuk mengoordinasikan penjagalan.[12] Pada 2010, dinyatakan bahwa “tidak ada bukti” atas penyimpanan catatan sistematis mengenai penjagalan,[13] sementara pada 2012, dinyatakan bahwa penjagalan terjadi “tanpa dukungan berarti dari birokrasi untuk memproses dan mengadili musuh yang ditargetkan (yang semestinya meninggalkan jejak tertulis)”.[14] Artinya, mereka mempercayai bahwa perintah resmi tertulis tidak pernah dikeluarkan, dan juga meyakini bahwa penjagalan dilakukan tanpa dukungan dari negara dan struktur pemerintah sipil.
Catatan awal mengenai periode 1965-66 yang ditulis oleh para Indonesianis berfokus pada upaya memahami tindakan dan motif di balik Gerakan 30 September (G30S)—upaya kudeta yang gagal pada 1 Oktober pagi yang kesalahannya dilemparkan pada PKI dan digunakan sebagai “dalih” atas kudeta yang dilakukan oleh militer sendiri dan menjadikannya sebagai serangan terhadap PKI—alih-alih sekadar terjadinya pembunuhan biasa. Adapun, pertanyaan tentang apakah PKI bertanggung jawab atas G30S tidak bisa terjawab hingga tahun 2006, melalui penerbitan teks terobosan John Roosa, Dalih Pembunuhan Massal.[15] Sementara itu, pertanyaan tentang apakah militer melaksanakan penjagalan, sebagai bagian dari operasi militer yang disengaja, atau tidak tetap menjadi debat terbuka hingga penemuan berkas penjagalan Indonesia.[16]
Sejak awal 1980-an, terlepas dari kurangnya informasi, para peneliti seputar genosida berpendapat bahwa penjagalan 1965-66 tampaknya merupakan kasus genosida.[17] Pada 1981, Leo Kuper memasukkan penjagalan 1965-66 dalam studi fundamentalnya, Genocide: It’s Political Use in the Twentieth Century. Melalui penelitian ini, ia menolak laporan resmi Indonesia bahwa penjagalan terjadi sebagai akibat dari kekerasan horizontal spontan sebagai respons atas G30S.[18] “Sebaliknya”, ia berpendapat, “tentara terlibat aktif dalam operasi, terlibat langsung dalam pembantaian, dan secara tidak langsung dalam mengatur dan mempersenjatai pembunuhan sipil.” Penjagalan itu, ia menyarankan, harus dipahami sebagai kasus genosida lantaran skalanya yang besar dan dilakukan secara sengaja.
Ia menjelaskan bahwa hambatan utama untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida adalah pengucilan “kelompok politik” dari perlindungan berdasarkan Konvensi Genosida 1948[19]—definisi hukum standar genosida berdasarkan hukum internasional. Bagaimanapun, ia mengusulkan bahwa “dalam pembantaian para komunis, kriteria afiliasi masa lalu memiliki finalitas dan ketetapan yang cukup sebanding dengan pembantaian berdasarkan ras dan itu didasarkan pada penerapan tanggung jawab kolektif yang sama.”[20] Lebih lanjut lagi, ia menjelaskan, penjagalan melampaui batas-batas konflik antarkelompok, dengan tambahan perbedaan “kelas” dan “agama” di antara para korban dan pelaku.[21] Demikian juga, etnisitas juga merupakan faktor, sebagaimana dibuktikan dengan penjagalan “pedagang Tionghoa dan keluarga mereka.”[22] Dengan demikian, ia menduga bahwa kelompok sasaran militer secara substansial lebih luas daripada sekadar kelompok politik dan mengandung unsur-unsur identitas antargenerasi yang mendalam.
Penjagalan 1965-66 juga tercantum dalam studi klasik 1990 karya Frank Chalk dan Kurt Jonassohn, The History and Sociology of Genocide: Analyses and Case Studies. Sebagaimana Kuper, mereka mengutarakan peristiwa penjagalan itu sebagai genosida dan mengusulkan bahwa kelompok sasaran militer lebih daripada sekadar kelompok politik. Mereka menjelaskan: “Sementara genosida ini ditujukan pada suatu partai politik,” dan karenanya, secara signifikan, tidak sesuai dengan definisi hukum mengenai genosida, “kasus genosida ini menghadirkan perdebatan ganjil terkait karakter etnis, agama, dan ekonomi.”[23] Sementara itu, mereka mengusulkan bahwa rintangan utama untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida adalah “adanya banyak informasi yang saling bertentangan” ketika itu berkaitan dengan bagaimana penjagalan itu dijalankan.[24] Persoalan banyaknya “informasi yang saling bertentangan” ini kini telah terselesaikan.
Bagian berikut ini akan menyediakan tinjauan umum tentang bukti baru yang kini tersedia untuk membuktikan keterlibatan militer di balik peristiwa penjagalan, sebelum kembali pada pertanyaan tentang bagaimana bukti baru ini dapat mengatasi masalah yang diajukan oleh Kuper, Chalk, dan Jonassohn.
Persiapan Militer untuk Merebut Kekuasaan Negara di Sumatra sebelum 1 Oktober 1965
Sejak awal 1960-an, para petinggi militer Indonesia mulai membuat rencana khusus untuk “reorientasi” negara Indonesia.[25] Pada 1964, untuk memfasilitasi rencana ini, para petinggi militer berhasil melobi Sukarno agar mengeluarkan Keputusan Presiden untuk mengimplementasikan rancangan undang-undang yang dikenal sebagai “Keputusan Peningkat Pelaksanaan Dwikora”. Undang-undang baru ini, yang secara resmi diperkenalkan sebagai sarana pendukung kampanye Sukarno “Ganyang Malaysia”, memberi militer kekuatan baru untuk melakukan pembasmian yang sebagian besar mencerminkan undang-undang darurat militer Indonesia, dengan memberikan kemampuan untuk memobilisasi struktur militer dan paramiliter setempat.[26] Yang paling penting, ini memberikan militer kemampuan untuk menerapkan peraturan darurat militer secara internal, tanpat terlebih dahulu harus berkonsultasi dengan Sukarno.[27]
Sejak Maret 1965, militer mulai melakukan pelatihan-pelatihan militer di Aceh dan seluruh Sumatra untuk menguji kesiapan struktur-struktur baru ini.[28] Pada bulan Agustus, militer meresmikan struktur komando militer baru di provinsi tersebut, yang dinamai “Kodahan: Komando Daerah Pertahanan”. Setelahnya, tinggal menunggu dalih yang tepat untuk melancarkan agenda perebutan kekuasaan negara ini.[29] Aksi G30S pada jam-jam awal 1 Oktober 1965 menyediakan dalih ini.
Pada 1 Oktober, ketika pemimpin militer nasional masih mengulur waktu untuk memutuskan bagaimana mesti bereaksi atas peristiwa G30S, pemimpin militer di Aceh “mengaktifkan” perintah Kodahan, yang kemudian dinamai “Kohanda: Komando Pertahanan Daerah”.[30] Kohanda ini kemudian melancarkan serangannya terhadap PKI dan melancarkan perebutan kekuasaan negara di provinsi Aceh. Seperti yang dijelaskan komandan militer Aceh:
Sejak terjadinya Peristiwa GESTOK (sebutan alternatif untuk G30S) pada 1 Oktober 1965, seluruh kekuatan Kohanda Aceh telah dimobilisasi untuk melancarkan operasi penghancuran terhadap GESTOK… Operasi ini benar-benar berhasil.[31]
Penjelasan ini menegaskan bahwa kasus genosida ini dilancarkan sebagai kebijakan negara. Sementara saya tidak percaya bahwa militer harus mengantisipasi skala penjagalan yang terjadi, bagaimanapun mereka punya niat dan sarana untuk melancarkan apa yang dikatakan sebagai “operasi pemusnahan” sejak 1 Oktober.
1 Oktober: Perintah Awal Militer
Dari berkas-berkas militer yang kini tersedia, tampak memungkinkan untuk melihat bahwa koordinasi militer pada 1 Oktober 1965 jauh lebih intensif daripada yang sebelumnya diketahui. Sebelumnya, satu-satunya perintah yang diketahui berasal dari Suharto pada 1 Oktober dikirim pada jam 9 malam, ketika ia menyatakan: “sekarang kita dapat mengendalikan situasi baik di pusat maupun di daerah.”[32] Tidak diketahui apa yang dimaksud Suharto dengan pernyataan ini. Berkas-berkas genosida menunjukkan bahwa perintah dan arahan tambahan dikirim sebelum ini. Kini diketahui, misalnya, bahwa pada pagi hari 1 Oktober, Suharto, bertindak sebagai komandan angkatan bersenjata, mengirim telegram kepada komandan militer Aceh, Jenderal Ishak Djuarsa, seorang anti-komunis tulen,[33] menyatakan bahwa “gerakan kudeta” telah terjadi di ibukota.[34]
Ini adalah perintah pertama yang diketahui dan menyatakan bahwa kudeta telah terjadi, didahului oleh beberapa jam deklarasi G30S tentang “Dewan Revolusi”, yang tidak terjadi hingga pukul 2 siang, umumnya dilihat sebagai titik paling awal peristiwa G30S dapat digolongkan sebagai upaya kudeta. Perintah ini juga bukti bahwa Suharto dan para petinggi militer sedang berkomunikasi ketika itu. Di sini saya tidak menyiratkan bahwa Suharto karena suatu alasan memilih untuk terlebih dahulu menghubungi Djuarsa, tetapi dapat diasumsikan bahwa perintah ini dikirim ke semua komandan militer provinsi pada saat itu.[35]
Perintah kedua kemudian diterima oleh Djuarsa, dikirim oleh komandan militer antarwilayah, Letnan Kolonel Ahmad Mokoginta. Mokoginta, seorang anti-komunis tulen, memainkan peran penting dalam persiapan militer di Sumatra sebelum 1 Oktober 1965.[36] Perintah ini menginstruksikan Djuarsa untuk: “Menunggu perintah/instruksi dari [Mokoginta].”[37] Petunjuk yang dijanjikan dalam perintah Mokoginta disampaikan pada tengah malam itu, ketika Mokoginta menyampaikan pidato di Medan dan memerintahkan agar “semua anggota angkatan bersenjata harus dengan tegas dan sungguh-sungguh memusnahkan agenda kontrarevolusi ini… sampai ke akar-akarnya.”[38] Ini adalah perintah pertama yang diketahui dikeluarkan oleh militer untuk “memusnahkan” gerakan 30 September.
Perintah-perintah ini adalah bukti bahwa sejak pagi hari 1 Oktober, Suharto telah berkontak dan mengirim arahan kepada komandan militer antarwilayah dan provinsi. Hal ini juga menjadi bukti bahwa militer melancarkan serangan militer pada tengah malam tanggal 1 Oktober dan menyerukan “penghancuran total” Gerakan 30 September. Selain itu, seperti yang telah diuraikan di atas, kini jelas bahwa militer mengaktifkan struktur komando baru pada pagi hari 1 Oktober untuk memfasilitasi serangannya terhadap PKI. Mereka menamai operasi ini “Operasi Berdikari”. Istilah ini tampaknya telah menjadi sandi resmi yang digunakan oleh militer untuk menyebut peristiwa genosida di Aceh.[39]
Koordinasi Awal
Jajaran pimpinan militer di Aceh kemudian lanjut mengomunikasikan perintah-perintah ini kepada para pemimpin militer dan sipil tingkat kabupaten dan kecamatan. Konsolidasi ini dimulai di Banda Aceh. Tercatat dalam berkas militer bahwa pada pukul 8 malam pada 4 Oktober, Pantja Tunggal Aceh dan perwakilan para pemimpin militer ini berkumpul di ruang pertemuan gubernur di Banda Aceh.[40]
Pantja Tunggal, atau “Lima dalam Satu”, adalah dewan eksekutif puncak pada tingkat provinsi dan kabupaten. Dewan ini adalah gabungan perwakilan pemimpin militer dan sipil, dan merupakan penghubung utama antara para pemimpin militer dan pemerintah sipil di tingkat provinsi dan kabupaten. Badan ini diperhitungkan lantaran para anggotanya adalah komandan militer tingkat provinsi (atau kabupaten), gubernur (atau bupati tingkat kabupaten), kepala penuntut umum, kepala polisi dan perwakilan partai politik masyarakat dari Front Nasional. Ulf Sundhaussen menjelaskan bahwa Pantja Tunggal pada awalnya didirikan sebagai sarana bagi “kaum komunis dan kelompok kiri” untuk bertindak sebagai “penyeimbang” di provinsi-provinsi.[41] Namun, begitu Dwikora diberlakukan, Pantja Tunggal bertindak mengelompokkan pemerintah provinsi dan kabupaten di bawah kendali militer, dan secara efektif menerapkan suatu bentuk darurat militer secara de facto.[42]
Pertemuan kemudian menghasilkan serangkaian berkas. Berkas pertama adalah “Deklarasi Pantja Tunggal untuk Daerah Istimewa Aceh”, yang ditandatangani oleh anggota Pantja Tunggal. Dewan ini menyatakan niat untuk “dengan sepenuhnya memusnahkan yang menyebut dirinya sebagai Gerakan 30 September beserta antek-anteknya.”[43] Operasi pemusnahan oleh para petinggi militer ini selanjutnya disetujui oleh dewan Pantja Tunggal Aceh, yang lantas menjalankan kendali atas pemerintahan sipil Aceh, suatu perkembangan yang memperluas operasi genosida militer ini ke dalam arena politik sipil sebagai aspirasi masyarakat.
Berkas kedua kemudian dibuat, juga pada 4 Oktober. Berkas ini berjudul “Pengumuman: Pengumuman Khusus dari P.T.” dan dirancang untuk dibaca sebagai pengumuman publik. Berkas ini, ditandatangani juga oleh Pantja Tunggal Aceh, menyatakan: “Ini adalah kewajiban bagi setiap orang untuk membantu dalam setiap upaya untuk sepenuhnya memusnahkan… Gerakan Tiga Puluh September bersama dengan para antek-anteknya.”[44] Pengumuman ini bahkan melangkah lebih jauh dari berkas pertama dengan menyatakan, pertama kalinya tercatat, bahwa “wajib hukumnya” bagi warga untuk terlibat dalam operasi pemusnahan oleh militer. Dalam tiga hari yang singkat, Pantja Tunggal Aceh mengeluarkan instruksi bagi warga untuk membunuh sesama warga.
Setidaknya pada titik ini negara sudah tidak mungkin lagi mengklaim bahwa militer tidak secara langsung menghasut penduduk untuk terlibat dalam penjagalan yang segera akan terjadi. Jelas juga bahwa tidak peduli seberapa antusiasnya dukungan dari beberapa warga untuk operasi militer ini, relasi semacam ini pada akhirnya bersifat memaksa, karena pada kenyataannya warga diperintahkan untuk terlibat.
Hasutan dan Mobilisasi: Koordinasi Keliling Djuarsa
Setelah pertemuan ini, Djuarsa memulai koordinasi keliling provinsi. Selama perjalanan ini, Djuarsa pertama-tama bertemu dengan para pemimpin militer kabupaten setempat, sebelum mengadakan pertemuan dengan para pemimpin pemerintahan sipil kabupaten. Ia kemudian mengadakan serangkaian pertemuan publik di lapangan olah raga, tempat ia mengeluarkan ultimatum kepada warga setempat—“Bunuh PKI atau kalian akan jadi sasaran,” sebuah pembalikan yang menyesatkan dan menjadi pernyataan propaganda populer untuk membuat warga percaya mereka harus membunuh, karena bila tidak, “mereka akan dibunuh” oleh PKI. Tanggal-tanggal dengan warna abu-abu pada Gambar 1 adalah tanggal-tanggal kedatangan Djuarsa di setiap kabupaten, atau, dalam kasus Aceh Selatan, yang tidak dikunjungi Djuarsa, adalah tanggal pertemuan koordinasi awal pimpinan militer setempat untuk membahas dukungan bagi operasi pemusnahan oleh militer di kabupaten tersebut.
Djuarsa meninggalkan Banda Aceh pada 7 Oktober untuk memulai perjalanan koordinasi ini. Ia melakukan perjalanan pertama ke Aceh Utara, dan ia bertemu dengan Daud Beureueh, mantan gubernur militer Aceh (1945-53) dan mantan pemimpin Pemberontakan Darul Islam di provinsi tersebut, yang berlangsung sejak 1951 hingga 1962. Pada pertemuan ini, Beureueh dikatakan telah memberikan dukungannya bagi operasi militer ini dan berjanji: “Saya akan memerintahkan rakyat Aceh untuk membantu Anda, Jenderal [Djuarsa].”[45] Pada hari yang sama, pamflet-pamflet mulai beredar di stasiun kereta Lhokseumawe yang memicu kekerasan.[46] Pamflet-pamflet ini menyerukan “tanggapi penculikan dengan penculikan, dan pertjentjangan dengan pertjenjangan.”[47]
Gambar 1. Koordinasi Keliling Djuarsa. Sumber: Gambar direproduksi dengan izin dari © Robert Cribb.
Kemudian pada hari yang sama, Djuarsa melakukan perjalanan ke Takengon, Aceh Tengah. Di sana, seperti yang terjadi di Aceh utara, Djuarsa pertama-tama bertemu dengan pemimpin militer Aceh Tengah sebelum bertemu dengan pemerintah kabupaten Aceh Tengah (DPRD II). Djuarsa lantas mengadakan pertemuan publik di lapangan olah raga Alon Ishak. Ibrahim Kadir, seorang guru sekolah pada 1965 yang menghadiri pertemuan ini, mengingat Djuarsa mengumumkan: “PKI adalah kafir, saya [Djuarsa] akan menghancurkan mereka sampai ke akarnya! Jika di kampung kalian menemukan para anggota PKI, tetapi tidak membunuh mereka, kalianlah yang akan kami hukum!”[48]
Pada 8 Oktober, Djuarsa berkunjung ke Meulaboh, Aceh Barat. Di sana, Djuarsa juga bertemu dengan pimpinan militer Aceh Barat dan DPRD II Aceh Barat. T. M. Yatim, yang pada 1965 adalah asisten bupati di Johan Pahlawan, dan yang menghadiri pertemuan itu, mengenang:
Ketika Panglima [Djuarsa] datang kemari untuk pertemuan itu, kami semakin jelas tentang langkah-langkah apa yang telah diambil oleh PKI… [Ia mengatakan] ayo kita pergi ke lapangan, kita tidak butuh lagi pertemuan, wo, wo, wo [dengan suara kian kencang].[49]
Pertemuan publik lantas diadakan di lapangan olah raga Teuku Umar oleh Djuarsa, di mana, Yatim mengenang, Djuarsa mengumumkan: “Jika kalian tidak membunuh [PKI], mereka akan menjadi orang yang melakukan pembunuhan [kalua tidak bunuh, mereka yang membunuh].”[50] Yatim menjelaskan pengumuman Djuarsa ketika itu dipahami sebagai “perintah… untuk membunuh PKI.”[51]
Djuarsa lantas kembali ke Banda Aceh. Konsolidasi, bagaimanapun, berlanjut di Aceh Barat setelah kepergian Djuarsa. Rincian lebih lanjut tentang tahap konsolidasi di Aceh Barat berikutnya diketahui karena, untuk alasan yang tidak diketahui, lebih banyak berkas yang selamat dari kabupaten ini dibandingkan dari kabupaten-kabupaten lain.
Dari berkas-berkas ini diketahui bahwa tiga hari kemudian, pada 11 Oktober, “Sesi Khusus Pemerintah Provinsi Aceh Barat” diadakan. Selama pertemuan ini, perintah awal Djuarsa dan Mokoginta diperdebatkan di kalangan pemerintah DPRD II Aceh Barat sebelum serangkaian berkas lainnya dibuat. Salah satu dari berkas ini, dibuat pada 11 Oktober, adalah deklarasi yang disebut “Deklarasi, No. 4” yang mengumumkan: “[DPRD II Aceh Barat] meminta semua lapisan masyarakat untuk meningkatkan kesadaran dan … kewaspadaan mereka sembari membantu ABRI untuk memusnahkan dan sepenuhnya menghilangkan Gerakan 30 September bersama dengan organisasi-organisasi yang terafiliasi dengannya….”[52]
Seperti yang sebelumnya terjadi di Banda Aceh, deklarasi ini menyetujui instruksi bahwa warga sipil harus membantu operasi penghancuran oleh militer. Deklarasi ini kemudian dikirim ke Djuarsa, Pantja Tunggal Aceh, gubernur Aceh, semua bupati, walikota, dan kepala daerah di Aceh, semua badan pemerintah di Aceh Barat, Sukarno, para menteri di Jakarta dan Radio Republik Indonesia cabang Banda Aceh.[53] Dengan demikian, tidak ada tingkat pemerintahan di Aceh atau dalam skala nasional yang tidak mengetahui apa yang terjadi di Aceh Barat pada titik ini. Tampaknya, seperti halnya berkas-berkas lain yang dihasilkan pada masa ini, sirkulasi berkas yang luas tersebut barangkali memiliki tujuan ganda, yaitu menunjukkan loyalitas badan penerbitan kepada Suharto dan operasi pemusnahan oleh militer, sementara juga menghasut badan-badan pemerintah lain untuk melakukan tindakan serupa.
Meski Djuarsa kembali ke Banda Aceh setelah pertemuannya di Meulaboh pada 8 Oktober, fase konsolidasi di Aceh Timur dan Selatan meniru pola yang sangat mirip dengan di provinsi lainnya. Djuarsa berada di Langsa, Aceh Timur pada 1 Oktober pagi.[54] Secara kebetulan, pada pagi itu, Djuarsa bersama dengan seluruh pimpinan militer dan sipil Aceh telah berada di Langsa untuk “pertemuan massal” yang menandai kedatangan wakil Indonesia. Perdana Menteri Subandrio dan anggota Politbiro PKI nasional Nyoto, yang telah melakukan “sosialisasi” berkeliling Sumatra sepanjang minggu.
Pada 1 Oktober pagi, Subandrio dan Nyoto telah melakukan perjalanan dari Medan, Sumatra Utara, dengan Mokoginta, komandan militer Sumatra Utara Daryatmo dan gubernur Sumatra Utara Sitepu, sebelum bertemu Djuarsa dan anggota Pantja Tunggal Aceh di perbatasan provinsi pada pukul 1 siang dan tiba bersama di Langsa pada pukul 2 siang.[55] Kelompok ini kali pertama mendengar berita tentang G30S melalui radio antara pukul 6 dan 8 pagi, sebelum melakukan perjalanan ke Langsa, ketika pertemuan telah berjalan sesuai rencana sampai Djuarsa menyela sesaat setelah pukul 2 siang untuk menyatakan bahwa “kudeta” telah terjadi di ibukota.
Pada titik ini, pertemuan dihentikan dan para delegasi diperintahkan oleh Djuarsa untuk kembali ke posisi mereka, dengan alasan: “Jika [upaya kudeta Gerakan 30 September] dapat terjadi di pusat, itu bisa terjadi dengan mudah di daerah.”[56] Ini berarti bahwa pimpinan militer sipil dan militer Aceh Timur mengetahui anggapan pimpinan militer terhadap peristiwa-peristiwa di Jakarta sejak 1 Oktober pagi.
Pada 5 Oktober, mengikuti pola yang terjadi di tempat lain di provinsi ini, konsolidasi ini diperkuat melalui pertemuan pimpinan militer dan sipil Aceh Timur. Hari berikutnya, perwakilan dari enam partai politik Aceh Timur bertemu dengan Pantja Tunggal Aceh Timur. Pada pertemuan ini, “Keputusan Bersama” dikeluarkan, menyerukan “tindakan tegas dan proporsional” untuk diambil terhadap “mereka yang telah jelas-jelas terlibat dalam pengkhianatan terhadap bangsa.”[57] Nada yang lebih moderat dari deklarasi ini tampaknya menjadi refleksi atas penghargaan yang lebih besar yang dimiliki PKI di kabupaten ini, yang dihuni sebagian besar anggota serikat terbesar masyarakat perkebunan di Aceh. Kesamaan dari fase inisiasi militer di kabupaten, sementara itu, menunjuk pada koordinasi menyeluruh di balik respons militer di seluruh provinsi.
Djuarsa tidak melakukan perjalanan ke Aceh Selatan selama periode setelah 1 Oktober, yang hingga hari ini masih merupakan daerah yang sangat terpencil. Pada 1965, hanya ada satu atau dua radio di kabupaten itu, yang menerima sinyal melalui antena yang digantung di puncak pohon kelapa.[58] “Hamzah,” yang pada 1965 adalah seorang petani, mengenang bahwa pada awalnya terjadi kebingungan di kabupaten itu. Hanya satu pengumuman radio yang terdengar di kabupaten itu pada 1 Oktober, yang agaknya adalah pengumuman asli Gerakan 30 September. Pengumuman ini adalah pengumuman tentang gerakan pukul 2 siang yang telah menyatakan pembentukan Dewan Revolusi di ibukota. Tanpa mendengar pengumuman lebih lanjut, “Hamzah” mengenang bahwa ia, seperti orang lain di kabupaten itu, “ingin bergabung” pada apa yang tadinya mereka pikir sebagai pemberontakan PKI.[59]
Sekitar “satu minggu” setelah 1 Oktober, tampaknya setelah menerima instruksi lebih lanjut dari pimpinan militer provinsi, pimpinan militer Aceh Selatan berusaha untuk meluruskan perkara. Selama masa ini, pimpinan militer kabupaten menjelaskan kepada warga bahwa mendukung pemberontakan PKI yang gagal bukan gagasan yang masuk akal dan bahwa “PKI telah melakukan kudeta.”[60] Selanjutnya, “Hamzah” menjelaskan, “kami diajarkan bagaimana caranya ‘menghancukan PKI’.”[61] Sementara itu, anggota PKI diminta untuk melaporkan diri mereka ke militer.[62]
Pada saat ini telah memungkinkan untuk melihat meledaknya kekerasan di berbagai kabupaten. Operasi pemusnahan oleh militer di provinsi ini bergeser dari fase inisiasinya ke fase kekerasan publik.
Terjadinya Kekerasan Publik
Pola utama yang dapat dilihat dalam penyebaran kekerasan publik di seluruh Aceh selama periode ini adalah sebagai berikut. Setelah koordinasi keliling Djuarasa dan pertemuan koordinasi di setiap kabupaten, pertunjukan/demonstrasi dihadiri oleh warga, termasuk mahasiswa, anggota partai politik non-komunis dan pasukan jagal yang disponsori militer, diadakan di bawah pengawasan dan dengan dorongan dan koordinasi militer.[63] Poster dan grafiti mulai muncul di jalanan. Anggota-anggota militer lokal dan pimpinan daerah setempat berbicara kepada para demonstran, beberapa pihak menyatakan jumlahnya mencapai ribuan bahkan puluhan ribu. Para demonstran kemudian berbaris di kantor-kantor dan rumah-rumah PKI sebelum bangunan-bangunan ini digeledah dan dihancurkan. Orang-orang yang dianggap terkait dengan PKI beserta keluarga mereka kemudian “ditangkap”[64] dan “menyerah” kepada militer.
Pada tahap ini, orang-orang mulai menghilang. Beberapa dari mereka dibunuh di rumah jagal atau tempat tak dikenal sebelum jenazahnya dibuang di jalanan. Korban lainnya dijagal langsung di jalanan. Mayat-mayat itu dibiarkan di depan umum. Penjagalan ini terjadi dalam konteks arahan militer kepada penduduk bahwa mereka “wajib membantu militer untuk memusnahkan” para anggota kelompok sasaran ini.
Penjagalan ini didokumentasikan dengan sangat rinci oleh militer. Mereka dicatat dalam Kronologi Militer dan “Peta Penjagalan”, dengan pencantuman nama, usia, dan afiliasi organisasi mereka. Namun, tidak ada keterlibatan yang dikaitkan dengan penjagalan korban dalam catatan-catatan ini; kekerasan agaknya digambarkan bersifat “spontan”, dengan rekaman yang mencatat bahwa “mayat telah ditemukan” dengan “pembunuh tidak diketahui”.[65] Klaim-klaim spontan seperti ini dan kurangnya informasi mengenai identitas pelaku jelas menyembunyikan fakta.
Sejumlah 1.941 kematian warga dicatat oleh pihak militer terjadi selama periode ini di seluruh Aceh.[66] Tujuan dari kekerasan ini adalah untuk melegitimasi penggunaan kekerasan ekstra-peradilan (di luar putusan peradilan) terhadap anggota PKI. Jelas bahwa militer memicu kekerasan ini, alih-alih secara langsung terlibat dalam pelaksanaannya. Tentu saja memungkinkan untuk melihat korelasi antara pertemuan koordinasi Djuarsa dan terjadinya kekerasan ini. Seperti yang ditunjukkan Gambar 2, penjagalan publik tidak dimulai sampai setelah kunjungan Djuarsa. Tanggal-tanggal yang ditunjukkan dengan warna abu-abu gelap adalah tanggal yang tercantum dalam Kronologi Militer yang mencatat terjadinya penjagalan publik di setiap kabupaten. Kekerasan ini mendapat dukungan langsung dari pimpinan militer.
Eskalasi Kekerasan
Hasil dari tindakan kekerasan ini, serta operasi penangkapan dan penyerahan diri yang menyertainya, adalah besarnya jumlah penduduk yang terkurung di sepenjuru provinsi. Pemimpin militer dihadapkan pada pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan atas orang-orang ini. Para pemimpin ini memilih untuk memusnahkan mereka. Agar tampak logis, mereka melakukannya dengan mengeluarkan perintah militer untuk “memusnahkan” PKI dan organisasi yang terafiliasi. Tampaknya keputusan ini dibuat untuk meneror masyarakat, demi memfasilitasi perebutan kekuasaan, juga, secara harfiah, untuk menumpas saingan politik utama militer. Ini adalah periode operasi pemusnahan oleh militer yang secara memadai dapat dipahami sebagai genosida.
Di beberapa daerah, seperti Aceh Tengah, kehancuran ini hampir menyeluruh. Menurut keterangan saksi mata di kabupaten ini, hanya satu orang yang selamat dari operasi penangkapan dan penjagalan oleh militer.[67] Sementara itu, di Banda Aceh, diyakini bahwa hanya satu anggota struktur pimpinan PKI Aceh yang selamat.[68] Di semua kabupaten di Aceh, sangat sulit untuk menemukan korban yang selamat.
Menyusul titik balik penting dalam operasi militer ini, tampaknya memungkinkan untuk melihat adanya peningkatan tajam terjadinya kekerasan, dengan militer yang mulai memainkan peran langsung dan terbuka. Pergeseran ini, yang menandai awal fase ketiga operasi pemusnahan oleh militer, ditandai dengan penjagalan massal yang sistematis. Hal ini tidak akan mungkin terjadi tanpa adanya perintah sebelumnya dan fase inisiasi serta pertunjukan kekerasan.
Pembentukan Ruang Perang
Pada 14 Oktober, sepekan setelah terjadinya kekerasan publik di Banda Aceh, Djuarsa mengeluarkan instruksi “menetapkan pembentukan RUANG YUDHA [Ruang Perang] untuk [semua] unit militer.”[69] Ruang perang ini, laporan itu menjelaskan, “memungkinkan KODAM I untuk melakukan perang NON-KONVENSIONAL sesuai dengan Konsep Perang Teritorial [dan memungkinkan untuk] menyukseskan pemusnahan mereka [‘GESTOK’] bersama dengan warga.”[70] Pimpinan militer di Aceh menggunakan Ruang Perang ini untuk mengoordinasikan penjagalan massal sistematis yang meletus sejak periode ini dan selanjutnya akan menjadi ciri genosida secara nasional.
Gambar 2. Terjadinya kekerasan publik. Sumber: Gambar direproduksi dengan izin oleh © Robert Cribb.
Penjagalan Massal Sistematis di Situs Jagal yang Dikendalikan Militer
Penjagalan massal yang sistematis di lokasi-lokasi penjagalan yang dikendalikan militer akan menjadi karakteristik fase berikutnya dari operasi pemusnahan oleh militer. Penjagalan ini terjadi di setiap kabupaten di Aceh dengan pola yang sangat mirip. Unsur-unsur utama dari pola ini termasuk penangkapan individu-individu yang ditargetkan yang belum ditahan di penjara-penjara yang dikendalikan militer atau tempat penahanan lainnya; penahanan para tahanan di penjara yang dikendalikan militer dan tempat-tempat penahanan lainnya; transportasi bertahap para tahanan ini ke lokasi-lokasi jagal yang dikontrol militer; dan penjagalan sistematis berikutnya atas para tahanan ini.
Operasi penangkapan dikoordinasikan dari Banda Aceh oleh militer. Diketahui dari Kronologi Militer, misalnya, bahwa pada 20 Oktober 1965, Djuarsa memberikan “pengarahan” kepada perwakilan dari semua partai politik dan organisasi massa, Pantja Tunggal dan kepala dinas sipil di Banda Aceh di Ruang Audiensi (Pendopo), di mana ia menyediakan “penjelasan tentang situasi terkait G30S”.[71] Penjelasan ini didasarkan pada “Keputusan” yang ditandatangani oleh Djuarsa pada hari yang sama.[72] Keputusan ini melarang semua pihak yang dinyatakan terkait dengan PKI untuk “meninggalkan tempat mereka [tempat tinggal]” sementara menyatakan bahwa “wajib bagi semua pemimpin Partai Politik/Organisasi Massa untuk melaporkan diri mereka ke Pepelrada/Polisi Militer/Polisi di daerah mereka selambatnya pada 25 Oktober.[73]
Individu yang ditargetkan dan tidak melaporkan diri mereka kemudian dijemput dalam operasi penangkapan besar-besaran. Operasi-operasi ini dilakukan langsung oleh militer,[74] dengan patroli malam yang dilakukan oleh organisasi paramiliter sipil[75] dan oleh anggota pasukan jagal yang disponsori militer.[76] Dalam beberapa kasus, orang-orang yang ditargetkan ini dipaksa untuk menemani personil militer dalam operasi penangkapan berikutnya demi membantu proses identifikasi orang-orang lainnya yang ditargetkan.[77] Dalam kasus-kasus itu, daftar keanggotaan dan daftar penerima bantuan yang disita oleh militer digunakan sebagai daftar periksa (checklist) oleh militer.[78] Dalam kasus-kasus lain, daftar dihasilkan dari proses interogasi.[79]
Setelah penangkapan mereka, para tahanan lantas ditahan di penjara-penjara yang dikendalikan militer dan pusat-pusat penahanan di seluruh Aceh. Contoh-contoh situasi penahanan yang dikendalikan militer yang digunakan untuk tujuan ini di provinsi ini termasuk markas besar Polisi Militer,[80] tempat pelatihan militer di Mata Ie,[81] kantor-kantor pemerintah[82] di Banda Aceh, penjara yang dikelola pemerintah dan markas militer tingkat kabupaten di Aceh Utara,[83] penjara militer dan enam pusat penahanan yang digambarkan sebagai “kamp konsentrasi” di Aceh Tengah,[84] penjara yang dikelola pemerintah dan kantor-kantor pemerintah di Aceh Barat,[85] markas militer tingkat kabupaten di Aceh Selatan[86] dan markas militer tingkat kabupaten di Aceh Timur.[87]
Selanjutnya adalah tinjauan umum tentang lokasi dan operasi yang dilakukan di situs-situs penjagalan yang dikelola oleh militer di Aceh. Ini bukan daftar lengkap dari situs-situs tersebut, tetapi ini adalah situs-situs yang menyimpan pengalaman dari para narasumber saya, baik sebagai pelaku, penyintas, ataupun saksi mata selama penjagalan, dan situs-situs ini adalah yang setidaknya mereka ketahui secara langsung. Dalam beberapa kasus, para narasumber saya mendengar tentang situs-situs ini ketika mereka ditahan atau situs-situs ini adalah tempat penjagalan orang-orang yang mereka cintai atau kerabat mereka. Saya menduga situs-situs ini mewakili sebagian kecil dari jaringan situs penjagalan yang dikendalikan militer yang jauh lebih besar dan beroperasi di provinsi ini ketika itu. Sebagaimana ditunjukkan oleh beberapa contoh kecil kasus, lokasi-lokasi penjagalan ini dapat ditemukan di setiap kabupaten di Aceh dan semuanya menunjukkan pola operasi yang sangat mirip.
Situs-situs penjagalan yang dikendalikan militer di Banda Aceh ini termasuk situs penjagalan di Pantai Lhoknga, 15 kilometer dari pusat Banda Aceh.[88] Di lokasi ini, para tahanan, yang dibawa ke lokasi dengan ditaruh berdesakan di belakang truk, “dibunuh, dipenggal satu per satu,” atau ditembak oleh anggota Polisi Militer, sebelum dimakamkan di kuburan massal di lokasi.[89] Di tempat pelatihan militer di Mata Ie, para tahanan dibebaskan pada waktu yang telah ditentukan sebelumnya untuk menunggu anggota pasukan penjagal, yang membantai mereka di jalan.[90]
Di Aceh Utara, sebuah situs pembunuhan yang dikendalikan militer terletak di Meunasah Lhok, 30 kilometer sebelah barat di sepanjang pantai dari Lhokseumawe. Di sini para tahanan dibawa pada malam hari untuk dibunuh oleh para algojo sipil yang dipilih dari warga setempat oleh komandan militer kabupaten.[91] Situs lain terletak di Blang Padang, di mana para anggota yang dilatih oleh militer, hansip (pertahanan sipil) tingkat desa dari organisasi paramiliter diperintahkan oleh militer untuk menggali kuburan massal sebelum membunuh para tahanan dengan “meretas” mereka hingga mati atau memotong leher mereka.[92] Para tahanan yang selamat dari proses ini dilaporkan dikubur hidup-hidup.[93] Sementara itu, situs lain berlokasi di Cot Panglima, suatu tebing curam yang terletak di sepanjang jalan gunung ke Aceh Tengah, tempat para tahanan dibawa langsung dari penjara di Bireuen sebelum leher mereka digorok dan tubuh mereka dibuang dari sisi tebing.[94]
Di Aceh Tengah, militer mengangkut tahanan di belakang truk ke beberapa lokasi penjagalan yang dikendalikan oleh militer di sepanjang jalan pegunungan Burlintang, tempat para tahanan, dengan karung goni menutupi kepala mereka dan tangan mereka diikat di hadapan mereka, ditembak atau dipenggal, sebagian besar dilakukan langsung oleh militer.[95] Mayat-mayat itu kemudian dibuang dari sisi gunung, dan situs penjagalan dipindah lebih jauh di sepanjang lintasan gunung ketika situs-situs tertentu mulai berbau “terlalu busuk”. Situs lain yang terletak di Karang Debar, tempat penduduk desa dipaksa menggali lubang besar untuk digunakan sebagai kuburan massal, sebelum para tahanan digorok lehernya dan dibuang ke dalam lubang. Penjagalan juga terjadi di Jembatan Tritip, jembatan terakhir menuju Takengon yang dapat ditempuh hanya sepuluh menit dari pusat kota. Di sana, para tahanan dijagal oleh militer dengan bantuan penduduk desa, sebelum dimakamkan di kuburan massal dekat dengan pangkal jembatan.
Di Aceh Barat, para tahanan diangkut di belakang truk ke lokasi penjagalan yang dikendalikan militer “di dekat laut” dan “di pegunungan”.[96] Situs-situs penjagalan ini didirikan oleh komando militer kabupaten, yang memberi perintah kepada pejabat pemerintah kabupaten untuk bantu memfasilitasi transportasi para tahanan ke situs-situs ini.[97] Setelah diturunkan dari truk, para tahanan dipaksa berjalan menuju kuburan massal tempat mereka ditembak dalam barisan oleh regu tembak.[98]
Di Aceh Selatan, situs penjagalan yang dikendalikan militer terletak di Ujung Batu, tempat para tahanan diangkut di belakang truk di tengah gelap sebelum dijagal langsung oleh militer dan dimakamkan di kuburan massal.[99] Situs lain terletak di Alu Bane, 76 kilometer sebelah barat laut di sepanjang pinggiran barat pantai dari Tapaktuan.[100] Para anggota Front Nasional ditekan untuk “membantu” militer dalam melakukan penjagalan ini.[101]
Sementara itu, di Aceh Timur, situs penjagalan yang dikendalikan militer terletak di “Gunung X” (nama dan lokasi “Gunung X” dirahasiakan demi melindungi identitas para narasumber).[102] Tahanan dibawa ke situs ini oleh anggota militer, dan dijagal dan dibuang di kuburan massal.[103] Situs lain terletak di Gunung Seunodok, yang kini dikenal oleh warga lokal sebagai “Gunung PKI” dan dikatakan berhantu lantaran banyaknya korban anggota PKI yang ditimbun di sana.[104] Sebagian besar tahanan lain juga diangkut ke perkebunan lokal, tempat para tahanan itu bekerja, untuk dijagal.[105]
Tujuan dari adanya situs penjagalan yang dikendalikan militer ini adalah untuk memfasilitasi pemusnahan sistematis populasi tahanan. Niat ini diungkapkan dengan cara terorganisir, individu-individu yang ditargetkan dikelompokkan bersama di tempat-tempat penahanan dan kemudian diangkut bergiliran ke situs-situs yang dirancang khusus untuk penjagalan. Setelah penangkapan mereka, individu yang ditargetkan memenuhi giliran yang harus dibuang seefisien mungkin. Di mata militer, orang-orang ini, tanpa identitas mereka, tidak lagi memiliki harapan hidup lain selain dihadapkan pada kematian. Di beberapa daerah, kehancuran ini hampir menyeluruh.[106]
Niat ini juga diungkapkan dalam berkas pemerintah dan militer yang dihasilkan pada saat itu. Tujuan dari operasi militer, sebagaimana dijelaskan oleh satu berkas yang dibuat di Aceh Utara, adalah “pembersihan/pemusnahan G30S.”[107] “Penghancuran ini,” lanjutan penjelasan dalam berkas itu, “telah aktif dan tercapai dalam kaitannya dengan pihak angkatan bersenjata.”[108] Ini adalah fase operasi pemusnahan oleh militer yang dapat dipahami sebagai genosida.
Mengapa Genosida?
Bagian di atas memberikan bukti jelas bahwa militer memprakarsai dan melaksanakan penjagalan 1965-66 sebagai kebijakan yang disengaja untuk memusnahkan lawan politiknya dan membawa militer ke tampuk kekuasaan. Tapi bisakah penjagalan itu dipahami sebagai kasus genosida? Bagi para peneliti seperti Kuper, Chalk, dan Jonassohn, yang menganggap penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida yang potensial sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi Genosida 1948, rintangan utama untuk mengonfirmasi temuan ini adalah “adanya banyak informasi yang saling bertentangan” untuk digunakan menilai apakah kasus tersebut dapat memenuhi ketatnya persyaratan definisi istilah tersebut.
Genosida, menurut Konvensi Genosida 1948, adalah tindakan menyerang anggota-anggota kelompok sasaran tertentu dengan maksud untuk menghancurkan kelompok sasaran ini “sedemikian rupa.”[109] Sementara itu, kelompok sasaran genosida harus terdiri atas kelompok utuh yang dapat digambarkan dalam kategori “bangsa, etnis, ras, atau agama tertentu”. Oleh karena itu, anggota suatu kelompok politik tidak dapat menjadi sasaran genosida, kendati afiliasi politik bisa jadi tumpang tindih dalam kelompok tersebut. Dalam kasus penjagalan 1965-66, tidak jelas apakah kedua persyaratan ini dapat diterapkan.
Konvensi Genosida 1948, tentu saja, bukan satu-satunya lensa yang dengannya kekerasan genosida dapat dipahami.[110] Dirk Moses mengamati bahwa Konvensi dapat memainkan peran dalam “mendepolitisasi” bagaimana kekerasan genosida dibicarakan dan dipahami.[111] Pertanyaan sentral bagi para peneliti genosida sedapatnya adalah untuk memahami mengapa kekerasan semacam itu terjadi. Genosida, Helen Fein berpendapat, diterapkan untuk mencapai tujuan politik,[112] sementara Martin Shaw mengusulkan bahwa genosida paling baik dipahami sebagai suatu “bentuk perang” yang diterapkan untuk menghancurkan “kekuatan kelompok sosial musuh.”[113] Bertumpu murni pada pembuktian apakah suatu kasus kekerasan genosida tertentu memenuhi ketatnya persyaratan definisi Konvensi atau tidak, dapat membatasi diskusi ini sekadar sebagai debat yang sempit soal perkara semantik.[114]
Namun demikian, Konvensi ini tidak dapat diremehkan, karena ia penting sebagai sarana utama akses ke sistem hukum internasional. Lebih jauh lagi, dalam kasus penjagalan 1965-66, persoalan apakah kasus tersebut dapat dipahami sebagai kasus genosida di bawah Konvensi memerlukan pembuktian tambahan, lantaran melalui perbandingan dengan Konvensi ini maka kasus ini justru macet karena soal nihilnya pembuktian. Para peneliti Indonesia belum dapat menjawab pertanyaan-pertanyaan para peneliti genosida, yang mengarah pada persepsi bahwa penjagalan 1965-66 adalah kasus abu-abu (borderline) atau kasus genosida yang bermasalah.[115]
Niat untuk Menghancurkan
Dalam kasus penjagalan di Indonesia, niat militer untuk menghancurkan kelompok sasarannya “secara menyeluruh atau sebagian” kini dapat dibuktikan. Berkas-berkas genosida menyediakan bukti bahwa, dari paling tidak tengah malam pada 1 Oktober 1965, dalam kata-kata komandan militer antarwilayah Sumatra, “semua anggota angkatan bersenjata” telah “diperintahkan” untuk “sepenuhnya memusnahkan Gerakan 30 September”, yang digambarkan dalam perintah ini sebagai kontrarevolusi, “sampai ke akar-akarnya.”[116] Sementara itu, sekarang juga dapat dibuktikan bahwa pimpinan militer menggambarkan operasi ini sebagai “operasi untuk memusnahkan GESTOK”.[117] Komandan militer Aceh menjelaskan operasi ini dilancarkan pada 1 Oktober 1965 dan dikenal dalam internal militer sebagai “Operasi Berdikari”. Maksud operasi ini adalah untuk menghancurkan kelompok sasaran militer secara fisik.
Bahwa istilah “menghancurkan” dan “memusnahkan” tidak dimaksudkan secara metaforis oleh pimpinan militer dapat dilihat dalam tindakannya setelah 1 Oktober. Setelah memerintahkan warga sipil pada 4 Oktober untuk “membantu” militer “dalam setiap upaya untuk sepenuhnya memusnahkan Gerakan 30 September yang kontrarevolusioner bersama dengan antek-anteknya,”[118] komandan militer Aceh memulai koordinasi keliling provinsi sejak 7 Oktober. Selama berkeliling, ia bertemu dengan para pimpinan militer dan pemerintah setempat dan mengadakan pertemuan massa publik di mana ia secara eksplisit memerintahkan warga sipil untuk “membunuh” orang yang dianggap terkait dengan PKI.[119] Sementara itu, berkas lain yang ditemukan sebagai bagian dari berkas genosida Indonesia menunjukkan bahwa militer mengerahkan dan mempersenjatai ribuan anggota paramiliter untuk berpartisipasi dalam Operasi Berdikari.[120]
Pihak militer kemudian mengawasi periode penjagalan publik ini di provinsi tersebut antara tanggal 7 dan 13 Oktober. Militer mendukung penjagalan ini dan mencatat perkembangan mereka pada diagram alur dan “Peta Penjagalan”. Bersamaan dengan operasi penjagalan publik ini, anggota pasukan jagal yang disponsori militer berpartisipasi dalam operasi “penangkapan” ekstra-peradilan, dan pada saat itu sejumlah besar individu yang menjadi sasaran diculik dan kemudian “diserahkan” kepada militer. Orang-orang ini kemudian ditahan di penjara yang dikendalikan militer dan “kamp konsentrasi” yang berakibat pada adanya populasi tahanan yang besar di provinsi tersebut.
Sejak 14 Oktober, militer mulai melaksanakan kampanye penjagalan sistematis yang dimaksudkan untuk menghancurkan populasi tahanan ini. Pada tanggal ini, komandan militer Aceh mengeluarkan “instruksi” yang menetapkan pembentukan “Ruang Perang” yang dimaksudkan untuk “memungkinkan” pimpinan militer untuk “melakukan perang NON-KONVENSIONAL” untuk “berhasil memusnahkan” kelompok sasarannya.[121] Sejak saat itu, militer mulai memainkan peran langsung dalam penjagalan di Aceh. Orang-orang yang menjadi target, yang telah diburu dan secara ekstra-peradilan “ditangkap” dan ditahan di penjara-penjara yang dikendalikan militer dan “kamp-kamp konsentrasi” selama dua pekan pertama operasi militer, kini diangkut ke jaringan situs-situs penjagalan yang dikendalikan militer. Setiap malam, truk-truk tahanan dikirim ke situs-situs ini, tempat mereka dijagal, baik secara langsung oleh militer ataupun oleh paramiliter dan perwakilan warga. Tujuan dari operasi penjagalan ini adalah untuk memusnahkan populasi tahanan secara sistematis.
Kelompok Sasaran Militer
Pertanyaan apakah korban penjagalan 1965-66 adalah kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi Genosida 1948 diperumit dengan berbagai nama yang diberikan kepada kelompok ini. Berkas genosida Indonesia menunjukkan bahwa kelompok ini pada awalnya diidentifikasi pada 1 Oktober sebagai “kontrarevolusi”,[122] sebelum diidentifikasi, dan sejak 4 Oktober sebagai “apa yang menyebut diri sebagai ‘Gerakan 30 September’.” Sementara itu, sejak 6 Oktober, kelompok ini dinamai “PKI dan berbagai organisasi di bawah panjinya.”[123]
Daftar resmi organisasi “yang terafiliasi”, sebagaimana diresmikan oleh Suharto pada 31 Mei 1966, termasuk organisasi yang berafiliasi secara resmi dengan PKI, seperti organisasi pemuda PKI Pemuda Rakyat; Barisan Tani Indonesia (BTI); Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI); dan organisasi kebudayaannya, Lembaga Kebudayaan Rakyat (LEKRA). Daftar ini juga meliputi organisasi-organisasi yang kendati tidak secara resmi berafiliasi dengan PKI, tetapi memiliki visi politik yang serupa bagi Indonesia, yakni Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dan Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Baperki), organisasi massa bagi masyarakat Melayu-Tionghoa yang diidentifikasi sebagai pro-komunis.
Dalam konteks ini, label “PKI” digunakan untuk merujuk pada kader PKI dan anggota “organisasi yang terafiliasi” (lihat Gambar 3). Label ini juga dipakai untuk merujuk pada keluarga para anggota “organisasi yang berafiliasi”. Selain itu, label juga digunakan untuk merujuk pada kawan-kawan dan kolega dari individu-individu ini serta populasi desa tertentu dan, pada waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu, kepada masyarakat etnis Melayu-Tionghoa.[124] Dengan demikian, jelas bahwa kelompok sasaran militer secara signifikan lebih luas daripada sekadar anggota organisasi PKI.[125]
Kelompok sasaran yang luas ini juga secara kolektif diidentifikasi sebagai “komunis” (kaum komunis, lit. “kelompok komunis”),[126] “kontra-revolusioner”,[127] kafir dan tidak beragama, dan ateis atau anti-Tuhan. Label kolektif ini dimaksudkan untuk memproyeksikan gagasan bahwa kelompok target ini berpadu secara internal dan memiliki struktur kepercayaan dan identitas diri bersama. Hubungan aktual dari orang-orang yang ditargetkan ini dengan tindakan-tindakan Gerakan 30 September—justifikasi resmi untuk penargetan militer terhadap kelompok ini—dengan demikian hanyalah gagasan sampingan bahwa orang-orang semacam itu harus menjadi sasaran hanya berdasarkan tuduhan, begitu militer mulai menyerang mereka. Sementara itu, orang-orang yang ditargetkan ini, umumnya dituduh sebagai anggota kelompok sasaran hanya berdasarkan dugaan atau asosiasi, begitu mereka diidentifikasikan pada kalangan tertentu, tidak ada jalan lain untuk menggagalkan pelabelan ini.
Gambar 3. Kelompok Sasaran Militer
Sejumlah peneliti berpendapat bahwa para korban penjagalan 1965-66 ditargetkan sebagai kelompok politik dan bahwa kelompok ini tidak dapat, dengan demikian, dipahami sebagai kelompok yang dilindungi di bawah Konvensi Genosida 1948.[128] Pengecualian kelompok politik dari perlindungan Konvensi ini menarik perhatian yang signifikan karena secara moral tidak dapat dibenarkan[129] dan berdasarkan pada anggapan usang bahwa identitas kebangsaan, etnis dan ras (secara tradisional dipandang bersifat utuh dan bawaan) secara fundamental berbeda dari identitas politik (secara tradisional dilihat sebagai tidak kekal dan diciptakan secara sosial).[130] Scott Straus, sementara itu, berpendapat bahwa kelompok pelakulah dan bukan kelompok korban yang akhirnya menentukan “sifat esensial” dari kelompok sasaran,[131] saat ini membuat perbedaan antara identitas kelompok sasaran tidak dapat dipertahankan. Meski demikian, kelompok politik tetap dikecualikan dari perlindungan berdasarkan Konvensi.
Berdasarkan karya Barbara Harff, John Roosa memgusulkan bahwa penjagalan 1965-66 harus dipahami sebagai kasus “politisida”[132]—istilah yang dirancang untuk menghindari debat soal pengecualian kelompok politik dalam Konvensi.[133] Andrei Gomez-Suarez, menulis tentang penjagalan anti-komunis di Kolombia, justru menentang pengambilan istilah itu, menyebutnya sebagai “kompromi” yang memperkuat kurangnya konsensus dalam studi genosida.[134] Penghancuran genosidal atas kelompok komunis di negara-negara pascakolonial, di mana kelompok komunis adalah mereka yang memainkan peran integral dalam pengembangan ideologi nasionalis, akan tampak secara khusus mengungkap dikotomi palsu antara identitas kebangsaaan tradisional yang berbasis etnis dan identitas kebangsaan modern yang berbasis ideologi.[135]
Kendati benar bahwa para korban penjagalan 1965-66 menjadi sasaran sebagian karena dugaan afiliasi mereka dengan kelompok politik (PKI), saya beranggapan bahwa para korban penjagalan 1965-66 ini juga ditargetkan sebagai bagian dari kelompok yang lebih luas. Bagian berikut ini memberi gambaran mengapa kelompok sasaran militer dapat dilihat sebagai kelompok berdasarkan kebangsaan dan agama.
Kelompok Nasional yang Terbentuk Secara Ideologis
Sejak 2001, Cribb telah menjadi pendukung utama argumen bahwa penjagalan 1965-66 dapat dilihat sebagai kasus genosida sebagaimana didefinisikan oleh Konvensi Genosida 1948. Menurutnya, kasus di Indonesia mampu “menjelaskan fenomena genosida” dengan menunjukkan sifat bermasalah dari perbedaan artifisial yang ditentukan berdasarkan konsep ras, etnis, identitas nasional dan identitas politik dalam interpretasi utama Konvensi.[136] Pemahaman tradisional tentang ras, identitas etnis dan kebangsaaan sebagai “bersifat tetap” dan “tidak berubah”, baginya, sudah ketinggalan zaman dan tidak lagi didukung oleh pemahaman “konstruksionis” terhadap identitas-identitas ini.[137] Pemahaman ini, ia usulkan, mampu memberikan “jembatan yang kokoh antara genosida etnis ‘klasik’ dan genosida politik’, dengan menunjukkan kesamaan antara dua bentuk identitas ini.
Dalam kasus Indonesia, Cribb berpendapat bahwa kategori “kelompok nasional”, sebagaimana didefinisikan sebagai kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi, dapat diperluas untuk mencakup kelompok nasional yang terbentuk secara ideologis. Ia berpendapat, ini karena “sifat identitas kebangsaan Indonesia menunjukkan dengan cara tak lazim betapa pembersihan politik juga dapat dilihat sebagai pembersihan etnis.” Untuk mendukung argumen ini, ia memberikan tinjauan rinci tentang pengembangan identitas kebangsaan Indonesia sebagai perwujudan dari tiga pembeda “kebangsaan berdasarkan niat”, atau “ekspresi” atas identitas ini.[138] Ketiga “ekspresi” ini—yang diidentifikasi sebagai “Komunis”, “Islamis”, dan “Pembangunanis”—tidak hanya dibedakan berdasarkan antagonisme budaya, sosial, ataupun ideologis, tetapi juga berdasarkan lapisan lain yakni pertentangan ekonomi dan kelas.[139] Dengan demikian, ia mengusulkan agar “kelompok komunis” Indonesia dapat dilihat sebagai kelompok yang dilindungi berdasarkan Konvensi, dan sementara itu menurutnya perspektif ini juga akan mampu memberikan analisis mendalam tentang konflik antarkelompok di Indonesia.
International Peoples Tribunal for 1965 (IPT-65) atau Pengadilan Rakyat Tragedi 1965 bergerak selangkah lebih maju dengan argumen ini, memimpin investigasi yang tidak mengikat secara hukum atas penjagalan 1965-66 di Den Haag pada November 2015. Berdasarkan argumen Cribb, IPT-65 mengusulkan bahwa “kelompok nasional Indonesia” menjadi sasaran genosida karena “sebagian dari mereka” telah menjadi korban yang keberadaannya dihapuskan.[140] Pendekatan serupa juga telah dipakai oleh Daniel Feierstein dalam kasus Argentina untuk menjelaskan peristiwa-peristiwa represif yang terjadi di negara tersebut antara tahun 1974 dan 1983.[141]
Namun, pendekatan ini mandek di antara para pemikir hukum genosida. Ahli hukum internasional William Schabas, misalnya, menjelaskan bahwa “penjagalan massal yang membingungkan dari anggota kelompok pelaku sendiri dengan genosida tidak sesuai dengan tujuan Kovensi, yang melindungi minoritas bangsa ini dari kejahatan yang berdasarkan kebencian etnis.”[142] Hukum internasional menetapkan bahwa Konvensi ini tidak berlaku untuk anggota kelompok bangsa atau etnis yang sama—fenomena yang terkadang disebut sebagai “auto-genosida”.[143]
Ini bukan posisi yang diambil Cribb. Penjelasan Cribb menunjukkan bahwa “kelompok komunis Indonesia”, dan bukan “kelompok nasional Indonesia” yang secara keseluruhan menjadi target operasi pemusnahan militer. “Kelompok komunis” ini, ia berpendapat, merupakan kelompok kuasi-etnik sebagai kelompok nasional atau kelompok sub-nasional tersendiri yang terbentuk secara ideologis. Bahwa militer secara eksplisit mengidentifikasi kelompok komunis Indonesia (kaum komunis) untuk menjadi target operasi penghancurannya didukung oleh bukti yang ditemukan dalam berkas genosida Indonesia.[144]
Kelompok Agama
Para korban penjagalan 1965-66 juga menjadi sasaran penghancuran berdasarkan dugaan identitas mereka sebagai “ateis” (anti-Tuhan) dan “orang yang tidak beriman” (kafir, tidak beragama). Adapun, seperti data baru yang dikumpulkan selama saya melakukan penelitian mengungkapkan,[145] ini akan menjadi cara utama penjagalan dibenarkan pada saat itu, baik oleh militer dalam pengumuman publik dan oleh warga yang terlibat.
Sebagian besar aspek penargetan militer atas “PKI”, sampai saat ini, masih belum diselidiki. Hal ini disebabkan oleh betapa sensitifnya topik ini. Ateisme tidak diakui oleh negara Indonesia.[146] Sementara itu, para penyintas kerap ingin menjauhkan diri dari tuduhan bahwa mereka “ateis”, baik karena persyaratan hukum ini dan karena mereka menganggap diri mereka mempraktikkan Muslim (atau Hindu, atau Kristen).[147]
Yurisprudensi ada untuk menyatakan bahwa ateisme dapat diterima sebagai “Kelompok Agama” di bawah Konvensi. Pengadilan Pidana Internasional untuk Rwanda (The International Criminal Tribunal for Rwanda, ICTR), dalam kasus Akayesu, mendefinisikan kelompok agama sebagai “orang yang anggotanya memiliki agama, denominasi, atau cara ibadah yang sama.”[148] Definisi ini, ahli hukum Matthew Lippman dan David Nersessian berpendapat, meliputi juga kelompok-kelompok ateis. Lippman, misalnya, berpendapat bahwa: “Kelompok-kelompok agama mencakup komunitas teis, non-teis, dan ateis yang dipersatukan oleh satu cita-cita spiritual.”[149] Sementara itu, David Nersessian berpendapat: “Konsep kelompok-kelompok keagamaan harus cukup fleksibel untuk mencakup ateis dan non-teis lain yang ditargetkan untuk genosida, berdasarkan pada ‘kepercayaan’ internal mereka atau ‘cara ibadah’ fungsional mereka (tidak menyembah sama sekali).”[150]
Argumen bahwa kelompok sasaran militer harus dipahami sebagai “kelompok agama” semakin diperkuat oleh pemahaman bahwa kelompok ini menganggap dirinya sebagai kelompok teis yang “disatukan oleh cita-cita spiritual tunggal”, sesusai definisi Lippman. Gerakan komunis Indonesia muncul pada 1920-an sebagai cabang dari gerakan anti-kolonial Hindia Belanda. Sejak saat itu, mayoritas anggota PKI dan penganut komunisme Indonesia mengidentifikasikan diri baik dengan Marxisme maupun “Islam Merah”, alias Islam yang berbeda yang diartikulasikan oleh “Haji Merah”, Haji Mohammad Misbach, yang berkotbah bahwa Islam dan Komunisme sepadan.[151]
Dengan demikian, dimungkinkan untuk berargumen bahwa para korban penjagalan 1965-66, sebagian besar, teridentifikasi dihancurkan sebagai suatu kelompok religius, baik karena begitulah mereka diidentifikasikan oleh militer (sebagai “ateis”) ataupun karena begitulah kelompok ini mengidentifikasikan diri mereka (sebagai penganut “Islam Merah”). Demikian pula, sesuai argumen Cribb, adalah mungkin untuk berargumen bahwa para korban penjagalan 1965-66 dijadikan sasaran anggota kelompok nasional atau sub-nasional yang secara ideologis merupakan bagian dari “kelompok komunis” Indonesia. Sementara itu, dalam kasus korban etnis Melayu-Tionghoa pada penjagalan massal 1965-66, para korban juga, pada waktu-waktu tertentu dan di tempat-tempat tertentu, dijadikan sasaran sebagai anggota kelompok etnis atau ras tertentu.[152] Ketika dihadirkan bersamaan dengan bukti yang jelas bahwa militer memiliki dan bertindak berdasarkan niatan untuk menghancurkan kelompok ini “sedemikian rupa”, bukti baru ini memperkuat argumen, yang diajukan oleh para peneliti genosida sejak awal 1980-an, bahwa penjagalan 1965-66 dapat dipahami sebagai kasus genosida.
Kesimpulan
Penemuan berkas genosida Indonesia ini telah secara mendasar mengubah apa yang sekarang mungkin diketahui tentang penjagalan 1965-66, khususnya terkait pertanyaan tenang niat dan pertanggungjawaban militer. Demikian juga, proses identifikasi kelompok sasaran militer dan penargetan mereka untuk dihancurkan kini dapat dipahami melalui sudut pandang militer sendiri mengenai bagaimana proses ini terjadi. Pembuktian yang kuat untuk memahami penjagalan 1965-66 sebagai kasus genosida kini dapat dibuat. Genosida sebagai konsep memang tidak sempurna. Meski begitu, berkas genosida ini dapat menjadi alat yang penting untuk meminta pertanggungjawaban pelaku penjagalan massal yang secara sistematis disponsori oleh negara.
Kekeliruan yang sengaja dilanggengkan oleh negara Indonesia dan sekutunya di Washington, London, dan Canberra untuk menjadikan kasus genosida di Indonesia tampak sebagai kekerasan yang dilakukan secara spontan, dan hal ini terbilang berbahaya. Selain memungkinkan para pelaku genosida untuk menikmati impunitas penuh (kebal hukum) atas tindakan mereka, ini memungkinkan militer untuk terus menghasut terjadinya konflik antar-kelompok di Indonesia sembari terus mencuci tangan atas konsekuensinya. Sudah saatnya penjagalan 1965-66 diakui sebagaimana adanya: sebagai salah satu genosida paling brutal pada abad kedua puluh yang disponsori negara.
Ucapan Terima Kasih
Saya ingin mengucapkan terima kasih kepada Dirk Moses dan dua pengulas anonim yang mengomentari versi sebelumnya dari artikel ini.
Pernyataan Tertulis
Tidak ada potensi konflik kepentingan dilaporkan oleh penulis.
Catatan tentang Kontributor
Jess Melvin adalah Henry Hart Faculty Fellow di Southeast Asian Studies dan postdoctoral fellow di Genocide Studies di Macmillan Centre, Yale University. Minat penelitiannya termasuk sejarah militer Indonesia, Perang Dingin di Asia Tenggara, dan kekerasan politik.[1] Versi dari artikel ini dipresentasikan
pada “1965’s Today: Living with the Indonesian Massacres,” Amsterdam, 2 Oktober
2015. Artikel bahasa Indonesia ini adalah terjemahan Dewi Kharisma Michellia dan diterbitkan dalam 1965 pada Masa Kini: Hidup dengan Warisan Peristiwa Pembantaian Massal.
[2] Saya berpendapat bahwa di tempat lain etnis Tionghoa yang menjadi korban penjagalan 1965-66 juga ditargetkan sebagai anggota kelompok etnis atau ras. (Jess Melvin, “Why Not Genocide? Anti-Chinese Violence in Aceh, 1965-66,” Journal of Southeast Asian Affairs (GIGA) 23, no. 3 (2013): 63-91; juga Jess Melvin, The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (New York: Routledge, 2018)).
[3] Saya berterima kasih sedalam-dalamnya kepada Douglas Kammen yang telah mengirimi saya “Laporan Tahunan Lengkap” yang diproduksi oleh Komando Militer Aceh pada 1965, yang tampaknya secara misterius muncul di Royal Institute of Southeast Asian and Caribbean Studies (KITLV) untuk dipindai sebagai bagian dari proyek Perpustakaan Digital Aceh.
[4] 40 hari kegagalan ‘G.30.S’: 1 Oktober-10 November 1965, edisi kedua. (Jakarta: Staf Pertahanan Keamanan Lembaga Sedjarah, 1966; kali pertama diterbitkan pada Desember 1965), 111.
[5] Nugroho Notosusanto dan Ismael Saleh, Upaya Kudeta dari ‘Gerakan 30 September’ di Indonesia (Jakarta, n.p., 1967), 77.
[6] Fairus, ed., Kodam Iskandar Muda: sejarah dan pengabdian (Banda Aceh: Dinas Penerangan Kodam Iskandar Muda, 2004), 92.
[7] Vedi R. Hadiz, “The Left and Indonesia’s 1960s: The Politics of Remembering and Forgetting,” Inter-Asia Cultural Studies 7, no. 4 (2006): 555.
[8] “1965 Symposium: Indonesia’s Way to Face Its Dark Past,” Jakarta Post, 19 April 2016, http://www.thejakartapost.com/news/2016/04/19/1965-symposium-indonesias-way-to-face-its-dark-past.html.
[9] “Indonesia: Stop Intimidating Participants in Events Concerning 1965 Human Rights Violations,” Amnesty International, pernyataan publik, 9 Agustus 2017.
[10] Serangan terjadi pada 16 September 2017. Nurkholis Hidayat, “Democratic Emergency? Hardliners, Communism and the Attack on LBH,” Indonesia di Melbourne, 18 September 2017, http://indonesiaatmelbourne.unimelb.edu.au/democratic-emergency-hard-liners-communismand-the-attack-on-lbh/.
[11] Dwi Andayani, “LBH kaitkan pengepungan dengan seruan Jokowi ‘Gebuk PKI’,” DetikNews, 18 September 2017. Komentar Jokowi dibuat di Facebook.
[12] Harold Crouch, The Army and Politics in Indonesia (Jakarta: Equinox Publishing, 2007; kali pertama diterbitkan pada 1978), 141-2.
[13] Robert Cribb, “Political Genocides in Postcolonial Asia,” dalam The Oxford Handbook of Genocide Studies, ed. Donal Bloxham dan A. Dirk Moses (Oxford: Oxford University Press, 2010), 453.
[14] Douglas Kammen dan Katharine McGregor, “Pengantar,” dalam The Contours of Mass Violence in Indonesia, 1965-68, ed. Douglas Kammen dan Katharine McGregor (Singapura: NUS Press, 2012), 8.
[15] John Roosa menjelaskan bagaimana Gerakan 30 September digunakan sebagai “dalih” oleh militer untuk melancarkan serangan yang telah lama dinantikan terhadap PKI. John Roosa, Pretext for Mass Murder: The 30 September Movement and Suharto’s Coup d’Etat in Indonesia (Madison: Universit of Wisconsin Press, 2006).
[16] Lihat Robert Cribb, “Unresolved Problems in the Indonesian Killings of 1965-1966,” Asian Survey 42, no. 4 (2002): 551-2. Untuk contoh-contoh sebelumnya, lihat Lucien Rey, “Dossier of the Indonesian Drama,” New Left Review no. 36 (1 April 1966): 35; dan Benedict R. Anderson dan Ruth T. McVey, A preliminary analysis of the October 1, 1965, coup in Indonesia (Ithaca, NY: Modern Indonesia Project, Cornell University, 1971). Rey, yang menulis pada 1966, menyatakan bahwa militer telah “mendorong” gerombolan bersenjata “untuk mengambil keuntungan dari iklim anti-PKI” setelah peristiwa 1 Oktober 1965. “Tekniknya,” ia menjelaskan, “adalah dengan mengirim pasukan untuk masuk ke desa, memaksa kepala desa untuk memberikan nama semua anggota dan simpatisan PKI, mengumpulkan mereka dan kemudian membiarkan para ekstremis Muslim dan Kristen sayap kanan mengetahui kapan mereka akan dibebaskan. Ketika mereka dilepaskan dari penjara, mereka dicincang dengan kait dan parang.” Teknik ini agaknya digunakan oleh militer, seperti diuraikan di atas. Apa yang tidak dijelaskan, karena belum diketahui, adalah bahwa ada keterlibatan militer pada peristiwa penjagalan ini. McVey dan Anderson, sementara itu, menulis pada 1971, menggambarkan penjagalan sebagai “operasi sistematis untuk memutus akar Partai Komunis.” Mereka menjelaskan, “Angkatan Darat jelas bermaksud untuk menghancurkan partai dari cabang hingga akar-akarnya.” Bagaimanapun, mereka menahan diri untuk menyediakan analisis tentang bagaimana operasi ini dilaksanakan, di luar menjelaskan bahwa “PKI dengan cepat ditangkap dan dihancurkan” dengan bantuan kelompok-kelompok yang main hakim sendiri dan dilatih oleh militer. Sementara, informasi mengenai bagaimana operasi ini dijalankan dan metode apa yang diterapkan masih belum dijelaskan dan tidak dapat diketahui.
[17] Di Indonesia, penjagalan 1965-66 kali pertama mulai digambarkan sebagai kasus genosida pada akhir 1990-an. Lihat, misalnya, Wimanjaya W. Liotohe, Mengadili diktator Suharto in absentia: pengadilan rakyat semesta-pengrata (Jakarta: n.p., [diterbitkan sendiri], 1999).
[18] Leo Kuper, Genocide: Its Political Use in the Twentieth Century (New Haven, CT: Yale University Press, 1981), 152-3.
[19] Ibid., 138.
[20] Ibid., 154.
[21] Ibid.
[22] Ibid., 153.
[23] Frank Chalk dan Kurt Jonassohn, The History and Sociology of Genocide: Analyses and Case Studies (New Haven, CT: Yale University Press, 1990), 382.
[24] Ibid., 35.
[25] Roosa, Pretext for Mass Murder, 189-91.
[26] “Keputusan peningkat pelaksanaan Dwikora,” Keppres/Plm Tert. ABRI/KOTI/KOTOE No. 52/KOTI tahun 1964, mb 14 Sept. 1964, dalam Ketetapan MPRS dan peraturan negara jang penting bagi anggauta Angkatan Bersendjata, ed. Muhono, ‘Decision for the enforcement of the implementation of Dwikora’ dalam ‘Decisions of the Provisional People’s Consultative Council and government regulations relevant to members of the Armed Forces’ (Jakarta: Tentara Nasional Indonesia, 1966).
[27] Niat Sukarno yang jelas adalah untuk menggunakan undang-undang Dwikora yang baru untuk membatasi kekuatan militer dengan menempatkan sekutunya sendiri dalam mengendalikan perintah ini dan untuk memberikan penyeimbang pada monopoli militer atas senjata dengan memberikan pelatihan senjata dasar demi operasi yang diusulkan, dengan 21 juta sukarelawan. Ulf Sundhaussen, The Road to Power: Indonesian Military Politics, 1945-1967 (Kuala Lumpur: Oxford University Press, 1982), saya berpendapat bahwa dukungan Sukarno untuk pelatihan senjata ini dianggap telah melewati “garis merah” oleh para pimpinan militer, sehingga mempercepat rencana pihak militer untuk merebut kekuasaan negara.
[28] Crouch, The Army and Politics in Indonesia, 45-8.
[29] Untuk diskusi lengkap tentang bagaimana tindakan Gerakan 30 September digunakan sebagai dalih oleh pimpinan militer, lihat Roosa, Pretext for Mass Murder.
[30] Laporan tahunan lengkap Kodam-I/Kohanda Atjeh tahun 1965 (Banda Aceh: Kodam-I, 1966), 17.
[31] Ibid.
[32] “Pidato radio Pimpinan Sementara Angkatan Darat Major Djendral Soeharto,” Pimpinan Sementara AD Republik Indonesia, Major Jendral Soeharto, 1 Oktober 1965, dalam Alex Dinuth, Dokumen terpilih sekitar G.30.S/PKI (Jakarta: Penerbit Intermasa, 1997), 59-60.
[33] Djuarsa menjalani pelatihan di US Command and General Staff College di Fort Leavenworth di Kansas, Amerika Serikat. Bryan Evans III, “The Influence of the United States Army on the Development of the Indonesian Army (1954-1964),” Indonesia no. 47 (April 1989): 28.
[34] “Chronologis kedjadian2 jang berhubungan dengan Gerakan 30 September di daerah Kodam-I/Atjeh,” dalam Laporan Tahunan Lengkap, 92.
[35] Diketahui, misalnya, bahwa perintah ini juga dikirim melalui komandan militer antardaerah untuk Sumatra, Letnan Jenderal Ahmad Mokoginta. “Chronologis,” 1.
[36] Mokoginta menjalani pelatihan di US Command and General Staff College di Fort Leavenworth, di sana ia akan muncul sebagai tokoh terkemuka dalam jajaran pimpinan militer nasional. Dia sebelumnya juga menjabat sebagai Kepala Sekolah Staf dan Komando Angkatan Darat (SESKOAD). Evans III, “The Influence of the United States Army”, 28.
[37] “Tetap tenang dan penuh kewaspadaan terhadap setiap anasir jang merusak dan ingin menghantjurkan Pantjasila-revolusi-negara dan bangsa kita, baik dari luar maupun dari dalam,” dalam Letdjen A. J. Mokoginta, Koleksi pidato2/kebidjaksanaan Panglima Daerah Sumatra (Medan: Koanda Sumatera, 1966), 152.
[38] Ibid., 152.
[39] Jess Melvin, The Army and the Indonesian Genocide: Mechanics of Mass Murder (New York: Routledge, 2018).
[40] “Chronologis”, 92.
[41] Sundhaussen, The Road to Power, 185-6.
[42] Melvin, The Army and the Indonesian Genocide, 45.
[43] “Pernjataan Pantja Tunggal Daerah Istimewa Atjeh,” Banda Aceh, 4 Oktober 1965, 1; lihat juga berkas Chain of Command, berkas genosida Indonesia.
[44] “Pengumuman: Peng. No. Istimewa P.T.,” Banda Aceh, 4 Oktober 1965; lihat juga berkas Chain of Command, berkas genosida Indonesia.
[45] “Ishak Djuarsa: sejak 1967, Pak Harto sudah seperti imam yang batal wudu,” Tempo, 2 April 2000, 39. Pernyataan ini telah dikuatkan secara independen oleh Dahlan Sulaiman, yang mengaku bepergian dengan Djuarsa ke Pidie dan kemudian ke Lhokseumawe. Wawancara dengan Dahlan Sulaiman, Banda Aceh, 29 Desember 2011.
[46] “Chronologis”, 3.
[47] Ibid.
[48] Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon, Aceh Tengah, 7 Februari 2009.
[49] Wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh, Aceh Barat, 3 Desember 2011.
[50] Ibid.
[51] Ibid.
[52] “Pernjataan, No: 4/Dprdgr/AB/1965,” Meulaboh, Aceh Barat, 11 Oktober 1965, 2; lihat juga berkas Rantai Komando; berkas genosida Indonesia.
[53] Ibid., 3.
[54] Melvin, The Army and the Indonesian Genocide, 78-87.
[55] Menyusul kesimpulan dari pertemuan ini, yang Djuarsa minta untuk ditutup setelah menginstruksikan kepada jajaran pimpinan militer dan pemerintahan Aceh untuk kembali ke kabupaten masing-masing dan menunggu perintah lebih lanjut, Subandrio dan Nyoto pergi ke Medan dengan speedboat. Setibanya di pelabuhan Belawan, tepat begitu mendekati Medan, mereka ditempatkan di bawah “tahanan perlindungan” Mokoginta dan Daryatmo. Anderson G. Bartlett III dkk., Pertamina: Indonesian National Oil (Singapura: Amerasian Ltd, 1972), 240.
[56] Wawancara dengan Teuku Ali Basja, Simpang Surabaya, Banda Aceh, 28 Desember 2011.
[57] “Peristiwa apa jang menamakan dirinja ‘Gerakan 30 September’,” Langsa, Aceh Timur, 5 Oktober 1965; lihat juga berkas Rantai Komando, berkas genosida Indonesia.
[58] Wawancara dengan “Hamzah”, Tapaktuan, Aceh Selatan, 6 Desember 2011. (Nama-nama yang tertulis dalam tanda kutip adalah nama-nama samaran).
[59] Ibid.
[60] Ibid., 7.
[61] Ibid., 9.
[62] Ibid., 3.
[63] Misalnya, “Chronologis”, 2-7.
[64] Penangkapan ini dilakukan secara ekstra-peradilan.
[65] Misalnya, “Chronologis”, 4, 5, 6, 8, 15, dan 16. Untuk diskusi tentang fenomena ini, lihat Melvin, The Army and the Genocide Indonesia, 274.
[66] Laporan Tahunan Lengkap, 6-7.
[67] Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon, Aceh Tengah, 7 Februari 2009.
[68] Wawancara dengan Asan, Hong Kong, 31 Oktober 2011.
[69] Laporan Tahunan Lengkap, 17.
[70] Ibid., 85 (penekanan pada aslinya).
[71] “Chronologis”, 9.
[72] “Surat-Keputusan No: KEP/PEPELRADA 29/10/1965,” Banda Aceh, 20 Oktober 1965. Lihat, “Arsip Dokumen Banda Aceh”, berkas genosida Indonesia.
[73] Ibid.
[74] Wawancara dengan “Ramli”, Sumatra Barat, 15 Desember 2011; juga wawancara dengan “Tjoet”, Kampung X, Bireuen, 11 Februari 2009.
[75] Wawancara dengan “Hamid”, Lhokseumawe, Aceh Utara, 19 Desember 2011.
[76] Wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh, Aceh Barat, 3 Desember 2011. Pasukan jagal yang disponsori militer dibentuk di seluruh kabupaten selama bulan Oktober. Keanggotaan mereka terdiri dari organisasi mahasiswa anti-komunis yang telah menerima pelatihan paramiliter dari militer sebelum 1 Oktober.
[77] Wawancara dengan “Karim” dan “Aminah”, Desa 2, Tamiang, Aceh Timur, 12 Desember 2011.
[78] Wawancara dengan “Jamil”, Kampung X, Bireuen, 11 Februari 2009; juga wawancara dengan “Abdullah”, Takengon, Aceh Tengah, 9 Februari 2009.
[79] Wawancara dengan “Jamil”, Kampung X, Bireuen, 11 Februari 2009.
[80] Wawancara dengan “Ramli”, Sumatra Barat, 15 Desember 2011.
[81] Wawancara dengan Dahlan Sulaiman, Banda Aceh, 29 Desember 2011.
[82] Wawancara dengan Zainal Abidin, Banda Aceh, 14 Februari 2009; dan wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh, Aceh Barat, 3 Desember 2011.
[83] Wawancara dengan “Tjoet”, Kampung X, Bireuen, 11 Februari 2009.
[84] Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon, Aceh Tengah, 7 Februari 2009; dan wawancara dengan “Abdullah”, Takengon, Aceh Tengah, 9 Februari 2009.
[85] Wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh, Aceh Barat, 3 Desember 2011.
[86] “Chronologis”, 19.
[87] Ibid., 8.
[88] Wawancara dengan “Ramli”, Sumatra Barat, 15 Desember 2011.
[89] Ibid.
[90] Wawancara dengan Dahlan Sulaiman, Banda Aceh, 29 Desember 2011.
[91] Wawancara dengan “Hamid”, Lhokseumawe, 19 Desember 2011.
[92] Wawancara dengan “Syam”, Lhokseumawe, 19 Desember 2011; dan wawancara dengan “Hamid”, Lhokseumawe, 19 Desember 2011.
[93] Wawancara dengan “Hamid”, Lhokseumawe, 19 Desember 2011.
[94] Wawancara dengan “Jamil”, Kampung X, Bireuen, 11 Februari 2009.
[95] Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon, Aceh Tengah, 8 Februari 2009.
[96] Wawancara dengan T. M. Yatim, Meulaboh, Aceh Barat, 3 Desember 2011.
[97] Ibid.
[98] Ibid.
[99] Wawancara dengan “Ali”, Sama Dua, Aceh Selatan, 6 Desember 2011.
[100] Wawancara dengan “Ali”.
[101] “Chronologis”, 11.
[102] Wawancara dengan “Karim” dan “Aminah”, Desa 2, Tamiang, Aceh Timur, 12 Desember 2011.
[103] Ibid.
[104] Wawancara dengan “Saifuddin”, Idi, Aceh Timur, 18 Desember 2011.
[105] Ibid.
[106] Sangat sulit menemukan orang yang selamat dari operasi penangkapan dan penjagalan militer di Aceh. Di provinsi lain di Indonesia, lebih banyak jumlah penyintas dapat ditemukan. Di beberapa daerah, kamp-kamp penahanan jangka Panjang didirikan. Para tahanan di fasilitas ini akhirnya dikategorikan. Tahanan “Kategori A” dijagal ketika tahanan “Kategori B” dan “Kategori C” dibebaskan, kerap setelah bertahun-tahun disiksa dan dianiaya. Tahanan “Kategori A” adalah kelompok sasaran inti militer dan terbunuh sebagai bagian dari genosida. Justus M. Van der Kroef, “Indonesia’s Political Prisoners”, Pacific Affairs 49, no. 4 (1976-77): 628; lihat juga Melvin, The Army and the Indonesian Genocide.
[107] “Pertahanan Sipil/Hanra”, dalam Laporan Bupati Kepala Daerah T. Ramli Angkasah dalam memimpin Pemerintahan Kabupaten Aceh Utara mulai April 1965 s/d Mei 1966 disampaikan dalam siding paripurna ke-1/1966 DPRD-GR Kabupaten Aceh Utara di Lhokseumawe tanggal 15 Juni 1966, 32. Formulasi serupa dapat ditemukan dalam “Pernjataan”, Djulok, Aceh Timur, 28 Oktober 1965, 2; dan “Pernjataan kebulatan tekad rakjat ketjamatan Idi Rajeuk, Kabupaten Atjeh Timur, tentang peristiwa apa jg menamakan dirinja ‘Gerakan 30 September’,” Idi, Aceh Timur, 30 Oktober 1966. Sebuah laporan yang ditulis oleh Bupati Aceh Utara, ditandatangani 15 Juni 1965 [sic. 1966].
[108] “Pertahanan Sipil/Hanra”, 32. Sebuah laporan yang ditulis oleh Bupati Aceh Utara, ditandatangani pada 15 Juni 1965 [sic. 1966].
[109] “Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide”, diadopsi oleh Majelis Umum Perserikatan Bangsa-bangsa pada 9 Desember 1948. Istilah “dengan demikian” menyampaikan persyaratan niat khusus (dolus specialis) dari kejahatan tersebut.
[110] Untuk tinjauan umum tentang definisi yang berbeda, lihat Chalk dan Jonassohn, The History and Sociology of Genocide, 8-11.
[111] A. Dirk Moses, The Problems of Genocide (Cambridge: Cambridge University Press, akan terbit).
[112] Helen Fein, “Revolutionary and Antirevolutionary Genocides: A Comparison of State Murders in Democratic Kampuchea, 1975 to 1979, and in Indonesia, 1965 to 1966,” Comparative Studies in Society and History 35, no. 4 (1993): 801.
[113] Martin Shaw, War and Genocide: Organised Killing in Modern Society (Oxford: Blackwell, 2003), 44-5.
[114] Saya berpendapat di tempat lain untuk menerapkan pemahaman yang lebih inklusif tentang genosida pada penjagalan 1965-66. Melvin, Angkatan Darat dan Genosida Indonesia.
[115] Lihat Israel W. Charny, ed., Genocide: A Critical Bibliographic Review, vol. 1 (New York: Facts on File, 1988), 55, 331; Helen Fein, ed., Genocide Watch (New Haven, CT: Yale University Press, 1992), 18.
[116] “Tetap tenang dan penuh kewaspadaan”, 152.
[117] Laporan Tahunan Lengkap, 16-17.
[118] “Pengumuman: Peng. No. Istimewa P.T.,” Banda Aceh, 4 Oktober 1965.
[119] Wawancara dengan Ibrahim Kadir, Takengon, Aceh Tengah, 7 Februari 2009; wawancara dengan “Latifah”, Banda Aceh, 15 Februari 2009.
[120] “Daftar: Kekuatan ABRI HANSIP/HANRA/SUKWAN di Kohanda Atjeh”, 2. Sebuah laporan yang ditulis oleh Bupati Aceh Utara, ditandatangani pada 15 Juni 1965 [sic. 1966].
[121] Laporan Tahunan Lengkap, 17.
[122] “Tetap tenang dan penuh kewaspadaan”, 152.
[123] “Keputusan Bersama: No. lst. II/Pol/Kpts/1965”, Banda Aceh, 6 Oktober 1965, 1; lihat juga arsip dokumen Rantai Komando, berkas genosida Indonesia.
[124] Jess Melvin, “Why Not Genocide? Anti-Chinese Violence in Aceh, 1965-1966,” Journal of Southeast Asian Affairs (GIGA) 32, no. 3 (2013): 63-91; lihat juga Melvin, The Army and the Indonesian Genocide.
[125] Evolusi dalam penamaan kelompok sasaran militer ini konsisten dengan pemahaman bahwa militer telah merencanakan untuk menciptakan pertikaian dengan PKI, saingan politik utamanya, dan bahwa serangan ini dimaksudkan sebagai gerakan defensif, reaksi terhadap dalih yang tersedia yang kekeliruannya dapat ditujukan kepada partai.
[126] Misalnya, “Panitia Aksi Gerakan Massa Ummat Bertuhan untuk Mempertahankan Pantjasila”, Idi, Aceh Timur, 14 Oktober 1965; lihat juga berkas Pasukan Jagal, arsip genosida Indonesia.
[127] Misalnya, “Pernjataan No. 12/Pernj/Dprd/1965”, Langsa, Aceh Timur, 28 Oktober 1965; lihat juga berkas Pasukan Jagal, berkas genosida Indonesia.
[128] Lihat Robert Cribb dan Charles A. Coppel, “A Genocide That Never Was: Explaining the Myth of Anti-Chinese Massacres in Indonesia, 1965-66,” Journal of Genocide Research 11, no. 4 (2009): 447-65; lihat juga Ben Kiernan, “Twentieth-Century Genocides”, dalam The Spectre of Genocide: Mass Murder in Historical Perspective, ed. Robert Gellately dan Ben Kiernan (Cambridge: Cambridge University Press, 2003), 46.
[129] Beth van Schaack, “The Crime of Political Genocide: Repairing the Genocide Convention’s Blind Spot,” Yale Law Journal 106, no. 7 (1996): 2259-91.
[130] Cribb, “Political Genocides in Postcolonial Asia,” 446.
[131] Scott Straus, “Contested Meanings and Conflicting Imperatives: A Conceptual Analysis of Genocide,” Journal of Genocide Research 3, No. 3 (2001): 366.
[132] Roosa, Pretext for Mass Murder, 224.
[133] Barbara Harff dan Ted Gurr, Ethnic Conflict in World Politics (Boulder, CO: Westview Press, 1998), 224.
[134] Andrei Gomez-Suarez, “Perpetrator Blocs, Genocidal Mentalities and Geographies: The Destruction of the Union Patriotica in Colombia and Its Lessons for Genocide Studies”, Journal of Genocide Research 9, no. 4 (2007): 638. Gomez-Suarez, seperti Shaw, melihat hubungan antara perang yang memburuk dengan perkembangan mentalitas genosidal, yang berguna ketika dipakai memeriksa penghancuran genosidal kelompok-kelompok komunis di Amerika Latin.
[135] Sifat problematis dari pengucilan kelompok-kelompok komunis dari definisi tradisional genosidal dalam kasus Asia pascakolonial telah dikemukakan oleh Cribb, “Political Genocides in Postcolonial Asia”, 445-65; dan dalam kasus Amerika Latin pascakolonial oleh Daniel Feierstein, “National Security Doctrine in Latin America: The Genocide Question,” dalam Bloxham dan Moses, The Oxford Handbook of Genocide Studies, 489-508. Dapat dikatakan bahwa “doktrin keamanan nasional”, yang dipakai untuk membenarkan kehancuran kelompok-kelompok komunis di Amerika Latin, kali pertama diujikan di Indonesia.
[136] Robert Cribb, “Genocide in Indonesia, 1965-1966”, Journal of Genocide Research 3, no. 2 (2001): 221.
[137] Ibid., 221-2.
[138] Ibid., 226.
[139] Ibid., 227.
[140] “Final Report of the IPT 1965: Findings and Documents of the IPT 1965,” 20 Juli 2016. http://www.tribunal1965.org/en/final-report-of-the-ipt-1965/
[141] Daniel Feierstein, “Political Violence in Argentina and Its Genocidal Characteristics”, Journal of Genocide Research 8, no. 2 (2006): 149-69.
[142] William A. Schabas, Genocide in international Law: The Crimes of Crimes, edisi pertama. (Cambridge: Cambridge University Press, 2000), 119.
[143] Penjagalan 1975-79 di Kamboja dipertimbangkan sebagai contoh auto-genosida.
[144] Lihat, misalnya, “Panitia Aksi Gerakan Massa Ummat Bertuhan untuk Mempertahankan Pantjasila”, Idi, Aceh Timur, 14 Oktober 1965.
[145] Lihat Melvin, The Army and the Indonesian Genocide.
[146] Kendati untuk menghayati gagasan-gagasan ateis per se tidak ilegal, mengekspresikannya di tengah umum dikategorikan sebagai ilegal dan dapat dikenai sanksi undang-undang penistaan agama. Larangan ekspresi ateis dapat ditelusuri pada perundang-undangan Indonesia, yang mengakui “kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa” sebagai dasar negara Indonesia. Kecaman terhadap ateisme dilembagakan di bawah Orde Baru dan sejak 1966 terkait dengan pelarangan PKI dan “Marxisme-Leninisme”. Ismail Hasani, “The Decreasing Space for Non-Religious Expression in Indonesia: The Case of Atheism”, dalam Religion, Law and Intolerance in Indonesia, ed. Tim Lindsey dan Helen Pausacker (London: Routledge, 2016), 197-210.
[147] Pada 2010, 87,2 persen orang Indonesia diidentifikasi sebagai Muslim; 9,9 persen adalah Kristen; 1,7 persen adalah Hindu; dan -1 persen (0,9 persen Buddha, 0,4 persen tidak dapat ditentukan). Di Aceh, sekitar 98 persen populasi mengidentifikasi diri sebagai Muslim.
[148] “The Prosecutor versus Jean-Paul Akayesu,” International Criminal Tribunal for Rwanda, 2 September 1998, paragraf 515, 210.
[149] Matthew Lippman, “The 1948 Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide: Forty-Five Years Later”, Temple International and Comparative Law Journal 8, no. 1 (1994): 1.
[150] David L. Nersessian, Genocide and Political Groups (New York: Oxford University Press, 2010).
[151] Melvin, The Army and the Indonesian Genocide.
[152] Saya belum mencantumkan sebuah perbincangan di sini tentang bagaimana anggota masyarakat etnis Melayu-Tionghoa menjadi sasaran serangan selama penjagalan, seperti yang telah saya jelaskan di kesempatan lain. Lihat Melvin, “Why Not Genocide?”; Melvin, The Army and the Indonesian Genocide.
No comments:
Post a Comment