Pembacaan atas Keledai yang Mulia dan beberapa Puisi Mario F. LawiKaularungkan doa dari pesisir diri dengan perahu yang kaukayuh sendiri.– “Hiri”, Keledai yang Mulia (Mario F. Lawi, Shira Media, 2019)
Mario F. Lawi adalah penyair yang dikenal dengan alusi
biblis dalam puisi-puisinya. Latar belakangnya di seminari menengah dan
pendarasannya atas teks-teks Latin, mata pelajaran yang diajarkan kepadanya
enam jam sepekan, membuat ingatan kita mengenalnya tak terpisahkan dari Alkitab
dan tradisi gereja.
Ia sendiri sebenarnya tumbuh besar dalam dua tradisi yang
sama kuatnya. Ini, terkadang, membuat beberapa puisinya hadir dengan tegangan
dua tradisi ini. Selain sebagai seorang pendaras Alkitab dengan seorang ibu
yang erat memeluk Katolik, kakek maternalnya adalah seorang Kenuhe, Imam atau
petinggi dalam Jingitiu, kepercayaan penghayat di Kepulauan Sabu, Nusa Tenggara
Timur.
Dengan latar belakang ini, dalam puisi-puisinya tentu
akan mudah ditemukan pula banyak metafora dari kisah-kisah ritual tradisi Sawu
atau Sabu (Hawu, dalam penyebutan lokal). Jingitiu adalah latar yang membentuk
kepribadian masyarakat Sawu. Ritual-ritualnya membentang dari kelahiran hingga
kematian, dengan ajaran-ajaran yang mengarahkan para penghayatnya akan
kebenaran dan kebaikan. Bagi Mario, khazanah biblis dan kearifan tradisi lokal
Jingitiu ini sama-sama memiliki kekuatan untuk mengarahkan para penganutnya
pada pesan keselamatan—keutamaan yang hendak ia sampaikan dalam puisi-puisinya.
Ia percaya kearifan lokal Jingitiu tercermin gamblang
dalam kepribadian kakeknya. Kakeknya, sebagai seorang Kenuhe, dengan tanpa
beban menyerahkan seluruh keluarganya melepaskan identitas Jingitiu untuk
memeluk Katolik, demi menunjukkan kepada siapa pun yang mengetahui kisahnya,
bahwa iman jauh lebih penting daripada agama. Ibu Mario sendiri menjadi Katolik
bersama keenam saudara-saudarinya berkat baptis misionaris Austria, Pater Franz
Lackner, SVD.
Menyoal Jingitiu, puisi yang hadir persis dengan judul
itu termaktub dalam Lelaki Bukan Malaikat
(Gramedia Pustaka Utama, 2015). Puisi ke-29 berjudul “Jingitiu” berkisah tentang
pergulatan kakeknya menghadapi putra-putrinya melepaskan identitas Jingitiu,
yang dibukanya dengan, “Sebelum meninggalkan ketujuh anaknya di depan pintu
Gereja, kakek sempatkan berterima kasih kepada tiga belas cahaya yang membopong
tubuhnya,” dan lantas ia menggambarkan bagaimana misionaris membaptis
orang-orang di kampung itu, “Misionaris putih itu mulai menumpahkan isi
buli-bulinya. Ia datang dari sebuah tempat yang jauh, dan ia tak mengenal Kika
Ga.”
Ia menggambarkan pula bagaimana kakeknya disemayamkan
sebagai seorang Jingitiu, “Kakek pun menekukkan lututnya, membetulkan kain yang
digunakannya, sebelum meneteskan air matanya. Ia pun diangkat ke surga. Ke
tempat yang lama ia nantikan untuk melihat mata kail yang menyangkuti Kika Ga
sebelum Rai Hawu diciptakan. Ke tempat ia akan berjumpa Rai Ah—manusia pertama
yang diciptakan Sang Mahakuasanya.”
Dalam keluarga inti kakeknya, hanya kakek Mario yang
meninggal sebagai Jingitiu dan dikuburkan dalam sebuah kubur berbentuk bulat
dalam posisi tubuh sedang duduk.
Orang Sabu percaya bahwa kematian adalah perjalanan roh
dari dunia ini ke dunia yang lain, dengan menumpang perahu bernama Ama Piga Laga. Upacara mencoret gendang
dan lagu duka banyo menuturkan
keberangkatan dan pelayaran roh, di mana ia dijemput oleh para leluhur. Tempat
berangkatnya adalah Teluk Uba Aae, di pantai selatan Mehara, pada setiap bulan
Banga Liwu, menuju ke Sumba. Barangkali itu pulalah yang membuat Mario kerap
menggunakan lema “Selatan” dalam beberapa puisinya yang menoleh pada
kenangannya akan kakeknya.
Puisi sebelumnya pada buku yang sama, puisi ke-28
berjudul “Penenun”, ditutupnya dengan pengalamannya dengan kakeknya yang
membuat kita merasa dekat, “Bertahun-tahun kemudian, ia mendengar cerita
tentang Hercules dari seorang cucunya yang lama menetap di kota. Kepada
cucunya, ia berulang kali berkata, manusia adalah turunan ketiga belas setelah
dewa-dewi diciptakan oleh Mara Mea.”
Bahwa betapa tradisi Jingitiu yang dipeluk kakeknya dapat
selalu dihidupkan dan berkait dengan hal-hal mutakhir pada zaman ini yang kelak
diketahui cucunya.
Kenangan dekat yang sama dapat kita lihat dalam puisinya
“Gela” pada Ekaristi (Plotpoint,
2014), “Di dahiku masih ada tanda salib, dioleskan kakek dengan rasa haru yang
harum, sepotong kelapa, serta adonan sirih dan pinang dari mulutnya,” pada
puisi ini, dikutipkan mantra ritus inisiasi tradisi Jingitiu yang seiring
dengan jalan kakeknya mengoleskan tanda salib pada dahi si cucu, “Wo Deo Muri, ne ta herae ta hero’de ri nyiu
wou mangngi, mita rui kedi ihi kuri, mita haga dara, mita ju medera, kelodo pa
taga rihi dula,” yang bermakna “Ya Allah sumber kehidupan, anak ini dioles-usapi
dengan kunyahan kelapa yang harum agar kuat dan segar tubuh serta mentalnya,
supaya bertambah besar dan tinggi, supaya mendapat status yang tinggi/terhormat
dalam keluarga dan marga.”
Dalam puisi “Bui Ihi”, Mario kembali mengutip mantra yang
merupakan ritus inisiasi Jingitiu, “Ana
appu ya de tape wede pa loko pa da’I ta mahhe rim one b’aga,” yang
terjemahannya bermakna, “Anak cucuku ini disanjung dalam cinta dan jodoh,
semoga ia mendapat jodoh seseorang yang kaya akan sawah dan lumbung.”
Dalam Mendengarkan
Coldplay (Gramedia Widiasarana Indonesia, 2016), Mario menuliskan lagi
tentang kakeknya, tentang pertanyaan yang barangkali diujarkan oleh si kakek
kepada cucunya yang terus menggali memorinya untuk menemukan kakeknya. Dalam
puisinya ini, Mario menyebut dirinya sendiri dalam kata ganti Ama Peke. “Mengapa kau mencariku, Ama
Peke?” dengan pertanyaan itu, yang diujarkan sang kakek kepada si cucu, puisi
ke-19 dalam buku tersebut dibuka, dan lantas dilanjutkan dengan dongeng—yang
agaknya berkaitan dengan kisah Mara Mere yang disebutkan oleh kakeknya dalam
sahutannya atas kisah Hercules si cucu:
“Ada sebongkah dunia, seorang
lelaki dan sesosok dewi. Ada perang kecil ketika segumpal tanah dibentangkan
menjadi sebuah daratan luas. Doa pertama mengambang ketika seekor ikan gagal
terpancing. Sebuah jalan memanjangkan dirinya di atas datar lautan. Berkilau
dan menyilaukan. Aku memikirkanmu.
Telah kukenal semesta yang lain, yang mengapungkan angin gelap dan mencurahkan
hujan yang anomali. Di dalam kepalaku
sepasang dunia melingkupimu. Telah tersesat aku dalam ceritamu, ketika para
leluhur mengajakmu terbang ke berbagai belahan dunia dengan sayap-sayap yang
terbuat dari anyaman lontar yang dilapisi serat-serat tembakau, daun sirih dan
kulit pinang. Langit sudah tak membutuhkan warna. Mimpi sudah tak perlu menjadi
tanda. Ke mana jalan itu membawamu?
Ada air mata yang jatuh dari sepasang sudut matamu ketika tangan kakimu dijepit
tiang penyangga. Ada mutiara di dalam kerang yang kaududuki di dalam kubur di
sudut kiri depan rumah itu.”
Dalam cuplikan panjang di atas, Mario secara sengaja memberi
penekanan pada ingatan (aku memikirkanmu)
dan perjalanan (ke mana jalan itu
membawamu). Selanjutnya, ia masih akan mengulang “Mengapa kau mencariku,
Ama Peke” dua kali lagi, dan memberikan penekanan pada “kesedihan aneh yang
mengusikku” dan berbagai hal yang tampak di hadapan si Ama Peke yang mencari,
di antaranya: hitam, kering, pinang, tanah, merah, rumah, belangga, kayu,
pagar, batu, sirih, keriput, bayi, rakit, laut, panen, kuda, ilalang, aspal,
botol, perempuan, gigi, celah, timba, lemari, asap, langit, dan kau. Simbol-simbol
yang bagi si Ama Peke lekat dengan kampungnya.
Dan pada puisi pamungkas dalam buku ini, yakni puisi
ke-27, Mario kembali menuliskan mengenai relasinya dengan kakeknya dan
pencariannya atas sang kakek:
“Aku berdiri di sini, Kakek,
menunggu di bagian luar sisi selatan pagar tanaman rumahmu. Jatuhkan bahasa,
rupa, dari segala semesta yang pernah melingkupimu dengan kuasa dan tanda.”
Di puisi ini, ia membahas tentang bentang langit, tenung
dan rasa dengki yang mengepung kampung, kesetiaan menjaga mata air yang
dianggap sebagai awal mula dunia, sebuah tempat yang disebutkan sebagai: “Ia
adalah rumah dewasa yang menyambutmu dengan kenangan masa kanak-kanak yang
selalu penuh, dengan irisan panjang lemak babi terbaik yang memang dipelihara
hanya untuk dikorbankan, dengan bagian terbaik dari cinta yang menolak untuk
diberi nama, dengan tetes pertama air susu ibumu.”
Kedekatan Mario dengan kakeknya dan tradisi Jingitiu
sebagai latar belakang tampaknya kembali menjadi benang merah bagi beberapa
puisi dalam Keledai yang Mulia, yang lagi-lagi
dapat ditautkan pada dua perkara: perjalanan dan ingatan.
Perjalanan dan Ingatan
Judul buku puisi teranyarnya, Keledai yang Mulia (Shira Media, 2019), mengingatkan kita pada dua
puisi yang pernah ditulisnya dalam Lelaki
Bukan Malaikat seperti “Seekor Keledai Memasuki Kerajaan Surga” dan “Seekor
Keledai di Depan Lubang Jarum” ataupun dalam beberapa puisinya di Mendengarkan Coldplay yang menyitir
keledai. Baru pada puisi-puisi yang ditulisnya setelah Ekaristi, alusi biblis mengenai keledai ini tampak kerap
dimunculkan. Puisi “Keledai yang Mulia” ini sendiri dibuka dengan “setelah
menempuh perjalanan panjang, ia merasa telah menjadi Kristus” dan ditutup
dengan “Si Keledai yang Mulia pun kian yakin, Dunia memang akan benar-benar
diselamatkan.”
Kisah tentang Yesus yang mengendarai keledai menuju
Yerusalem lazim menjadi memori kolektif para penekun Injil. Diceritakan pada
Kisah Minggu Palem (Injil Yoh 12:14-15) bahwa Yesus lebih memilih menunggangi
keledai alih-alih kuda, lantaran keledai adalah sewujud penggambaran kekuatan
yang dapat ditanggungkan ketika ia menanggung beban macam apa pun, sementara
kuda adalah tunggangan yang cenderung teramat pilih-pilih. Kisah Yesus ini
tertulis pula dalam Matius 21:8 dan Lukas 19:36, menjabarkan orang-orang di
jalanan yang melemparkan kain ketika keledai itu melintas bersama Yesus.
Dalam buku puisi teranyarnya ini, beberapa kisah
perjalanan dalam wujudnya yang lain, terutama yang berkait dengan kakek dan
tradisi Jingitiu, ataupun ingatan akan sesuatu yang hilang, kembali termaktub melalui
puisi “Meninggalkan Kupang”, “Ina Tana”, “Ecclesia penitens”, “Pulang, “Bekas
Sebuah Sungai”, dan “Ecce Homo”.
Pada “Meninggalkan Kupang”, kita melihat seorang lelaki kecil yang meminta
seseorang atau sesuatu agar tetap tinggal. Saya menafsirkan lelaki kecil ini
sebagai Mario, sebagai cucu, yang menyentuh pintu kenangan kakeknya,
memanggilnya. Atau, lelaki kecil ini adalah Mario, yang berhadapan dengan
tradisi, terutama lantaran pada bait-bait “engkau tahu, sepenuhnya, tak sanggup
ia menandingi tiga orang lelaki yang telah menumpahkan darah ayam, membekalimu
dengan potongan kecil kopra, kacang hijau, dan memperdengarkan suara sekelompok
orang yang telah menyentuhmu dengan cinta yang ajaib dan keras kepala”
menggambarkan betapa yang dibicarakan adalah tentang “seseorang” atau “sesuatu”
yang tidak dapat dilepaskan dari “tiga orang lelaki” atau “tiga patriark” dalam
tradisi Jingitiu, yang memberikan kepadanya perlambang darah ayam, potongan
kecil kopra, dan kacang hijau.
Sementara “Ina Tana” adalah perjalanan yang bergerak ke arah berseberangan.
Puisi dibuka dengan “Mencintaimu sebagai keselamatan, aku pun pergi”, “aku suka
caramu yang santun ketika berdosa, kulitmu yang menguarkan wangi dupa dan
sukacitamu yang membumbung ke langit”, lantas “menyayangimu adalah dosa,
meninggalkanmu adalah celaka”, hingga ditutup dengan “hingga biarkanlah Cinta
menjadi alasan bagiku untuk menjaga jalan yang kautinggalkan”. Tanpa mengetahui
makna “ina tana” adalah “ibu tercinta”, lantaran puisi ini dibuka dengan menyatakan
kepergian menuju yang lain demi jalan keselamatan, saya menafsirkan puisi ini
menggambarkan pergulatan yang dialami oleh ibu Mario beserta saudara-saudarinya
yang mesti melepaskan tradisi Jingitiu, dan menganggap jalan yang ditempuhnya
sebagai penemuan kembali, dan terlepas dari letih yang dialami dalam perjalanan
itu, ia tetap menyimpan Cinta bagi tradisinya yang telah ditinggalkannya.
“Ecclesia penitens” menceriterakan bagaimana seorang tua
menghampiri ayah Dope Ga, karakter dalam puisi ini yang berasal dari penamaan
karakter Jingitiu, menyentuhkan telunjuknya yang berlumur liur sirih pinang ke
sepasang pipi ayah Dope Ga. Ayahnya adalah orang yang kelak menjabarkan kepada
Dope Ga nama-nama tumbuhan sebelum ia mengenal kisah dalam tradisi Jingitiu tentang
dewa kesuburan dan manusia pertama yang menyentuh tempatnya kini berpijak.
Penduduk Sabu diturunkan dari leluhur Hawu Ga (Kika Ga).
Dalam genealoginya, urutan sesudah kedatangan orang Sabu menunjukkan pemisahan
antara manusia dan tumbuhan. Pohon tumbuh dari tubuh Rai Ae, seorang perempuan,
yang mati dan dari bagian-bagian tubuhnya menjelmalah berbagai jenis tumbuhan.
Di Mehara, muncul tujuh macam tumbuhan, kelapa dari tempurung kepala, pinang
dari biji mata, sirih dari jari, pohon lontar dari kemaluan, kacang dari
ginjal, nila dari empedu, dan mengkudu dari ludah. Karena itu, ketujuh jenis
tumbuhan ini pun penting kedudukannya dalam kehidupan orang Sabu.
“Pulang” adalah puisi yang sejak pembukanya pun telah menghamparkan
rasa hangat, “kau tahu laut begitu ramah padamu, mempersembahkan hasil-hasilnya
ketika kau berdiri di pantai saat paceklik mencekik kampungmu,” dan “kau tahu
seorang cucu sepenuhnya menyukai segala yang ada padamu, menjadi seseorang yang
sama sekali tak mengenal kata “pulang” dalam bahasa daerah ayah maupun ibunya,
tapi merawat cintanya”. Dua kuplet ini menunjukkan bagaimana si cucu mencoba
menjabarkan tentang kakeknya. Kemesraan penggambaran ini berlanjut dengan
berbagai persepektif lain, “kau tahu langit mengerti rahasiamu”, “kau tahu
cerita seorang santa pernah mengisi masa kecilmu”, “kau tahu istrimu begitu
terpesona pada”, “kau tahu para penggantimu akan”, “kau tahu airmata yang
mengucur dari jasadmu”, hingga ditutup dengan “kau tahu ibu selalu berharap kau
bahagia di dalam sana dan di atas sana”. Ia menutup puisi persembahan untuk
kakeknya ini dengan kisah betapa ibunya masih menyampaikan doa-doa kepada Tuhan
sang kakek, tentang hal-hal yang tak kunjung dipahami si kakek semasa hidup.
No comments:
Post a Comment