Apakah seni masih punya taji untuk merespons hal-hal yang tampak keliru dengan dunia kita hari ini? Dalam enam tahun terakhir, setidaknya kita bisa merunut tiga perkara.
Pada pameran bertajuk “PotretDiri sebagai Kaum Munafik” di Galeri Nasional pada 2018 lalu,
sajadah bersimbah darah menjadi simbol yang dipilih Tisna Sanjaya untuk
mengacungkan jari tengah terhadap kemunafikan masyarakat. Kita sebagai penonton, dapat memaknainya dengan apa
yang kita hadapi hari ini: kita menyaksikan seseorang bersembahyang demikian
taat, tampak religius dan menampilkan aura kebajikan, dan menyadari bahwa orang
yang sama dapat menjadi pembunuh keji mengatasnamakan agama.
Pameran Tisna ini, misalnya, mau tidak mau mengingatkan kita
pada aksi bom bunuh diri seorangibu di Surabaya—terjadi dua bulan sebelum pameran Tisna—yang
menggendong putrinya menghadapi maut dengan mengatasnamakan agama.
Mundur dua tahun
sebelumnya, pada 12 April 2016, ibu-ibu
dari pegunungan karst,
Kendeng, Jawa Tengah menanam kakinya pada semen untuk menggambarkan
betapa pabrik semen yang akan dibangun di wilayah mereka seakan-akan sedang
bergerak menimbun tubuh mereka hidup-hidup dengan semen. Begitu lamanya mereka
menolak pembangunan pabrik Semen Indonesia ini, aksi menanam kaki pada semen
itu mereka lakukan setelah setahun mereka membunyikan lesung tanda bahaya di
depan Istana Presiden.
Menanamkan kaki
pada semen adalah upaya tersirat mereka membongkar belenggu semen yang merusak
alam dan mengancam keberlangsungan hidup para petani di sepanjang pegunungan
Kendeng.
Kembali mundur
dua tahun, pada 2014, DodokPutra Bangsa menggelar aksi seni kejadian dengan mandi pasir untuk
menggambarkan kekeringan yang terjadi di sumur-sumur warga Miliran, Umbulharjo.
Aksinya ini bertujuan menolak pembangunan Fave Hotel di dekat permukimannya. Respons
yang diterimanya kemudian adalah penjelasan tentang perizinan pembangunan sumur
air tanah yang dikeluarkan oleh Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta untuk hotel
ini.
Aksi ini
mengungkit perihal apa yang tak dibicarakan lebih dulu oleh pihak pemberi izin
(pemerintah daerah ataupun Badan Lingkungan Hidup Yogyakarta) kepada
masyarakat setempat.
Bahwa orang-orang
yang mengatakan dirinya mewakili rakyat tidak pernah benar-benar mewakili
rakyat. Dan karena itu
rakyat berhak menggugat.
Ketiga aksi ini
menunjukkan betapa seni telah begitu lumrah menjadi cara penyampaian kritik
sosial di ruang publik.
Sensitivitas untuk Melancarkan Kritik Sosial
Buku Unjuk Rasa berkabar tentang bagaimana masyarakat bisa berdaya demi melakukan perubahan sosial
dengan jalan berkesenian.
Lewat berbagai upaya yang tak
hanya dilakukan seniman mapan, tetapi juga digelar oleh berbagai inisiatif di
luar arus utama.
Komunitas-komunitas
seni ini boleh saja
tampak bergerak dalam diam
tetapi siap hadir dan memekakkan telinga, menyuarakan berbagai persoalan melalui beragam medium, dari upaya rekonsiliasi, seni rupa, musik, sastra,
aktivisme bioskop, klub
baca selepas kerja bagi para buruh migran, pelestarian tradisi lisan, hingga arsitektur.
Enam belas
kontributor dalam buku ini mengajak pembaca melampaui pengertian yang sudah
lumrah tentang lema “unjuk rasa” yang kerap dimaknai sekadar sebagai tangan
terkepal ke udara dan barisan buruh melakukan mogok. Sementara, orang yang
sekadar lewat dan sepintas melihat aksi-aksi semacam ini kerap tak menangkap
esensi kegiatan itu dan meremehkan gerakan-gerakan semacam ini.
Redefinisi “unjuk
rasa” ini dilakukan untuk mengembalikan esensi
itu, bahwa aktivisme (unjuk rasa), sebelum hadir dengan wujud tangan yang terkepal, pertama-tama hadir
melalui suatu proses “menunjukkan” (unjuk) “perasaan” atau “sensitivitas”
(rasa). Buku ini hendak mengatakan bahwa kunci dari gerakan sosial pada awalnya
digerakkan oleh orang-orang
yang bergerak dengan sensitivitas
serupa atas persoalan di tengah masyarakat.
Dari pengertian itu, buku ini lantas memberi penjelasan bagaimana seni berhasil memantik sensitivitas atas persoalan masyarakat dan bagaimana masyarakat dapat berdaya lewat seni. Keenam belas artikel menjelaskan tentang proses berkesenian yang mengantarkan para seniman dan non-seniman untuk terlibat dalam proses demokratisasi lewat seni—ketika negara tidak hadir atau memang tidak dibutuhkan hadir.
Dari pengertian itu, buku ini lantas memberi penjelasan bagaimana seni berhasil memantik sensitivitas atas persoalan masyarakat dan bagaimana masyarakat dapat berdaya lewat seni. Keenam belas artikel menjelaskan tentang proses berkesenian yang mengantarkan para seniman dan non-seniman untuk terlibat dalam proses demokratisasi lewat seni—ketika negara tidak hadir atau memang tidak dibutuhkan hadir.
Brigitta Isabella,
yang lama terlibat dalam kerja riset-aksi dengan fokus produksi pengetahuan
secara partisipatoris bersama KUNCI CulturalStudies Center, dalam pengantar editorialnya, menyebutkan “pengertian unjuk
rasa sebagai praktik estetiko-politik yang akan diketengahkan buku ini ialah: berbagai cara tutur menubuh yang
mengaktifkan sensibilitas dan agensi politik kolektif untuk berpikir kritis,
menunjukkan realitas empiris, dan mengambil peran dalam pengorganisasian
transformasi sosial.”
Dari uraiannya itu, maka pertama, konteks buku ini adalah persoalan yang dihadapi orang Indonesia hari ini. Sebagai negara berdaulat dalam barisan geopolitik dunia ketiga dengan sejarah kolonial yang panjang, lantas melewati fase rezim militeristik Soeharto di bawah cetak biru developmentalisme periode Orde Baru, Indonesia memiliki kondisi khas yang juga dialami oleh negara-negara dunia ketiga yang menghadapi ketimpangan ekonomi Utara-Selatan (pandangan tentang dunia ketiga digeser sebagai negara-negara Global South).
Dari uraiannya itu, maka pertama, konteks buku ini adalah persoalan yang dihadapi orang Indonesia hari ini. Sebagai negara berdaulat dalam barisan geopolitik dunia ketiga dengan sejarah kolonial yang panjang, lantas melewati fase rezim militeristik Soeharto di bawah cetak biru developmentalisme periode Orde Baru, Indonesia memiliki kondisi khas yang juga dialami oleh negara-negara dunia ketiga yang menghadapi ketimpangan ekonomi Utara-Selatan (pandangan tentang dunia ketiga digeser sebagai negara-negara Global South).
Sejarah panjang
ini menjadikan rezim hari ini masih berparadigma pembangunan yang pro-investor;
perekonomian di tengah masyarakat semakin timpang, sementara pembangunan terus
berkelanjutan. Artikel-artikel dalam buku ini menghadirkan upaya masyarakat
dalam berdialog secara kritis dengan persoalan diskrepansi ekonomi ini.
Kedua, keadaan perekonomian negara yang pro-investor ini menyebabkan beberapa
kota menjadi semacam gelembung pusat kebudayaan, seperti Jakarta, Bandung, dan
Yogyakarta. “Jarak” antara beberapa kota yang menjadi “pusat” ini dengan kota lainnya berimbas pada
bagaimana orang-orang yang tinggal di kota-kota besar kerap mengesampingkan
pergulatan orang-orang di “daerah” yang dipandang sebagai “pinggiran”.
Artikel yang
melingkupi tempat-tempat yang menjangkau banyak wilayah di Indonesia ini
ditujukan untuk menata ulang hubungan pusat-pinggiran yang hierarkis.
Yayasan Kelola dengan beberapa inisiatif rekanannya seperti Forum Lenteng,
In-Docs, dan Koalisi Seni Indonesia memiliki rekam jejak dalam menumbuhkan
jaringan antar kantong-kantong kebudayaan di Indonesia ini. Dengan dua konteks
ini, pembahasan dalam buku lantas dibagi ke dalam enam bagian: “Mengasah Tubuh”, “Setelah Penyadaran dan Pemberdayaan”, “Me(ruang)”, “Sub-kultur dan Budaya
Populer”, “Mengulik Teknologi Tradisi”, dan “Estetika Berkomunitas”.
Seni adalah Panglima
Setelah polemik
budaya pada era awal kemerdekaan, dan berbagai perseteruan antara seniman Lekra
dan Manifes Kebudayaan, para seniman Indonesia pernah menghadapi momen saat seni
dan budaya pada masa Orde Baru dinyatakan harus bersih dari politik. Cholil Mahmud
dalam artikel “Musik dan Peristiwa Musik sebagai Medium Aktivisme” menyatakan
betapa negara menyadari musik sebagai alat propaganda yang efektif untuk
menyebarkan gagasan. Meski berbeda ideologi politik, Soeharto mengambil taktik
Sukarno dalam membungkam kebebasan berkesenian. Namun, para seniman idealis
tidak pernah bersedia dihalang-halangi. Cholil mengutip JeremyWallach yang mencatat para musisi populer yang tak mau tunduk dan,
bagaimanapun, tetap melawan pemerintah Orde Baru dengan melancarkan berbagai
kritik sosial, seperti John Tobing dengan lagu “Darah Juang” atau grup musik
Swami yang digawangi Iwan Fals dengan “Bento” dan “Bongkar”.
Pasca-1998, intensi
para musisi untuk terlibat dalam politik tampak semakin jelas. Beberapa
kelompok musik seperti Navicula, Seringai, Koil, Homicide,
Superman
is Dead, The
Brandals, Jogja
Hip Hop Foundation, dan Efek Rumah Kaca berpusar
dalam semangat yang serupa. Ia menyebutkan, pada aksi Kamisan pun, musik dan
penampilnya turut meningkatkan dukungan publik.
Musik pun menjadi
terapi dan medium penyemangat bagi korban ketidakadilan dan penindasan. Paduan
Suara Dialita, yang beranggotakan para ibu eks-tahanan politik atau kerabat
dari mereka yang pernah ditahan ataupun terkena dampak pembantaian massal 1965,
merilis album Dunia Milik Kita (2016)
untuk mengawetkan ingatan kolektif mereka tentang peristiwa yang melukai hati,
didukung oleh para musisi muda seperti Sisir Tanah dan Frau.
Bergerak ke ranah
seni rupa, Alia Swastika bercerita dalam “Dari Penyadaran ke Pengarusutamaan”
tentang bagaimana Moelyono, seniman penggerak praktik “seni aktivisme”. Jika
Lekra umumnya menyebut praktik mendekat ke masyarakat sebagai “turba” atau
turun ke bawah, Mulyono menyebutnya “hidup bersama rakyat”. Ia merapat ke
jaringan aktivis bawah tanah dan kelompok aktivis pembela buruh. Ia pun
terlibat dengan Komunitas Papua, membicarakan tentang genealogi praktik
penindasan di Papua, dan mendampingi performans yang secara kolektif
menampilkan keprihatinan atas situasi di Papua lewat mengoleksi kaki dengan
bubuk emas.
Dalam perkara
teater, untuk menghadapi rezim Soeharto, para seniman telah lumrah berkesenian
lewat teater rakyat yang kerap dibandingkan dengan teater kaum tertindas
Augusto Boal yang berorientasi pada perubahan situasi masyarakat terpinggir.
Dalam peristiwa pementasan Teater Rakyat, penonton melatih diri untuk bergerak
dalam tindakan nyata. Seniman bergerak sebagai fasilitator yang membantu menginisiasinya dan menemani masyarakat untuk menyiapkan segala
kebutuhan. Joned Suryatmoko memaparkan bagaimana ia terlibat dalam model teater
rakyat ini, misalnya, dengan pentas di atas bus kota yang berkeliling Yogya, ataupun menghadirkan teater di mal dan bertukar
cerita dengan para pengunjung.
Lain lagi cerita
Arsitek Komunitas (Arkom) Makassar. Sejak 2010, mereka memetakan persoalan
ruang dan mencari solusi arsitektur bersama. Gerakan partisipatoris ini
dilakukan dengan mengumpulkan faktor historis, ekonomi, serta keluarga dan
budaya yang menjadi alasan utama warga kampung kota menetap, bertahan hidup,
dan mempertahankan imajinasi mereka. Sedangkan, warga kampung yang tinggal di
kota kerap bersaing satu sama lain, nilai-nilai kebersamaan ditukar dengan nilai-nilai
yang didasarkan pada transaksi untung-rugi. Dari pemahaman inilah, Muhammad
Cora menyebut dalam artikelnya “Rekonstruksi Kedaulatan Pengetahuan Ruang Hidup
Warga Kampung Kota Makassar” upaya-upaya Arkom dalam menggali akar kuat
pengetahuan empiris warga kampung di perkotaan terkait dengan penataan
arsitektural di daerah asalnya. Dengan ingatan kolektif ini, mereka berupaya
membangun imajinasi tentang ruang masa depan.
Kepada Siapa Buku Ini Ditujukan?
Sepintas, kita akan terkecoh, menyangka buku ini sama dengan
buku seni eksklusif pada umumnya yang hadir dengan tampilan collectible hanya bagi kalangan
menengah atas yang mendaku pencinta seni. Dengan wujud buku setebal 237
halaman, penataan tipografi dan tata letak artistik—perpaduan palet warna tanah
dengan jenis huruf yang ramah bagi mata, serta sampul keras bertekstur belahan
batang pohon, dan harga yang lumayan (meski memperoleh pendanaan dari Yayasan
Kelola dengan dukungan Kedutaan Besar Denmark di Indonesia, versi fisik buku
ini dibandrol seharga Rp150.000), ia akan tampak sebagai buku yang terlalu
mewah untuk mengusung tema aktivisme dan gerakan progresif. Anggapan ini lumrah
karena gagasan aktivisme kerap dan umumnya datang dalam wujud cetakan stensilan
dan zine komunitas, lantaran cetakan semacam ini terjangkau banyak kalangan.
Namun begitu, terlepas dari tampilan rilis fisiknya, materi buku ini dapat
diperoleh secara cuma-cuma karena berlisensi publik creative
commons atribusi-berbagiserupa (CC BY-SA).
Sementara
itu, gaya bahasa buku ini menghadirkan
pertanyaan serupa tentang kepada siapa buku ini ditujukan. Dengan mengutip beberapa pemikir dan
istilah-istilah yang ditransliterasikan begitu saja, misal, penggunaan istilah “estetiko” yang
tentu memiliki makna sangat spesifik, menjadikan buku ini, bagaimanapun, cukup berat untuk dinikmati oleh
kalangan awam. Padahal, di luar beberapa upaya berkesenian oleh
para seniman yang dikutip di atas—yang hadir dengan peristilahan sangat spesifik pada bidangnya
masing-masing, buku ini menawarkan
perspektif dan juga pengalaman nyata yang begitu kaya tentang bagaimana seni
hidup di tengah masyarakat, dan kesadaran kolektif yang terbangun berkat seni
dapat menjadi senjata yang begitu tangguh untuk menghadapi persoalan-persoalan
kita hari ini. Ini
menjadikan buku ini perlu dibaca masyarakat awam sekalipun.
Kita yang bukan
seniman akan tetap nyaman membaca kisah Morika Tetelepta tentang segregasi
ruang di kota Ambon dan bagaimana aktivisme Paparisa Ambon Bergerak
menjembatani persoalan ini. Mereka berupaya menyembuhkan luka kekerasan masa
lalu lewat aksi jalan kaki bersama melintasi lorong-lorong permukiman kota yang
tersekat-sekat akibat konflik.
Manuel Alberto
Maia, sosok muda lainnya, bergerak dalam ranah film untuk mengungkapkan
keresahannya tentang bagaimana wilayah timur digambarkan secara eksotis lewat
film-film yang diproduksi belakangan ini oleh industri film arus utama.
Berangkat dari pengalaman Komunitas Film Kupang, ia menuturkan proses kerja
bersama dalam mengelola kolektivismenya membangkitkan semangat budaya menonton,
memproduksi tontonan alternatif, dan membangun
infrastruktur film yang berupaya memberi warna baru bagi ruang sinema
Indonesia.
Hikmat
Darmawan,
pemerhati komik, mencatatkan gerakan komik Islami dan membincangkan dimensi
politik identitas keagamaan dalam komik-komik itu. Buruh Migran Indonesia (BMI) di Hong Kong yang
memilih meluangkan waktunya dalam Klub Baca Selepas Kerja ataupun BMI di
Singapura dengan Voice of Singapore’s Invincible Hands, mereka mencoba memahami
bagaimana sastra dapat meneduhkan hidup dan menjadi jalan penyaluran narasi
kehidupan rantau mereka. Betapa interaksi antara para buruh migran ini penting
dalam membentuk pengetahuan dan nasionalisme, sebagaimana dituturkan dalam
artikel Asri Saraswati. Juga,
ada Erni Aladjai yang mencurahkan perhatiannya pada ingatan kolektif masyarakat
dalam suatu tradisi bernama Paupe,
seni melantunkan petuah di kalangan masyarakat Banggai untuk menyampaikan
kritik sosial, dan
bagaimana tradisi ini coba dipertahankan. {*}
No comments:
Post a Comment