Demokrasi pengetahuan di kalangan dunia Selatan
menghendaki pengetahuan berkembang dari, oleh, dan untuk Selatan.
“Kekeliruan untuk
tidak mengambil teknologi tercanggih yang ada telah banyak merugikan sebagian
negara sosialis; kerugiannya dalam hal pembangunan dan persaingan di pasar
dunia.”
Tokoh
revolusioner Kuba, Che Guevara, menekankan bahwa mengambil pengetahuan dan
teknologi dari negara di luar Kuba adalah suatu keniscayaan. Namun, sebelum
itu, ia mengajukan sederet prioritas untuk meningkatkan kemampuan sumber daya
manusia di negaranya.
Pendidikan,
karena ia pandang sebagai kunci utama kemajuan, menjadi mandat gerakan
revolusionernya. Hanya dalam waktu singkat setelah Kuba ditinggalkan oleh
banyak orang terpintarnya, bagai suatu eksodus besar-besaran “para pengkhianat
revolusi”, Che tidak ambil pusing dan mulai melatih orang-orang yang tersisa
dan bersedia bertahan demi revolusi yang dibayangkannya. Ia menganjurkan
kelas-kelas peningkatan kemampuan dan memberikan tes untuk mengukur kinerja buat
peningkatan produktivitas.
Che sendiri,
konon, menyiapkan papan tulis dan penghapus, dan meminta profesor matematika
Universitas Havana, Salvador Vilaseca, untuk mengajarinya aljabar,
trigonometri, geometri analitis, dan kalkulus diferensial untuk mempersiapkan
diri sebagai Presiden BNC. “Ketika revolusi menempatkanmu pada sebuah jabatan, satu-satunya yang bisa
diperbuat adalah menerimanya, belajar, dan bekerja sebagaimana harusnya,”
katanya.
Keresahan yang
dialami di masa Che tentang teknologi tercanggih itu kembali terjadi pada
hari-hari ini, terutama saat gagasan tentang kemajuan dan pembangunan bergerak
di luar kendali kita.
Dengan kesadaran
bahwa selama ini pengetahuan dan teknologi masih mengacu pada para pemikir
negeri Barat, konon kita perlu mengoreksi pemahaman kita tentang kebangsaan dan
standar-standar berbangsa. Apakah Jakarta benar membutuhkan kemajuan seperti
yang sekarang terjadi? Dan apakah Papua, tempat terjauh di Indonesia dari skala
Jakarta, perlu meniru jejak pembangunan Jakarta demi modernitas? Akan tetapi,
modernitas itu sebenarnya apa?
Ataukah kita
perlu mengartikan dan
mengukur kembali kesiapan
menghadapi modernitas?
Atas soal-soal
itu, kajian pascakolonial yang berkembang saat ini kembali berusaha mempertanyakan
asumsi-asumsi mendasar kita tentang modernitas—yang sebagian besar berasal dari
pengetahuan Barat, termasuk gagasan kita seputar kemajuan dan pembangunan.
Sejalan dengan
itu, para pengkaji pascakolonial memegang asumsi bahwa kita mesti menggali
etika kehidupan bersama yang bersifat non-Eurosentris, non-korporat, dan
mengedepankan kekuatan pengetahuan Timur.
Wacana Global
South dan semangat South-South Cooperation membuka
kesempatan bagi berbagai negara pascakolonial untuk mengkaji masalah-masalah
modernitas itu. Dua istilah terkini ini pula yang dipakai para pengkaji
pascakolonial untuk menekankan rasa solidaritas di tengah masyarakat dari
negara-negara bekas jajahan dan di bawah situasi ekonomi yang terhimpit
perkembangan kapitalisme global.
Istilah global south ini tidak digunakan dengan
pemahaman geografis, tetapi lebih pada upaya penguatan negara-negara di “Selatan
global”, meski negara-negara yang termasuk dalam daftar ini
terletak di belahan bumi Selatan. South-south
Cooperation memungkinkan berbagai negara di bawah payung Selatan global
untuk menggali pengetahuannya sendiri—sebagai suatu upaya “dekolonisasi
pengetahuan”. Dengan pengetahuan dari diri sendiri itulah mereka menentukan
arah perkembangan bangsanya dan bermodalkan ini, bila menggunakan contoh di
awal, kita akan dapat menentukan modernitas versi Papua, bukan Jakarta.
Dengan pendekatan
South-South Cooperation, kita perlu menelaah
klaim eurosentris tentang universalitas—kecenderungan kita memeluk pemahaman bahwa standar baik adalah tunggal sehingga membuat budaya menjadi homogen ditentukan oleh standar Barat. Di satu sisi, kita perlu pula membongkar mitos tentang perspektif yang
berfokus pada partikularisme global dan relativisme kultural, bahwa jalan yang
dipakai untuk melawan penyeragaman budaya adalah dengan menutup rapat-rapat pintu rumah kita dari kebudayaan
asing. Menurut forum
ini, bagaimanapun, klaim-klaim oposisi biner ini bertahan membuat
negara-negara di luar Eropa tetap “menggunakan perspektif Barat dalam
menyelesaikan persoalan-persoalan Timur”.
Forum Goethe
Insititut Indonesien Jakarta
mengetengahkan perdebatan
tentang sudut pandang pascakolonial ini—kendati ironis karena tempat penyelenggara diskusi
dengan tema ini bukan pusat kebudayaan negara-negara yang masuk dalam daftar South-south Cooperation. Forum mengajak
para pemikir di bidang ini untuk menelaah proses “dekolonisasi pengetahuan”
dengan menyoroti bagaimana pengetahuan Barat masih ditiru, bertahan, dan
dipakai untuk memarginalisasikan non-Barat, dan karenanya praktik-praktik ini
perlu dikritisi.
Forum terbuka bertajuk “Perspektif Pasca-kolonial dari Belahan Selatan
Dunia” ini mempertemukan para kurator, sosiolog, dan sejarawan dari Amerika Selatan,
Afrika, Asia Selatan, dan Asia Tenggara. Pada hari pertama, 24 Januari 2019,
hadir Chua Beng Huat (Singapura) yang membahas tentang perspektif pascakolonial
di Asia Tenggara dan Divya Dwivedi (India) dengan perspektif dari Asia Selatan.
Pada hari berikutnya, 25 Januari 2019, agenda diisi oleh Gabi Ngcobo (Afrika
Selatan) untuk membahas perspektif pascakolonial di Afrika dan Laymert Garcia
dos Santos (Brazil) dari Amerika Selatan.
Pada panel
pertama, Chua Beng Huat, profesor Departemen Sosiologi National University of
Singapore, membicarakan tentang betapa langkanya tulisan-tulisan terkait
pemikiran pascakolonial dari wilayah Asia Tenggara. Pendekatan yang dipakai
ketika membahas pascakolonial di Singapura umumnya berasal dari Asia Selatan—lantaran
masyarakat Singapura memang terdiri atas masyarakat etnis yang majemuk—dengan
pembahasannya mengenai pendudukan imperium Inggris di India. Padahal, soal-soal
pembangunan, perbedaan pendapatan, hingga kapitalisme global menjadi soal
genting sehingga perlu dibahas dalam literatur-literatur tentang
pascakolonialisme di Asia Tenggara hari ini. Namun, ironi ini dijawab sendiri
olehnya, karena menurutnya sejak 1970, bahkan tampaknya sekadar pembahasan
tentang kapitalisme global di Singapura saja tidak begitu dianggap urgen.
Andi Achdian,
redaktur pelaksana Jurnal Sejarah Indonesia, sependapat dengan Chua Beng
mengenai terbatasnya sumber-sumber kritis yang membahas keadaan negara-negara
di Asia Tenggara pascakolonial. Ia menyampaikan kesamaan sejarah yang dialami
oleh Indonesia dengan negara-negara lain di Asia Tenggara. Utamanya ia membahas
tentang rezim Orde Baru yang mewarisi ideologi konservatif dan pendekatan
sejarah yang berpusat pada pengetahuan kolonial Belanda dan hal ini dipakai dalam
tradisi penulisan sejarah di Indonesia. Pendekatan konservatif dan tidak
kreatif dalam penulisan sejarah semacam ini, menurut Andi, barulah menemukan
lawannya ketika Onghokham menghadirkan metode penulisan sejarah yang menekankan
ideologi individual atas sejarah. Metode dilakukan dengan menghadirkan
tulisan-tulisan progresif yang menantang narasi sejarah yang telah mapan, dan
karenanya, ini menjadikan Onghokham sejarawan yang kuat dalam melawan penindasan
rezim Orde Baru.
Hilmar Farid,
sejarawan dan Direktur Jenderal Kebudayaan Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan, melanjutkan dengan menekankan perlunya alternatif dari cara kita
memandang masyarakat. Menurutnya, masyarakat Indonesia perlu mencari akar
persoalan sebelum melancarkan kritik pada model pembangunan kapitalis. Saat
ini, kesalahan utama orang-orang kiri ialah bahwa mereka cenderung gagap
membaca masyarakat, dan karenanya gagal untuk melakukan perubahan sosial yang
berarti. Untuk menemukan alternatif dari hal ini, misalnya, ia menyebut betapa
kuatnya karya-karya PramoedyaAnanta Toer dalam
membongkar mitos masyarakat dan mematahkan pengaruh perspektif Belanda bagi
Indonesia.
Karena itu,
menurut Hilmar, kita perlu untuk melakukan dua perkara. Pertama yakni mendiskusikan kembali para pemikir Indonesia, seperti,
ia sebut, Ki Ageng Suryomentaram, ataupun upaya-upaya serius lainnya dalam
menemukan cara berpikir masyarakat Indonesia, lewat pertemuan-pertemuan pada
masyarakat skala lokal dan menyerap energi intelektual dari penduduk setempat.
Kumpulan dari interaksi dengan masyarakat ini, dan penggalian atas pengetahuan
para pemikir terdahulu, lantas dapat dikompilasikan menjadi semacam sejarah
intelektual bangsa.
Panel dilanjutkan
dengan pemaparan dari sudut pandang pascakolonial dari Asia Selatan. Divya
Dwivedi, filsuf dari India Institute of Technology Delhi menjelaskan teorinya
tentang “calypsology”, suatu terma
yang dirujuknya dari epik Yunani Odyssey
yang bertemu Calypso, sosok gadis cantik dalam mitologi Yunani yang tinggal di
Pulau Ogygia, tempat di mana Odysseus ditahan selama tujuh tahun. Merujuk pada
kisah dalam epik ini, ia memaknai istilah Calypsology
sebagai penjelasan tentang kondisi di wilayah pascakolonial ketika
masyarakatnya memiliki suatu kehendak “melupakan” dalam upaya untuk
“mengingat”. Istilah ini dipakai Divya untuk menjelaskan keterkurungan
masyarakat bekas jajahan oleh penjajahnya, dan bagaimana upaya melepaskan diri
dari kolonial akan mengandaikan masyarakat perlu “melupakan” sejarah kelam
penjajahan untuk “mengingat” jati dirinya.
Baginya, suatu cara
berpikir sebagai masyarakat pascakolonial akan berkembang setelah masyarakat
melupakan persoalan yang pernah dihadapinya di masa penjajahan. Lantas, apabila
setelahnya masyarakat dapat menjadi agen yang aktif atas penceritaan tentang
daerahnya, kendati narasi-narasi itu akan tetap memuat karakteristik terkait keteraturan
dan sistematika pemikiran yang telah dipupuk oleh pendudukan kolonial.
Divya lantas mengkritik
tajam para pemikir pascakolonial di India yang sebelumnya telah membawakan
konsep tentang subaltern, seperti
Homi Bhabha dan Gayatri Spivak. Teori-teori subaltern yang dikembangkan mereka memfokuskan perhatian
pada kalangan marginal dari sudut pandang hegemoni budaya. Menurutnya, konsep subaltern dikembangkan oleh kaum pemikir elitis yang bersepaham
dengan gagasan Barat dan tidak memiliki kedekatan dengan gagasan pendekatan
pascakolonial dengan perspektif Marxisme tentang kelas, atau pendedahan secara
ekonomi-politik. Itulah,
menurutnya, yang menjadi sebab mengapa kajian subaltern mengetengahkan isu-isu
yang terbatas pada kajian identitas dan tidak membongkar lebih jauh tentang
ketimpangan ekonomi di tengah masyarakat ataupun berdasarkan persoalan kelas.
Soal kelas ini,
Divya menyinggung sistem kasta di India yang menempatkan kalangan pariah ke
dalam strata paling rendah dan ini bahkan berlanjut pada masa kolonial dan
setelahnya. Hadirnya kolonialisme di India, rupanya, tidak berhasil untuk
mematahkan sistem kasta itu dan justru memperkuatnya. Oleh karena itu, ia
merasa perlu untuk menciptakan narasi-narasi baru, terutama sebagaimana yang
dipropagandakan oleh Mahatma Gandhi, tentang kekuatan suatu bangsa untuk
melepaskan dirinya dari belenggu kolonial ataupun belenggu perbedaan kasta di
tengah masyarakat.
Simon Soon,
sejarawan seni di University of Malaya, dan Manneke Budiman, wakil dekan
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia, menyampaikan tanggapan mereka atas
teori “calypsology” Divya bahwa
konsep identitas individual tidak perlu dilepaskan dari konteks keberagaman dan
pembahasan tentang kelas. Jadi, ia tidak sepenuhnya menyepakati penolakan Divya
terhadap penekanan “identitas” dalam teori-teori subaltern, dan karenanya Simon
mengajukan bahwa pendekatan kolektif atas identitas-identitas berbeda—kemajemukan
masyarakat—diperlukan dalam proses “mengingat” dan “melupakan” yang diajukan
Divya.
Simon, dengan
mengangkat konteks kepulauan yang didiami oleh masyarakat Asia Tenggara,
menekankan bahwa tidak perlu ada proses isolasi dalam menghasilkan suatu cara
berpikir alternatif di kalangan masyarakat untuk menghadapi globalisasi.
Terkait istilah calypsology
oleh Divya, Manneke merespons dengan mengambil contoh sejarah Indonesia dalam
menjelaskan tiga persoalan: pertama
adalah polemik kebudayaan yang mengangkat arah kebudayaan Indonesia antara
Sutan Takdir Alisjahbana dan Sanusi Pane, kedua
adalah upaya generasi muda pada 1928 melepaskan dirinya dari kolonialisme
dengan menyatakan sumpah pemuda, dan ketiga
surat pernyataan kepercayaan gelanggang yang dicanangkan oleh para seniman muda
dengan menyatakan dirinya sebagai “pewaris kebudayaan dunia”. Dengan ketiga
contoh peristiwa sejarah ini, ia hendak menekankan bahwa proses “mengingat” dan
“melupakan” berlaku sangat cair dalam mencetak babak-babak terpenting sejarah. {*}
No comments:
Post a Comment