Monash University meluncurkan koleksi digital Sin Po Ekelijksche Editie. Ini adalah jalan awal bagi penelusuran lebih lanjut atas media Indonesia-Tionghoa terbesar pada masanya.
Pers
Indonesia-Tionghoa lahir lewat surat kabar Li Po pada 1901 di Sukabumi.[1]
Surat kabar ini terbit mingguan dan banyak mengabarkan perihal kegiatan sekolah
Tionghoa, Tiong Hoa Hwe Koan (THHK).
Sebelum Perang
Dunia II, selain Li Po yang
berorientasi pada dunia pendidikan, terbit pula surat kabar yang menaungi
kebutuhan kalangan Tionghoa dalam urusan niaga. Ketika itu, kebanyakan orang
Tionghoa di Jawa menjadi pedagang perantara dan eceran bermodal kecil sehingga
terbit Kabar Perniagaan.
Pemegang surat
kabar Perniagaan ini adalah para
opsir Tionghoa yang berpandangan kolot. Kebanyakan dari mereka tidak bersimpati
terhadap ajaran Sun Yat Sen, penggerak nasionalisme dan revolusi Tiongkok, dan berselisih dengan angkatan muda yang
revolusioner.
Perniagaan bahkan tidak menyokong pergerakan nasional
Indonesia sehingga kerap dicap sebagai surat kabar yang pro-Belanda. Pada 1917,
Perniagaan mendukung rencana
partisipasi tokoh-tokoh Tionghoa menjadi anggota parlemen Belanda dalam
Volksraad (Dewan Rakyat
Hindia Belanda) dan Indie
Weerbaar (barisan
pertahanan Hindia) yang
mewajibkan warga Tionghoa mengikuti milisi tentara kolonial Belanda.
Orientasi politik
Perniagaan ini banyak mendapat kritik
dari Sin Po, yang baru berdiri pada 1
Oktober 1910, menjelang Revolusi Xin Hai 1911, revolusi yang dipimpin Sun Yat
Sen dan banyak memengaruhi pemikiran para Tionghoa perantau sekalipun.
Surat Kabarnya Kelompok Nasionalis Tionghoa
Sin Po (makna: Surat Kabar Baru) hadir
dengan orientasi pada nasionalisme Tiongkok, di bawah pimpinan Lauw Giok Lan
dan Yoe Sin Gie. Lauw Giok Lan pernah bekerja untuk surat kabar Perniagaan dan tanpa persetujuan
atasannya, ia menerbitkan Sin Po.
Surat kabar ini lantas
menjadi saingan terbesar bagi surat kabar Perniagaan.
Sin Po mendukung gagasan Revolusi Xin
Hai sekaligus anti-imperialisme, dan mengaitkannya dengan upaya membantu
perjuangan Indonesia merdeka.[2]
Dua tahun setelah
berdiri, Sin Po mulai terbit harian
dengan pemimpin redaksi J. R. Razoux Kohr, sementara Lauw Giok Lan
berperan sebagai asisten.
Dalam empat tahun
pertama, Sin Po lantas mengatur
terbitan dengan adanya rubrik tajuk rencana, halaman Hindia Nederland, berita
luar negeri, ruangan pajak, ulasan berita, pojok “Djamblang Kotjok” dan rubrik komik “Put On”.
Setelah
meningkatkan modal, pada 12
Februari 1921, Sin Po menerbitkan edisi
bahasa Tionghoa, Sin Po Chineesche Editie. Edisi bahasa Melayu diperuntukkan bagi golongan peranakan dan edisi Tionghoa
untuk golongan totok. Sejak 1922, Sin Po
juga menerbitkan beberapa harian tambahan: Bin
Seng, versi lebih
murah dari harian Sin Po (1922-1923), Sin Po Oost Java Editie, edisi Jawa Timur yang kelak berubah menjadi Sin Tit Po (Juli
1922), Weekblad Sin Po atau Sin Po Wekelijksche Editie, Sin
Po edisi mingguan (April
1923), dan majalah triwulan berbahasa Belanda De Chineesche Revue (Januari 1927).
Sin Po terbit selama 55 tahun (1910-1965). Selain dua periode pemimpin redaksi,
Lauw Giok Lan dan Kwee Kek Beng, periode kehadiran Ang Yang Goan adalah babak
penting di keredaksian Sin Po. Dalam memoarnya, Memoar Ang Yoan, logo Sin Po
tampil dengan fotonya diikuti subjudul “Tokoh Pers Tionghoa yang Peduli
Pembangunan Bangsa Indonesia”. Ia memang punya peran besar perkembangan surat
kabar ini sejak diajak bergabung oleh Tjoe Bouw San pada 1921.
Ketika Tjoe Bouw
San meninggal pada 1925, Kwee Kek Beng ditunjuk sebagai pemimpin redaksi untuk
menggantikan, sementara Ang Jan Goan memimpin perusahaan. Keduanya memimpin Sin Po 25 tahun lamanya.
Selepas masa pendudukan Jepang (1942-1945), arah Sin Po semakin jelas. Pembaca surat kabar kala itu
terbagi dalam dua golongan, yang sayap kanan dengan Keng Po dan sayap kiri dengan Sin
Po.[3]
Kedua surat kabar ini juga berdiri dengan majalahnya, Pantjawarna milik Sin Po sedangkan Star Weekly milik Keng Po. Surat kabar di luar Jakarta juga terbagi
berdasarkan haluan politiknya, seperti Kuang
Po (Semarang, 1953) berhaluan kanan, Sin
Min dan Trompet Masjarakat
(Surabaya, 1947) berhaluan kiri.
Pada masa
Demokrasi Terpimpin, seturut ketentuan pemerintah terkait integrasi masyarakat keturunan Tionghoa sebagai warga negara
Indonesia berdasarkan asas ius soli, Sin
Po berganti nama menjadi Pantja Warta
di bawah pimpinan Kwa Sien Biauw, lantas menjadi Warta Bhakti di bawah pimpinan Abdul Karim Daeng Patombong (A.
Karim D. P.) dan Tan Hwie Kiat, hingga ditutup pada Oktober 1965 dengan tuduhan
terlibat G30S.
Saking berpengaruhnya Sin Po, terdapat julukan Sinpoisme untuk menggambarkan aliran politik peranakan Tionghoa yang berpedoman “sekali Tionghoa tetap Tionghoa”. Sin Po mendukung setiap gerakan nasionalis bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga secara finansial. Apa yang mendorong gerakan nasionalis ini?
Saking berpengaruhnya Sin Po, terdapat julukan Sinpoisme untuk menggambarkan aliran politik peranakan Tionghoa yang berpedoman “sekali Tionghoa tetap Tionghoa”. Sin Po mendukung setiap gerakan nasionalis bukan hanya dengan kata-kata, melainkan juga secara finansial. Apa yang mendorong gerakan nasionalis ini?