Lewat Roman Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan, kita runut perkara pemberangusan buku ke belakang, dan menggali kembali kekayaan roman Medan yang pernah sengaja dihapuskan dari sejarah oleh rezim kolonial Hindia Belanda karena dianggap melancarkan perlawanan halus terhadap politik rezim kala itu.
Sejak pendirian komisi bacaan rakyat (Commissie voor de Inlansche School en Volkslectuur), pada 1917 pemerintah kolonial Hindia Belanda mulai membatasi peredaran ribuan judul buku di tanah jajahannya. Seorang periset kesusastraan pra-Indonesia dengan fokus penelitian mengenai terbitan sastra Melayu Tionghoa, Claudine Salmon, membikinkan anotasi dari 3.005 judul buku yang diberangus oleh rezim pemerintah kolonial Belanda dalam Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated Bibliography. Sebagian besar karya yang dibatasi ini adalah karangan peranakan Melayu Tionghoa yang dipandang menghasilkan bacaan liar berstandar rendah.
Roman-roman ini terbit di beberapa daerah Indonesia dengan perkembangan
literasi dan modal penerbitan cukup baik, di antaranya di kalangan masyarakat
yang memiliki percetakan sendiri. Pada periode kolonial, kalangan Tionghoa
memiliki cukup privilese untuk menerbitkan karya mereka lewat berbagai penerbit
dan usaha percetakan mereka yang telah mereka miliki sejak paruh akhir abad
ke-18, yang merupakan ekses dari kebutuhan penerbitan karya-karya jurnalistik
mereka. Penerbitan karya roman di Medan pun banyak diinisiasi oleh kalangan
ini.
Koko Hendri Lubis—seorang peneliti sejarah roman Medan—dalam buku
terbarunya Roman
Medan: Sebuah Kota Membangun Harapan (Gramedia Pustaka Utama, rilis
31 Desember 2018) secara spesifik menggali bacaan-bacaan roman terbitan Medan
yang dipandang sebagai karya Melayu Rendah oleh pemerintah kolonial.
Bukunya ini merangkum roman Medan yang terbit pada 1930-1965, meliputi
serial roman dari majalah mingguan, dwimingguan, dan bulanan yang terbit pada
periode itu. Beberapa majalah roman yang terkenal itu adalah Roman Indonesia (Padang,
1939–1940), Loekisan
Poedjangga (Medan, 1939–1942), Roman
Pergaoelan (Bukit Tinggi, 1939–1941), Doenia Pengalaman (Medan,
1938–1941), Perjuangan
Hidup (Bukit Tinggi, 1940), Tjendrawasih
(Medan, 1940–1942), Doenia
Pergerakan (Medan, 1940), Doenia
Pengalaman (Solo, 1938–1941), Goebahan
Maya (Medan, 1939), dan Moestika
Alhambra (Medan, 1941). Roman Medan pernah mengalami masa keemasan
pada periode 1930-1942 dan 1947-1965. Terbitan mereka bersaing dengan buku-buku
bacaan yang dikeluarkan gubernemen—pemerintah kolonial Hindia Belanda—melalui
Balai Pustaka.
Sejumlah karya yang menjadi penghiburan masyarakat terbit dan menghasilkan
oplah baik bagi penerbitan mereka karena pada mulanya, penerbitan roman Medan
belum begitu menjadi perhatian pihak gubernemen. Polemik mulai muncul ketika
menurut pihak gubernemen diperlukan penyikapan terhadap pendapat umum yang
mengatakan roman Medan membantu penyebaran ideologi komunis ataupun
mencantumkan cerita-cerita dengan muatan ideologi politik antikolonialis. Sejak
kecurigaan ini bermula, pihak gubernemen terus berupaya mencari kesalahan
redaksi dari terbitan-terbitan roman Medan ini. Dan karenanya pemolesan cerita
mulai dilakukan oleh para redaksi majalah dan penerbit buku roman Medan ini
demi menghadapi penyaringan ketat yang menjadi prasyarat izin terbit mereka.
Di kemudian waktu, kerepotan redaksional ini ditambah dengan ancaman para
intel dari PID (Politieke Inluchtinge Diens, Dinas Intelijen Politik pemerintah
kolonial Hindia Belanda) yang dengan otoritas mereka menangkap dan menyita
berbagai hal berkaitan dengan penulisan dan penerbitan roman yang tidak sesuai
dengan standar pemerintah kolonial. Selanjutnya, stigma sebagai bacaan buruk
terhadap roman Medan dilancarkan dengan menyatakan bahwa isi karangan mereka
hanyalah mengangkat tema-tema kekerasan dan percintaan cabul, sehingga tentunya
bertentangan dengan kaidah moral masyarakat pada umumnya, dan karenanya patut
diberangus.
Dari momen di atas, kita dapat melihat bagaimana Balai Pustaka didirikan
dengan upaya menghadang laju penerbitan kisah-kisah roman oleh penerbit
partikelir di Medan dan beberapa daerah lain di Hindia Belanda yang digolongkan
sebagai “roman picisan” (stuiver
roman). Lewat Komisi Bacaan Rakyat, D. A. Rinkes menyusun surat
edaran yang menyebutkan kriteria yang berterima oleh komisi tersebut: (1)
netral terhadap persoalan agama; (2) tidak boleh mengandung pandangan politik
yang bertentangan dengan pemerintah; (3) tidak menerima sastra yang bersifat
cabul; (4) karya harus ditulis dalam bahasa Melayu tinggi karena karya tersebut
akan dibawa ke sekolah-sekolah; dan (5) sastra semestinya menerapkan penokohan
yang lazim: karakter hitam-putih. Pemerintah kolonial Belanda terbilang
berhasil menerapkan aturan-aturan itu dan mengasingkan bacaan peranakan Melayu
Tionghoa.
Setelah menerapkan pembatasan, Balai Pustaka mulai memasuki pasar dengan
melansir beberapa terbitan yang tidak lagi dalam bahasa Belanda, tetapi telah
mulai menerapkan bahasa Melayu khas gubernemen, yakni dengan penerbitan Hikayat Pandji Semirang,
Kisah Pelajaran
Abdoellah ke Negeri Djoedah, hingga Hikayat Seriboe Satoe Malam. Mereka
selanjutnya turut campur dalam penyetujuan isi cerita-cerita rakyat Nusantara
yang sengaja dijauhkan dari masalah politik—dan mulai menyeleksi karya-karya
berbahasa Melayu tinggi yang dapat dimasukkan ke dalam daftar karya kanon dan
beredar di sekolah-sekolah.
Di luar perkara ideologis, para pengarang roman Medan sendiri menulis
berdasarkan gambaran kehidupan masyarakat di kota Medan lewat beragam genre dan
gaya. Koko mengambil pendekatan yang berjarak dari pandangan Balai Pustaka
terhadap roman, ia justru mengangkat berbagai kekuatan roman Medan dengan
standar moralnya yang memberikan pembaca suatu kekayaan pengalaman. Dijelaskan
olehnya, roman Medan disukai masyarakat kebanyakan karena penggunaan langgam
bahasanya yang sederhana dan pencuplikan berbagai tema yang terasa dekat, di
antaranya tentang perjuangan hidup, sikap mandiri, dan tanggung jawab dalam keluarga.
Singkatnya, gambaran kehidupan dalam karya roman itu mewakili apa yang
dirasakan benar-benar oleh setiap orang Medan kala itu.
Rata-rata penulis roman ini belajar menulis secara otodidak, karya-karya
awal mereka biasanya terbit di media cetak. Terutama bagi mereka yang bekerja
di media cetak, kebanyakan dari mereka yang berprofesi sebagai wartawan kerap
menggunakan nama pena demi menghindari susupan PID yang berupaya mencari
celah-celah kesalahan mereka.
Pengarang roman Medan yang terkenal dan memperoleh tanggapan baik dari
pembaca ketika itu di antaranya Joesoef Sou’yb, Abdoe’l Xarim M. S., Sjamsudin
Lubis, Surapati, Matu Mona, Emnast (nama pena dari Mochtar Nasution), Meraju
Sukma, A. Damhoeri, Yusdja (nama pena Yusuf Djajad), S. Djarens, Rifai Ali, S.
M. Taufik, Dhalika Tadaus, hingga Narmin Suti—biografi singkat dari nama-nama
ini dipaparkan oleh Koko, sebagaimana Leo Suryadinata memaparkan nama-nama para
prominent Chinese
dalam bukunya.
Selain perincian tentang biografi singkat para penulis, Koko juga mengulas
beberapa penerbit di wilayah Sumatera. Salah satu yang disebutkannya ialah
Penjiaran Ilmoe, yang terbitan pertamanya adalah roman berjudul Student Dokter
karangan Thaher Samad. Dalam perkembangan bisnisnya, penerbit ini mengembangkan
divisi bernama Roman
Pergaoelan yang khusus menerbitkan karya fiksi dari berbagai
pengarang termasuk dalam dan luar Sumatera.
Koko mengambil beberapa terbitan divisi Roman
Pergaoelan dan menceritakan ulang kisah-kisah yang termuat dalam
karya-karya roman Medan tersebut, berbagai jenis tulisan seperti kisah romantis
ataupun tragedi dipaparkannya rinci, tapi Koko tak menjawab satu persoalan: apa
urgensinya membaca kembali roman-roman ini hari ini?
Setelah penjelasan tentang periode 1930-1942 di mana pengarang roman Medan
mengalami pembatasan oleh Balai Pustaka, Koko membawa pembaca pada periode
1947-1965, ketika pengaruh Lekra begitu kuat di ranah kesenian Medan, yang
banyak didukung peran Bakri Siregar sebagai ketua Lekra Sumatera Utara dalam
kebudayaan Sumatera Utara. Dominasi Lekra di ranah kesenian ini mempengaruhi
corak terbitan roman Medan pada periode itu yang lebih mengangkat semangat
persaudaraan dan sosialisme.
Pada Konferensi NasionaI I Lembaga Sastra Lekra yang berlangsung di Gedung
Olahraga, Jalan Bali Medan, banyak seniman Medan yang tertarik dengan kehadiran
para seniman Lekra pusat di antaranya Pramoedya Ananta Toer, Njoto, dan
Soegiarti Siswadi. Namun, artikel Soegiarti berjudul “Literatur Kanak-kanak”
terbit 18 Mei 1963 yang mengecam terbitan buku-buku komik, cerita silat, cerita
detektif, dan cerita spionase sempat membuat panas para seniman Medan.
Selanjutnya, seniman Medan kemudian terbelah ketika Manifesto Kebudayaan
menyatakan pendiriannya pada 1963. Ibrahim Sinik dan Asri Muchtar adalah di antara
seniman Medan yang mendukung manifes kebudayaan.
Murid Bakri Siregar, Bokor Hutasuhut—seorang prosais—pun berhadapan dengan gurunya karena ia menjadi salah seorang
penandatangan Manifes. Dukungan pada manifes kebudayaan ini berlanjut pada
Konferensi Karyawan Pengarang Indonesia pada 1-7 Maret 1964 di Jakarta, dengan
Bokor Hutasuhut menjadi Sekretaris Jenderal penanda tangan Ikrar Pengarang
Indonesia kala itu.
Selain kontestasi antara seniman Lekra dan Manifes kebudayaan, negara yang
sedang menggalang dukungan untuk menghadang kekuatan neo-imperialis juga turut
mempengaruhi penciptaan cerita-cerita roman Medan kala itu. Cerita tentang
Dwikora terselip dalam karya Terbongkarnja
Rahasia di Gg. 13 yang terbit pada masa itu. Sentimen kebangsaan
tergambar tegas dalam karya-karya terbitan periode itu.
Terlepas pembahasan konteks ideologis, pengenalan pada para pengarang dan
penerbit, berbagai redaksi majalah yang menerbitkan roman Medan, serta konteks
historis penerbitan karya yang diikuti oleh sinopsis dari masing-masing cerita
roman Medan unggulan yang merupakan representasi kekaryaan tiap pengarang yang
diulasnya, Koko juga menjabarkan lebih detail tentang kerja-kerja teknis
penerbitan dalam pengadaan kertas, pemilihan tata grafis, hingga penyebaran
roman Medan di tengah masyarakat kala itu.
Meski gaya penuturan Koko dalam buku ini pada banyak bagian terlampau
deskriptif dan meletihkan untuk diikuti, pembahasan buku ini penting sebagai
dokumentasi perkembangan roman Medan pada periode awal republik (pra-kemerdekaan
maupun beberapa dasawarsa setelahnya) kendati tidak lagi berlanjut setelah
peristiwa 1965. Mengenai periode terhentinya penerbitan karya ini per tahun
1965, tentu dapat menjadi satu lokus penelitian tersendiri. {*}
No comments:
Post a Comment