Tulisan ini juga dimuat di Jurnal Ruang
Subjek utama kebudayaan adalah masyarakat. Kebudayaan adalah hal yang cair dan tidak bisa diformalisasikan. Pemajuan bukan semata-mata proteksi.
“Kita hanya punya satu bumi yang
dapat dihuni, di tengah demikian banyak galaksi,” Premana W. Premadi mengingatkan
bahwa saat ini kita telah memasuki masa antroposen. Antroposen, periode geologis ketika manusia dan berbagai
kebudayaannya punya dampak lebih besar bagi bumi daripada yang mereka
bayangkan. Ilmuwan Soviet mulai jamak memakai istilah ini sejak 1960-an untuk mengantisipasi
laju industri jelang periode pasca-Fordisme pada awal 1970.
Hari ini, berbagai protokol perlindungan alam dirilis untuk merespons perubahan
iklim dan kerusakan alam, sementara para peneliti terus dengan penasaran
berupaya mencari tempat lain di luar bumi. Sehari-hari, kita melihat kemajuan teknologi
sekian kali lebih cepat dari apa yang dapat kita bayangkan beberapa dasawarsa
lalu. Dengan kesadaran itu, Premana mengajak
kita mempertanyakan lagi, sejauh apa kita hendak melakukan pemajuan “kebudayaan
manusia”?
Premana memberi
saya bekal pertanyaan itu selama mengikuti rangkaian Kongres Kebudayaan
Indonesia 2018—yang mengusung semangat “pemajuan kebudayaan”. Kuliah umum
bertajuk “Mendedah Antroposen” itu
sendiri adalah salah satu kelas dalam rangkaian kongres.
Saya lantas teringat bagaimana
Sukarno mendukung kemajuan teknologi dengan mengirim anak-anak terbaik bangsa
untuk berkuliah ke beberapa negara dengan ikatan dinas, atau bagaimana para pendiri bangsa menaruh
perhatian di ranah kebudayaan. Sukarno mengoleksi
lukisan-lukisan para maestro seni rupa Indonesia di istana negara, Nyoto demikian
senang bercengkerama dengan para seniman dan mahir memainkan saksofon, D. N.
Aidit menulis sanjak-sanjak indah untuk istrinya. Seandainya mereka ada di
tengah kita hari ini, apakah preferensi dan selera mereka atas hobi itu masih
akan sama? Ketika segala hal kini dengan mudah bisa mereka akses lewat layar,
ketika teknologi bergerak demikian cepatnya.
Kita selalu punya gagasan tersendiri tentang apa arti kebudayaan, bisa
dimaknai secara personal ataupun komunal, juga tentang sejauh mana kita dapat
mengembangkan ataupun memajukannya. Apalagi pada hari-hari ini. Barangkali, itu
pula yang menjadi alasan mengapa gagasan pemajuan kebudayaan perlu dikembangkan
dari masyarakat itu sendiri, sebagai suatu upaya partisipatoris yang melibatkan
kesadaran lebih banyak orang. Seperti halnya warga Kampung Tongkol berinisiatif
menata ulang ruang tinggal mereka demi menghindari penggusuran, atau warga
Kulon Progo mengupayakan sumur renteng untuk menyuburkan lahan pasir pantai
yang kering. Karena, mereka dan hanya mereka yang tahu bagaimana tetap menjaga
alam ketika di saat bersamaan daya karsa mereka mencipta sesuatu yang baru—demi
mendorong maju kebudayaan.
Sejarah Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan
Sepanjang 1985-2015, pembahasan tentang Rancangan Undang-undang Pemajuan
Kebudayaan terus mengemuka di media. Dengan kesadaran tentang pencarian bentuk
identitas keindonesiaan dalam merespons satu per satu kebudayaan lokal yang
terancam tumbang, dengan kerangka besar globalisasi yang menghomogenisasikan
berbagai budaya dalam lingkup mondial, pihak Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada 2017 berhasil mendorong legislasi undang-undang tersebut.
“Negara perlu memberi kompas dan arahan, tetapi rincian strategi itu perlu
dikembangkan sendiri oleh daerah,” tegas Ferdiansyah, wakil Komisi 10 DPR RI,
dalam penjelasannya di kuliah umum “Sejarah UU Pemajuan
Kebudayaan”. Dikatakan olehnya, pembangunan nasional
kita selama ini menjadikan ekonomi sebagai panglima—ini tentu merujuk pada agenda Ali
Moertopo dengan cetak biru dari ekonom Mafia Berkeley; demikian juga penyusunan rencana-rencana
kebudayaan di daerah selama ini tidak dibarengi dengan strategi dari masyarakat
sendiri. Inisiasi UU Pemajuan Kebudayaan, dengan demikian, konon berupaya
menjadikan budaya sebagai panglima—dan yang dimaksudkan sebagai panglima adalah
masyarakat itu sendiri. “Negara seharusnya tidak memosisikan diri sebagai empunya kebudayaan
nasional. Negara seharusnya memainkan peran sebagai pandu masyarakat,” ujar
Ferdiansyah.
Ferdiansyah punya satu kegelisahan: ia menganggap selama ini suara yang
diangkat oleh daerah pada umumnya hanya wacana tentang “local wisdom” tanpa pendalaman apa yang dimaksud sebagai “kearifan
lokal" itu. Seakan-akan, “kearifan lokal" yang dimaksudkan hanya
berupaya untuk melanggengkan suatu kebudayaan, bukan memajukannya. Kini, ia berpendapat, UU Pemajuan
Kebudayaan menjalankan peran itu: mengubah posisi negara dan relasinya dengan
masyarakat dalam upaya pemajuan kebudayaan.
Upaya pendataan kebutuhan pokok
terkait kebudayaan dilakukan langsung oleh masyarakat, beserta strategi
kebudayaan yang memungkinkan untuk mewujudkan resolusi itu, dan negara berperan
untuk menguatkan upaya-upaya di akar rumput itu. Merujuk pada Pasal 32 (1) UUD
1945 bahwa negara mendukung pemajuan kebudayaan, Ferdiansyah, menegaskan mengapa UU No. 5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan diperlukan. Sama seperti Hilmar Farid nantinya dalam sidang pleno KKI 2018 di hari terakhir rangkaian kongres, ia menyebutkan perihal tujuh isu pokok
pemajuan kebudayaan dan strategi yang perlu dilaksanakan untuk merespons
ketujuh isu tersebut.
Kongres Kebudayaan Indonesia 2018: Sebuah Prakarsa Masyarakat
Pada Minggu sore, 10 Desember 2018, dokumen
strategi kebudayaan dan resolusi kongres diserahkan kepada presiden Ir. Jokowi
oleh wakil tim perumus Nungki Kusumastuti dan I Made Bandem. Beberapa jam
sebelumnya, di Ruang Plaza Insan Berprestasi, para anggota tim perumus yang
terdiri dari 17 ahli yang diketuai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir
Effendy, mengadakan sidang pleno untuk memaparkan rumusan strategi kebudayaan.
Sidang pleno ini membahas resolusi
pra-kongres dari tingkat kabupaten/kota yang telah menghasilkan beberapa
dokumen pokokpemikiran kebudayaan daerah (PPKD). Jalan untuk
menghasilkan dokumen mencakup visi pemajuan kebudayaan selama 20 tahun ini
tentu melibatkan upaya yang cukup meletihkan. Kegiatan pra-kongres untuk
menghasilkan PPKD ini, dijelaskan oleh Hilmar Farid, berlangsung lewat 300
pertemuan yang melibatkan 7000 orang. “Ini
adalah strategi yang napasnya adalah prakarsa masyarakat,” ujar Hilmar Farid
dalam sidang.
Kendati bertajuk 100 tahun kongres
kebudayaan, yang diutamakan pada kongres tahun ini bukan soal perayaan satu
abadnya, melainkan bahwa kongres ini tercatat sebagai kongres kebudayaan pertama
yang dilangsungkan setelah undang-undang pemajuan kebudayaan disahkan pada
2017. Senapas dengan undang-undang tersebut, perumusan strategi kebudayaan kali
ini dilakukan dari akar rumput dan diteruskan ke tangan presiden. Dalam kongres
ini, untuk kali pertama, strategi kebudayaan dirumuskan langsung dari tangan
masyarakat, dan memiliki kekuatan hukum melalui penetapan oleh presiden, yang
dapat menjadi dasar penyusunan dokumen-dokumen teknokratik kerja pemerintah
seperti RPJPN, RPJMN, sampai RKP dan RKPD. Untuk kali pertama pula, perspektif
kebudayaan menjadi dasar pembangunan nasional setelah sekian lama negara ini
berada di bawah komando pembangunan ekonomi Orbais ala Ali Moertopo.
Tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan
yang disebutkan dalam sidang pleno, yakni: 1) menguatnya isu identitas
primordial sektarian di tengah masyarakat, 2) modernisasi yang tidak dibarengi
kesiapan masyarakat, 3) disrupsi teknologi informatika di segala bidang—dalam
beberapa tahun, 47% pekerjaan yang dianggap mapan di tengah masyarakat
diramalkan akan hilang, 4) ketimpangan relasi budaya—masyarakat Indonesia
cenderung banyak mengonsumsi hasil budaya dari negara lain (importir
kebudayaan), 5) pembangunan yang mengorbankan ekosistem alam dan budaya—laporan
menunjukkan kegiatan pembangunan di daerah berpengaruh pada ketahanan budaya,
6) tata kelembagaan budaya yang belum optimal, dan 7) desain
kebijakan yang belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaan. Tujuh
agenda strategis pemajuan kebudayaan untuk merespons tujuh isu pokok tersebut
ikut dijabarkan, di antaranya penyediaan ruang yang mendukung kemajemukan
budaya—demi menghindari isu sektarian primordial—dan penyimpanan data pokok
kebudayaan sebagai ruang arsip kebudayaan nasional.
Kongres Kebudayaan 1918: Satu Abad dalam Lembar Sejarah
Beberapa kongres tercatat menjadi
tonggak penting perjalanan sejarah kebangsaan, di antaranya Kongres Boedi
Oetomo 1908, Kongres Pemuda 1926 dan 1928, Kongres Perempuan 1928, Kongres
Pendidikan 1935 dan 1937, serta Kongres Bahasa 1938. Kongres Kebudayaan I,
sebagai tonggak awal kongres kebudayaan, digagas oleh Java Instituut (resmi
berdiri pada 1919 dan bubar pada 1948), berlangsung pada 5-7 Juli 1918 di
Bangsal Kepatihan Keraton Solo dengan R. Sastrowidjono, anggota Boedi Oetomo, ditunjuk
sebagai Ketua Panitia Penyelenggara. Nama resmi kongres ini adalah Congres voor Javaansche Cultuur Ontwikkeling
(Kongres Guna Membahas Pengembangan Kebudayaan Jawa).
Pangeran Prangwadono mengusulkan
pembicaraan kongres mengenai pemajuan kebudayaan Jawa demi menengahi perdebatan
antara Radjiman Wediodiningrat yang bersikeras menekankan kebudayaan Jawa asli
dengan Raden Sastrowidjono yang cenderung mendukung pendidikan pro-Barat. Ini
tampaknya adalah kelanjutan dari perdebatan antara Soetatmo dan Tjipto
Mangoenkoesoemo tentang paham nasionalisme—sebagaimana dicatat oleh Takashi
Shiraishi dalam “The Disputes Between Tjipto Mangoenkoesoemo and Soetatmo
Soeriokoesoemo: Satria vs Pandita”.
Kongres Kebudayaan I ini dapat
dikatakan adalah penentu arah pengembangan kebudayaan bangsa. Kaum elite
terpelajar kala itu mendorong keputusan kongres agar memiliki makna strategis
dan politis. Keputusan Pangeran Prangwadono memilih menyelenggarakan Kongres
Kebudayaan Jawa dan menolak instruksi Batavia—yang berada di bawah instruksi
pemerintah kolonial Hindia Belanda—untuk menyelenggarakan Kongres Bahasa Jawa
adalah salah satu langkah bersejarah. Gagasan kongres yang berlangsung satu
abad lalu ini pun senada dengan gagasan kongres kebudayaan hari ini: upaya
pemajuan kebudayaan.
Literatur dalam KKI 2018
Selain pembahasan utama mengenai upaya pemajuan kebudayaan, beberapa panel
bertajuk literatur dibuka dalam bentuk diskusi seri inspirasi, kuliah umum,
hingga debat publik, di antaranya diskusi inspirasi Jejaring Aksara Nusantara dan Anak Muda bersama Sinta Ridwan. Sinta
dikenal lantaran inisiatifnya menggagas situs Aksakun dan ajakannya belajar #1hari1aksara
demi menguatkan kecintaan generasi muda pada aksara kuna. Kuliah umum Kegamangan Puisi: Antara Bahasa Ibu, Bahasa
Indonesia, dan Bahasa Asing bersama M. Aan Mansyur membahas tentang
bagaimana corak, dialek, dan warna bahasa lokal masih tampak pada beberapa
karya kesusastraan yang ditulis dalam bahasa nasional—menjadi sebuah ajakan
bagi kita untuk membaca lebih tekun karya-karya sastra itu dan menyadari betapa
bahasa daerah, selain
pengaruh bahasa asing sebagaimana dikatakan oleh Remy Sylado, memperkaya bahasa Indonesia, dan kuliah
umum Peningkatan Sastra & Budaya
Daerah: Kasus Naskah dan Panji bersama Wardiman Djojonegoro dengan upayanya
mengajukan naskah cerita panji, cerita rakyat Jawa klasik, sebagai warisan
ingatan kolektif dunia dalam daftar Memory of the World UNESCO.
Sementara panel-panel yang dapat diakses daring dengan tautannya ke video
yang diunggah oleh @budayasaya (akun resmi Direktorat Jenderal Kebudayaan) di
antaranya:
Debat publik Serapan: EksplorasiPengayaan Bahasa Indonesia, mendatangkan dua pembicara—Ivan
Lanin dan Afrizal Malna. Ivan menceritakan pengalamannya mulai menyukai upaya
pemadanan kata dan peristilahan. Penjelasannya melingkupi upayanya dalam melakukan
penyerapan bahasa dengan menggali kosakata daerah ataupun mengupayakan
penerjemahan kosakata asing, sejauh mengikuti kaidah-kaidah penyerapan kosakata.
Lima syarat penyerapan dirincikan oleh Ivan, yakni 1) tepat menggambarkan
konsep dari kata yang dimaksudkan, 2) singkat, 3) memiliki makna konotatif yang
bagus, 4) eufonik, dan 5) seturut urutan vokal dalam bahasa Indonesia.
Sementara itu, Afrizal menjelaskan upayanya menjembatani dua metode yang
dilakukan dalam penyerapan bahasa, yakni 1) yang dilakukan oleh orang yang
berwenang terkait perihal bahasa, dan 2) yang dilakukan oleh masyarakat. Dalam
kaidah linguistik, ia tampaknya mengulik perihal linguistik preskriptif dan
deskriptif dalam upaya menggali kosakata.
Selain soal bahasa, Afrizal lebih lanjut membahas pula perkara literasi
masyarakat yang memungkinkan suatu kosakata tercipta. Ia mencuplik satu periode
di Jepang, Restorasi Meiji, yang dengan radikal mengubah budaya bangsa mereka;
dan dengan contoh itu, ia mempertanyakan bagaimana masyarakat Indonesia hari
ini telah melompati satu prosedur, yakni bergerak dari tradisi lisan ke tradisi
digital—tanpa melalui tradisi tulisan sebagai prosedur yang seharusnya
dilewati. Poin yang perlu dicatat berikutnya adalah Ivan yang membahas frekuensi
dan kecepatan sebuah lema baru dipergunakan di tengah masyarakat—bagaimana lema
lini masa untuk terjemahan lema timeline jamak dipergunakan begitu
diperkenalkan oleh Hasan Aspahani sementara lema mangkus yang bermakna efisien
tidak banyak dipakai.
Mungkinkah sejarah coba digali melalui
surat-menyurat? Bonnie Triyana menceritakan bagaimana ia terpikir untuk mengadakan
pameran dokumen ego para pendiri bangsa berupa surat-surat, ataupun buku harian
para tahanan politik 1965 dalam kuliah umum Dokumen Ego sebagai SumberPenulisan Sejarah. Istilah “dokumen ego” kali pertama
diperkenalkan oleh sejarawan Belanda, Jacques Presser. Ia menjelaskan tentang bagaimana dokumen personal atau
pribadi dapat dipergunakan sebagai sumber penulisan sejarah yang lebih intim.
Tentunya, dengan dibarengi sikap skeptis peneliti yang mesti melakukan
verifikasi atas dokumen ego tersebut.
Bonnie memaparkan beberapa sumber dokumen ego para pendiri bangsa, di
antaranya surat-menyurat Hatta dengan Roestam Effendi terkait Polemik
Trotskyisme di Indonesia lantaran Roestam menuding Hatta sebagai Trotskyis dan
kolaborator Jepang, dokumen surat-menyurat Hatta dengan Johannes Eduard Post
yang menyuplainya buku-buku bacaan ke pengasingannya di Banda Neira, ataupun surat Sjahrir dari Boeven Digoel tentang
kesepiannya kepada istrinya Maria Duchateau di Belanda, serta buku harian
tahanan politik 1965.
Isu literasi, ketersediaan bacaan di berbagai wilayah Indonesia, dan
terutama perihal kapasitas masyarakat hari ini dalam mengakses literasi digital
kembali dibahas dalam forum. Debat publik Literasi Digital: KebudayaanHari Ini dan Esok, mengundang Roy Thaniago dan Shafiq Pontoh. Roy
memulai bahasannya dengan mengulik soal literasi media, tentang perlunya akses masyarakat
untuk mengevaluasi pesan media. Dengan memahami itu, maka masyarakat akan
memahami bagaimana literasi dalam konteks digital bekerja.
Di ranah digital, ekosistem media dengan logika algoritma tertentu membentuk
cara masyarakat mengakses media. Informasi yang kita terima bergantung pada
algoritma yang mencatat preferensi kita. Kerap kali, algoritma dihitung
berdasarkan jejaring pertemanan, alih-alih hal-hal yang difavoritkan. Dengan
demikian, melanjutkan Roy, menurut Shafiq berliterasi digital berarti seseorang
perlu menentukan sendiri algoritma media sosialnya dengan memperkuat jejaring pertemanannya begitu pula preferensinya.
Pada era digital ini, seseorang perlu bersikap otonom dalam bermedia. Roy lebih
menyepakati bila masyarakat dapat dengan sendirinya bersikap kritis sehingga
tidak melulu bergantung pada otoritas pendapat tertentu di media. Ia juga
menekankan pentingnya ruang untuk perjumpaan dengan yang berbeda—dan media massa semestinya dapat menjadi ruang
imajiner untuk mempertemukan beragam perbedaan ini. Meski, sayangnya, ia menyebut, media sudah telanjur kerap dikooptasi kepentingan
politik. Menurutnya, banyak isu penting dan krusial yang tidak mendapat tempat
semestinya—karena itu, kesadaran berliterasi menempatkan pentingnya menghadirkan
agenda-agenda masyarakat. Di sini, bersamaan dengan masyarakat yang telah dapat
otonom dalam bermedia, termasuk pula menghadapi kabar hoaks, negara tetap dilihat
perlu berperan mengevaluasi media.
Debat publik Kanon Sastra Indonesia:Perlukah? menghadirkan Faruk HT, Zen Hae, Esha Tegar Putra, Jamal
D. Rahman, dan Saut Situmorang. Tidak seperti yang dibayangkan umum, bahwa akan
terjadi perdebatan sengit paling tidak antara Saut dan Jamal—dengan kasus 33
tokoh sastra, di mana nama Denny JA menyempil dalam sebuah upaya kanon—acara
ini berlangsung jauh panggang dari api: adem ayem saja. Beberapa hari setelah
acara ini dilangsungkan, media sosial ramai dengan kritik tentang bagaimana
“debat publik” tampak telah dirancang sebagai “tempat pengumuman proses kanon
yang sudah berjalan”.
Faruk HT menjelaskan beberapa soal seputar sastra dan sastrawan hari ini
yang membuat kita memerlukan “bacaan baru” di sekolah-sekolah, Zen Hae
memerikan bagaimana ia terlibat dalam penyusunan karya kanon yang akan masuk ke
sekolah-sekolah, yang kemudian disentil oleh Saut dengan pernyataan bahwa: “kritik
terhadap kanon sastra mempertanyakan kedahsyatan karya sastra yang dipilih,
apakah itu sudah dipenuhi?”
Setelahnya, Saut membacakan esai lawasnya “PolitikKanonisasi Sastra” dengan menambahkan pembahasan kasus pencatutan
nama Denny JA dalam kanonisasi sastra beberapa tahun silam. Sementara, Jamal D.
Rahman menekankan bahwa setiap orang telah membawa kerangka kanonik tersendiri,
dan karenanya kontroversi dan bias akan selalu mengemuka dalam penentuan kanon
sastra. Esha Tegar Putra membahas perihal kanon dengan lebih taktis lewat
ajakannya untuk menengok kesusastraan pra-Indonesia, seperti yang dilakukan
Pramoedya Ananta Toer saat menerbitkan bukunya Tempo Doeloe—tentang upaya untuk mengangkat tema-tema nasionalisme
dalam penyusunan kanon sastra Indonesia. Dalam ulasan yang disiapkannya untuk
acara ini, Esha juga membahas secara detail tentang pengaruh para pelaku sastra Minang terhadap
preferensi terbitan Balai Pustaka yang menerbitkan karya-karya kanon sastra
Indonesia.
Selain panel-panel diskusi, KKI 2018 juga mengundang Afrizal Malna dan
Ugeng T. Moetidjo untuk kurasi pameran bertajuk literatur. Pameran ini mengusung
tema “Suara-suara Bahasa”. Mendengar dua nama ini, kita tentu punya bayangan
sejauh apa mereka akan bereksperimen dengan bahasa dan rupa. Afrizal pernah
menampilkan puisi-puisi HTML-nya dalam Berlin
Proposal, atau mempertunjukkan Mesin Heidegger seperti yang
dipresentasikannya di Teater Kecil TIM tempo lalu, dan Ugeng bereksperimen
dengan permainan rupa dalam kertas pada pamerannya di Galerikertas Studiohanafi.
Dua maestro ini mewujudkan beberapa panel arsip plus instalasi untuk
mengungkit memori dan pemaknaan kita atas bahasa. Arsip-arsip diambil dari
dokumen PDS HB Jassin, di antaranya surat Manifes Kebudayaan, arsip proses
penulisan Merahnya Merah oleh Iwan Simatupang, terlihat beberapa kutipan filsuf
eksistensialis seperti Jaspers dan Sartre serta fenomenolog Merleau-Ponty—nama-nama
yang rupanya punya pengaruh bagi sastrawan kita pada dasawarsa ’60-an.
Selebihnya, adalah arsip suara dari beberapa daerah—sesuatu yang membuat
selintas kita teringat pada Walter J. Ong dan teori-teorinya tentang sastra
lisan, prasasti yang membuat kita bertanya-tanya bagaimana orang zaman dulu
membaca “perintah raja” yang tertulis pada prasasti itu, perdebatan tentang
bahasa nasional yang terjadi di antara para sastrawan lelaki tersohor, dan yang
cukup mengejutkan adalah kehadiran dokumen ilustrasi Gedung Teater Sandiwara
Sunda Miss Tjijih.
Apa kaitannya gedung ini dengan perjalanan bahasa kita? Pegiat sandiwara
ini telah beberapa kali berpindah pentas di sekian gedung. Kali terakhir, yang
saya sambangi dalam satu pertunjukan teaternya, mereka melakukan pentas di
wilayah Cempaka Putih. Kita tahu bahwa sandiwara Miss Tjijih menginspirasi
cerita Si Manis Jembatan Ancol atau
cerita-cerita horor film yang diperankan Suzanna, tetapi kehadiran arsip ini di
tengah-tengah tajuk pameran ini tampaknya tak punya benang merah yang kuat—jika
dan hanya jika tidak didukung caption yang
memadai—untuk
menjelaskan bahwa sandiwara ini merupakan bagian dari tradisi lisan (?). Meski, yang paling janggal adalah
menemukan beberapa “perahu bahasa” dipajang begitu saja sebagai sebuah panel pameran yang menampilkan sobekan-sobekan
peta dari buku atlas yang dilipat seumpama perahu, dan diberikan penjelasan
sederhana yang
kira-kira berbunyi “bahasa di
Nusantara ini berkembang dari pulau ke pulau dengan bantuan perahu”. Hanya itu?
Saya, tentu saja, berharap lebih, mungkin bila
ada cukup waktu, bisa ada panel berupa kelindan arsip yang dikawankan dengan beberapa
tilikan terhadap riset-riset seri buku linguistik terbitan ILDEP?
Setelah KKI 2018,
Lalu Apa dan Siapa?
Sehari setelah KKI 2018, untuk
memenuhi aspirasi yang mengemuka dalam sidang panel kongres, pada Senin, 11
Desember 2018 sore, Jokowi mengundang 40 budayawan dan seniman
ke Istana Merdeka dan menyampaikan komitmennya untuk mengalokasikan dana abadi
bagi kegiatan kebudayaan. Rencananya, alokasi dana ini akan dianggarkan pada
2019, dengan anggaran 5 triliun rupiah untuk lima tahun
pertama.
Berikutnya, adalah perkara siapa
yang akan menjalankan strategi-strategi taktis di lapangan agar lema “strategi
kebudayaan” tidak sekadar menjadi konsep abstrak. Melanjutkan kabar ini, pemerintah
akan membentuk lembaga pengelola dana abadi kebudayaan dalam bentuk badan
layanan umum (BLU) dengan manajemen yang lebih cair karena pelaksanaan
kegiatannya dapat melibatkan orang-orang di luar birokrasi kementerian. Orang
seperti apa yang diperlukan menjalankannya?
Hilmar Farid, selaku Dirjen
Kebudayaan, punya semangat besar untuk menjalankan gagasan pemajuan kebudayaan
ini: ia punya perkiraan tentang berapa lama strategi ini perlu dijalankan
dan, tampaknya, membayangkan orang seperti apa yang dapat menjalankannya. Dalam wawancaraterbarunya dengan Muammar Fikrie untuk Beritagar, ia
menyampaikan gagasannya tentang mengapa visi strategi pemajuan kebudayaan perlu
dicanangkan selama 20 tahun. Ia menyebut Gelombang Hallyu (budaya pop korea
2.0) yang mulai pesat kita dengar sejak 2017, yang strategi kebudayaannya sudah
lama didorong oleh pemerintah Korea Selatan—sesuatu yang mereka rencanakan
tepat 20 tahun lalu. Untuk perkara orang seperti apa, kita bisa
mengutip wawancara
lawasnya di Indoprogress tentang perlunya imajinasi politik,
sosial, dan kultural masyarakat demi pemajuan sebuah
bangsa. Ia bilang, “Sederhananya begini: orang kesulitan membayangkan
sistem politik atau bentuk masyarakat yang ideal. Kita sering dengar orang
bicara sosialisme, tapi yang dimaksud itu apa? Masyarakat sosialis di Indonesia
hari ini artinya apa? Jangan dulu kita bicara tentang kesadaran rakyat secara
umum, di kalangan aktivis saja saya kira soal ini belum jelas. Dan ini warisan
Orde Baru yang hebat, kemiskinan imajinasi.”
No comments:
Post a Comment