Tulisan ini juga dimuat di Jurnal Ruang
Subjek utama kebudayaan adalah masyarakat. Kebudayaan adalah hal yang cair dan tidak bisa diformalisasikan. Pemajuan bukan semata-mata proteksi.
“Kita hanya punya satu bumi yang
dapat dihuni, di tengah demikian banyak galaksi,” Premana W. Premadi mengingatkan
bahwa saat ini kita telah memasuki masa antroposen. Antroposen, periode geologis ketika manusia dan berbagai
kebudayaannya punya dampak lebih besar bagi bumi daripada yang mereka
bayangkan. Ilmuwan Soviet mulai jamak memakai istilah ini sejak 1960-an untuk mengantisipasi
laju industri jelang periode pasca-Fordisme pada awal 1970.
Hari ini, berbagai protokol perlindungan alam dirilis untuk merespons perubahan
iklim dan kerusakan alam, sementara para peneliti terus dengan penasaran
berupaya mencari tempat lain di luar bumi. Sehari-hari, kita melihat kemajuan teknologi
sekian kali lebih cepat dari apa yang dapat kita bayangkan beberapa dasawarsa
lalu. Dengan kesadaran itu, Premana mengajak
kita mempertanyakan lagi, sejauh apa kita hendak melakukan pemajuan “kebudayaan
manusia”?
Premana memberi
saya bekal pertanyaan itu selama mengikuti rangkaian Kongres Kebudayaan
Indonesia 2018—yang mengusung semangat “pemajuan kebudayaan”. Kuliah umum
bertajuk “Mendedah Antroposen” itu
sendiri adalah salah satu kelas dalam rangkaian kongres.
Saya lantas teringat bagaimana
Sukarno mendukung kemajuan teknologi dengan mengirim anak-anak terbaik bangsa
untuk berkuliah ke beberapa negara dengan ikatan dinas, atau bagaimana para pendiri bangsa menaruh
perhatian di ranah kebudayaan. Sukarno mengoleksi
lukisan-lukisan para maestro seni rupa Indonesia di istana negara, Nyoto demikian
senang bercengkerama dengan para seniman dan mahir memainkan saksofon, D. N.
Aidit menulis sanjak-sanjak indah untuk istrinya. Seandainya mereka ada di
tengah kita hari ini, apakah preferensi dan selera mereka atas hobi itu masih
akan sama? Ketika segala hal kini dengan mudah bisa mereka akses lewat layar,
ketika teknologi bergerak demikian cepatnya.
Kita selalu punya gagasan tersendiri tentang apa arti kebudayaan, bisa
dimaknai secara personal ataupun komunal, juga tentang sejauh mana kita dapat
mengembangkan ataupun memajukannya. Apalagi pada hari-hari ini. Barangkali, itu
pula yang menjadi alasan mengapa gagasan pemajuan kebudayaan perlu dikembangkan
dari masyarakat itu sendiri, sebagai suatu upaya partisipatoris yang melibatkan
kesadaran lebih banyak orang. Seperti halnya warga Kampung Tongkol berinisiatif
menata ulang ruang tinggal mereka demi menghindari penggusuran, atau warga
Kulon Progo mengupayakan sumur renteng untuk menyuburkan lahan pasir pantai
yang kering. Karena, mereka dan hanya mereka yang tahu bagaimana tetap menjaga
alam ketika di saat bersamaan daya karsa mereka mencipta sesuatu yang baru—demi
mendorong maju kebudayaan.
Sejarah Undang-Undang Pemajuan Kebudayaan
Sepanjang 1985-2015, pembahasan tentang Rancangan Undang-undang Pemajuan
Kebudayaan terus mengemuka di media. Dengan kesadaran tentang pencarian bentuk
identitas keindonesiaan dalam merespons satu per satu kebudayaan lokal yang
terancam tumbang, dengan kerangka besar globalisasi yang menghomogenisasikan
berbagai budaya dalam lingkup mondial, pihak Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan pada 2017 berhasil mendorong legislasi undang-undang tersebut.
“Negara perlu memberi kompas dan arahan, tetapi rincian strategi itu perlu
dikembangkan sendiri oleh daerah,” tegas Ferdiansyah, wakil Komisi 10 DPR RI,
dalam penjelasannya di kuliah umum “Sejarah UU Pemajuan
Kebudayaan”. Dikatakan olehnya, pembangunan nasional
kita selama ini menjadikan ekonomi sebagai panglima—ini tentu merujuk pada agenda Ali
Moertopo dengan cetak biru dari ekonom Mafia Berkeley; demikian juga penyusunan rencana-rencana
kebudayaan di daerah selama ini tidak dibarengi dengan strategi dari masyarakat
sendiri. Inisiasi UU Pemajuan Kebudayaan, dengan demikian, konon berupaya
menjadikan budaya sebagai panglima—dan yang dimaksudkan sebagai panglima adalah
masyarakat itu sendiri. “Negara seharusnya tidak memosisikan diri sebagai empunya kebudayaan
nasional. Negara seharusnya memainkan peran sebagai pandu masyarakat,” ujar
Ferdiansyah.
Ferdiansyah punya satu kegelisahan: ia menganggap selama ini suara yang
diangkat oleh daerah pada umumnya hanya wacana tentang “local wisdom” tanpa pendalaman apa yang dimaksud sebagai “kearifan
lokal" itu. Seakan-akan, “kearifan lokal" yang dimaksudkan hanya
berupaya untuk melanggengkan suatu kebudayaan, bukan memajukannya. Kini, ia berpendapat, UU Pemajuan
Kebudayaan menjalankan peran itu: mengubah posisi negara dan relasinya dengan
masyarakat dalam upaya pemajuan kebudayaan.
Upaya pendataan kebutuhan pokok
terkait kebudayaan dilakukan langsung oleh masyarakat, beserta strategi
kebudayaan yang memungkinkan untuk mewujudkan resolusi itu, dan negara berperan
untuk menguatkan upaya-upaya di akar rumput itu. Merujuk pada Pasal 32 (1) UUD
1945 bahwa negara mendukung pemajuan kebudayaan, Ferdiansyah, menegaskan mengapa UU No. 5 Tahun 2017
tentang Pemajuan Kebudayaan diperlukan. Sama seperti Hilmar Farid nantinya dalam sidang pleno KKI 2018 di hari terakhir rangkaian kongres, ia menyebutkan perihal tujuh isu pokok
pemajuan kebudayaan dan strategi yang perlu dilaksanakan untuk merespons
ketujuh isu tersebut.
Kongres Kebudayaan Indonesia 2018: Sebuah Prakarsa Masyarakat
Pada Minggu sore, 10 Desember 2018, dokumen
strategi kebudayaan dan resolusi kongres diserahkan kepada presiden Ir. Jokowi
oleh wakil tim perumus Nungki Kusumastuti dan I Made Bandem. Beberapa jam
sebelumnya, di Ruang Plaza Insan Berprestasi, para anggota tim perumus yang
terdiri dari 17 ahli yang diketuai oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Muhadjir
Effendy, mengadakan sidang pleno untuk memaparkan rumusan strategi kebudayaan.
Sidang pleno ini membahas resolusi
pra-kongres dari tingkat kabupaten/kota yang telah menghasilkan beberapa
dokumen pokokpemikiran kebudayaan daerah (PPKD). Jalan untuk
menghasilkan dokumen mencakup visi pemajuan kebudayaan selama 20 tahun ini
tentu melibatkan upaya yang cukup meletihkan. Kegiatan pra-kongres untuk
menghasilkan PPKD ini, dijelaskan oleh Hilmar Farid, berlangsung lewat 300
pertemuan yang melibatkan 7000 orang. “Ini
adalah strategi yang napasnya adalah prakarsa masyarakat,” ujar Hilmar Farid
dalam sidang.
Kendati bertajuk 100 tahun kongres
kebudayaan, yang diutamakan pada kongres tahun ini bukan soal perayaan satu
abadnya, melainkan bahwa kongres ini tercatat sebagai kongres kebudayaan pertama
yang dilangsungkan setelah undang-undang pemajuan kebudayaan disahkan pada
2017. Senapas dengan undang-undang tersebut, perumusan strategi kebudayaan kali
ini dilakukan dari akar rumput dan diteruskan ke tangan presiden. Dalam kongres
ini, untuk kali pertama, strategi kebudayaan dirumuskan langsung dari tangan
masyarakat, dan memiliki kekuatan hukum melalui penetapan oleh presiden, yang
dapat menjadi dasar penyusunan dokumen-dokumen teknokratik kerja pemerintah
seperti RPJPN, RPJMN, sampai RKP dan RKPD. Untuk kali pertama pula, perspektif
kebudayaan menjadi dasar pembangunan nasional setelah sekian lama negara ini
berada di bawah komando pembangunan ekonomi Orbais ala Ali Moertopo.
Tujuh isu pokok pemajuan kebudayaan
yang disebutkan dalam sidang pleno, yakni: 1) menguatnya isu identitas
primordial sektarian di tengah masyarakat, 2) modernisasi yang tidak dibarengi
kesiapan masyarakat, 3) disrupsi teknologi informatika di segala bidang—dalam
beberapa tahun, 47% pekerjaan yang dianggap mapan di tengah masyarakat
diramalkan akan hilang, 4) ketimpangan relasi budaya—masyarakat Indonesia
cenderung banyak mengonsumsi hasil budaya dari negara lain (importir
kebudayaan), 5) pembangunan yang mengorbankan ekosistem alam dan budaya—laporan
menunjukkan kegiatan pembangunan di daerah berpengaruh pada ketahanan budaya,
6) tata kelembagaan budaya yang belum optimal, dan 7) desain
kebijakan yang belum memudahkan masyarakat untuk memajukan kebudayaan. Tujuh
agenda strategis pemajuan kebudayaan untuk merespons tujuh isu pokok tersebut
ikut dijabarkan, di antaranya penyediaan ruang yang mendukung kemajemukan
budaya—demi menghindari isu sektarian primordial—dan penyimpanan data pokok
kebudayaan sebagai ruang arsip kebudayaan nasional.