Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menuai
kontroversi pada 2007 lantaran ia mengangkat kasus jugun ianfu (comfort women
atau perempuan budak seks perang) sebagai persoalan kemanusiaan yang perlu
dituntaskan pada masa pemerintahannya. Pernyataannya ini didukung oleh berbagai
riset yang sejak tahun 1990 telah menunjukkan bahwa pemerintah Jepang wajib
bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan yang terjadi pada masa Perang Dunia
II tersebut. Sebelumnya, pengadilan terkait kejahatan perang yang menampung
pula tujuh dokumen laporan khusus tindak kekerasan seksual oleh militer Jepang
telah dilakukan oleh Pengadilan Tokyo pada 3 Mei 1946.[1]
Namun, persidangan tersebut berakhir tanpa penyelesaian. Dokumen inilah yang dibuka
pada riset-riset di dekade 1990, dan kembali pada 2007 di masa pemerintahan
Abe.[2]
Kembali terulang, para anggota parlemen ultra-kanan (konservatif) menyatakan
tidak ada bukti kuat bahwa para perempuan ini dipaksa untuk memenuhi kebutuhan
seksual balatentara Jepang. Bagaimanapun usaha Abe, kelompok ultra-kanan di Jepang
berusaha menghapus fakta-fakta riset tersebut. Resolusi dari pihak perwakilan
rakyat di Jepang pada Juli 2007 (H. Res. 121) dan pengunduran diri Abe dari
jabatannya tampak menunjukkan kasus ini berakhir tanpa penyelesaian—kecuali
fakta bahwa pemerintah Jepang membayar sejumlah ganti rugi kepada beberapa
negara.[3]
Selain nihilnya hasil persidangan di tahun 1946, kontroversi
dan penolakan dari kelompok ultra-kanan dilancarkan sejak 1980-an. Pada 1982,
menteri pendidikan Jepang memerintahkan penghapusan sejarah tentang jugun ianfu dari buku-buku teks
referensi terkait agresi dan korban perang yang melibatkan Jepang.[4]
Namun, ingatan para korban tidak bisa dibungkam begitu saja, pada Desember
1991, seorang jugun ianfu dari Korea
Selatan, Kim Hak Sun, mengungkapkan pengalamannya dan mengajukan perkara ke
pengadilan. Pernyataannya ini diikuti oleh beberapa korban perempuan lainnya
dari sepenjuru Asia, termasuk beberapa korban dari Indonesia. Langkah berani
mereka mendorong para aktivis perempuan Jepang untuk mengorganisir dukungan. Riset
menunjukkan bahwa di antara tahun 1928 hingga 1945, terdapat sekitar 150.000
hingga 200.000 perempuan yang dijadikan sebagai budak seks oleh pihak militer
Jepang.[5]
Pemerintah Jepang lagi-lagi membantah tuntutan tersebut, menolak meminta maaf,
dan bahkan menolak untuk melakukan peninjauan lebih lanjut.[6]
Sepanjang sejarah perang, pemerkosaan dan beragam
kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terjadi tanpa kendali—serta
pembungkaman atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap mereka terus berlanjut.
Kekejaman balatentara Jepang terhadap budak seks dari Indonesia menjadi satu
contoh dari sekian banyak kekerasan serupa yang juga terjadi dalam perang-perang
lainnya. Tindakan pendukung HAM transnasional untuk mengambil kendali pada
situasi perang semacam itu semestinya perlu dipertimbangkan. Dengan latar
belakang ini, artikel ini berupaya memaparkan bagaimana sejarah kelam
kolonialisme jugun ianfu digambarkan
dalam kesusastraan Indonesia yakni dengan mengambil Mirah dari Banda oleh Hanna Rambe dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer oleh Pramoedya Ananta Toer
sebagai pembuktian sejarah, dilanjutkan dengan pemaparan pandangan para feminis
atas dominasi seksual para lelaki terhadap perempuan di masa perang,
pembungkaman kasus jugun ianfu ini,
dan bagaimana para feminis berupaya menggerakkan suatu gelombang transnasional
untuk memecahkan persoalan kemanusiaan semacam ini agar mendapatkan pertimbangan
pihak-pihak lembaga maupun masyarakat internasional.
Mirah dari Banda dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Novel Mirah
dari Banda oleh Hanna Rambe adalah kisah pertemuan antara Mirah dan cucunya
yang hilang. Mirah, diculik dari rumahnya di Jawa saat berusia lima tahun,
dijadikan budak pemetik buah pala di Bandaneira pada masa penjajahan Belanda.
Jelang dewasa, ia menjadi nyai (gundik) bagi Tuan Besar Ulupitu, dan lantas
pekerja seks atau jugun ianfu bagi
para balatentara di masa penjajahan Jepang. Dari hubungannya dengan Tuan Besar
Ulupitu, Mirah sempat memiliki dua orang putri yang lantas diculik darinya.[7]
Salah seorang putrinya yang hilang tersebut melahirkan seorang anak yang kelak
bernama Rowena “Wendy” Morgan-Higgins—nama yang diperoleh setelah ia diangkat
anak oleh keluarga Higgins. Wendy, cucu Mirah, menjadi “bayi perang” lantaran
ia tak pernah mengetahui ibu dan ayah kandungnya—yang ia ketahui hanyalah fakta
bahwa ayahnya adalah seorang Jepang dan ibunya, anak Mirah, adalah seorang Indo-Belanda.
Wendy tumbuh dewasa, dan berkesempatan mengunjungi Banda, nasib mengantarnya
berjumpa Mirah, neneknya. Namun demikian, Mirah dan Wendy bertemu sebagai dua
orang asing, dan kemudian berakhir sebagai dua orang asing yang tidak saling
mengetahui relasi darah di antara mereka.
Mirah dari Banda bergerak melintasi tiga periode sejarah,
pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga jauh melewati masa
kemerdekaan. Mirah yang hidup pada tiga zaman itu menceritakan kekejaman di
masa perang—saat seseorang dipandang memiliki derajat jauh lebih rendah,
selayaknya barang untuk diperjualbelikan. Dalam cerita ini, Mirah adalah tokoh yang
dipandang rendah itu: ia tidak dapat menikmati kebebasannya sebagai manusia
karena kebebasan itu telah dirampas darinya sedari kecil. Ia dipaksa memenuhi
hasrat tuan besar, seorang Belanda, sembari bekerja memetik pala. Selanjutnya
di masa kedatangan “saudara tua” Indonesia, ia lantas dijadikan budak seks. Rambe
menampilkan sejarah kelam kolonialisme di Indonesia timur melalui kisah fiksi,
tetapi meski kisahnya sendiri hampir mendekati kenyataan, penekanan sejarah
khususnya mengenai para jugun ianfu
dapat kita telusuri melalui Perawan
Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer.
Perawan Remaja adalah dokumentasi kesaksian Toer atas kisah
para perempuan remaja di Indonesia yang dijadikan budak seks oleh balatentara
Jepang pada Perang Dunia II. Dalam pembuangan ke Pulau Buru di tahun 1969, Toer
bersaksi bahwa ia dan kawan-kawannya menemukan sebuah wilayah sabana (area ini
menjadi kamp konsentrasi para buangan politik tanpa persidangan pada rezim Orde
Baru) yang telah ditinggali oleh sekumpulan perempuan remaja yang ditelantarkan
oleh balatentara Jepang. Perawan Remaja
menyusun kronik kedatangan para remaja perempuan tersebut ke wilayah Kepulauan
Ambon.[8]
Sebuah pengumuman pemerintah Jepang pada 1943
menyerukan kepada setiap orang tua untuk mendaftarkan dan lantas menyerahkan
anak gadisnya yang masih perawan berusia di antara 15-17 tahun untuk
disekolahkan oleh Pemerintah Dai Nippon. Remaja-remaja perempuan ini dijanjikan
belajar di Singapura ataupun di Jepang. Siapa pun yang melanggar perintah ini
dinyatakan sebagai bertindak membelot terhadap Tenno Heika (kaisar Jepang). Para pejabat daerah bahkan hingga
perlu menyerahkan anak-anak gadis mereka demi memberi contoh kepada masyarakat
untuk juga melakukan hal serupa. Seiring perjalanan waktu, diketahui bahwa
janji pemerintah Jepang tersebut tidak pernah terlaksana.
Balatentara Jepang menyeberang pulau dengan
membawa para perempuan remaja itu, lantas mereka berhenti di wilayah Kepulauan
Ambon. Para balatentara Jepang menyatakan bahwa mereka akan diberi pelajaran
ilmu kebidanan untuk menjadi bidan di wilayah Ambon. Pada praktiknya, setiap
remaja perempuan yang diserahkan kepada pihak Jepang ditempatkan pada sebuah
bilik bernomor. Bilik-bilik itu dijaga oleh seorang heiho sebagai ibu asrama bagi mereka. Setiap serdadu Nippon yang
berhajad seks datang ke kamar berdasarkan pada karcis berisikan nomor bilik,
dan mereka mengantre hingga datang kesempatan menyetubuhi para gadis itu. Para
perempuan remaja ini tidak memperoleh bayaran sepeser pun, kecuali uang
rekreasi yang sesekali saja diberikan.
Begitu pihak Jepang kalah dari sekutu pada Perang
Dunia II, balatentara Jepang segera meninggalkan para remaja perempuan itu
dalam situasi terombang-ambing. Mereka dilepas tanpa tanggung jawab, tanpa
pesangon, dan dibiarkan untuk melanjutkan hidupnya terserah jalan mereka
sendiri-sendiri, bahkan tidak mendapatkan pelayanan dan perlindungan hukum dari
para pejabat RI yang ketika itu disibukkan dengan upaya untuk memperjuangkan
kemerdekaan bangsa. Begitu Indonesia merdeka, para tokoh politik bangsa ini
lantas lanjut disibukkan dengan urusan pertentangan antarpartai. Akibatnya,
hingga tahun 1979 atau ketika mereka berusia sekitar 35 tahun (juga ketika Toer
menyusun buku ini), mereka praktis terlupakan. Sebagian besar dari mereka
menganggap hidupnya telah gagal sehingga tidak berupaya untuk kembali ke
keluarganya.
Beberapa perempuan yang masih tertinggal itu
akhirnya berusaha menyatu dengan para penduduk lokal di sekitar wilayah Pulau
Buru yang ketika itu masih dihuni oleh suku Arafuru yang bergerak nomaden. Toer
menggambarkan bagaimana para remaja perempuan yang tadinya hidup dalam adab
Jawa itu perlu kembali ke kebiasaan hidup primitif para suku di wilayah itu
demi bisa diterima dan melanjutkan hidupnya. Bahkan, beberapa dari mereka
menikah dengan penduduk setempat dan kemudian membesarkan anak-anak mereka,
hingga kedatangan Toer dan kawan-kawannya. Singkatnya, mereka telah sama sekali
melupakan kehendaknya untuk kembali ke rumah mereka di Jawa.
Laki-laki sebagai Simbol Perang dan Perempuan sebagai Budak Seksnya
Fenomena perempuan budak seks pada masa perang
tidak hanya terjadi di antara pihak militer Jepang dan korban jajahannya.
Militer Jerman SS (Schutzstaffeln)
mengelola sejumlah 500 rumah bordil di tahun 1942, militer Inggris di Tripoli,
Libya mengelola rumah bordil privat untuk pasukan kulit putih maupun kulit
berwarna mereka. Militer Amerika Serikat, sama seperti militer Inggris dan
militer Australia, juga mengembangkan rumah bordil yang dikelola oleh warga
untuk menghindari balatentaranya terkena penyakit menular seksual dalam masa
Perang Dunia II. Pada masa pendudukan terhadap Jepang, militer Amerika Serikat bahkan
memakai layanan perempuan budak seks yang disediakan oleh militer Jepang secara
khusus untuk mereka.[9]
Berbagai
teori feminisme mengenai pemerkosaan dalam situasi perang umumnya menyelidiki
perihal wacana dominasi di antara kedua gender, atau narasi umum yang menyertai
terjadinya kekerasan seksual tersebut. Judith Butler mengemukakan soal matriks
heteroseksual, suatu konstruksi biner atas gender dan seksualitas, yang
meyakini bahwa heteroseksualitas adalah norma, dengan demikian kedua gender
terhabituasikan lewat aturan dan arahan tertentu, baik melalui konvensi sosial
ataupun norma masyarakat. Adanya sistem patriarkis, hegemoni maskulinitas, dan
kepercayaan negatif mengenai seks, seksualitas, ataupun gender dengan demikian
memberi pengaruh pada proses tumbuh kembang para lelaki untuk melihat bahwa
mereka berhak melakukan tindakan kekerasan seksual terhadap para perempuan.[10]
Mengaitkan pandangan Butler dengan sistem patriarkis yang masih berlangsung
di Jepang, sebenarnya begitu regulasi restorasi Meiji diajukan sejak awal 1870,
kaum lelaki intelektual maupun politisi telah menolak pandangan Konfusianis
mengenai danson jyohi (superioritas
kaum lelaki) lantaran para intelektual masa “pencerahan” (“keimo”) ini terpengaruh oleh gagasan-gagasan dunia Barat. Namun
demikian, mereka masih mempertahankan konsep mengenai perempuan sebagai istri
dan ibu (nilai-nilai Barat dari era Victoria), dan ini menjadi idealisasi dan
berkembang sebagai ideologi ryosai kenbo
(istri dan ibu yang baik).[11]
Pada masa perang, ideologi
ini menekankan perlunya perempuan menjadi “reproduser kekuatan militer dan ibu
bangsa”.[12]
Distingsi perempuan kelas atas dan perempuan kelas bawah pun diperkuat. Eksploitasi
terjadi pada para perempuan kelas bawah sementara para perempuan kelas atas
mendapat perlindungan sedemikian rupa dengan adanya konsep ryosai kenbo. Citra perempuan kelas bawah sebagai perempuan penghibur
mendorong adanya regulasi prostitusi pada masa perang—dengan catatan, regulasi
ini telah berkembang di Jepang pada 1870-an, meski konon telah muncul pula
jejaknya sejak era Muromachi (abad ke-14) atau era Kamakura (abad ke-12 hingga
ke-14).[13]
Hadirnya struktur perempuan kelas atas dan kelas
bawah ini menunjukkan bahwa kekerasan seksual pada masa perang didukung juga
oleh sistem kerja masyarakat patriarkis pada kehidupan sehari-hari—bagaimana
masyarakat patriarkis Jepang memperlakukan perempuan kelas bawah terkait erat
dengan bagaimana mereka kelak memperlakukan para perempuan di negara jajahannya
pada masa perang, dan ini pada puncaknya membolehkan adanya suatu “budaya
pemerkosaan” (rape culture). Ruth Seifert turut memberi sumbangsih penting pada
bidang ini karena ia menjelaskan bagaimana pembenaran atas tindak
kekerasan seksual dihasilkan
oleh para pelaku kejahatan seksual itu, sebagaimana dijelaskan Butler. Menurutnya, pemerkosaan memang dipandang
sebagai suatu “bentuk budaya tersendiri” pada hampir setiap peristiwa perang. Ia
menyebutkan bahwa bagi para pelaku itu, (1) pemerkosaan adalah “aturan perang”;
(2) penyiksaan atau perlakuan kejam terhadap perempuan adalah suatu elemen
komunikasi lelaki di tengah konflik; (3) pemerkosaan adalah puncak maskulinitas
yang dipandang perlu menyertai perang; (4) pemerkosaan di masa perang bertujuan
untuk menghancurkan kebudayaan musuh; dan (5) pemerkosaan di masa perang adalah
ekspresi peenghinaan terhadap perempuan yang telah berakar secara kultural, dan
diperkuat pada masa krisis—yakni pada masa perang.[14]
Penutup: Feminis Transnasional dan Testimoni Sejarah Kelam Perang
Dalam sistem ekonomi kapitalisme transnasional, dengan kesadaran
pascakolonial melalui Konferensi Asia Afrika pada 1955, pemahaman ekonomi
negara-negara berkembang dihadapkan pada tolak ukur ekonomi lebih jelas yakni dengan
mengecek penghasilan per kapita (GDP) yang menunjukkan seberapa produktif suatu
negara. Dalam situasi ekonomi transnasional ini, kompetisi pasar bebas dan
konsumerisme teknologi informasi berkembang sedemikian rupa, dan negara
berkembang berupaya menghadapi laju ini—baik dengan penegasan posisi nonblok
ataupun sekadar program-program perbaikan kesejahteraan masyarakat pada umumnya.
Selanjutnya, kita dapat lihat juga pengaruh kajian pascakolonial beserta berbagai
pemahaman akan situasi ekonomi dalam memperlihatkan bahwa peran perempuan tidaklah
sama. Jika Simone de Beauvoir dalam pengantar Le Deuxième Sexe-nya menyangsikan mengenai persaudaraan antara
perempuan (sisterhood), maka feminis
transnasional pada masa ini berusaha mewadahi kekurangan ini.
Transnasionalisme pada masa awal perang memberi para perempuan Jepang suatu
ruang untuk mempengaruhi kebijakan negara menyoal absennya hak sipil nasional. Berbagai organisasi transnasional
bergerak dalam garda depan perjuangan aktivisme hak-hak warga
negara, dan pada akhirnya bersinggungan dengan soal-soal imperialisme, rasisme,
dan nasionalisme.[15]
Pergeseran paradigma dalam sejarah perempuan di tahun 1980-an dari paradigma
“perempuan sebagai korban” menjadi “perempuan sebagai agen” terjadi begitu
kesadaran tentang jugun ianfu
diperbincangkan di Asia Timur. Pembacaan historis mengenai peran perempuan
sebagai agen terkait kebebasan seksualnya memperlihatkan bahwa tindakan militer
Jepang dalam menciptakan rumah-rumah bordil jugun
ianfu sebagai kejahatan yang perlu dituntaskan dalam pembicaraan skala
transnasional dan hal ini mendorong menguatnya gerakan perempuan di Jepang pada
dekade tersebut.[16]
Feminisme global memberi penekanan pada
keberagaman agen (agency) perempuan
alih-alih pada model kebebasan perempuan (women’s
liberation) dengan ide-ide individualitas dan modernitasnya. Para feminis
transnasional ini dapat dikenali dari sifatnya yang memberi penekanan pada
pentingnya politik koalisi, anti-nasionalis, dan anti-eksploitatif—sehingga
mereka dapat dibedakan dari para feminis yang mengklasifikasikan kalangannya
pada kelas, ras, kewarganegaraan tertentu.[17]
Demi kepentingan penuntasan kasus jugun ianfu,
misalnya, para feminis transnasional ini menyelenggarakan konferensi bertajuk
“Comfort Women of World War II” yang melancarkan kritik terhadap politik
imperialis pemerintah Jepang yang menyetujui adanya jugun ianfu, tetapi justru melakukan penyangkalan atas keterlibatan
mereka.[18]
Politik koalisi dilakukan oleh para aktivis feminis dari kebangsaan Asia dan
Amerika, mereka melebur sebagai gerakan feminis transnasional, untuk mengungkit
kasus dikaburkannya persoalan jugun ianfu
dalam sejarah militerisme Jepang di negara-negara yang diduduki mereka pada
Perang Dunia II.
Dalam sebuah artikel, “Resisting Autobiography:
Out-Law Genres and Transnational Feminist Subjects”, Kaplan menggunakan
observasi Jacques Derrida tentang “the
law of genre”—suatu metode untuk menjelaskan sekiranya jenis-jenis subjek
kesusastraan, dan genre atau jenis subjek kesusastraan “outlaw” (berbagai hal yang menyoal tindak kejahatan antarindividu) adalah suatu subjek yang autobiografinya
berbicara dalam ranah transnasional, sehingga menantang konsep-konsep modernis
mengenai subjektivitas individual, nasionalisme patriarkis, ataupun kapitalisme
multinasional. Penelusuran genre outlaw umumnya
dapat ditelusuri melalui memoar penjara, testimoni pelaku, ataupun tilisan
etografis, “biomitografi” (biomythography),
autobiografi budaya, ataupun psikobiografi regulatif (regulative psychobiography).[19]
Alih-alih hanya membicarakan pendekatan subjek
perorangan, jenis-jenis literatur ini mengangkat kesamaan persoalan banyak
orang yang terlibat dalam masalah kejahatan tertentu. Sebutlah, tulisan Toer
dalam Perawan Remaja menghadirkan narasi
korban yakni para jugun ianfu
Indonesia pada masa pendudukan Jepang—demikian juga banyak narasi lain dari
korban-korban militer Jepang di Korea Selatan, Australia, ataupun negara-negara
lain di Asia Tenggara. Demikian pula narasi-narasi testimoni ini dihadirkan
dalam konferensi yang mengundang para jugun
ianfu untuk berbicara di tengah forum. Wadah konferensi ini sendiri pula
dipandang menjadi suatu bentuk dokumen autobiografi kultural mengenai para jugun ianfu yang menjadi korban
pendudukan militer Jepang di negara-negara yang bersengketa pada Perang Dunia
II.
Kepustakaan
Dolgopol, Ustinia. “Women’s Voices, Women’s
Pain” dalam Human Rights Quarterly 17
(1995) 127-154.
Hanna Rambe. (2010). Mirah dari Banda. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor
Indonesia.
Hayashi, Hirofumi. “Japanese comfort women
in Southeast Asia” dalam Japan Forum
10(2) 1998: 211-219.
_______________. “Disputes in Japan over the Japanese Military “Comfort Women” System and
Its Perception in History” dalam The
Annals of the American Academy of Political and Social Science Vol 617
(Mei, 2008), h. 123.
Henry, Nicola. “Theorizing Wartime
Rape: Deconstructing Gender, Sexuality, and Violence” dalam Gender & Society, Vol. 30 No. 1,
February 2016, h. 44-56.
Kimura, Maki. (2016). Unfolding the ‘Comfort Women’ Debates:
Modernity, Violence, Women’s Voices. New York: Palgrave Macmillan.
Molony, Barbara. (2010). “Crossing
boundaries: Transnational feminisms in twentieth-century Japan” dalam Women’s Movement in Asia: Feminisms and
transnational activism. Abingdon: Routledge.
Pramoedya Ananta Toer. (2007). Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer, seri catatan Pulau Buru. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Seifert, Ruth. “The second front: The
logic of sexual violence in wars” dalam Women’s Studies International Forum 19,
1996, h. 35-43.
Thoma, Pamela, “Cultural Autobiography,
Testimonial, and Asian American Transnational Feminist Coalition in the
‘Comfort Women of World War II’ Conference” dalam Frontiers: A Journal of Women Studies, Vol. 21 No. 1/2, Asian American
Women (2000), h. 30-32.
Tony
Firman, “Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa Penjajahan Jepang” dalam situs web https://tirto.id/jugun-ianfu-budak-wanita-di-masa-penjajahan-jepang-cgZz,
terakhir diakses pada 18 Juni 2018.
[1] Tony Firman, “Jugun Ianfu, Budak Wanita di Masa
Penjajahan Jepang” dalam https://tirto.id/jugun-ianfu-budak-wanita-di-masa-penjajahan-jepang-cgZz,
terakhir diakses pada 19 Juni 2018.
[2]
Dokumen resmi ini diserahkan oleh pemerintah Belanda, Perancis, dan China,
dengan kesimpulan bahwa militer Jepang secara langsung memaksa para perempuan
untuk bekerja di beberapa rumah bordil di wilayah-wilayah Indonesia, China,
Timor Leste, dan Vietnam.
[3] Hayashi,
Hirofumi, “Disputes in Japan over the Japanese Military “Comfort Women” System
and Its Perception in History” dalam The
Annals of the American Academy of Political and Social Science Vol 617
(Mei, 2008), h. 123.
[4] Hayashi,
Hirofumi, h. 126.
[5] Dolgopol, Ustinia, “Women’s Voices, Women’s Pain” dalam Human Rights Quarterly 17 (1995) 127-154.
[6] Hayashi, Hirofumi, h. 127.
[7] Deskripsi
ini merupakan ikhtisar novel Hanna Rambe, Mirah
dari Banda (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, edisi ketiga, 2010).
[8] Deskripsi
ini merupakan ikhtisar dari seri catatan Pulau Buru Pramoedya Ananta Toer, Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
(Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2007).
[9] Hayashi, Hirofumi, “Japanese comfort women in Southeast Asia” dalam
Japan Forum 10(2) 1998: 211-219.
[10] Henry, Nicola, “Theorizing
Wartime Rape: Deconstructing Gender, Sexuality, and Violence” dalam Gender & Society, Vol. 30 No. 1,
February 2016, h. 44-56.
[11] Kimura, Maki, Unfolding the ‘Comfort Women’ Debates: Modernity,
Violence, Women’s Voices (New York: Palgrave Macmillan, 2016), h. 73.
[12] Kimura, Maki,
h. 73.
[13] Kimura, Maki,
h. 74. Distingsi perempuan perawan dibandingkan dengan perempuan pelacur ini
sendiri telah muncul pada masyarakat Eropa awal abad ke-18 dan disiplin tubuh
pun diterapkan pada masa itu, sebagaimana yang dikemukakan Michel Foucault
dalam teori-teorinya tentang seksualitas.
[14] Seifert, Ruth. “The second front: The logic
of sexual violence in wars” dalam Women’s Studies International Forum 19,
1996, h. 35-43.
[15] Molony, Barbara, “Crossing boundaries: Transnational feminisms in
twentieth-century Japan” dalam Women’s Movement
in Asia: Feminisms and transnational activism (Abingdon: Routledge, 2010),
h. 90-109.
[16] Molony, Barbara, h. 90-109.
[17] Thoma, Pamela, “Cultural Autobiography, Testimonial, and Asian
American Transnational Feminist Coalition in the ‘Comfort Women of World War
II’ Conference” dalam Frontiers: A
Journal of Women Studies, Vol. 21 No. 1/2, Asian American Women (2000), h.
30-31.
[18] Thoma, Pamela, h. 32.
[19] Thoma, Pamela, h. 33.
No comments:
Post a Comment