Perdana Menteri Jepang, Shinzo Abe, menuai
kontroversi pada 2007 lantaran ia mengangkat kasus jugun ianfu (comfort women
atau perempuan budak seks perang) sebagai persoalan kemanusiaan yang perlu
dituntaskan pada masa pemerintahannya. Pernyataannya ini didukung oleh berbagai
riset yang sejak tahun 1990 telah menunjukkan bahwa pemerintah Jepang wajib
bertanggung jawab terhadap kasus kekerasan yang terjadi pada masa Perang Dunia
II tersebut. Sebelumnya, pengadilan terkait kejahatan perang yang menampung
pula tujuh dokumen laporan khusus tindak kekerasan seksual oleh militer Jepang
telah dilakukan oleh Pengadilan Tokyo pada 3 Mei 1946.[1]
Namun, persidangan tersebut berakhir tanpa penyelesaian. Dokumen inilah yang dibuka
pada riset-riset di dekade 1990, dan kembali pada 2007 di masa pemerintahan
Abe.[2]
Kembali terulang, para anggota parlemen ultra-kanan (konservatif) menyatakan
tidak ada bukti kuat bahwa para perempuan ini dipaksa untuk memenuhi kebutuhan
seksual balatentara Jepang. Bagaimanapun usaha Abe, kelompok ultra-kanan di Jepang
berusaha menghapus fakta-fakta riset tersebut. Resolusi dari pihak perwakilan
rakyat di Jepang pada Juli 2007 (H. Res. 121) dan pengunduran diri Abe dari
jabatannya tampak menunjukkan kasus ini berakhir tanpa penyelesaian—kecuali
fakta bahwa pemerintah Jepang membayar sejumlah ganti rugi kepada beberapa
negara.[3]
Selain nihilnya hasil persidangan di tahun 1946, kontroversi
dan penolakan dari kelompok ultra-kanan dilancarkan sejak 1980-an. Pada 1982,
menteri pendidikan Jepang memerintahkan penghapusan sejarah tentang jugun ianfu dari buku-buku teks
referensi terkait agresi dan korban perang yang melibatkan Jepang.[4]
Namun, ingatan para korban tidak bisa dibungkam begitu saja, pada Desember
1991, seorang jugun ianfu dari Korea
Selatan, Kim Hak Sun, mengungkapkan pengalamannya dan mengajukan perkara ke
pengadilan. Pernyataannya ini diikuti oleh beberapa korban perempuan lainnya
dari sepenjuru Asia, termasuk beberapa korban dari Indonesia. Langkah berani
mereka mendorong para aktivis perempuan Jepang untuk mengorganisir dukungan. Riset
menunjukkan bahwa di antara tahun 1928 hingga 1945, terdapat sekitar 150.000
hingga 200.000 perempuan yang dijadikan sebagai budak seks oleh pihak militer
Jepang.[5]
Pemerintah Jepang lagi-lagi membantah tuntutan tersebut, menolak meminta maaf,
dan bahkan menolak untuk melakukan peninjauan lebih lanjut.[6]
Sepanjang sejarah perang, pemerkosaan dan beragam
kekerasan seksual terhadap anak-anak dan perempuan terjadi tanpa kendali—serta
pembungkaman atas kasus-kasus kekerasan seksual terhadap mereka terus berlanjut.
Kekejaman balatentara Jepang terhadap budak seks dari Indonesia menjadi satu
contoh dari sekian banyak kekerasan serupa yang juga terjadi dalam perang-perang
lainnya. Tindakan pendukung HAM transnasional untuk mengambil kendali pada
situasi perang semacam itu semestinya perlu dipertimbangkan. Dengan latar
belakang ini, artikel ini berupaya memaparkan bagaimana sejarah kelam
kolonialisme jugun ianfu digambarkan
dalam kesusastraan Indonesia yakni dengan mengambil Mirah dari Banda oleh Hanna Rambe dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer oleh Pramoedya Ananta Toer
sebagai pembuktian sejarah, dilanjutkan dengan pemaparan pandangan para feminis
atas dominasi seksual para lelaki terhadap perempuan di masa perang,
pembungkaman kasus jugun ianfu ini,
dan bagaimana para feminis berupaya menggerakkan suatu gelombang transnasional
untuk memecahkan persoalan kemanusiaan semacam ini agar mendapatkan pertimbangan
pihak-pihak lembaga maupun masyarakat internasional.
Mirah dari Banda dan Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer
Novel Mirah
dari Banda oleh Hanna Rambe adalah kisah pertemuan antara Mirah dan cucunya
yang hilang. Mirah, diculik dari rumahnya di Jawa saat berusia lima tahun,
dijadikan budak pemetik buah pala di Bandaneira pada masa penjajahan Belanda.
Jelang dewasa, ia menjadi nyai (gundik) bagi Tuan Besar Ulupitu, dan lantas
pekerja seks atau jugun ianfu bagi
para balatentara di masa penjajahan Jepang. Dari hubungannya dengan Tuan Besar
Ulupitu, Mirah sempat memiliki dua orang putri yang lantas diculik darinya.[7]
Salah seorang putrinya yang hilang tersebut melahirkan seorang anak yang kelak
bernama Rowena “Wendy” Morgan-Higgins—nama yang diperoleh setelah ia diangkat
anak oleh keluarga Higgins. Wendy, cucu Mirah, menjadi “bayi perang” lantaran
ia tak pernah mengetahui ibu dan ayah kandungnya—yang ia ketahui hanyalah fakta
bahwa ayahnya adalah seorang Jepang dan ibunya, anak Mirah, adalah seorang Indo-Belanda.
Wendy tumbuh dewasa, dan berkesempatan mengunjungi Banda, nasib mengantarnya
berjumpa Mirah, neneknya. Namun demikian, Mirah dan Wendy bertemu sebagai dua
orang asing, dan kemudian berakhir sebagai dua orang asing yang tidak saling
mengetahui relasi darah di antara mereka.
Mirah dari Banda bergerak melintasi tiga periode sejarah,
pada masa penjajahan Belanda, masa penjajahan Jepang, hingga jauh melewati masa
kemerdekaan. Mirah yang hidup pada tiga zaman itu menceritakan kekejaman di
masa perang—saat seseorang dipandang memiliki derajat jauh lebih rendah,
selayaknya barang untuk diperjualbelikan. Dalam cerita ini, Mirah adalah tokoh yang
dipandang rendah itu: ia tidak dapat menikmati kebebasannya sebagai manusia
karena kebebasan itu telah dirampas darinya sedari kecil. Ia dipaksa memenuhi
hasrat tuan besar, seorang Belanda, sembari bekerja memetik pala. Selanjutnya
di masa kedatangan “saudara tua” Indonesia, ia lantas dijadikan budak seks. Rambe
menampilkan sejarah kelam kolonialisme di Indonesia timur melalui kisah fiksi,
tetapi meski kisahnya sendiri hampir mendekati kenyataan, penekanan sejarah
khususnya mengenai para jugun ianfu
dapat kita telusuri melalui Perawan
Remaja dalam Cengkeraman Militer karya Pramoedya Ananta Toer.
Perawan Remaja adalah dokumentasi kesaksian Toer atas kisah
para perempuan remaja di Indonesia yang dijadikan budak seks oleh balatentara
Jepang pada Perang Dunia II. Dalam pembuangan ke Pulau Buru di tahun 1969, Toer
bersaksi bahwa ia dan kawan-kawannya menemukan sebuah wilayah sabana (area ini
menjadi kamp konsentrasi para buangan politik tanpa persidangan pada rezim Orde
Baru) yang telah ditinggali oleh sekumpulan perempuan remaja yang ditelantarkan
oleh balatentara Jepang. Perawan Remaja
menyusun kronik kedatangan para remaja perempuan tersebut ke wilayah Kepulauan
Ambon.[8]
Sebuah pengumuman pemerintah Jepang pada 1943
menyerukan kepada setiap orang tua untuk mendaftarkan dan lantas menyerahkan
anak gadisnya yang masih perawan berusia di antara 15-17 tahun untuk
disekolahkan oleh Pemerintah Dai Nippon. Remaja-remaja perempuan ini dijanjikan
belajar di Singapura ataupun di Jepang. Siapa pun yang melanggar perintah ini
dinyatakan sebagai bertindak membelot terhadap Tenno Heika (kaisar Jepang). Para pejabat daerah bahkan hingga
perlu menyerahkan anak-anak gadis mereka demi memberi contoh kepada masyarakat
untuk juga melakukan hal serupa. Seiring perjalanan waktu, diketahui bahwa
janji pemerintah Jepang tersebut tidak pernah terlaksana.