Enûma
Eliš dari Peradaban Babilonia kuno merupakan peninggalan kuneiform yang
paling banyak dirujuk sebagai peninggalan tertua yang membahas perkara
asal-usul alam semesta dan penciptaan manusia. Sir Austen Henry Layard adalah
arkeolog yang mengekskavasi reruntuhan Nimrud, sebuah kota Asiria kuno, dan
Niniwe—dan hasil ekskavasinya termasuk tujuh tablet lempung Enûma Eliš (dari abad ke-7 SM, meski
perumusannya barangkali berasal dari abad ke-18 SM pada era Bangsa Kassite) dari
Perpustakaan Ashurbanipal, Niniwe.[1]
Kisah epik dalam tujuh tablet lempung tersebut memuat masing-masing 115 dan 170
baris teks kuno kuneiform, sistem penulisan yang digunakan oleh bangsa Sumeria,
Mesopotamia—dengan isi yang memaparkan pandangan dunia peradaban Babilonia
kuno, yang berpusat pada supremasi Marduk sebagai penguasa dan penciptaan
manusia untuk memenuhi kehendak para dewa yang sedang memiliki masalah dengan
raksasa-raksasa yang diciptakannya—epik ini bertujuan untuk menunjukkan kuasa
Marduk melebihi para dewa-dewi Babilonia dalam kepercayaan Mesopotamia secara
keseluruhan.
Selain Enûma Eliš, terdapat banyak mitologi lain dari berbagai daerah di
sepenjuru dunia tentang asal-usul alam semesta, ataupun teks-teks religius yang
menjelaskan kisah-kisah genesis. Seiring waktu, peradaban manusia berkembang ke
arah sains alam yang teramat taktis, meneruskan pandangan positivis-logis sejak
masa pencerahan, dan berusaha lepas dari pandangan dunia yang masih mistis
ataupun metafisis, demi beranjak menuju dunia yang bertumpu pada pandangan
sains. Segala hal perlu dibuktikan secara rigor, rumusan ulang untuk menemukan
asal-usul semesta pun dilanjutkan. Tapi pengetahuan peradaban manusia masih terbentur dengan tidak
terjelaskan secara rigornya asal-muasal alam semesta. Hingga hari
ini, teori Hermann Minkowski tentang ruang-waktu yang empat dimensi menjadi
penting bagi pandangan saat ini, tapi itu pun tidak bisa menjelaskan fenomena
semesta secara rigor, diteruskan oleh Albert Einstein lewat teori relativitas
khususnya—yang menyatakan bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan ada dalam
satu-kesatuan dan hanyalah kesadaran manusia yang bergerak sehingga melihatnya
sebagai masa-masa berlainan.
Sama halnya seperti mitologi kuno,
peradaban modern kontemporer kita pun kembali menghadapi titik itu, ketika
manusia pada akhirnya terbentur pada ketiadaan jawaban. Sebelumnya pada masa
kuno, ia mendayagunakan segenap imajinasinya, dan setelah masa pencerahan, ia
mendayagunakan segenap rasionya, tetapi rasio itu masih tidak mampu memberikan
fakta empiris. Karena, apa bedanya pandangan mitologi ataupun astrologi kuno di
masa Babilonia dengan penemuan Minkowski tentang kesadaran manusia yang ilusif
dalam menghadapi ruang-waktu? Hal ini semestinya dapat membuat peradaban modern
ini berandai-andai, dengan konsep Minkowski dan konsekuensinya dalam kehadiran
teori multijagad, bahwa mungkin saja di ruang-waktu itu ada pula berbagai
semesta paralel yang terhubung ke dunia bawah (sebagaimana konsep Babilonia
tentang underworld) ataupun surga
(konsep Babilonia tentang heaven),
seperti halnya teramat mungkin untuk menemukan sekian ratus kemungkinan lain
keberadaan manusia di semesta paralel itu.
Apabila yang diunggulkan oleh
astronomi modern adalah perhitungan matematisnya yang ketat—yang menjelaskan
proses terciptanya alam semesta melalui big
bang hingga ramalan kapan alam semesta itu akan berakhir dalam suatu keadaan
setimbang/harmoni, pada kenyataannya selain Enûma
Eliš ataupun Enūma Anu Enlil
(catatan astronomis yang berupa pertanda-pertanda langit), peradaban kuno
Mesopotamia sendiri tidak sepenuhnya lepas dari perhitungan-perhitungan rigor
yang berkembang pada zaman itu. Kronologi perkembangan astrologi Babilonia menunjukkan
perhitungan letak benda-benda langit; bintang (bahkan mengukur bujur dan
lintangnya), bulan, dan planet-planet; dan perhitungan kalender.
Astrologi Babilonia terbagi
berdasarkan penelusuran astronomis yang dilakukan masing-masing kekaisaran.
Kronologi yang ditemukan oleh para ahli peradaban Mesopotamia (umumnya menyebut
diri mereka sebagai Assyriolog) menjelaskan
dari Dinasti Pertama di Babilonia (berdasarkan penanggalan Ammi-saduqa I = sejak
tahun 3700 SM), Dinasti Kedua di Isin, Percampuran Dinasti (Nabu-nasir, Sargon—Dinasti
Akkadia, hingga Kandalanu), Dinasti Kasdim, Dinasti Asiria, Dinasti Akhemeniyah
(Persia lama), Dinasti Makedonia, Dinasti Seleukia (Yunani-Makedonia), hingga
Dinasti Arsakid (Armenia). Penelusuran atas peninggalan astronomis tersebut umumnya
dilakukan melalui dekodefikasi atas tinggalan berupa kuneiform.
Astrologi Mesopotamia ini sendiri
memiliki peran penting untuk perkembangan agama dan budaya. Di antara para Assyriolog,
terdapat perdebatan mengenai agama resmi Mesopotamia. Seorang ahli, Hugo
Winckler, menegaskan bahwa sistem religius dan budaya Babilonia sepanjang
sejarah peradaban Asia Barat Daya Kuno (ancient
near east) mendapatkan karakteristiknya dari pengamatan yang tekun atas
fenomena langit. Leo A. Oppenheim di tahun 1964 adalah ahli yang menolak untuk
mengklasifikasikan agama peradaban Mesopotamia secara tunggal. Menurutnya,
dengan adanya lebih dari 2.100 dewa yang disembah, dan juga kurun waktu yang
berbeda untuk keberadaan dinasti-dinasti di Mesopotamia, maka agama yang dianut
oleh masyarakat tidak mungkin tunggal. Jean Bottero, sebaliknya, melalui Religion in Ancient Mesopotamia menolak
pendapat Oppenheim tersebut. Menurutnya, tidak perlu ada kategorisasi “agama
resmi”, “agama privat”, ataupun “agama bagi kaum terpelajar”—apakah suatu
klasifikasi dilakukan berdasar wilayah, Ebla Mari, Asiria, ataukah dilakukan
berdasar periode waktu, Kekaisaran Seleukia (Seleucid), Kekaisaran Akhemeniyah (Achaemenid), periode Kasdim
(Chaldean) dalam Kekaisaran Babilonia
Baru, Kekaisaran Asiria Baru (Neo-Assyrian),
ataukah periode Bangsa Kassite, Babilonia Kuno, Sumeria Baru, ataukah Periode
Akkadia Kuno—karena bagi Bottero, tidak terdapat perbedaan signifikan dari
agama-agama mereka selain fakta bahwa pewarisan kekuasaan dalam dinasti-dinasti
tersebut mewariskan juga sistem religius yang sama. Bagi Bottero,
memisah-misahkan agama di Mesopotamia adalah upaya yang sia-sia belaka.[2]
Seperti dinyatakan di atas, terkait
betapa pentingnya astrologi dalam sistem agama dan budaya di Mesopotamia,
Winckler hadir dengan pendapatnya yang kemudian menegaskan bahwa klasifikasi
agama dapat dirujuk melalui adanya pengamatan astrologis yang dilakukan secara
ekstensif di Mesopotamia. Pandangan ini dikenal sebagai pandangan
Panbabilonisme (Panbabylonism), yakni
anggapan bahwa budaya dan agama peradaban Asia Barat Daya kuno berakar dari
mitologi Babilonia yang dapat dirunut dari pengamatan astronomi Babilonia kuno.
Selain Hugo Winckler, Friedrich Delitzsch, Peter Jensen, dan Alfred Jeremias
merupakan figur terkemuka dari pandangan Panbabilonisme ini.[3]
Ini menunjukkan pengaruh penting
ilmu perbintangan pada pemaknaan akan kehadiran manusia di tengah semesta yang
saat itu mula-mula belum benar-benar dipahami di peradaban Mesopotamia. Bahwa
sejatinya peradaban Mesopotamia telah pula memiliki pandangan sains yang tidak
bisa dipandang remeh. Agaknya mesti dibayangkan bahwa diperlukan sejarah
teramat panjang untuk menciptakan suatu hukum bahasa yang kemudian memungkinkan
kuneiform dituliskan dan diwariskan hingga hari ini, juga simbol matematika
hingga perhitungan matematis yang ketat mengenai jarak bintang-bintang di
langit. Tujuan artikel ini adalah untuk memaparkan jejak-jejak astrologis dan
astronomis peradaban kuno Sumeria tersebut. Selanjutnya, penulis akan
menghadirkan refleksi atas semua paparan itu dikaitkan dengan perkembangan
teori tentang alam semesta di masa kontemporer ini.
Astrologi Babilonia dan Pertanda (Omens)
Orang-orang di peradaban
Mesopotamia percaya bahwa Tuhan akan mengabarkan tentang peristiwa-peristiwa di
masa depan kepada umat manusia. Oleh karena itu, mereka mempercayai beragam
cara pertanda itu disampaikan: jejak yang tertinggal pada hewan kurban dalam
suatu upacara persembahan, bentukan minyak yang dituangkan ke air, pertanda dalam
kejadian sehari-hari, ataupun melalui fenomena langit (atmosferis maupun
astronomis).[4] Pertanda
dalam fenomena langit ini menyangkut raja, dinasti, ataupun politik
sehari-hari. Gerhana bulan adalah salah satu pertanda bahaya, oleh karenanya
terdapat ritual pada hari tersebut untuk menghapuskan marabahaya. Hal ini
tertulis dalam tablet periode Kekaisaran Seleukia dari Uruk, di mana sebuah
drum perak dipergunakan dalam ritual tersebut.[5]
Peramalan adalah kegiatan intelektual penting di Mesopotamia, metode yang
biasanya digunakan adalah “Bila x (diobservasi), maka y (konsekuensi)”,
observasi dilakukan dengan mengandalkan pada pengamatan atas fenomena
atmosferis ataupun astronomis.[6]
Tahun
2000 SM: Periode Babilonia Kuno, Babilonia Pertengahan, dan Akkadia Pertengahan
Sebagian besar peninggalan pada
periode Babilonia Kuno berfokus pada gerhana bulan, seperti ditemukan dalam
empat tablet yang membahas hal ini. Keempat tablet ini adalah prototipe bagi
kelanjutan teks yang dikumpulkan dalam Enūma
Anu Enlil. Temuan ini juga ditemukan di luar wilayah Babilonia, yakni di
Mari, Emar, Ugarit, dan Alalah. Sebuah temuan di barat Mesopotamia, yakni di
Hattušsa justru menemukan pertanda berkaitan dengan gerhana matahari,[7]
dan sebuah temuan lain di Nuzi menunjukkan pertanda berkaitan dengan gempa
bumi.[8]
Dari Mesopotamia sendiri, hanya sedikit tablet yang memuat tentang kaitan
antara pertanda dan amatan akan fenomena langit, hanya terdapat lima temuan.
Dua tablet berasal dari peninggalan masa transisi Babilonia Kuno ke Babilonia
Baru, tiga lainnya hadir berdekatan dengan perumusan Enūma Anu Enlil.
Tahun
1500 SM: Enūma Anu Enlil, Teks
Non-kanonik, dan Panduan Peramalan
Teks pada periode ini menyangkut
peninggalan tablet Dinasti Asiria Baru. Pada awal 1500 SM, pertanda tentang
langit dikumpulkan dalam tablet bernama Enūma
Anu Enlil, kemungkinan dikumpulkan pada periode Kassite (1595-1157 SM),
meski sebagian prototipe berasal dari masa yang lebih tua lagi pada periode
Babilonia kuno (1950-1595 SM). Kontennya adalah tentang peredaran bulan,
fenomena terkait matahari, musim, dan gerakan bintang dan planet. Tiga belas
tablet menjelaskan tentang bulan dan variasi penampakannya pada hari-hari
tertentu. Tablet ke-15 hingga ke-22 berisi tulisan tentang gerhana bulan,
tanggal kemunculannya, dan ramalan wilayah kemunculannya. Tablet ke-23 hingga
ke-29 berisi penampakan matahari, warna, tanda-tandanya, dan kaitannya dengan
langit. Gerhana matahari dibahas dalam tablet ke-30 hingga ke-39. Tablet ke-40
hingga ke-49 berisi tentang fenomena alam berupa cuaca dan gempa bumi, dengan
perhatian khusus pada kemunculan halilintar. Dua puluh tablet terakhir berisi
tulisan tentang bintang dan planet.[9]
Tahun
500 SM: Proto-horoskop dan Hypsomata
Pada paruh akhir 500 SM, horoskop
bermula di Babilonia. Rochberg-Halton (1989) memberikan informasi tentang 32
horoskop yang dipergunakan sejauh ini. Dalam soal hypsomata, istilah Babilonia asar
nisirti or bit nisirti secara harfiah bermakna “tempat rahasia” muncul
beberapa kali untuk menjelaskan posisi planet-planet. Kemunculan pertama pada
teks Esarhaddon dari Asiria, yang menjelaskan bahwa Jupiter menyentuh asar nisirti pada bulan Pet-babi. Pada saat itu, letak Jupiter
adalah di antara rasi bintang Cancer dan Leo, yang berarti Jupiter ada pada 91
bujur derajat. Dalam artian ini, dikatakan bahwa penggambaran ini menunjukkan
planet-planet pada hypsomata-nya.
Astronomi Babilonia
Periode
Awal: Astronomi dalam Enuma Anu Enlil
Periode astronomis ini
berkaitan pula dengan tablet ke-63 dari Enuma
Anu Enlil, yang menggambarkan posisi Venus.[10]
Tablet ini menunjukkan letak planet pada bulan tertentu, seperti tablet-tablet
lainnya yang diamati. Periode ini secara terperinci menghasilkan temuan-temuan
terkait Astrolab, Teks “Tiap Tiga Bintang”, MUL.APIN, I.NAM.GIŠ.HUR.AN.KI.A,
Teks Bintang Ziqpu, Teks GU, Teks DAL.BA.AN.NA, hingga Teks Pengawasan-waktu.
Terlalu rumit untuk membahasakannya kembali, tetapi paling tidak pada periode
ini diketahui bagaimana cara membedakan antara planet dan bintang dalam
penjelasan MUL.APIN sebagai planet yang merupakan “benda yang terus mengubah
posisinya dan bercahaya menyentuh bintang-bintang di langit”, dikatakan lebih
lanjut bahwa adanya lima planet di langit sebagai “enam dewa yang memiliki
posisi sama”.[11] Sementara
teks dalam tablet I.NAM.GIŠ.HUR.AN.KI.A mencakup posisi bulan dan spekulasi
pengaruh bulan atas hari-hari di bumi,[12]
teks DAL.BA.AN.NA menjelaskan situasi dari bintang-bintang,[13]
dan teks pengawasan-waktu
dalam prismagading berisi penjelasan kalender mengenai waktu yang diukur
berdasarkan bēru dan UŠ merentang siang hingga malam
pada kedua belas waktu musiman. Setiap representasi waktu harian nychdiemeron terdiri atas 24 jam; di
sinilah pembagian waktu 12 jam siang dan 12 jam malam ditentukan.
Tahun
1000 SM: Observasi dan Prediksi Periode Sargonid
Para periode ini ditemukan catatan harian astronomis dan
almanak perbintangan. Surat dan laporan menyangkut pertanda langit dikabarkan
oleh kaum terpelajar kota kepada raja Dinasti Asiria di Niniwe. Observasi
tentang matahari dan bulan yang berada dalam posisi oposisi di pertengahan
bulan adalah hal yang kerap dikabarkan dalam surat tersebut,[14]
selanjutnya adalah prediksi tentang planet-planet dan konstelasinya.[15]
Sementara itu, catatan harian astronomis merekam hasil observasi dan komputasi
setiap periode dalam setengah tahun, rekaman tertua berasal dari 652 SM, tapi
di Babilonia disinyalir telah dikembangkan sejak era Nabû-nâçir pada 746 SM. Ada dugaan
bahwa tujuan kompilasi catatan harian ini bukan lagi untuk melakukan pembacaan
pertanda, tetapi sudah lebih ditujukan pada interpretasi untuk keperluan
pengembangan ilmu astronomi.[16]
Periode
Teks Teoretis : Siklus “Saros”, Siklus 19-Tahunan, Teks Proto-prosedural
Peradaban Mesopotamia mengembangkan
beberapa jenis siklus, di antaranya adalah siklus Saros (terkenal lantaran
Edmund Halley menerapkan nama ini untuk siklus gerhana pada 1691) yang
diberikan dengan perumusan sebagai berikut: satu siklus terjadi dalam 223 bulan
sinode = 242 bulan drakonitik = 239 bulan anomali = 241 bulan sidereal = 18
tahun. Dalam tahun solar, diberikan perhitungan yang lebih akurat, yakni 18
tahun lebih 10,40 hari. Sementara itu, Siklus-19 Tahunan terkenal dari
sumber-sumber Yunani di Atena oleh seorang astronom Meton, perhitungan ini
dipergunakan juga dalam kalender Yahudi, menerangkan bahwa satu siklus
19-tahunan = 235 bulan sinodik. Pada periode ini, perhitungan noda-noda planet
dan bintang dihitung dengan ketepatan letak lintang dan bujurnya yang
menunjukkan kehadiran suatu teks proto-prosedural dalam meneliti benda-benda langit.
Kosmologi Babilonia
Ini adalah bagian paling menarik
dari suatu peradaban kuno: bagaimana mereka menciptakan cerita untuk memberikan
makna kehadiran mereka di dunia. Peradaban Mesopotamia kuno lewat Enûma Eliš menjelaskan tegangan dari
realitas purba (Apsû yang merepresentasikan air tawar dan Tiamat yang
merepresentasikan samudera), diciptakan tujuh dewa di antaranya Ea dan
saudara-saudaranya yang mengganggu Tiamat dan Apsû. Dari persoalan itu, terjadi pertentangan
yang amat serius, dengan Ea membunuh Apsû, Ea menjadi dewa tertinggi, menikahi
Damkina, dan memiliki putra bernama Marduk. Lantas, terjadi pembalasan dendam
dari Tiamat yang kemudian menciptakan sebelas monster. Namun, Marduk memiliki
strategi untuk melemahkan serangan dengan mengajukan penawaran kepada para
monster. Tiamat menantang Marduk, dan Marduk lantas membelah tubuh Tiamat
menjadi dua, dari sana tercipta langit dan bumi. Marduk lantas menciptakan
kalender, mengatur peredaran planet dan bintang, dan bulan, matahari, juga
cuaca.[17]
Selain peninggalan kuneiform yang
menghadirkan kosmologi Enûma Eliš,
peradaban Mesopotamia juga memiliki peninggalan berupa Enūma Anu Enlil yang memberi penjelasan tentang fenomena langit,
dikaitkan dengan gerak semesta terkait dengan keberuntungan atau marabahaya
yang barangkali dihadapi oleh dinasti-dinasti di peradaban Mesopotamia kuno.
Dalam perkembangannya pada kurun lebih dari seribu tahun, pengamatan sederhana
sekadar melalui melihat titik-titik kecil di langit berkembang menjadi
perhitungan yang semakin serius. Meski mulanya amatan atas fenomena langit
tersebut digunakan sebagai cara untuk meramalkan sesuatu (sebagai pertanda—omen), dan kemudian sebagai suatu
proto-horoskop, lantas lewat astrolab terdapat perkembangan dalam melihat
letak-letak benda langit, perhitungan-perhitungan yang kian serius tersebut
mengarah pada dan memberikan pendasaran astronomis yang dapat dikatakan serius.
Lantaran keterbatasan waktu dan
sumber, penulis hanya mengajukan pertanyaan hipotetis: mengandaikan bahwa semua
penemuan astrologi dan astronomi—dengan kalkulasinya yang amat rigid—tersebut
bisa jadi terwariskan pada peradaban-peradaban lain, atau memberikan pengaruh
pada peradaban lain yang berkembang setelah masa dinasti-dinasti Mesopotamia
kuno. Dengan demikian, penulis memandang suatu warisan yang amat kaya telah
disumbangkan oleh peradaban Mesopotamia kuno pada perkembangan astronomi—yang
kemudian memungkinkan manusia memperhitungkan banyak hal lainnya, termasuk
menjelajahi keberadaan planet dan bintang-bintang dalam semesta, untuk dapat
membayangkan posisi manusia di semesta.
Dari ajuan hipotetis tersebut,
penulis menolak memandang peralihan narasi mitis ke sains sebagai peralihan
cara pikir tidak rasional ke cara pikir rasional. Kembali jauh ke periode
Mesopotamia kuno, kendati masyarakat dalam peradaban itu pada mulanya
menggunakan pengamatannya atas fenomena langit untuk tujuan yang agaknya
terhitung mitis (meramalkan marabahaya melalui omen ataupun menerapkan penggunaan horoskop), mereka telah
menerapkan perhitungan matematis yang rigid. Kehadiran dewa-dewi ataupun adanya
tujuh tingkat semesta adalah irasional, tetapi itu bila dikaji melalui semata-mata
penalaran empiris. Pada kenyataannya, justru dengan pemahaman mitis itu, mereka
memiliki kebijaksanaan untuk menjaga Bumi. Lebih tepat untuk mengatakan bahwa
peradaban Mesopotamia kuno menerapkan cara pikir (rasionalitas tersendiri) yang
berbeda dengan cara pikir peradaban kontemporer setelah zaman pencerahan—dan bukan
berarti mereka tidak rasional.
Kepustakaan
Bottero, Jean. (2001). Religion
in Ancient Mesopotamia. Chicago: University of Chicago Press.
Foster, Benjamin R. (1995). From Distant Days: Myths, Tales,
and Poetry of Ancient Mesopotamia. vi. Bethesda. Maryland: CDL Press.
_________________. (2005). Before
the Muses: An Anthology of Akkadian Literature Maryland: CDL Press.
Gold,
Daniel. (2003). Aesthetics and Analysis in Writing on Religion: Modern
Fascinations. California: University of California Press.
Hunger, Hermann dan David
Pingree. (1999). Astral Sciences in
Mesopotamia: Handbook of Oriental Studies. Leiden: Koninklijke Brill.
Jacobsen, T. (1976). The Treasures of Darkness : A History of
Mesopotamian Religion. New Haven: Yale University Press.
Scherer,
Frank F. (2015). The Freudian Orient: Early Psychoanalysis, Anti-Semitic
Challenge, and the Vicissitudes of Orientalist Discourse. Maryland: Kanarc
Books.
Smith, George. (1876). The Chaldean Account
of Genesis. (London, 1876) dalam http://www.sacred-texts.com/ane/caog/index.htm.
Swerdlow,
N. M. (2014). The Babylonian Theory of the Planets. (New Jersey: Princeton
University Press.
[1]Lih. George Smith, "The Chaldean Account of Genesis" (London,
1876), http://www.sacred-texts.com/ane/caog/index.htm.
[2] Lih. Jean Bottero. Religion
in Ancient Mesopotamia (Chicago, 2001).
[3] Lih. Gold, Daniel. Aesthetics and Analysis in Writing on
Religion: Modern Fascinations. (California, 2003), hlm.
149-158 dan Scherer, Frank F. The Freudian Orient: Early Psychoanalysis,
Anti-Semitic Challenge, and the Vicissitudes of Orientalist Discourse
(London, 2015), hlm. 18.
[4] Lih. Hermann Hunger dan
David Pingree. Astral Sciences in
Mesopotamia: Handbook of Oriental Studies (Leiden, 1999), hlm. 5.
[5] Ibid, hlm. 6.
[6] Lih. Benjamin R. Foster. Before the Muses: An Anthology of Akkadian
Literature (Maryland, 2005), hlm. 36.
[7] Lih. Hermann Hunger dan
David Pingree. Astral Sciences in
Mesopotamia: Handbook of Oriental Studies (Leiden, 1999), h. 9.
[8] Ibid, h. 11.
[9] Lih. N. M. Swerdlow, The
Babylonian Theory of the Planets (New Jersey, 2014), hlm. 45 dan Hermann Hunger dan David Pingree. Astral Sciences in Mesopotamia: Handbook of
Oriental Studies (Leiden, 1999), hlm. 12-26.
[10] Lih. Hermann Hunger dan
David Pingree. Astral Sciences in
Mesopotamia: Handbook of Oriental Studies (Leiden, 1999), h. 32.
[11] Ibid, h. 73.
[12] Ibid, h. 84.
[13] Ibid, h. 101.
[14] Ibid, h. 116-122.
[15] Ibid, h. 123-138.
[16] Ibid, h.139.
[17] Lih. Foster, B.R. From
Distant Days : Myths, Tales, and Poetry of Ancient Mesopotamia (Maryland, 1995), hlm. 438 dan Jacobsen, T. The
Treasures of Darkness : A History of Mesopotamian Religion. (New Haven, 1976). hlm. 273.
No comments:
Post a Comment