Kira-kira pada hari ke-22 kami
merutinkan diri berolah raga, di perjalanan menuju taman, saya mengoreksi apa
yang kami tahu dan percaya, “Ada temuan lain di web yang lain, di web ini
dibilang, 21 hari pun sudah cukup untuk membentuk kebiasaan. Jadi, kita tidak
perlu payah-payah lari rutin selama 41 hari.”
Dia memperhatikan ujaran saya, dan
merespons sekenanya. Tapi saya tahu itu tidak akan berhasil membuat tekadnya
putus di tengah jalan. Jadi, karena ibu semang saya adalah tipikal orang yang
tidak akan berhenti di tengah jalan saat sudah memutuskan melakukan sesuatu,
maka kami perlu menyelesaikan hari-hari rutin olahraga kami hingga hari ke-41.
Lantaran rutinitas kami berolahraga
di taman, saya punya kedekatan tersendiri dengan taman-taman di Paris dan banlieu-nya.
Beberapa taman penting kota ini menjadi tempat berjalan setapak dan
menghabiskan waktu untuk apa saja, termasuk untuk menulis fragmen-fragmen
cerita. Di antara taman-taman itu, yang paling menarik bagi saya adalah Parc de
Floral, sebuah taman yang terletak dekat Kastil Vincennes. Belakangan taman itu
dibuka menjadi taman untuk para nudis, sayangnya saya tidak berkesempatan untuk
ke sana lagi setelah membaca berita tentang pembukaan taman nudis itu. Dan,
bagaimanapun menariknya taman-taman lain, yang paling dekat di hati tentulah
taman Lac de Creteil, taman yang mengitari sebuah danau di Creteil, dekat
tempat tinggal saya—karena ke sanalah kami, saya dan sang ibu semang, biasanya
menghabiskan waktu.
Tetapi pada pagi tanggal 31 Agustus
itu kami tidak menuju taman mana pun, dari arah apartemen kami, ibu semang
memutuskan berjalan kaki saja terus ke arah timur. Saya menyusuri jalan lebih
cepat darinya. Tapi hingga sekian meter kemudian, dia baru berkata bahwa di
dekat tikungan jalan itu terletak pemakaman suaminya. Begitu spontan saja. Saya
mengajukan diri untuk berziarah. Maka kami berbelok arah dan sampailah di
sebuah pekuburan.
Kami melewati cukup banyak nisan
untuk sampai tepat di nisan itu. Rumput liar merambat di sekelilingnya. Sebuah
pohon sudah tumbuh di tengah-tengah tanah gembur itu. Itu pohon liar juga, kata
ibu semang. Tanpa perintah sebagai ancang-ancang, ia mulai mencabuti rumput-rumput,
saya bersolidaritas dengan ikut mencabut-cabuti rumput, sampai kemudian
berusaha keras mencabut pohon yang akarnya sudah menancap dalam. Itu
menjelaskan sudah berapa lama nisan ini tidak dikunjunginya lagi. Mungkin ibu
semang terlalu sibuk, yang jelas ia tidak mungkin tidak merindu lagi kepada
suaminya yang bersemayam di sana.
“Jadi, bagaimana, kapan mau memesan
tiket? Kamu jadi tidak, sih, mau ke Roma?” ujarnya di perjalanan kami ke rumah.
Ada banyak jalan menuju Roma, kata
sebuah adagium, dan mulanya saya memang bersepakat untuk berjumpa kawan yang
juga sedang menjalani residensi di Roma. Tapi pada tanggal 31 Agustus, ia sudah
kembali ke Indonesia. Saya tidak berhasil berjumpa dengannya sebelum ia
kembali, tentu karena sederetan keraguan demi keraguan untuk menempuh
perjalanan yang tidak pasti di negeri orang. Jadi, menimbang untuk pergi saat
itu, tentu akan sia-sia saja. Tapi, dari pertanyaan itu, saya teringat sudah
pernah membikin janji untuk menginap di rumah seorang kenalan di Roma—pasangan
aktivis yang saya kenal di Yogya, sang istri kini bekerja di kantor pusat FAO
di Roma. Lantas, terpikir bahwa ada pula rentetan kota lain yang sekalian perlu
dikunjungi, di Bussum, Belanda pada 9 September, akan ada sebuah presentasi
dari kawan tentang relasi Jepang dan Belanda pada periode kolonial Belanda di
Indonesia dan pada 10 September seorang kenalan baik akan meluncurkan buku
novelnya di Amsterdam, dan sejak tanggal 6 September, akan ada festival sastra
Berlin yang menghadirkan Arundhati Roy. Justru akan menarik bila saya merancang
perjalanan yang bisa memuat kepentingan-kepentingan itu sekalian.
Maka, sepulang dari berziarah ke
kuburan, ibu semang dengan bermurah hati menyediakan waktu untuk membantu
memesankan tiket-tiket perjalanan ke Berlin lantas Den Haag lantas Roma untuk
kemudian kembali ke Paris—tentu dengan pertimbangan panjang: mau naik kereta,
bis, atau pesawat; dari stasiun dan bandara itu bagaimana cara mencapai rumah
kawan yang menjadi tempat menginap; dan apa yang kira-kira penting untuk
dilakukan di sana berkaitan dengan riset penulisan fiksi; perjalanan ditempuh
dari tanggal berapa sampai tanggal berapa, dan seterusnya.
Secara ringkas, perjalanan saya dari
Paris ke Berlin pada tanggal 5 September dengan bus cukup menyenangkan, saya melihat
diri sendiri berada pada titik di Googlemap yang berpindah dengan cepatnya dari
satu area ke area lain bebarengan dengan melihat pemandangan di luar: sebuah
gedung atau sebuah pabrik yang bercahaya sendirian karena jarak antara ia
dengan gedung atau pabrik lain lumayan jauh. Melintasi Brussels Belgia, lalu
melewati Eindhoven Belanda, untuk masuk ke area Jerman bagian Barat. Petugas
yang mengecek paspor mulai membangunkan penumpang yang tidur, dan terjadi
cekcok lumayan panjang antara sederet penumpang yang berpaspor kedaluwarsa,
tapi pada akhirnya penumpang itu tidak diturunkan di tengah jalan. Itu pastilah
seorang imigran gelap yang mencoba mencari peruntungan di Berlin, begitu pikir
saya, tapi setelah si petugas beralih pada saya dan saya menunjukkan paspor,
saya kembali melanjutkan tidur dan tidak ambil pusing lagi. Dibutuhkan suatu
kesadaran diri yang mantap untuk istirahat yang cukup, karena sembilan hari ke
depan, saya akan melakoni perjalanan dari kota ke kota—dan tidak boleh merengek
sedang sakit atau apa (saat itu saya baru pulih dari diare dan mimisan lantaran
sedikit alergi dingin).
Tiga hari saya lewati di Berlin,
untuk kemudian melanjutkan perjalanan ke Den Haag pada 8 September. Seharian
itu hujan, sepulang dari Museum Yahudi, saya segera menuju ZOB Berlin, terminal
bus yang akan membawa pergi. Di sana, saya bertemu seorang gadis mabuk yang
saya lupa siapa namanya, meski kami sempat berkenalan, bercerita betapa
sendirinya hidupnya. Yatim piatu, anak tunggal, dengan kehidupan cinta yang payah,
dan cita-cita yang kandas, dan pekerjaan yang ia rasa mengantarkannya ke
kegagalan demi kegagalan. Ia dari Sofia, Bulgaria dan tinggal delapan belas
bulan di Berlin karena bekerja di bidang teknik, dan kini memutuskan akan
mengadu nasib di Amsterdam. Saya ingin sekali bilang, “Hei, aku sejenis
denganmu,” tapi tampaknya itu tidak lucu, maka saya biarkan dia terus
mengelupas dirinya di depan saya, tanpa saya balik memperkenalkan diri. Sopir
dan kondektur, yang sama galaknya dengan yang saya temui di terminal Gallieni
Paris, kemudian memerintahkan kami segera masuk. Tidak bisa lanjut mendengarkan
ceritanya lagi. Saya menawarkan diri agar si gadis duduk dekat-dekat saja, tapi
pada akhirnya kami berpisah kursi. Banyak kursi kosong, menurutnya akan lebih
lega bila kami duduk sendiri-sendiri, dan istirahat di perjalanan bisa lebih
nyaman bagi kami. Saya menghela napas karena yakin bahwa kami akan berpisah,
dia akan turun di Amsterdam sementara saya turun di Den Haag. Dan saya tertidur
pulas malam itu, sampai akhirnya bus berhenti di terminal lebih cepat satu jam
dibandingkan jadwal yang tertera di tiket. Di sana saya menyadari betapa
kedisiplinan Prusia, yang berasal dari kedisiplinan ala Kantian, bagi warga
Jerman masih terwaris dengan amat baik.
Perjalanan ke Roma pada 12 September
tampaknya lebih menguji nyali. Layanan pesawat paling murah tersedia pagi-pagi
betul, karena itu saya pikir pada pukul lima saya sudah mesti mengantre check-in.
Hari-hari itu, Belanda sedang dilanda badai. Dari Leiden, saya menuju Rotterdam
dengan guyuran hujan yang tidak main-main. Bandaranya kecil saja, seukuran atau
malah lebih kecil daripada bandara Radin Inten II Lampung yang pernah saya
singgahi. Rupanya ketika saya sampai di bandara pukul sebelas malam itu, sudah
ada banyak orang seperti saya juga yang memutuskan untuk bermalam. Motel paling
murah hanya sepuluh euro semalam, tapi jaraknya jauh dari bandara, dan di kala
badai seperti ini dan jadwal bus jadi tidak menentu, memang sangat berisiko
untuk ketinggalan pesawat apabila nekat memesan penginapan, maka wajar saja
bandara penuh sesak orang yang bermalam untuk menunggu penerbangan paling pagi.
Beberapa orang berkeluyuran, berjalan-jalan dengan tak santai mengelilingi
bandara dari satu sudut ke sudut lain, tapi sebagian besar memutuskan
beristirahat seperti saya. Pukul empat pagi, pintu bandara sudah dibuka dan
terdengar koper-koper yang digeret masuk. Saya melanjutkan tidur untuk menunggu
jadwal check-in yang saya pikir dimulai tepat pukul lima pagi. Tapi dalam
hitungan menit bandara semakin ramai, dan saya memutuskan mengecek situasi.
Antrean panjang mengular pukul lima pagi itu, untuk penerbangan yang sama
dengan saya pukul enam pagi. Tidur di bandara tidak menjadikan saya orang
pertama yang mengantre jatah lepas landas. Tapi tidak mengapa, akhirnya
saya pergi ke Roma.
Menyelesaikan perjalanan bukan hal
yang ingin saya capai ketika memulai perjalanan, tetapi setiap pejalan tahu
bahwa akan selalu ada akhir dari setiap perjalanan. Sembilan hari perjalanan
telah lewat, dua hari terakhir saya habiskan di Roma. Saya memotret antrean di
bandara Fiumicino, Roma menuju Orly pagi itu. Saya kirimkan sebuah foto dan
pesan singkat kepada ibu semang, menyatakan saya akan pulang. Sembari mencatat
di catatan pribadi: “Akhirnya misi tertuntaskan. Memang ada banyak jalan menuju
Roma. Termasuk jalan memutar dari Paris, Berlin, Den Haag, dan Rotterdam.”
Catatan:
Di Berlin, Jerman selama tiga hari
saya menghadiri sebuah festival pengarang, bertemu Pak Triyanto Triwikromo yang
sedang menjalani program residensi penulis juga, dan dengannya diajak untuk
berjumpa seorang penerjemah Jerman, Gudrun Fenna Ingratubun. Saya menumpang
tinggal dengan penerjemah Jerman tersebut dan membicarakan banyak hal tentang
kesusastraan Indonesia maupun Jerman. Perjalanan saya tempuh dengan bus dari
terminal Gallieni Paris dan tiba di Berlin ZOB
pada 6 September 2017. Di Berlin, saya berkesempatan juga mengunjungi beberapa
museum di Kompleks Museumsinsel (mengunjungi Altes Museum dan Neues Museum),
serta mengunjungi Museum Yahudi. Seluruh diskusi dalam festival sastra Berlin
yang saya ikuti dilakukan dalam bahasa Jerman, saya tidak begitu memahaminya,
tetapi cukup berguna bagi saya untuk memahami festival pengarang skala
internasional. Seorang penulis Indonesia, Okky Madasari, diundang menjadi
pembicara di festival itu, tetapi saya tidak kesampaian untuk berjumpa beliau
karena jadwal yang berbeda: tapi setidaknya saya membaca nama beliau tertulis
di sebuah buku tebal terkait festival sastra Berlin itu. Selanjutnya, saya mengunjungi
Bussum, Belanda pada 9 September 2017 untuk menghadiri sebuah konferensi
mengenai relasi Jepang-Belanda pada masa pendudukan Belanda di Indonesia,
beberapa eksil perempuan hadir dan menjadi pembicara, dan seorang kawan saya di
UGM Yogyakarta, Raisa Kamila, memberikan presentasi. Senang sekali mendengarkan
penuturan-penuturannya dalam forum itu. Di Belanda, selain konferensi, saya
berkesempatan mengunjungi Tropenmuseum, Amsterdam, dan masuk museum dengan
gratis berkat kemurahan hati Aliansyah Caniago yang meminjamkan kartu museum,
dan juga sempat menghadiri acara peluncuran kumpulan cerita pendek Joss
Wibisonoo pada 10 September 2017. Di Belanda, saya menginap di apartemen kawan
saya yang berkuliah di Universitas Leiden sehingga akses saya untuk mampir ke
universitasnya pun dipermudah. Setelah itu, saya bertolak ke Roma, Italia pada
12 September 2017, di sana saya berkesempatan bertemu dengan dosen-dosen STF
Driyarkara, di antaranya Romo Frumen Gions, Romo Albertus Pur, dan Romo Fellyanus
Dogon yang sedang menempuh studi di Instituto Nazionale Di Studi Romani, dan
mengunjungi Museum Vatikan dan beberapa ikon bersejarah kota Roma. Selama di
Roma, saya menginap di apartemen sepasang suami-istri aktivis yang saya kenal
di Yogyakarta, Fajar Kelana dan Noor Alifa Ardianingrum yang kini bekerja di
kantor pusat Food and Agriculture Organization (FAO) PBB.
No comments:
Post a Comment