Enûma
Eliš dari Peradaban Babilonia kuno merupakan peninggalan kuneiform yang
paling banyak dirujuk sebagai peninggalan tertua yang membahas perkara
asal-usul alam semesta dan penciptaan manusia. Sir Austen Henry Layard adalah
arkeolog yang mengekskavasi reruntuhan Nimrud, sebuah kota Asiria kuno, dan
Niniwe—dan hasil ekskavasinya termasuk tujuh tablet lempung Enûma Eliš (dari abad ke-7 SM, meski
perumusannya barangkali berasal dari abad ke-18 SM pada era Bangsa Kassite) dari
Perpustakaan Ashurbanipal, Niniwe.[1]
Kisah epik dalam tujuh tablet lempung tersebut memuat masing-masing 115 dan 170
baris teks kuno kuneiform, sistem penulisan yang digunakan oleh bangsa Sumeria,
Mesopotamia—dengan isi yang memaparkan pandangan dunia peradaban Babilonia
kuno, yang berpusat pada supremasi Marduk sebagai penguasa dan penciptaan
manusia untuk memenuhi kehendak para dewa yang sedang memiliki masalah dengan
raksasa-raksasa yang diciptakannya—epik ini bertujuan untuk menunjukkan kuasa
Marduk melebihi para dewa-dewi Babilonia dalam kepercayaan Mesopotamia secara
keseluruhan.
Selain Enûma Eliš, terdapat banyak mitologi lain dari berbagai daerah di
sepenjuru dunia tentang asal-usul alam semesta, ataupun teks-teks religius yang
menjelaskan kisah-kisah genesis. Seiring waktu, peradaban manusia berkembang ke
arah sains alam yang teramat taktis, meneruskan pandangan positivis-logis sejak
masa pencerahan, dan berusaha lepas dari pandangan dunia yang masih mistis
ataupun metafisis, demi beranjak menuju dunia yang bertumpu pada pandangan
sains. Segala hal perlu dibuktikan secara rigor, rumusan ulang untuk menemukan
asal-usul semesta pun dilanjutkan. Tapi pengetahuan peradaban manusia masih terbentur dengan tidak
terjelaskan secara rigornya asal-muasal alam semesta. Hingga hari
ini, teori Hermann Minkowski tentang ruang-waktu yang empat dimensi menjadi
penting bagi pandangan saat ini, tapi itu pun tidak bisa menjelaskan fenomena
semesta secara rigor, diteruskan oleh Albert Einstein lewat teori relativitas
khususnya—yang menyatakan bahwa masa lalu, masa kini, dan masa depan ada dalam
satu-kesatuan dan hanyalah kesadaran manusia yang bergerak sehingga melihatnya
sebagai masa-masa berlainan.
Sama halnya seperti mitologi kuno,
peradaban modern kontemporer kita pun kembali menghadapi titik itu, ketika
manusia pada akhirnya terbentur pada ketiadaan jawaban. Sebelumnya pada masa
kuno, ia mendayagunakan segenap imajinasinya, dan setelah masa pencerahan, ia
mendayagunakan segenap rasionya, tetapi rasio itu masih tidak mampu memberikan
fakta empiris. Karena, apa bedanya pandangan mitologi ataupun astrologi kuno di
masa Babilonia dengan penemuan Minkowski tentang kesadaran manusia yang ilusif
dalam menghadapi ruang-waktu? Hal ini semestinya dapat membuat peradaban modern
ini berandai-andai, dengan konsep Minkowski dan konsekuensinya dalam kehadiran
teori multijagad, bahwa mungkin saja di ruang-waktu itu ada pula berbagai
semesta paralel yang terhubung ke dunia bawah (sebagaimana konsep Babilonia
tentang underworld) ataupun surga
(konsep Babilonia tentang heaven),
seperti halnya teramat mungkin untuk menemukan sekian ratus kemungkinan lain
keberadaan manusia di semesta paralel itu.
Apabila yang diunggulkan oleh
astronomi modern adalah perhitungan matematisnya yang ketat—yang menjelaskan
proses terciptanya alam semesta melalui big
bang hingga ramalan kapan alam semesta itu akan berakhir dalam suatu keadaan
setimbang/harmoni, pada kenyataannya selain Enûma
Eliš ataupun Enūma Anu Enlil
(catatan astronomis yang berupa pertanda-pertanda langit), peradaban kuno
Mesopotamia sendiri tidak sepenuhnya lepas dari perhitungan-perhitungan rigor
yang berkembang pada zaman itu. Kronologi perkembangan astrologi Babilonia menunjukkan
perhitungan letak benda-benda langit; bintang (bahkan mengukur bujur dan
lintangnya), bulan, dan planet-planet; dan perhitungan kalender.
Astrologi Babilonia terbagi
berdasarkan penelusuran astronomis yang dilakukan masing-masing kekaisaran.
Kronologi yang ditemukan oleh para ahli peradaban Mesopotamia (umumnya menyebut
diri mereka sebagai Assyriolog) menjelaskan
dari Dinasti Pertama di Babilonia (berdasarkan penanggalan Ammi-saduqa I = sejak
tahun 3700 SM), Dinasti Kedua di Isin, Percampuran Dinasti (Nabu-nasir, Sargon—Dinasti
Akkadia, hingga Kandalanu), Dinasti Kasdim, Dinasti Asiria, Dinasti Akhemeniyah
(Persia lama), Dinasti Makedonia, Dinasti Seleukia (Yunani-Makedonia), hingga
Dinasti Arsakid (Armenia). Penelusuran atas peninggalan astronomis tersebut umumnya
dilakukan melalui dekodefikasi atas tinggalan berupa kuneiform.
Astrologi Mesopotamia ini sendiri
memiliki peran penting untuk perkembangan agama dan budaya. Di antara para Assyriolog,
terdapat perdebatan mengenai agama resmi Mesopotamia. Seorang ahli, Hugo
Winckler, menegaskan bahwa sistem religius dan budaya Babilonia sepanjang
sejarah peradaban Asia Barat Daya Kuno (ancient
near east) mendapatkan karakteristiknya dari pengamatan yang tekun atas
fenomena langit. Leo A. Oppenheim di tahun 1964 adalah ahli yang menolak untuk
mengklasifikasikan agama peradaban Mesopotamia secara tunggal. Menurutnya,
dengan adanya lebih dari 2.100 dewa yang disembah, dan juga kurun waktu yang
berbeda untuk keberadaan dinasti-dinasti di Mesopotamia, maka agama yang dianut
oleh masyarakat tidak mungkin tunggal. Jean Bottero, sebaliknya, melalui Religion in Ancient Mesopotamia menolak
pendapat Oppenheim tersebut. Menurutnya, tidak perlu ada kategorisasi “agama
resmi”, “agama privat”, ataupun “agama bagi kaum terpelajar”—apakah suatu
klasifikasi dilakukan berdasar wilayah, Ebla Mari, Asiria, ataukah dilakukan
berdasar periode waktu, Kekaisaran Seleukia (Seleucid), Kekaisaran Akhemeniyah (Achaemenid), periode Kasdim
(Chaldean) dalam Kekaisaran Babilonia
Baru, Kekaisaran Asiria Baru (Neo-Assyrian),
ataukah periode Bangsa Kassite, Babilonia Kuno, Sumeria Baru, ataukah Periode
Akkadia Kuno—karena bagi Bottero, tidak terdapat perbedaan signifikan dari
agama-agama mereka selain fakta bahwa pewarisan kekuasaan dalam dinasti-dinasti
tersebut mewariskan juga sistem religius yang sama. Bagi Bottero,
memisah-misahkan agama di Mesopotamia adalah upaya yang sia-sia belaka.[2]
Seperti dinyatakan di atas, terkait
betapa pentingnya astrologi dalam sistem agama dan budaya di Mesopotamia,
Winckler hadir dengan pendapatnya yang kemudian menegaskan bahwa klasifikasi
agama dapat dirujuk melalui adanya pengamatan astrologis yang dilakukan secara
ekstensif di Mesopotamia. Pandangan ini dikenal sebagai pandangan
Panbabilonisme (Panbabylonism), yakni
anggapan bahwa budaya dan agama peradaban Asia Barat Daya kuno berakar dari
mitologi Babilonia yang dapat dirunut dari pengamatan astronomi Babilonia kuno.
Selain Hugo Winckler, Friedrich Delitzsch, Peter Jensen, dan Alfred Jeremias
merupakan figur terkemuka dari pandangan Panbabilonisme ini.[3]
Ini menunjukkan pengaruh penting
ilmu perbintangan pada pemaknaan akan kehadiran manusia di tengah semesta yang
saat itu mula-mula belum benar-benar dipahami di peradaban Mesopotamia. Bahwa
sejatinya peradaban Mesopotamia telah pula memiliki pandangan sains yang tidak
bisa dipandang remeh. Agaknya mesti dibayangkan bahwa diperlukan sejarah
teramat panjang untuk menciptakan suatu hukum bahasa yang kemudian memungkinkan
kuneiform dituliskan dan diwariskan hingga hari ini, juga simbol matematika
hingga perhitungan matematis yang ketat mengenai jarak bintang-bintang di
langit. Tujuan artikel ini adalah untuk memaparkan jejak-jejak astrologis dan
astronomis peradaban kuno Sumeria tersebut. Selanjutnya, penulis akan
menghadirkan refleksi atas semua paparan itu dikaitkan dengan perkembangan
teori tentang alam semesta di masa kontemporer ini.