Saat saya pulang pada pukul setengah sepuluh petang, ibu
semang saya sedang menyimak televisi dalam siaran berbahasa Perancis, sebelum
kemudian berganti ke tayangan berbahasa Mandarin ketika saya mengambil makanan.
Masih ada beberapa bahasa lagi yang dipergunakannya secara aktif, di antaranya
bahasa Rusia, Jepang, dan Spanyol, dan tampaknya sedikit bahasa Arab. Tapi yang
paling menguntungkan bagi saya adalah karena ia berbicara dengan saya dalam
bahasa Indonesia.
“Jadi, bagaimana petualanganmu di hari perdana ini?” Dia
bertanya.
Saya menyendok menu makan malam di hadapan saya, dan mulai
bercerita tentang pertemuan saya dengan seorang perempuan Maroko bernama Nesha.
“Oh, orang Maroko. Di sini memang banyak orang-orang Afrika,
mereka pernah jadi koloni Perancis,” sahut ibu semang saya.
Ayah Nesha meninggal enam tahun lalu, dan dia baru saja
menjenguk ibunya yang sedang sakit—ibunya tinggal di banlieue juga seperti saya sementara Nesha tinggal di area
Trocadero dekat Menara Eiffel. Dia sempat berbelanja bahan makanan, lalu
kebetulan bertemu saya di stasiun RER C Les Saules.
Nesha membantu saya membuat kartu transportasi umum berlanggan
bulanan yang dapat memudahkan saya yang tinggal di pinggiran Paris—istilah
lokal, banlieue—untuk mencapai Paris
dengan tarif terjangkau. Orang-orang di Paris dan banlieue terbiasa berjalan kaki—atau menggunakan otoped ataupun
sepeda—dan untuk jarak jauh mereka memilih menggunakan transportasi umum:
metro, RER (untuk mengantarkan ke wilayah banlieue
A hingga D), bus, dan trem dengan sistem SNCF yang menggunakan kartu atau tiket
Navigo. Tentunya, dibantu membuat kartu Navigo oleh warga lokal menjadikan
pengalaman di hari perdana itu sebagai bentuk perkenalan yang menyenangkan
dengan kota ini.
Saya memilih Paris sebagai tujuan residensi penulis, sebuah
program beasiswa yang digagas oleh pemerintah, dan karena alasan membutuhkan keringanan
finansial saya kemudian memutuskan tinggal di wilayah Orly, di pinggiran
selatan Paris. Ibu semang saya menjelaskan sekelumit tentang tempat kami
tinggal, yang baginya dapat diistilahkan sebagai “cukup kiri”. Di daerah kami,
pemerintah municipal mewajibkan apartemen
privat (dalam artian, semacam apartemen yang dihuni oleh orang-orang kaya) dan
apartemen pemerintah (semacam apartemen yang disubsidi oleh negara) untuk
dibangun saling berdampingan—dan beberapa nama pemikir ataupun politisi kiri
Perancis menjadi nama rue dan avenue daerah itu. Ibu semang saya menyewa
apartemen pemerintah dengan tarif relatif terjangkau bagi seorang pensiunan
sepertinya, di avenue Adrien Raynal, yang diambil dari nama seorang komunis
militan.
Setelah membantu saya dengan kartu transportasi umum itu,
Nesha bilang dia ingin ke kebun binatang, yang terletak di salah satu stasiun
yang akan saya lewati juga, sebelum pulang ke rumah, dan menawari saya untuk menyertainya.
Saya mengiyakan ajakannya. Kami akan berhenti di stasiun metro Gare
d’Austerlitz, sebelum saya melanjutkan perjalanan ke stasiun metro Crimée,
untuk mendaftarkan diri ke sebuah tempat kursus bahasa Perancis, dan dia pulang
ke Trocadero.
Tempat kursus bahasa Perancis murah itu terletak di bilangan
kanal Villette. Saya pikir, mengikuti kursus akan membuat saya punya alasan
untuk sekali jalan menuju pusat kota Paris, meriset ke perpustakaan ataupun
museum, yang jaraknya satu jam perjalanan metro dari rumah kos saya di banlieue, sekaligus berinteraksi secara
wajar dan rutin dengan penghuni kota. Dengan berbagai pembenaran untuk
mengeluarkan sepeser uang demi kursus, saya menambahkan satu alasan yang terdengar
bijaksana bagi diri sendiri: jika kelak saya ingin iseng menerjemahkan karya
sastra Perancis ke bahasa Indonesia, bekal bahasa ini bisa membantu saya.
Nantinya ketika pulang ke Indonesia, saya tinggal mendalami lagi.
Beberapa pekan setelahnya, saya bertemu Johanna Lederer,
seorang pendiri sebuah komunitas pencinta kebudayaan Indonesia, Komunitas Pasar
Malam—nama yang disitir dari buku Pramoedya Ananta Toer Bukan Pasar Malam, ia bersepakat untuk menerjemahkan dua cerita
pendek saya ke dalam bahasa Perancis dan menerbitkannya dalam jurnal terbitan
mereka. Pertemuan itu membuat saya berpikir, mengapa tidak, untuk punya impian membalas
jasa dengan menerjemahkan karya sastra Perancis juga suatu saat nanti?
Sepanjang perjalanan, saya memperhatikan orang-orang di
sekeliling saya. Banyak, teramat banyak gelandangan—entah itu warga lokal yang
menjadi pengangguran dan tak mampu menyewa hunian lagi ataupun imigran yang
menggelandang karena tak memperoleh perlindungan pemerintah.
Ada juga banyak wisatawan, karena Paris adalah destinasi pertama
dunia dalam hal wisata: para wisatawan kaya yang tampak dari dandanannya—yang
tentu didominasi oleh orang-orang China—dan para wisatawan miskin yang
menggendong ransel lusuh dan menggeret kopernya ke mana pun, barangkali sedang
mencari hostel murah lainnya yang bisa disewa untuk beberapa hari.
Lantas, warga lokal yang membawa tas belanjaan penuh barang,
atau menuntun anjing yang lehernya diikat tali, atau mendorong troli bayi, atau
menjinjing otoped, atau memanggul sepeda dan helmet.
Orang dari ras berbeda bercampur baur: kulit hitam, kulit
sangat hitam, kulit kuning, kulit putih, kulit sangat putih, rambut merah,
rambut pirang, rambut hitam, rambut warna-warni, dengan gaya berpakaian yang
berbeda-beda, dengan tatapan dan gestur janggal yang tak terpahami, ataupun
dengan suara keras terdengar sedikit berteriak di telepon. Soal kebiasaan
bertelepon ini, di hampir setiap pinggir jalan, kita akan mendapati orang-orang
kulit hitam yang getol mengobrol dengan lawan bicaranya di telepon dengan
bahasa yang campur baur: Arab, Perancis, Inggris, dan entah apa lagi.
Di tengah banyak orang yang menarik bagi saya dan ingin saya
ajak bicara satu persatu tapi tidak memungkinan untuk melakukannya, pertemuan
dengan Nesha mencukupi rasa penasaran saya untuk mengenal yang lain.
Nesha mengaku bahwa dia menjadi warga negara Perancis karena
orang tuanya menetap dan membesarkannya di sana, walaupun pada mulanya itu
bukan perkara mudah—sebagaimana yang terjadi pada imigran-imigran negara Afrika
bekas koloni Perancis juga. Lantaran cerita yang saya dengar darinya, dia menjadi
orang pertama yang membuat saya berpikir untuk menulis kisah-kisah tentang
orang-orang imigran—dan kemudian mengunjungi museum imigran, musée national de l’histoire de
l’immigration.
Sore sebelumnya, di hari pertama saya tiba di Paris, ibu semang
juga telah mengajak saya berkenalan dengan orang-orang perahu (boat people). Pertemuan yang entah
disengaja atau tidak, karena ia memang berencana menjamu kedatangan saya dengan
makan nasi goreng ikan teri pedas di sebuah restoran Vietnam favoritnya—orang-orang
di restoran itu adalah mereka yang pernah mengalami derita mengapung di lautan
lepas selama berhari-hari demi menyelamatkan diri dari Perang Vietnam, “Saat
mengapung itu, kami selama tiga hari tidak makan dan tidak mungkin meminum air
laut,” begitu katanya.
Kami berjalan melintasi taman dan Nesha tiba-tiba
mencerocos, “Cowok-cowok Perancis itu brengsek, tuh kamu lihat, mereka bakal
merayu ceweknya dengan barang murah. Setelah si cewek berhasil dijerat hatinya,
si cowok nantinya pasti mengajak makan, tapi maunya minta dibayarin si cewek
saja.”
Tapi, bukankah
kebanyakan laki-laki memang seperti itu atau tidak seperti itu atau berada di
irisan itu? Melakukan generalisasi adalah perilaku yang payah ketika hidup
di tengah orang-orang dengan berbagai latar belakang seperti ini. Sejauh ini,
memang tak terjadi perselisihan antara warga lokal dan pendatang. Tapi apa yang
saya tahu? Seorang penulis kontemporer Perancis, Michel Houellebecq, dalam karya
terbarunya menunjukkan kebenciannya pada imigran dan semacam fobia terhadap
Islam, dan entahlah apakah ia akan mempengaruhi lebih banyak orang lagi atau
tidak. Perdana menteri Perancis, Manuel Valls, dalam sebuah wawancara bahkan
berani menyatakan, “Perancis itu bukan Houellebecq, Perancis bukan negeri
intoleran, penuh kebencian dan rasa takut.” Meskipun, sebenarnya masih
kontroversial apakah Houellebecq ini melancarkan kritik pada Islam secara umum,
ataukah hanya militan Islam seperti karakter yang dipilihnya dalam novelnya.
Saya menatap wajah Nesha sungguh-sungguh, apakah dia pernah dibuat patah hati oleh
seorang pemuda Perancis? Pada akhirnya, saya mendapati alasannya menjadi
sesinis itu, karena kemudian dia bilang dia tak pernah menikah, dan tak sedang
punya pacar—di usianya yang sudah memasuki usia pensiunan. Sialnya, dia tampak
tiga puluh tahun lebih muda dari usia biologisnya.
Tampaknya dia bisa kelihatan semuda dan seenergik itu karena
sangat menikmati hidup. Pemerintah Perancis memastikan para pensiun dan para
penganggur untuk dapat mengunjungi tempat-tempat publik yang berbayar dengan
gratis. Bukan hanya tempat wisata, saya dengar beberapa tempat makan pun dapat
memberikan makanan gratis kepada para penganggur. Untuk soal kunjungan gratis
setiap saat ke tempat-tempat wisata, Nesha memanfaatkan statusnya sebagai
pensiunan dengan sebaik-baiknya. Hampir setiap hari, dia berkunjung ke kebun
binatang.
“Kenapa bukan ke museum atau tempat wisata lain yang lebih
disukai turis?” tanya saya.
Dia sendiri merasa janggal menjawab pertanyaan saya, baginya
itu adalah caranya mengisi kekosongan ditinggal mati ayahnya yang semasa hidup
gemar mengunjungi kebun binatang.
Semua pekerja di tempat itu mengenalnya, menyapanya dengan
ramah saat Nesha lewat. Dia bahkan secara sukarela menjadi pemandu yang
menjelaskan tentang segala tabiat binatang di sana kepada para pengunjung yang
datang. Saya menyukai berjalan di sisinya, memandang orang-orang yang mengagumi
pengetahuan Nesha tentang kebun binatang itu. Kami bertahan di sana hingga jam
tutup kebun binatang, dan berpisah di stasiun metro setelah bertukar nomor
kontak.
Saat sendirian tanpa ditemani Nesha di dalam metro di
perjalanan ke tempat kursus ataupun perjalanan pulang ke rumah, saya mulai merasa
terasing.
Dengan jas ataupun pakaian formalnya, saya bertanya-tanya
apakah salah seorang dari orang-orang yang membaca buku-buku tebal di hadapan
saya itu mengajar di universitas bergengsi? Ataukah orang parlemen? Apakah di
antara mereka yang membaca buku itu, salah seorangnya adalah penulis muda Perancis
dan sedang meniti kariernya?
Di dalam metro ini, bukan hanya soal ras dan warna kulit,
ataupun kepercayaan yang dianut, orang-orang kaya dan orang-orang miskin, para
figur publik dan orang biasa tampak tidak keberatan untuk saling membaur—dan
saya, meski terasing, entah kenapa sekaligus juga merasa turut membaur di
tengah keberagaman ini. Tidak seorang pun dari kami memandang aneh kepada satu
sama lain, terlepas dari demikian banyak perbedaan secara fisik, dan hanya
karena itu, di akhir hari saya merasa seperti tidak sedang berada di tempat
asing. [*]