(Cerpen ini dimuat di Jurnal Perempuan No. 93/2017)
SEPULUH
tahun telah lewat bagi kami. Itu adalah waktu saya untuk mulai
menyukainya, mencintainya, dan menjalin hubungan, hingga merelakan ia
pergi selamanya dari hidup saya.
Sore itu hujan, saya mendorong
kursi roda kekasih saya itu. Ia bersikeras meminta saya meninggalkannya
sendiri di kamar rumah sakit yang pengap oleh bau obat-obatan. Saya
bilang saya tak cukup nyali untuk harus kehilangannya tanpa
sepengetahuan saya.
“Aku ingin makan bubur di kafeteria,”
ujarnya pada hari terakhir itu. Sementara dibiarkannya senampan makanan
dari rumah sakit tak tersentuh.
Sepanjang perjalanan menuju
kafeteria, kami melihat banyak burung gereja beterbangan di langit,
“Besok aku akan menjadi salah satunya,” katanya. Saat itu ia seolah-olah
sepenuhnya menyerah akan hidup.
Entah apa yang ada di
pikirannya. Yang jelas, lama setelah menerima kabar mengenai kanker yang
ia derita, saya menyadari tak lama lagi saya akan kehilangan kekasih
saya. Dan hanya bisa mendorong kursi roda pria itu saat ia sedang merasa
hampir mati membuat saya merasa tak berguna.
Sepuluh kilogram
bobot tubuhnya turun selama setahun ia menjalani kemoterapi. Kanker otak
yang ia derita baru kami ketahui ketika sudah menjelang stadium akhir.
“Seandainya
kita bisa kembali ke masa lalu dengan mesin waktu,” ujarnya saat itu.
“Mungkin seharusnya kita tidak pernah bertemu. Waktumu terbuang sia-sia,
sepuluh tahun kamu habiskan hanya untuk menemani pria yang akan mati.”
KAMI
sampai di kafetaria rumah sakit. Saya memesan dua mangkuk bubur ayam
dan dengan sigap mengambil dua botol air ukuran sedang.
Darah
mengucur dari hidung kekasih saya. Ia tidak bisa menggerakkan tangannya
untuk menghapus darah itu. Dua minggu sebelumnya, kedua tangannya mulai
lumpuh.
“Kita seharusnya benar-benar tidak usah bertemu,”
rajuknya. Darah dari hidungnya terus mengucur dan tak berhenti. Saya
ambil tumbukan daun sirih dari wadah plastik di dalam ransel dan saya
letakkan di lubang hidungnya. Beberapa saat, darahnya berhenti.
“Atau, seandainya kita segera menikah di tahun pertama perkenalan kita.” Ia masih meneruskan kelakarnya.
Saya
terpaku mendengar kalimat terakhirnya. Barangkali kami memang sebodoh
itu karena meniru kisah percintaan Jean Paul Sartre dan Simone de
Beauvoir. Kami melewatkan sepuluh tahun hanya untuk berpacaran, bekerja,
dan bervakansi menjelajahi tempat-tempat asing. Kami terlalu banyak
membual soal kehidupan berumah tangga, merencanakan jumlah anak, dan
rumah idaman, tanpa pernah merealisasikannya.
“Kita bahkan belum dikaruniai keturunan,” lanjutnya.
“Seandainya
kamu bisa mendonorkan spermamu sebelum meninggal,” saya mencandainya.
Ia tertawa, tapi tawanya tidak bisa selincah sebelum kanker bersarang di
otaknya. Dulu setiap saya berlelucon, saya selalu menerima kecupan
mesra darinya di kening.
“Carilah pria lain setelah aku meninggal,” pintanya.
“Bagaimana
dengan opsi mengadopsi seorang anak?” jawab saya, “Dan menamainya
dengan namamu atau nama orang-orang yang kita idolakan?”
Ia tersenyum, tetapi air mata jatuh di pipinya. Itu hari pertama dan hari terakhir saya melihat air mata di wajahnya.
SAYA
akhirnya mengadopsi seorang anak dan membangun usaha sendiri. Anak itu
saya namai Gandhi, sebagaimana kekasih saya dan saya mengagumi Mahatma
Gandhi. Lima tahun telah berlalu semenjak saat itu. Saya sudah tidak
mampu mengingat lagi bagaimana perasaan saya sewaktu melihat jenazah
kekasih saya di ranjang rumah sakit. Usaha yang saya rintis membuat saya
sepenuhnya melupakan impian berumah tangga.
Saya selalu membuka
toko buku dan kafe setiap pukul enam pagi lewat sedikit, dan menutupnya
ketika sudah larut. Terkadang, saya juga tidak menutupnya sama sekali.
Selalu ada orang-orang yang bermalam di kafe karena larut dalam
pembicaraan. Pagi ini sekitar tiga atau empat pasangan kekasih memesan
kopi dan menu sarapan ringan setelah semalaman tak pulang. Buku-buku
bacaan ringan dari toko buku menumpuk di meja, masih bersegel, menjadi
bantal tidur mereka.
“Ini masih bisa dilakukan sendiri. Biarkan saya yang angkat,” terdengar suara seorang pria tua dari kejauhan.
Pukul
tujuh pagi, tetangga saya sudah banyak bicara di teras rumahnya sewaktu
saya membereskan kafe dan mengantarkan pesanan pelanggan. Saat saya
lihat, pria yang berusia delapan puluhan itu dengan keras kepala
menurunkan kursi roda dari mobil pick up seorang diri. Diabaikannya
kurir pengantar yang berniat membantu.
Selepas kepergian kurir
itu, ia berdiam diri lama demi memandangi kursi rodanya. Saya sudah
membereskan piring dan gelas terakhir, dan mengganti taplak meja, ketika
ia akhirnya duduk, mencoba mendorong-dorong kursi roda. Ada keriangan
kanak-kanak dari caranya tergelak menertawakan diri sendiri saat duduk
di kursi roda itu, dan dari caranya mengibaskan tangan sewaktu ia
mendapati saya memandang ke arahnya.
Ia barangkali akan cocok dengan ayah saya. Semalam saya menjemput Ayah di bandara. Saya minta ia tinggal bersama saya.
Keputusan
itu muncul di benak saya pada kunjungan terakhir saya ke rumah. Saat
itu seluruh rumah bau kotoran tikus, lampu-lampu dibiarkan menyala
sepanjang hari, dan botol-botol bir menumpuk di kamar Ayah. Sebagai anak
tunggal, saya tak akan tega membiarkan Ayah hidup seperti itu.
Sebenarnya
ibu dan ayah saya sudah bercerai sejak saya merantau kuliah dan bekerja
di Jakarta. Namun, beberapa bulan lalu sesudah Ibu wafat, kata tetangga
kami, kerja Ayah hanya bermurung diri dan keluar rumah untuk
menghabiskan uang pesangon. Saya tak menyangka Ayah menjadi begitu tak
menghargai hidup setelah mengetahui kepergian Ibu. Ia dipecat dari
perusahaan tekstil tempatnya bekerja dan tak mencari pekerjaan lagi.
Ayah bahkan tak bisa mencuci baju sendiri ataupun merawat diri.
Saya
senang karena akhirnya ia mau ikut pindah. Meski semalam saat saya
jemput, di perjalanan kembali dari bandara, ia memaksa berhenti di
swalayan 24 jam dan membeli berkerat-kerat bir. Di kamarnya, kini Ayah
pasti masih belum terjaga. Beberapa minggu ke depan, ia tampak masih
akan menghabiskan waktunya lebih banyak untuk merokok dan minum bir
sebelum tidur. Saya tak mencegahnya. Hanya saja, sebelum kepindahan
kami, saya minta ia lebih bisa berlaku mandiri.
“Penghasilan
saya belum banyak. Saya baru menjalankan usaha toko buku dan tempat
makan ini selama lima tahun,” ujar saya di dalam taksi.
Ayah yang duduk di sebelah saya tampak tak acuh.
“Keuntungan dari usaha ini bahkan belum menutup hutang pinjaman saya di bank. Jadi, tolonglah, saya minta kerjasama Ayah.”
“Sudah
kubilang, kau tak usah ajak aku ikut pindah,” jawab ayah saya, “kau
tinggal biarkan aku mati di rumahku kalau kau mau terus larang aku beli
bir.”
“Saya mana tega membiarkan Ayah mati. Memangnya Ayah mau
bikin saya jadi yatim piatu? Ayah bisa tinggal bersama saya, tapi tolong
mengerti keadaan saya juga. Bir-bir itu, rokok-rokoknya, tolong
dikurangi.”
“Capek aku dengar keluh kesah kau, Denada. Terima
kasih kau ajak aku turut pindah, tapi jangan kau atur terlalu banyak
hidupku,” jawab Ayah naik pitam.
SAAT saya menyetelkan
televisi ke channel yang banyak menampilkan kartun-kartun hari Minggu,
tetangga saya datang dengan kursi rodanya. Orang-orang memanggilnya
Markus. Saat itu ia mengetuk pintu kafe. Wajah riangnya tampak tersenyum
di pintu kafe, sebelum kemudian ia mendorong sendiri pintu itu.
“Kursi roda baru?” tanya saya.
Kursi
roda itu tampak istimewa. Barang-barang yang ia miliki memang rata-rata
bermerek mahal. Istrinya meninggal tiga tahun lalu, tetapi ia tampak
baik-baik saja dengan ditemani barang-barang itu. Hingga hari ini,
ketujuh anaknya—yang kesemuanya menjadi orang sukses—masih rajin
mengiriminya uang dan barang. Ia hampir selalu datang bercerita ke kafe
saya setiap ada kiriman yang datang. Dari yang saya lihat, barang-barang
itu membuatnya bahagia.
“Anak-anakku ini kelakuannya
betul-betul sudah, cerewetnya keterlaluan. Mereka kirimkan benda ini
dengan pesan agar aku gunakan kursi roda ini kalau sewaktu-waktu aku
capek berjalan. Sepertinya mereka mau ayahnya cepat-cepat tidak bisa
berdiri.” Markus menjawab dengan bercanda. Seperti biasa, perkataannya
dibarengi tawa.
“Mau minum susu dengan stroberi? Sekontainer
buah segar baru datang pagi tadi. Stroberi, semangka, pisang, apel,
nanas, mangga, anggur,” saya hampir merinci semua buah.
“Apa
saja boleh, tapi stroberi favoritku. Asalkan kamu tidak bilang ke anakku
kalau aku minum itu. Bisa-bisa dia kirim koki masakan vegetarian dan
dokter gizi khusus diabetes kalau dengar ayahnya banyak konsumsi yang
manis-manis dari kafe tetangga.”
“Kenapa tidak mencarikan ayahnya istri baru saja, kalau begitu?” canda saya sembari menyuguhkan susu stroberi.
“Mungkin
mereka pikir ayahnya bisa mati di ranjang waktu bercinta dengan istri
barunya,” sahutnya sambil tertawa. “Kulihat kamu mengajak seorang lelaki
paruh baya tadi malam? Dia siapamu?”
“Itu ayah saya. Semalam ia terlalu banyak minum bir, sepertinya sekarang ia masih tidur di kamarnya.”
“Ah,
siapa bilang? Pagi-pagi buta ia sudah keluar rumah, terakhir kulihat ia
duduk di lapangan rumput, menonton anak-anak main sepak bola sambil
pegang botol bir di tangan.”
“Pak Markus tidak mengajaknya bicara?” tanya saya.
“Aku
masa bodoh saja tadi. Aku tak suka dengan orang yang dari tubuhnya
menguar bau minuman keras. Ayahmu kelihatan frustrasi betul. Tapi
seandainya saja aku tahu ia ayahmu, aku pasti sudah tarik lelaki
bangkotan itu pulang kemari. Gila saja, gadis sebaik kamu punya ayah
berkelakuan begitu.”
Saya terpingkal sejadi-jadinya. “Ibu
meninggal enam bulan lalu. Mungkin itu banyak mempengaruhi Ayah,
walaupun mereka sudah lama bercerai.”
“Tidak usah murung begitu.
Lupakan saja ayahmu. Ayo, bicarakan yang lain. Kau lihat gunung di
seberang itu? Pagi ini tampak cantik dan agung sekali. Mungkin bisa
membuatmu lebih ceria.”
Mungkin juga tidak. Ada banyak kenangan
dari gunung itu. Saya pernah mendakinya langsung bersama kekasih saya
yang meninggal lima tahun lalu. Hanya berdua dari Jakarta, kami
mengelilingi kota ini. Pada hari itu, Johan secara spontan mengajak saya
menaklukkan gunung di seberang itu. Apa yang kami lakukan hari itu yang
menuntun saya ke kota ini.
Ada para pecinta yang akan menantang
dunia dan bersedia dunia membencinya agar ia bisa bersama dengan orang
yang dicintainya. Dulu kami melakukannya, sama-sama tak peduli dengan
identitas suku dan agama yang berbeda di antara kami. Selama sepuluh
tahun kami menjauh dari keluarga yang menolak hubungan kami. Selama itu,
satu kali pun tak pernah membersit di pikiran saya untuk mewujudkan
harapan Johan menikahi saya. Ia sudah merayu saya berkali-kali untuk
menikah pada tahun kelima hubungan kami. Ia bilang, dengan tabungannya,
ia sudah bisa membeli rumah sendiri dan menafkahi saya.
Sayalah
yang bodoh dan menyia-nyiakan kehadirannya. Sebagai anak tunggal, dengan
kedua orang tua yang bercerai, saya susah menyanggupi permintaan Johan.
Saat mengingat masa-masa itu, terkadang saya menangis di pojok kafe
setiap tak ada pengunjung. Membenamkan wajah saya di balik buku dan
tertidur pulas sampai ada pengunjung atau karyawan shift yang datang dan
membangunkan saya.
“Kenapa jadi tambah murung?” Markus tampak heran. “Mana Gandhi? Hari Minggu kau taruh ia di Sekolah Minggu lagi?”
“Ia suka di sana. Hobinya menggambar mendapatkan wadah di tempat itu.”
“Atau
jangan-jangan ia betah karena ia menemukan ayah baru di sana?” goda
Markus. “Carikanlah anakmu itu ayah baru. Kamu masih empat puluhan,
cantik, cergas memasak. Andai usiaku bisa dikorting empat puluh tahun,
aku pasti melamarmu.”
Bagaimana bisa membayangkan memberi ayah
baru untuknya? Saya mengadopsi Gandhi yang berusia tiga tahun dan sejak
saat itu membiarkannya tumbuh besar tanpa ayah. Dia sudah terbiasa
tumbuh tanpa seorang ayah. Saya bilang ayahnya diplomat, yang
pekerjaannya selalu mengharuskan berpindah-pindah negara. Setiap hari
ulang tahunnya, Gandhi mendapatkan kiriman dari teman-teman saya di luar
negeri. Ada nama kekasih saya, Johan Winangun, di setiap kartu ucapan
selamat. Saya bilang itu nama ayahnya.
Gandhi tak banyak bertanya lagi sejak hari pertama ia dikirimkan satu kardus berisi kamus bergambar.