Untuk Rio Johan.
Saat aku menunggu jadwal penerbanganku di bandara, jasad
seorang kawan di kampus yang juga tinggal satu indekos denganku sedang diotopsi
di rumah sakit. Beberapa botol minuman yang diraciknya menewaskan belasan kawan
sepeminuman kami. Dia tidak ikut mati karena mabuk minuman, tapi mungkin karena
merasa bersalah, dia kemudian bunuh diri malam itu juga. Aku kebetulan tidak
ikut minum dengan mereka karena sedang putus cinta. Dan kini aku terlalu patah
hati untuk terlibat dalam drama atau pun persidangan terkait kematian
kawan-kawanku, jadi aku memutuskan pergi.
Kalau bukan karena dikabari oleh Ibu bahwa Ayah akan dinobatkan menjadi
suttan dan diistanakan di pepadun dalam minggu ini, dan karenanya Ibu
mendesakku untuk pulang, aku tentu akan lebih memilih berkelana tak tentu arah
daripada pulang ke rumah. Tapi pulang ke rumah pun sama dengan menghindari
hal-hal tidak menyenangkan di kota ini. Lagipula, tiket pesawat dibayar
sepenuhnya oleh Ibu, jadi hal apa yang patut kukeluhkan? Jadi, tentu aku
akhirnya memilih pulang ke rumah.
Sudah lama aku tak pulang ke kampung halamanku. Ayah dan ibuku adalah
transmigran di Tulang Bawang Barat, dan rupanya mereka terlalu mengamalkan
dengan baik nilai-nilai hidup di sana sehingga kemudian diangkat anak oleh
nenekku. Dan kini, sekian belas tahun setelah kepindahan kami ke daerah itu,
Ayah akan mendapatkan gelar tertinggi orang-orang di sana: suttan.
Aku dijemput Paman di bandara dan ia memberiku hormat selayaknya anak
pejabat. Kutertawakan kelakuannya karena aku tahu ia menyindir Ayah. Aku paham
yang diejeknya bukan gelar suttan yang akan diperoleh Ayah, tetapi lebih pada
sikap kaku Ayah selama ini—dan betapa kompletnya bila sikap kakunya itu
disandingkan dengan gelar tertinggi tersebut. Sosok ayah tentu akan bertambah
angker.
Kugoda Paman, apakah dia masih belum dapat mengalahkan Ayah dalam
pertandingan catur. Dia mengangguk. Aku yakin memang akan sulit menemukan lawan
tanding yang setara dengan Ayah. Maka kusimpulkan pada Paman, Ayah tidak akan
tampil rendah hati di hadapannya bila dia belum kunjung mampu mengalahkannya.
Kami tertawa. Ia lantas menyodok tanganku dan mengganti topik. Kali ini ia
hendak membahas soal pendamping bagiku. Sebagai anak tunggal, aku diharapkan
menikah cepat. Aku menggeleng sekenanya. Aku pernah punya seseorang untuk
digandeng, tapi tidak untuk saat ini. Paman rupanya mencoba untuk mengerti aku
malas membahas hal itu.
Selama tiga jam saling bertukar menyetir mobil dalam perjalanan dari
bandara ke rumah, aku dan Paman bertukar ringkasan lima tahun masa hidup kami
yang telah terlewatkan selama masa perantauanku di pulau seberang.
Bibi telah meninggal, dan Paman menikah lagi karena pada suatu malam dia mabuk fermentasi singkong sehingga tidak bisa membedakan bokong sapi dan bokong istrinya sekarang. Dia tukang perah sapi sebelum menikahi istri keduanya, tapi kini dia bekerja mengolah hasil perkebunan dari sekian hektare tanah milik mertuanya.
Bibi telah meninggal, dan Paman menikah lagi karena pada suatu malam dia mabuk fermentasi singkong sehingga tidak bisa membedakan bokong sapi dan bokong istrinya sekarang. Dia tukang perah sapi sebelum menikahi istri keduanya, tapi kini dia bekerja mengolah hasil perkebunan dari sekian hektare tanah milik mertuanya.
Di sepanjang jalan, dia menunjuk area kiri-kanan jalanan itu yang merupakan
perkebunan milik mertuanya. Aku akan mensyukuri hidupku bila mendapatkan mertua
dengan kekayaan semacam itu, kubilang kepada Paman. Tapi dia tertawa dan justru
bersumpah dengan sungguh-sungguh bahwa bokong si istri pun sudah merupakan
anugerah baginya.
Rumahku rupanya tak banyak berubah meski lama kutinggal. Pekarangannya
masih dipenuhi pot bugenvil yang biasanya dibawa Ibu sebagai oleh-oleh dari
perjalanan dinasnya, dan bahkan koleksinya bertambah lebih banyak lagi. Meski
Ibu doyan membeli tumbuhan, Neneklah yang paling getol merawatnya, bersama dengan
anggrek-anggrek bulan yang dipetiknya dari hutan. Dan Ayah masih memelihara
anjing dalam jumlah yang lebih banyak lagi karena saat mobil kami datang,
anjing-anjing itu berhamburan bagaikan domba.
Beberapa orang hilir-mudik di pekarangan rumah sembari membawa gotongan.
Mereka adalah tetangga kami yang membantu persiapan pesta perayaan penobatan
Ayah. "Ini pesta besar dan kamu tahu makanan lezat apa saja yang akan kamu
nikmati di pesta besar itu," ujar Paman di sisiku dengan tawa yang amat
lebar. Kami akan menikmati rendang sapi paling enak, kue-kue jajanan pasar
paling segar, dan sepanjang pekan es buah akan mengguyur dahaga tenggorokan
kami di tengah cuaca yang sedang terik membara ini. Lama tidak pulang, dan kini
disambut dengan pesta. Luar biasa.
Nenek melepas selang air di pegangannya ketika melihatku turun dari mobil.
Belasan anjing di pekarangan rumah itu tidak menggonggongku seolah tahu bahwa
aku adalah salah satu tuan mereka juga. Membiarkan air dari selang membeceki
halaman, Nenek menghampiriku dan memelukku demikian erat. "Kenapa demikian
lama tidak pulang," tanyanya. "Kenapa Nenek masih tampak muda dan tak
berubah sedikit pun," kujawab. Dan dia tergelak, lantas cepat-cepat
menyongsongku ke arah dapur.
Ibu sedang memandu beberapa perempuan yang berada di dapur bersamanya untuk
meracik bumbu. Hanya sebuah pesta besar yang akan memanggil wanita karier satu
itu ke dapur dan berurusan dengan perapian. Wajah dan gerak-geriknya masih
optimistis dan garang seperti biasa. Tapi begitulah ibuku kukenal sebagai
perfeksionis. Saking sibuknya, bahkan ia tak menyadari kehadiran putra
tunggalnya di pintu dapur.
Maka aku meminta Nenek untuk ikut ke kamar dan membiarkan Ibu larut dengan
kesibukannya.
Kami duduk di ranjang di kamarku. Masih ada sederetan poster ilmuwan
favoritku, atlas dunia dan atlas negara, juga catatan-catatan formula
matematika, fisika, dan kimia di dinding kamar itu. Kamar itu mengingatkanku
kepada diriku yang pernah hingga bermalam-malam suntuk begadang untuk
mempersiapkan olimpiade sains dan pada akhirnya menggondol pulang medali-medali
emas. Sementara, selama lima tahun berkuliah aku justru terjauhkan dari semua
itu. Yang ada hanya deretan demonstrasi, pergerakan, harapan untuk revolusi,
mabuk minuman keras, kecanduan ganja, dan kematian kawan. Betapa mudahnya hidup
menjelma ironi dalam waktu singkat.
Nenek mulai menderetkan hari-hari indah dan hari-hari kelabunya selama aku
tak ada di sisinya. Dia memang tak pernah kehilangan kisah untuk dia ceritakan.
Kata Ibu, pada suatu hari, Kakek tiba-tiba saja tak bisa diajak bicara oleh
Nenek, lalu Kakek pergi ke tengah hutan dan tak pernah kembali lagi, dan sejak
itu Nenek kerap duduk termenung di halaman rumah, atau terkadang duduk di atas
pepadun di lantai dua rumah kayu kami. Kepada siapa saja yang duduk di
dekatnya, Nenek akan mulai menceritakan banyak kisah. Nenek punya kisah-kisah
asli selama 600 tahun ke belakang. Dan kisah-kisah itu berasal dari
pengalamannya sendiri. Usianya lebih dari 600 tahun, dan dia tidak bisa
memastikan kapan tepatnya dia lahir. Dia adalah ibu dari nenek dan nenek dan
nenek dan nenek di atas nenekku. Itu pun dengan mengandaikan bahwa ia memang
nenek yang sedarah denganku, dan kenyataannya bukan.
Saat ayah dan ibuku pindah ke Tulang Bawang Barat, mereka bertemu dengan
Nenek—tinggal bersama cukup lama—dan sejak itu mereka diangkat anak olehnya.
Selama ratusan tahun hidupnya, perempuan tua yang kini sedang menimang-nimang
jemariku di pahanya telah sembilan kali selamat dari kematian.
Selain sembilan kali “takdir kematian” yang datangnya dari alam itu, ada
ratusan kali “percobaan kecil” yang berusaha dilakukan musuh-musuhnya untuk
membunuh Nenek. Dan percobaan-percobaan pembunuhan yang kecil-kecil itu tak
masuk radar hitungannya. Sewaktu aku kecil, hampir setiap hari aku mendapati
bagian-bagian di halaman rumahku berlubang besar. Setiap pagi, aku akan
mendapati Nenek mandi kembang dan kemudian menyiram liang-liang itu dengan air
pembersihannya. Katanya, itu adalah liang-liang kematian yang disiapkan
musuh-musuh bebuyutannya untuk Nenek. Sepanjang malam saat aku dan seisi rumah
tertidur, Nenek rupanya bertarung kesaktian dengan musuh-musuhnya itu.
Saat kutanyakan kepada Nenek apakah halaman rumah kami masih sering
berlubang, dia justru balik menanyakan kepadaku apakah aku bersedia mewarisi
kesaktiannya.
Apakah kesaktian yang ia maksud sama dengan kehidupan imortal?
Pertanyaan itu mengambang di benakku hingga ia bangkit dari duduknya. Aku
tetap tak menanyakannya. Dia membuka lemari di seberang kamarku dan
mengeluarkan kotak-kotak dari sana. Lantas, membuka kotak-kotak itu satu per
satu. Kosong.
"Aku ingin berhenti dan tak mengejar apa-apa lagi," bisik Nenek
lirih.
"Apakah di kotak itu terdapat sesuatu yang tak dapat kulihat,"
kutanya.
Dia tersenyum. "Aku akan pulang pada malam bulan purnama pekan
depan," jawab Nenek.
"Apa pun yang terjadi, aku tak menghendaki kesaktian itu sama
sekali," aku tegaskan kepada Nenek.
Dia memelukku demikian erat dan hanya membisikkan, "Padahal selama ini
aku menunggu kepulanganmu dan mendengarmu siap mewarisinya dariku."
Selama beberapa hari perayaan pesta penobatan Ayah sebagai
suttan, rumah kami ramai bukan main. Sebagian besar kenalan Ayah dan Ibu mampir
ke rumah tak kenal waktu. Teman-teman sepermainanku pun mengunjungiku dan
menyampaikan selamat. Masing-masing dari mereka mengajak serta pasangannya.
Tapi kami tak bicara banyak karena tampaknya hidup mengantar kami ke
kutub-kutub berseberangan.
Nenek dan Ibu demikian sibuk menyambut tamu. Mereka tampak cantik dengan
seragam dan mahkota berwarna cerah. Sementara Ayah duduk bersila di atas
panggung dikelilingi oleh para tetua adat setempat. Musik mengalun sepanjang
waktu. Gadis-gadis menari di tengah panggung.
Dan aku dibebaskan mengambil potret peristiwa itu dengan kameraku. Sejak
Ayah dan Ibu memilih berprofesi menjadi “orang terpandang”, aku sudah tahu
“pekerjaan” apa yang kukehendaki untuk
menghindari sorot perhatian: fotografer. Sejak jauh-jauh hari, aku telah
mengembangkan hobi fotografi, supaya aku punya alasan untuk menghindari
kerumunan, dan mempehatikan detail-detail kecil yang diluputkan banyak orang
dalam hingar-bingar pesta.
Aku diam-diam mengamati Nenek dari kejauhan, beberapa kali menjepretnya
dengan pembesaran lensa tele. Melihat pembawaannya, betapa aku ingin belajar
darinya cara untuk mengikhlaskan kehidupan. Aku yakin bukan hanya kepadaku ia
mengatakan bahwa ia akan berpulang pekan ini. Tapi mungkin ia bisa setenang itu
karena ia telah hidup selama ratusan tahun. Itu adalah jenis ketenangan yang
dimiliki oleh seseorang yang telah menyesap hidup hingga ke ampas-ampasnya.
Tapi untuk apa Nenek mewariskan kesaktiannya? Tidak bisakah kesaktiannya
dilimpahkan saja ke tanah yang dipijaknya? Tanah yang sakti tentu lebih baik
agar tanah itu bisa menjaga unsur-unsur haranya dan menyuburkan segala jenis tanaman
yang benihnya ditaburkan padanya. Aku tak memerlukan warisan kesaktian untuk
hidup imortal karena itu akan membuatku semakin bertambah kecewa menghadapi
hidup yang palsu ini.
Sekian hari setelah pesta Ayah usai, Nenek mulai menggigil demam. Seluruh kulit
dan rambutnya berubah putih. Nenek mengisyaratkan kepada kami bahwa ia akan
meninggal petang itu dan ia minta agar kami menyiapkan terusan putih panjang
untuk dikenakannya malam nanti.
Ia lantas dibaringkan pada ranjang besar di ruangan utama rumah. Ibu
memanggil para tetangga kami untuk mengelilingi Nenek.
Malam akhirnya tiba. Seekor harimau putih berputar sembilan kali di halaman
rumah hingga ibuku membukakan pintu untuknya. Aku melihat wajah para perempuan
yang mengelilingi ranjang di ruangan utama rumah ini pucat seakan kehabisan
darah saat harimau itu masuk dan berdiri di pintu kamar.
Demi nenekku yang terbaring lemah di atas ranjang, mereka berpuasa dan
melafalkan doa dengan amat khusyuk seharian itu.
Betapapun puasa dan doa menyucikan jiwa mereka, harimau itu tidak datang
untuk mereka. Ia datang untuk nenekku. Seperti yang dikatakan Nenek, hari itu
adalah hari kematiannya.
Langkahnya perlahan, seakan ia berjalan dengan dua kaki. Ketika ia
mengentakkan ekornya ke lantai, nenekku terbangun dari tidur panjangnya. Nenek
menyebut sebuah nama yang hanya terdengar samar-samar. Seakan panggilan itu ia
pahami ditujukan untuknya, harimau itu menyelonjorkan keempat kakinya dan
bersimpuh kalem di depan ranjang.
Nenek menghampirinya, ikut bersimpuh di hadapan harimau itu. Cakar si
harimau menancap di dada Nenek dan cakar itu menggaruk dada itu hingga
menyentuh bagian perut. Seisi rumah meraung sementara harimau itu tak kunjung
mengaum. Aku terbengong-bengong dan hanya mampu membekap mulutku sendiri. Nenek
bergeming, ia sentuh kepala harimau itu bagaikan ia menyentuh kepalaku saban
hari, dan membelainya dengan sayang.
Selanjutnya hanyalah kisah bagaikan dongeng. Nenek menuntun harimau putih
itu keluar rumah dengan dada berlubang. Isi dada dan perutnya tercecer di sepanjang
langkahnya. Mereka berjalan menyusuri pekarangan, pergi jauh, hingga hilang
ditelan cakrawala.
Masih dengan isak tangis, para perempuan tetangga kami itu beranjak untuk
membersihkan jejak darah itu, tetapi sewaktu mereka mengambil kain lap ke belakang
rumah dan kembali lagi ke ruang tengah, genangan darah kental itu telah menguap
ke udara.
Kata ibuku, Nenek telah mencapai keabadian. Hari itu, aku memahami
keabadian bagi Nenek adalah kehilangan bagiku.
Bagaikan sebuah kutukan, Ibu tak kunjung berhenti menangisi kepergian
Nenek. Bahkan saat ia tertidur, air mata mengalir tipis di pipinya. Ayah pulang
dari tempat kerjanya pada dini hari, dan sebelum tidur, ia sempatkan mengusap
air mata itu dan mengecup kening Ibu. Kemesraan ayah itu berlanjut selama tiga
hari, hingga suatu hari sepulang dari rumah teman masa kecilku yang baru saja
melahirkan putra pertamanya, aku mendengar kabar jasad ibuku ditemukan
mengambang di sungai Way Kiri. Itu adalah sungai yang kudengar keangkerannya
karena orang-orang sakti di daerahku ini kehilangan kekuatannya apabila
melintasi sungai itu.
Ayah memutuskan untuk tidak menikah lagi setelah itu. Ia
memerintahkan tukang untuk membangun dua patung perwujudan nenek dan ibuku, dan
ia menyembahnya setiap hari. Orang-orang sempat menggunjingkan perilakunya,
karena Ayah sesungguhnya menganut Islam. Tapi lama-kelamaan gunjingan itu pun
surut juga. Meski untuk perihal pemujaan itu kelakuan Ayah jadi tampak sangat
aneh, sehari-harinya ia tetap berangkat dinas ke kantor. Sudah dua belas tahun
Ayah bekerja untuk kantor sebelumnya, dan baru-baru ini ia pindah bekerja di
kantor bupati karena daerah kami menjadi daerah pemekaran. Ayah menggantikan
semua pekerjaan Ibu. Ia membersihkan rumah, mencuci bajunya sendiri, dan
memasak. Hanya tinggal kami di rumah ini saat ini, tapi aku tidak mengerti
mengapa aku tetap tak bisa bicara di hadapannya. Bahkan sejak Nenek dan Ibu
masih hidup, aku merasa ada sekat di antara aku dan Ayah. Dulu Ibu adalah
perantara kami. Seakan-akan semua hal yang hendak kusampaikan pada Ayah justru
kualihkan kepada Ibu. Kini, saat hanya tinggal kami berdua, aku tak tahu
bagaimana caranya menyembunyikan kekhawatiran ini. Hingga tiba saatnya aku
kembali lagi ke perantauan beberapa pekan lagi, dan Ayah akan menghuni rumah
ini seorang diri. [*]
Cerita pendek ini akan secara eksklusif diterbitkan
dalam kumpulan catatan perjalanan ke Tulang Bawang Barat (bersama Yusi Avianto
Pareanom, Nukila Amal, Dea Anugrah, AS Laksana, Esha Tegar Putra, Langgeng
Anggradinata, Iswadi Pratama, dan Afrizal Malna) dengan Studio Hanafi yang
bertajuk “Tubaba”, Juni 2016.
No comments:
Post a Comment