Surat
edaran Rinkes itu menyebutkan kriteria bacaan yang berterima oleh komisi
tersebut: (1) netral terhadap persoalan agama; (2) tidak boleh mengandung
pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah; (3) tidak menerima
sastra yang bersifat cabul; (4) karya harus ditulis dalam bahasa Melayu tinggi
karena karya tersebut akan dibawa ke sekolah-sekolah; dan (5) sastra semestinya
menerapkan penokohan yang lazim: karakter hitam-putih.[2]
Pada perkembangannya, pemerintah Kolonial Belanda terbilang berhasil menerapkan
aturan-aturan tersebut, terutama dalam mengasingkan bahasa Melayu Populer yang
merupakan bahasa utama dalam penulisan kesusastraan Melayu-Tionghoa sehingga
sejak 1930-an para pengarang pribumi[3]
praktis mulai belajar dan hanya menulis dalam bahasa Melayu tinggi.
Bahasa
Melayu tinggi yang berasal dari Kepulauan Riau kemudian menjadi bahasa
Indonesia dengan corak yang lebih baku, yakni bahasa yang ketika itu digunakan
dalam sekolah-sekolah pemerintah yang kemudian lazim dikenal sebagai bahasa
Balai Pustaka.[4]
Penggunaan bahasa Melayu populer ini baru dibedakan dengan Melayu ala Balai
Pustaka setelah terjadinya pemberontakan PKI di tahun 1920-an.[5]
Terkait hal ini, perlu ditekankan bahwa Claudine Salmon, peneliti kesusastraan
Melayu-Tionghoa, berpendapat bahwa sebelum pertengahan 1920-an, bahasa Melayu
Populer telah lebih intensif dan lebih dahulu dipakai oleh masyarakat pribumi
Indonesia di Jawa dibandingkan bahasa Melayu tinggi yang ditegaskan
penggunaannya oleh Balai Pustaka.
Penerbit
Balai Pustaka sendiri di kemudian waktu berperan besar dalam perpanjangan
tangan politik kolonial Belanda. Oleh komisi tersebut, kesusastraan
dikendalikan dan dihaluskan. Sensor diterapkan untuk hal-hal yang terkait isu
kolonialisme, sebaran ideologi komunis, ataupun pemikiran progresif Islam.
Karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, bersama dengan karya sastra generasi awal
penulis sosialis penduduk pribumi—literatuur socialistisch—seperti yang
ditulis oleh Semaoen dan Mas Marco Kartodikromo, dicap sebagai bacaan liar
karena dianggap mengganggu kestabilan pemerintahan kolonial Belanda. Kualitas
karya mereka dinilai berbahaya secara politis dan mengganggu moral masyarakat.[6]
Novel Mas Marco, Mata Gelap (1914), hingga novelnya satu dekade
kemudian, Rasa Merdika (1924), tidak masuk dalam perbincangan sastra
pada ulasan majalah ataupun resensi di masa itu. Demikian halnya dengan novel
Semaoen, Hikajat Kadiroen (1922). Sementara itu, sebagian besar karya
sastra Melayu Tionghoa yang dicap sebagai bacaan liar praktis diberangus habis.
Secara singkat dan gamblang, dapat dikatakan politik Balai Pustaka telah
sepenuhnya bekerja dalam membatasi resepsi pembaca atas karya-karya mereka.[7]
Tradisi Penerbitan
Dalam
tradisi penerbitan di Indonesia, terhitung sejak masa pra-Indonesia, peranakan
Eropa adalah golongan yang memiliki privilese paling besar. Pada periode 1858-1900,
mereka memiliki 14 terbitan surat kabar di Betawi dan 6 terbitan surat kabar di
Surabaya. Pada terbitan-terbitan mereka tersebut, peranakan Tionghoa hanya
dipertugaskan untuk membantu dalam ranah pekerjaan redaksional.[8]
Meskipun pada saat itu pula, Lie Kim Hok, penulis peranakan Tionghoa, telah
dikenal menghasilkan sejumlah karya tulis, dan ia mendapat julukan sebagai
bapak “bahasa Melayu-Betawi” berkat kamus bahasa Betawi yang disusunnya.[9]
Setelah peranakan Eropa, pada tahun 1880-an, peranakan Tionghoa menyusul
memiliki penerbitan sendiri. Dengan demikian, mereka lebih punya kebebasan
sendiri, atas pilihan sendiri, dan dengan tanggung jawab sendiri.[10]
Disusul kemudian kepemilikan penerbitan oleh golongan pribumi pada 1906-1912,
yakni dengan terbentuknya NV. Javaansche Boekhandel en Drokkerij en Handel
in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” yang dipimpin oleh R. M. Tirto
Adhisoerjo.
Sastra Melayu-Tionghoa: Selayang Pandang
Usaha-usaha Percetakan dan
Penerbitan oleh Masyarakat Tionghoa
Usaha
percetakan Tionghoa pertama di Indonesia didirikan pada 1879. Percetakan
tersebut dimiliki dan dikelola oleh Yap Goan Ho. Usaha Yap Goan Ho ini
dilanjutkan oleh Lie Kim Hok, tetapi di tengah jalan mengalami kegagalan
sehingga ia menjual alat-alat percetakannya kepada penerbit Belanda, Albrecht.
Pada umumnya, dana usaha penerbitan buku masyarakat Tionghoa bersumber dari
sebagian hasil usaha dagang mereka di luar percetakan maupun penerbitan.[11]
Hal ini berbeda dengan penduduk pribumi ataupun pemerintah kolonial Belanda
yang masih menggantungkan diri dari subsidi pemerintah. Berdasarkan
karakteristiknya, kesusastraannya tumbuh atas dukungan jurnalisme mereka yang
sudah bermula sejak tahun 1950-an.[12]
Sejalan
dengan adanya usaha percetakan dan penerbitan itu pula, produksi kesusastraan
Melayu-Tionghoa dapat dikatakan membentang dalam kurun waktu cukup panjang,
1870-an hingga 1960. Dalam penelitian ekstensifnya,[13]
Claudine Salmon dan Denys Lombard mendapatkan hasil yang mengesankan mengenai
kesusastraan “yang hilang dan dilupakan” tersebut:
Jumlah
pengarang dan penerjemah : 806
Jumlah
karya-karya mereka : 2.757
Karya-karya
anonim : 248
Jumlah
keseluruhan karya-karya : 3.005
Di
antara ke-3.005 judul tersebut, tanpa memperhitungkan terbitan ulang, terdapat:
73
sandiwara
183
syair
233
terjemahan karya-karya barat
759
terjemahan dari bahasa Cina
1398
novel dan cerpen asli
Sumber:
Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated
Bibliography (Etudes insulindiennes-Archipel: 3, Paris, Editions de la
Maison des Sciences de l’Homme, 1981)
Claudine
memyandingkan temuannya tersebut dengan jumlah judul dari tradisi kesusastraan
Indonesia yang didokumentasikan dalam “kesusastraan Indonesia modern”,
bersumber dari penelitian pakar sastra Indonesia, A. Teeuw, yang dinyatakan
meliputi sekitar 175 pengarang dan sekitar 400 karya (1967) dan 284 pengarang
dengan 770 karya (1979).[14]
Hasil penelitian Salmon ini mengoreksi penelitian Teeuw sehingga Teeuw merasa
perlu untuk bermawas diri dan meninjau kembali pandangannya mengenai
kesusastraan modern Indonesia, hingga ia sampai pada simpulan:
“Buku
tersebut [buku Claudine Salmon, sic!] telah memberi landasan kuat bagi
kritik sastra yang sangat diperlukan untuk lebih memajukan penelitian sastra
Indonesia modern. Berhubung dengan alasan-alasan yang diajukan Salmon itu tak
terbantahkan dan begitu meyakinkan, para peneliti perlu melepaskan sikap
apriori bahwa sastra Indonesia awal dan manifestasi satu-satunya sebelum Perang
Dunia Kedua adalah novel-novel Balai Pustaka. Dengan terbitnya buku tersebut,
tak diragukan lagi bahwa sastra peranakan Tionghoa merupakan mata rantai pokok
dari perkembangan sastra Indonesia masa kini…”[15]
Liang
Liji, seorang pembaca kesusastraan Melayu-Tionghoa, merefleksikan bahwa ada dua
hal yang menyebabkan kesusastraan Melayu-Tionghoa tidak mendapatkan tempat
dalam nomenklatur sastra pada masa itu. Diterangkan oleh Liang Liji,
alasan-alasannya di antaranya: pertama, keturunan Tionghoa pada masa itu
berstatus dwi-warganegara dan hanya dianggap sebagai perantau. Padahal,
sesungguhnya mereka bukan hanya merantau, melainkan berimigrasi dan berkehendak
untuk menetap. Mereka berangsur-angsur membaurkan diri dengan masyarakat
Indonesia. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai upaya asimilasi dan menetapkannya
sebagai periode asimilatif atau periode pra-sastra Indonesia, apabila hendak
dikaitkan dengan pembabakan kesusastraan. Dalam sejarahnya kemudian, saat
dihadapkan pada status dwinegara tersebut, mereka lebih memilih Indonesia. Ini
berarti mereka menganggap diri sebagai bagian dari Indonesia dan dengan
demikian semestinya karya kesusastraan mereka dimasukkan dalam kategori
kesusastraan Indonesia.
Kedua,
kesusastraan ini ditulis dalam bahasa Melayu populer yang didiskreditkan oleh
pihak kolonial Belanda sebagai “bahasa Melayu rendah”—atau bahasa Melayu pasar.
Bahasa Melayu rendah ini tidak dipandang sebagai sumber dari bahasa Indonesia
yang digunakan pada masa ini. Ada anggapan bahwa bahasa Indonesia pada masa ini
hanya bersumber dari bahasa Melayu tinggi yang berakar dari bahasa Melayu yang
dipakai di Kepulauan Riau. Padahal, seperti yang dijelaskan Salmon, bahasa
Melayu populer digunakan secara lebih luas di tengah masyarakat karena terasa
lebih cocok dan lancar untuk dipergunakan mengungkapkan perasaan dan pikiran
dalam kehidupan sehari-hari.
Balai
Pustaka menempatkan mutu karya sastra Melayu-Tionghoa sebagai “bacaan liar”,
padahal beberapa karya sastra Melayu-Tionghoa justru bisa dikategorikan sebagai
“kesusastraan Melayu tinggi”. Pertama, karena isinya lebih realistis,
tidak hanya membahas dunia khayal dan mitos, tetapi lebih banyak mengungkapkan
kehidupan dalam masyarakat dan melukiskan suka-duka manusia dalam
kesehariannya. Kedua, penulisannya sudah menerapkan bentuk dan metode
kreasi modern dan meninggalkan gaya penulisan usang. Ketiga, penggunaan
gaya bahasanya telah meningkatkan “bahasa Melayu populer” ke taraf bahasa
sastra dan memopulerkannya ke seluruh Indonesia. Keempat, selain
mengandung nilai sastra, kesusastraan mereka juga dapat disebut sebagai dokumen
sejarah karena isinya yang kontekstual dan berdasarkan peristiwa aktual pada
saat itu. Untuk alasan-alasan ini, Jakob Soemardjo mengafirmasi kesusastraan
Melayu-Tionghoa sebagai cikal bakal sastra modern di Indonesia.[16]
Beberapa Contoh Karya Utama yang ditulis oleh Masyarakat Tionghoa
Dalam
buku Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, Monique Zaini-Lajoubert dan
Claudine Salmon membahas dua karya yang disadur oleh Lie Kim Hok. Baik
Zaini-Lajoubert maupun Salmon bersepakat bahwa karya novel dan syair Lie Kim
Hok mewakili suara dari penulis dengan gaya modern. Zaini-Lajoubert menjabarkan
pendapat Kwee Tek Hoay bahwa syair Cerita Siti Akbari karya Lie Kim Hok
mungkin didasarkan pada cerita Abdul Muluk dalam bahasa Sunda ataupun
karangan Arnold Snackey. Setelah melakukan perbandingan secara saksama atas
karya Abdul Muluk dan Cerita Siti Akbari, Zaini-Lajoubert
menemukan bahwa karya Lie Kim Hok mengandung detail-detail yang menunjukkan
adanya pembaruan. Ia menunjukkan poin penting bahwa pada Cerita Siti Akbari,
tokoh wanita dijadikan sebagai unsur penting di dalam karya dan di sana Lie Kim
Hok menunjukkan peranan wanita secara berbeda dari pandangan tradisional
masyarakat di masa itu. Selain pembaruan dari segi gagasan, syair tersebut juga
memakai teknik penceritaan yang belum pernah dikenal pada waktu itu, misalnya
dengan menambahkan efek suspens di dalam cerita.[17]
Sementara
itu, Salmon mengulas asal usul novel Melayu modern dengan mendedah karya Tjhit
Liap Seng (Bintang Tujuh). Menurutnya, Lie Kim Hok mendapatkan pengaruh
signifikan dari karya sastra dunia, terutama Eropa dan Arab. Pendapatnya ini
membuatnya mengajukan hipotesis bahwa akar kesusastraan Melayu-Tionghoa dalam
sastra Melayu tidak sepatutnya hanya dicari dari pengaruh tradisi Tionghoa.
Anggapannya ini didasarkan pada fakta bahwa sejak awal kaum peranakan Tionghoa
tertarik pada penerjemahan karya-karya sastra dunia, ditandai dengan terbitan
sejak tahun-tahun 1860-an, yang terbit secara bersambung dalam pers berbahsa
Melayu. Khusus untuk pembahasan novel Lie Kim Hok tersebut, Salmon menemukan
bahwa keterpengaruhan Lie Kim Hok dalam menyusun plot cerita diperolehnya dari
dua novel Belanda karangan J. van Lennep, Klaasje Sevenster dan Les
Tribulations d’un Chinois en Chine. Karya yang terakhir disebut ini sepadan
maknanya dengan Perjalanan seorang Tionghoa di Tiongkok karena beroleh
pengaruh dari karangan Jules Verne dan karenanya memuat banyak ilustrasi dari
cerita Verne di dalamnya.[18]
Hanya
berdasarkan analisis Monique Zaini-Lajoubert dan Claudine Salmon ini saja dapat
dilihat bahwa pembatasan karya sastra Melayu-Tionghoa dengan alasan karya-karya
tersebut adalah bacaan liar sudah tentu bermasalah.
Balai Pustaka: Selayang Pandang
Di
bawah pemerintah kolonial Belanda, upaya untuk mendorong publikasi buku-buku
yang pantas bagi masyarakat telah dimulai sejak 1851. Hal ini sejalan dengan
penerapan politik etis oleh Belanda—yang dipengaruhi oleh tulisan masyhur
Multatuli, Max Havelaar. Van Deventer boleh jadi disebut sebagai Bapak
Politik Etis, tetapi van Heutsz adalah orang yang kemudian mengembangkan lebih
jauh maksud dari model pendidikan dalam politik etis. Baginya, pengajaran
barulah berarti ketika anak didik memiliki buku untuk dibaca setelah
meninggalkan sekolah. Demi kepentingan itu, dibentuklah suatu komite untuk
meneliti hal-hal terkait bacaan yang tepat. Penyisiran karya oleh komite ini
baru optimal ketika dibawahi oleh D. A. Rinkes dari Departemen Urusan Pribumi.
Rinkes
menyadari bahwa ia perlu mengatur permintaan akan buku, yang dikaitkannya
dengan daya beli dan kebiasaan membaca masyarakat yang masih rendah. Solusinya,
ia berusaha mendirikan perpustakaan di setiap sekolah Kelas Kedua. Pada 1914,
telah ada 680 sekolah yang menyediakan perpustakaan sesuai dengan
kepentingannya ini. Buku-buku yang dipasok ke perpustakaan umumnya adalah
terbitan Balai Pustaka sendiri. Demi menyediakan karya yang cukup untuk
kepentingan tersebut, Balai Pustaka mengupayakan adanya penerjemah dan penulis
yang mampu mengerjakan karya sesuai dengan preferensi Balai Pustaka.
Menurut
Jedamski, penerjemahan yang dikehendaki oleh komisi Balai Pustaka harus sesuai
dengan: (1) minat ilmu atau hobi anggota Commisie; (2) pandangan mereka yang
Eropa-sentris tentang penduduk pribumi dan kebutuhan mereka.[19]
Adapun untuk kriteria bahasa, mereka mengehendaki penulis atau penerjemah
untuk: (1) menyusun kalimat yang sangat pendek; (2) menghindari bentuk berimbuhan;
dan (3) mengutamakan kosa kata yang lazim dipakai tanpa memandang baku atau
tidaknya. Bersamaan dengan aturan-aturan itu, tata bahasa diharuskan mengikuti
patokan ejaan van Ophuysen.
Balai
Pustaka memiliki mesin cetak sendiri pada 1921. Dimulailah penerbitan Pandji
Pustaka yang terbit tiap pekan terhitung tahun 1923. Selain informasi dari
pemerintah, dimuat pula cerita-cerita pendek yang telah menjalani pemilahan
dari komisi. Demi kepentingan “melawan secara halus” para penulis pergerakan
yang semakin getol menyerang pemerintahannya, pihak kolonial Belanda juga
merekrut para penulis yang sama-sama berasal dari kaum pergerakan untuk menulis
bagi mereka, tentunya dengan muatan yang telah dinyatakan “aman”, di antaranya Azab
dan Sengsara, Sitti Nurbaya, dan Salah Asuhan. Puncak dari
perekrutan ini adalah lahirnya suatu angkatan baru dalam kesusastraan Indonesia
yang menyebut diri sebagai angkatan Poedjangga Baroe, merujuk pada majalah
terbitan mereka, Poedjangga Baroe.
Kekhasan
Karya-karya Sastra Hindia Belanda
Dalam
bukunya, Sastra Hindia Belanda dan Kita, Subagio Sastrowardoyo menelaah
kesusastraan di dalam bahasa Belanda yang berpokok pada kehidupan di negeri
jajahan Hindia Belanda, yang ditulis oleh orang-orang Belanda terutama oleh
orang-orang Indo, baik yang keturunan Belanda maupun keturunan bangsa Eropa
lainnya. Dari hasil kesusastraan penulis-penulis Belanda itulah, menurut
Subagio, sikap dan pandangan serta sifat hubungan berbagai golongan dan lapisan
masyarakat yang berlaku pada masa kolonial Belanda dapat diketahui dengan lebih
baik.
Selain
itu, Subagio juga memasukkan beberapa nama penulis Indonesia, seperti Soewarsih
Djojopoespito dan Noto Soeroto dalam jajaran penulis yang menerima pengaruh
dari karya-karya sastra Hindia Belanda. Untuk itu, ia mengatakan: “Yang penting
juga dipersoalkan di sini adalah kemungkinan bahwa Indische Belletrie
atau sastra Hindia Belanda ini memberikan model bagi roman-roman Indonesia pada
tahap permulaannya.”[20]
Selain keterpengaruhan yang diterima oleh penulis Indonesia dari penulis
Belanda, ia juga menjelaskan bagaimana keterpengaruhan diterima juga oleh
penulis Belanda dari kesusastraan yang berkembang di Nusantara pada saat itu,
seperti diterangkannya, sebagai berikut:
Tidak dapat dipastikan apakah
Multatuli telah terpengaruh oleh cerita-cerita berbingkai yang dikenal di
Indonesia. Sejak lama Hikayat Seribu Satu Malam telah menjadi milik
sastra rakyat di Indonesia. Demikian juga Pancatantra dikenal dalam
sastra Melayu sebagai Hikayat Panja Tanderan atau Kalilah dan Damina.
[…] Sekalipun tidak pasti, tidak sama sekali mustahil, bahwa Multatuli mengenal
cerita-cerita berbingkai di Indonesia, dan dengan sengaja direncanakan atau
tidak, ia sampai kepada bentuk bercerita itu.[21]
Ajaran
moral atau protes sosial melalui bentuk kisah seperti Krapoekol dan Max
Havelaar adalah penerus dari aliran sastra yang berpengaruh di negeri
Belanda pada abad ke-18. Tokoh sastrawan yang penting pada masa itu di
antaranya adalah Justus van Effen yang mengeluarkan majalah Hollandsche
Spectator (Pengamat Belanda) terbit tahun 1731-1735. Penerbit berkala ini
juga menghasilkan cerita-cerita pendek yang meneliti kehidupan sehari-hari
penduduk Hindia Belanda sambil menyarankan keyakinan serta gagasan pengarangnya
mengenai caranya memperbaiki keadaan masyarakat dan kehidupan rumah tangga.[22]
Dari sini dapat dilihat bahwa preferensi Komisi Bacaan Rakyat (Balai Pustaka)
mendapatkan pengaruh signifikan dari kekhasan sastra Belanda ini, yakni dengan
penekanan pada aspek ajaran moral.
Politik Integrasi Kebudayaan
Ditetapkannya
Bahasa Melayu Tinggi sebagai Bahasa Nasional
Pada
mulanya, oleh pemerintah kolonial, bahasa Melayu hanya dimaksudkan sebagai
bahasa tangsi. Bahkan oleh beberapa orang Belanda, bahasa ini dihinakan sebagai
“brabbel Maleisch”[23]
dan hanya digunakan oleh Kompeni Inggris dan Hindia Belanda sebagai bahasa
administrasi. Hingga memasuki abad ke-20, timbul kesadaran pihak Hindia Belanda
untuk menatar bahasa Melayu sebagai bahasa baku untuk administrasi melalui
pengajaran.
Bahasa
Melayu tinggi ini, Pramoedya menyebutnya bahasa Melayu kitab atau bahasa Melayu
diplomasi, di kemudian waktu ditatar menjadi bahasa sekolah oleh Kompeni
Inggris di Singapura dan Semenanjung, dan oleh kolonial Belanda di Hindia.
Perbendaharaan bahasa diperkaya dari kata-kata Arab dan Eropa, dan menabukan
kata-kata Nusantara non-Melayu. Sementara itu, bahasa Melayu populer, Pramoedya
menyebutnya bahasa Melayu lingua franca, sebaliknya mengadopsi lebih
banyak kata-kata serapan dari bahasa-bahasa di Nusantara.
Sebelumnya,
bahasa Melayu populer inilah yang berkembang luas di masyarakat. Namun demikian,
demi kepentingan membakukan pengajaran, pihak Belanda mendirikan Commisie
voor de Volkslectuur dengan tugas memelihara bahasa Melayu kitab atau
bahasa Melayu diplomasi untuk diajarkan di sekolah-sekolah. Konsekuensinya,
penggunaan bahasa Melayu populer diminimalisasi.[24]
Pada
perkembangannya, bahasa Melayu tinggi kemudian dipilih sebagai bahasa nasional.
Hal ini karena bahasa Melayu dinilai memiliki watak yang demokratis dan tidak
berjenjang dibandingkan bahasa Jawa yang memiliki empat tingkat pokok yang
masih bisa dibagi ke dalam 36 tingkat. Hilmar Farid, seorang pengkaji bacaan
liar dan politik bahasa, memandang bahwa watak demokratis itu disebabkan oleh kenyataan
bahwa bahasa Melayu dipakai dalam dunia dagang, di mana hierarki tidak mutlak
ditentukan oleh asal usul keluarga atau keturunan, melainkan dominasi dalam
perdagangan.[25]
Meskipun demikian, saat itu belum ada konsep yang jelas terkait sistem atau
kaidah-kaidah bahasa, terkait pembagian kelas-kelas kata, kategori kalimat, dan
ortografi bagi bahasa Melayu yang digunakan secara nasional tersebut karena
belum ada lembaga otoriter yang menagaturnya.[26]
Keberlanjutan
Politik Bahasa
Pelembagaan
bahasa Melayu tinggi ini barulah memperoleh tempat yang signifikan di bawah
rezim kepresidenan Suharto. Ironisnya, pelembagaan bahasa ini justru diupayakan
oleh rezim Orde Baru ini untuk menghapus jejak-jejak penulisan dalam ejaan
Ophuysen yang digunakan pada masa kolonial Belanda. Bagaimana cara kerjanya?
Pada
Agustus 1966, Lembaga Bahasa dan Kesusastraan (LBK) menyelesaikan tugas atas
perintah Ketua Gabungan V Komando Operasi Tertinggi[27]
yang dipimpin oleh Anton M. Moeliono untuk menyelesaikan konsep ejaan yang
diajukan pada Malaysia. Sebagian besar konsep LBK diterima oleh Malaysia.[28]
Ejaan yang disetujui ini kemudian perlu mengalami sejumlah revisi hingga kemudian
diresmikan pada 1972 oleh Menteri P dan K Mashuri S. H. dengan nama baru: Ejaan
yang Disempurnakan. Harimurti Kridalaksana, bahasawan yang terlibat dalam
perumusannya, menerbitkan esai Latar Belakang Penyusunan Ejaan Baru
untuk meneguhkan peran sentral ejaan baru tersebut. Harimurti menyatakan empat
prinsip pembakuan bahasa yang menjadi pegangan dalam penciptaan ejaan baru
tersebut: (1) Prinsip Kecermatan, (2) Prinsip Kehematan, (3) Prinsip Keluwesan,
(4) Prinsip Kepraktisan.
Menurut
Wahmuji, seorang pemerhati linguistik, narasi Kridalaksana tersebut menunjukkan
ideologi pembaharuan ‘modernis’: tata bahasa perlu diperbaiki, peristilahan
harus dikonsep ulang, dan tata eja harus diperbaharui. Ideologi ini ia sinyalir
berasal dari pembelajaran kelompok penyusun LBK[29]
ini dengan kelompok sosiolingustik Hawai, Amerika, yang dikenal dengan nama
“Grup Fishman” atas biaya Ford Foundation. Grup Fishman ini, dalam sejarahnya,
memang ditugaskan untuk bekerja sama merancang “perencanaan bahasa” di
negara-negara dunia ketiga. Menurut Wahmuji, Grup Fishman ini menerapkannya di
negara dunia ketiga karena mereka menilai bahwa rasa kebangsaan di negara dunia
ketiga sudah terbentuk sebelum adanya rasa nasionalisme. Hal ini terjadi
sebaliknya di negara-negara Eropa yang memiliki lembaga khusus untuk mengatur
perencanaan bahasanya, seperti Prancis dengan Akademi Prancis dan Inggris
dengan Universitas Oxford.
Wahmuji
menganalisis pernyataan seorang pemerhati Indonesia, Benedict Anderson, dalam
esainya Exit Suharto: Obituary for a Mediocre Tyrant,[30]
yang menyatakan bahwa pengonsepan EYD oleh Suharto merupakan bagian dari
rencana besar pemerintah rezim Orde Baru untuk menyebarkan virus “amnesia
nasional”, diterangkan oleh Wahmuji sebagai berikut:
Menurut
Anderson, ada motif besar di balik alasan resmi kerjasama dengan Malaysia yang
digaungkan oleh para ahli bahasa dan pemerintah Indonesia, yaitu: untuk membuat
pemisahan yang tegas antara apa yang ditulis dalam era baru Soeharto dan apa
yang ditulis di masa sebelumnya. Buku atau teks yang ditulis dalam era
sebelumnya akan sangat mudah dikenali, bahkan saat orang membaca judulnya.
Ketertarikan pada Ejaan Soewandi (atau yang lebih dikenal dengan Ejaan Lama)
secara otomatis dicurigai sebagai sisa-sisa Sukarnoisme, konstitusionalisme,
revolusi, atau periode kolonial. Hasilnya adalah penghapusan sejarah
karena pengetahuan generasi muda atas negaranya terutama datang dari publikasi
rezim yang sedang berkuasa, khususnya buku-buku paket sekolah. Sebagian besar
kegiatan melawan penjajah hilang dalam buku sejarah. “Revolusi” diubah namanya
menjadi “Perang Kemerdekaan”, dimana tentara dikisahkan memainkan peran yang
sangat besar. Dan periode pasca-revolusi dari demokrasi konstitusional
tiba-tiba dianggap bukan hasil kreasi politikus sipil.
Bersamaan
dengan rezim baru ini, kesusastraan Melayu-Tionghoa mengalami masa
“pembinasaannya” karena sejak tahun 1966, masyarakat Tionghoa direpresi
keberadaannya oleh pemerintah Suharto.
Penutup
Dalam
bukunya, Tempo Doeloe, Pramoedya menegaskan posisi kesusastraan
Melayu-Tionghoa sebagai golongan Melayu lingua franca, atau sastra
asimilatif, atau sastra pra-Indonesia. Hal ini menurut saya lebih
menjelaskan intensi Claudine Salmon, A. Teeuw, dan Jakob Sumardjo yang
menyatakan bahwa kesusastraan Melayu-Tionghoa perlu dipandang penting sebagai
cikal bakal sastra modern Indonesia. Pramoedya memperjelas tempat kesusastraan
Melayu-Tionghoa untuk berada dalam kategori kesusastraan pra-Indonesia, bersama
dengan karya-karya pendatang asing lainnya sewaktu memasuki Nusantara dari
Malaka. Hal ini dengan pertimbangan Pramoedya bahwa sama halnya dengan
kesusastraan Melayu-Tionghoa, mubalig asing yang masuk ke Indonesia untuk
menyebarkan Islam maupun orang Portugis yang datang untuk mendirikan kekuasaan
dan Gereja Roma di Nusantara bagian timur pun menggunakan bahasa Melayu sebagai
bahasa kekuasaan dan administrasi dan dengan demikian kesusastraan yang mereka
hasilkan dapat dipandang sejajar posisinya sebagai sastra pra-Indonesia.
Dalam
bidang bahasa, pembatasan sastra Melayu-Tionghoa dapat dilihat memiliki pengaruh
yang signifikan atas terlembagakannya bahasa Melayu tinggi yang sebelumnya
tidak jamak digunakan oleh masyarakat. Bahasa Melayu tinggi justru berkembang
dengan baik pada ranah administrasi kolonial Belanda. Selanjutnya, corak bahasa
Melayu tinggi yang terpilih sebagai bahasa nasional mengalami perubahan kembali
yang jauh lebih signifikan pada masa pemerintahan Suharto karena pada masa itu
ejaan Ophuysen yang sebelumnya digunakan di masa kolonial Belanda tidak
diteruskan penggunaannya.
[1]
Dalam pengantarnya untuk buku Kesusastraan Melayu Tionghoa dan Kebangsaan
Indonesia Volume 4, Prof. Liang Liji menulis bahwa ia kurang setuju dengan
penggunaan dikotomi “Bahasa Melayu Rendah dan Bahasa Melayu Tinggi” yang
terkesan meremehkan dan diskriminatif tersebut. Ia lebih setuju menggantikannya
dengan “Bahasa Melayu Populer” terutama karena bahasa itu lebih populer dan
digunakan secara luas sejak akhir abad ke-19, pada masa peralihan masyarakat Indonesia
menuju masyarakat modern. Saya menyepakati usulan Prof. Liang Liji.
[2]
Edwina Satmoko Tanojo. (1981). Ciri-ciri Bacaan Liar. Skripsi Jurusan
Sastra Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.
[3]
Penggunaan kata pribumi praktis bermasalah bila diterapkan dalam konteks di
masa sekarang. Namun demikian, untuk menempatkan konteks masa diterapkannya
Nota Rinkes yang terjadi pada masa kolonial Belanda, artikel ini tetap
menggunakan kata pribumi agar pembaca dapat mengikuti cara berpikir pemerintah
kolonial di masa itu. Pada masanya, klasifikasi berdasarkan tiga kelompok
rasial diterapkan oleh pemerintah kolonial untuk menjalankan
program-programnya. Bagi pemerintah kolonial, masyarakat kulit putih atau Eropa
menempati kelas pertama, bangsa timur asing seperti Tionghoa, Arab, dan India
masuk ke dalam kelas kedua, sementara kelas ketiga adalah kelompok pribumi atau
inlander.
[4]
Hendrik M. J. Maier (1991). “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The
Marginalization of Chinese-Malay Literature” dalam Indonesia, volume
edisi spesial Juli 1991, hlm. 67-82. Amerika Serikat: Cornell Southeast Asia
Program.
[5] Leo
Suryadinata (ed.). (1996). “Pengkajian Sastra Peranakan Indonesia: Sebuah
Catatan” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, hlm. 198. Jakarta:
Penerbit PT Grasindo.
[6]
Hendrik M. J. Maier dalam “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The
Marginalization of Chinese-Malay Literature” menulisnya sebagai: “These
publications were considered politically dangerous, morally suspicious, and,
therefore, a threat to peace and tranquility.”
[7]
Bandung Mawardi. (2015). “Mengenang Tak Terang”, makalah disampaikan dalam
Seminar Politik Kritik Sastra di Indonesia, 24-25 November 2015. Yogyakarta:
PKKH UGM.
[8] G.
P. Rouffaer dan W. C. Muller. (1908). Catalogus der Koloniale Bibliotheek,
hlm. 292-305. Belanda: Boekwinkeltjes.
[9] Lie
Kimhok menerbitkan aturan bahasa berjudul “Melajoe Betawi, Kitab dari Hal
Perkataan-perkataan Melajoe, Hal Memetjah Oedjar-Oedjar dan Hal pernahkan
Tanda-tanda Batja dan Hoeroef Besar” (1884).
[10]
Pramoedya Ananta Toer. (1982). Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia,
hlm. 8. Jakarta: Hasta Mitra.
[11]
Jakob Sumardjo. (1996). “Latar Sosiologis Sastra Melayu Tionghoa” hlm. 63 dalam
Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia, dieditori oleh Leo Suryadinata.
Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
[12] Ibid.,
hlm. 64.
[13]
Penelitian ekstensif Claudine Salmon dan Denys Lombard mengenai kesusastraan
Melayu-Tionghoa diterapkan atas koleksi Adji Damais di Pusat Dokumentasi H.B.
Jassin, koleksi Auckland University di New Zealand dan koleksi Universiti
Kebangsaan di Kuala Lumpur dan koleksi pribadi mereka.
[14]
Salmon, Claudine. (1981). Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A
Provisional Annotated Bibliography. Michigan: UMI Monographs bekerja sama
dengan Association Archipel, Paris.
[15]
Prof. Liang Liji mengutip pernyataan A. Teeuw untuk pengantarnya atas buku Kesastraan
Melayu Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia Volume 4.
[16]
Jakob Sumardjo. (1985). Dari Khazanah Sastra Dunia. Bandung: Penerbit
Alumni.
[17]
Monique Zaini-Lajoubert. (1996). “Syair Cerita Siti Akbari Karya Lie Kim Hok
(1884), Penjelmaan Syair Abdul Muluk (1946)” dalam Sastra Peranakan Tionghoa
Indonesia, hlm. 317, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT
Grasindo.
[18]
Claudine Salmon. “Asal Usul Novel Melayu Modern: Tjhit Liap Seng (Bintang
Tujuh) Karangan Lie Kim Hok (1886-1887)” dalam Sastra Peranakan Melayu
Tionghoa Indonesia, hlm. 214-216. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
[19]
Doris Jedamski. “Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing” dalam Archipel
1992 Vol. 44, hlm. 23-46.
[20]
Subagio Sastrwowardoyo. (1983). Sastra Hindia Belanda dan Kita, hlm. 25.
Jakarta: Balai Pustaka.
[21] Ibid.,
hlm. 60.
[22]
Huygens, G. W.. De Nederlandse auteur en zijn publiek (Pengarang Belanda
dengan Publiknya). G. A. van Oorschot, Amsterdam 1966, hh. 29-38. Aliran Sastra
Belanda itu dibawah pengaruh pengarang-pengarang Inggeris di sekitar majalah The
Spectator (1711-1712) dalam Sastra Hindia Belanda dan Kita, hlm. 66.
[23]
Kurang lebih dapat diartikan sebagai “Mulut Melayu”.
[24]
Pramoedya Ananta Toer, Tempo Doeloe, hlm 10.
[25]
Hilmar Farid membandingkan pendapatnya mengenai sifat demokratis bahasa Melayu
dengan V. Matheson dan M. B. Hooker, “Slavery in the Malay Texts: Categories of
Depedency and Compensation”, hlm. 182-208, dalam Anthony Reid (ed.), Slavery,
Bondage, and Depedency in Southeast Asia, New York: St. Martin Press. Dalam
sejarahnya, bahasa Melayu memiliki konsep-konsep perbudakan yang bersifat sangat
hierarkis.
[26]
Hilmar Farid mengutip dalam skripsinya, Gorys Keraf, Linguistik Bandingan
Historis Jakarta: Gramedia 1984 menyatakan bahwa setiap bahasa memiliki
ciri universal, di antaranya pembagian kelas kata dan kalimat, yang pada
dasarnya adalah pemaksaan studi bahasa “kuno” dari zaman von Humbolt yang terus
mengalami modifikasi. Padahal, “keunikan” bahasa dari satu etnis pada saat
tertentu dapat “lebur” dengan keunikan bahasa etnis lain karena gejolak
sosial-historis dalam perkembangan bahasa tersebut.
[27]
Mengutip artikel Wahmuji, EYD dan Amnesia Nasional dalam Lidahibu.com
(diakses 5 Desember 2015, satuan ini awalnya dibentuk oleh Soekarno untuk
melawan usaha pembentukan Federasi Malaysia oleh Inggris. Lembaga inilah yang,
ironisnya, setelah kudeta Soekarno oleh Suharto, memprakarsai pendekatan
hubungan dengan Malaysia. Patut digarisbawahi, Gabungan V Komando Operasi
Tertinggi bukanlah lembaga bahasa.
[28]Saat
itu, Malaysia memiliki empat sistem eja (Ejaan Wilkinson, Ejaan Za’baa, Ejaan
Fajar Asia, dan Ejaan Kongres).
[29]
Kelompok penyusun LBK yang disebutkan Wahmuji dalam esainya, EYD dan Amnesia
Nasional, di antaranya Lukman Ali, Sri Sukaesi Adiwimarta, dan Anton M.
Moeliono.
[30]
Lihat esai Benedict Anderson di www.newleftreview.org/?view=2714
(Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).
Daftar Pustaka
Buku
Bandung
Mawardi. (2015). “Mengenang Tak Terang”. Makalah disampaikan dalam Seminar
Politik Kritik Sastra di Indonesia, 24-25 November 2015. Yogyakarta: PKKH UGM.
Huygens,
G. W. (1966). “De Nederlandse auteur en zijn publiek (Pengarang Belanda
dengan Publiknya)” dalam Subagio Sastrowardoyo, Sastra Hindia Belanda dan
Kita. Jakarta: Balai Pustaka.
Jakob
Sumardjo. (1996). “Latar Sosiologis Sastra Melayu Tionghoa” dalam Sastra
Peranakan Tionghoa Indonesia, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta:
Penerbit PT Grasindo.
____________.
(1985). Dari Khazanah Sastra Dunia. Bandung: Penerbit Alumni.
Jedamski,
Doris. (1992). “Balai Pustaka: A Colonial Wolf in Sheep’s Clothing” dalam Archipel
Vol. 44: 1992. Prancis: Archipel.
Leo
Suryadinata (ed.). (1996). “Pengkajian Sastra Peranakan Indonesia: Sebuah
Catatan” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia. Jakarta: Penerbit PT
Grasindo.
Maier,
Hendrik M. J. (1991). “Forms of Censorship in the Dutch Indies: The
Marginalization of Chinese-Malay Literature” dalam Indonesia, volume
edisi spesial Juli 1991. Amerika Serikat: Cornell Southeast Asia Program.
Diunduh dari http://cip.cornell.edu/seap.indo/1106972021
Pax
Benedanto dan Marcus A.S. (ed.). (2003). Kesusastraan Melayu Tionghoa dan
Kebangsaan Indonesia Volume 4. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.
Pramoedya
Ananta Toer. (1982). Tempo Doeloe: Antologi Sastra Pra-Indonesia. Jakarta:
Hasta Mitra.
Rouffaer,
G. P. dan W. C. Muller. (1908). Catalogus der Koloniale Bibliotheek.
Belanda: Boekwinkeltjes.
Salmon,
Claudine. (1981). Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A
Provisional Annotated Bibliography. Michigan: UMI Monographs bekerja sama
dengan Association Archipel, Paris.
______________.
(1996). “Asal Usul Novel Melayu Modern: Tjhit Liap Seng (Bintang Tujuh)
Karangan Lie Kim Hok (1886-1887)” dalam Sastra Peranakan Tionghoa Indonesia,
dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Subagio
Sastrowardoyo. (1983). Sastra Hindia Belanda dan Kita. Jakarta: Balai
Pustaka.
Zaini,
Lajoubert. (1996). “Syair Cerita Siti Akbari Karya Lie Kim Hok (1884),
Penjelmaan Syair Abdul Muluk (1946)” dalam Sastra Peranakan Tionghoa
Indonesia, dieditori oleh Leo Suryadinata. Jakarta: Penerbit PT Grasindo.
Skripsi
Hilmar
Farid. (1996-2007). Politik, Bacaan, dan Bahasa pada Masa Pergerakan: Suatu
Studi Awal. Skripsi Jurusan Sejarah. Depok: Universitas Indonesia.
Edwina
Satmoko Tanojo. (1981). Ciri-ciri Bacaan Liar. Skripsi Jurusan Sastra
Indonesia. Depok: Universitas Indonesia.
Anderson,
Benedict. Maret-April 2008. Exit Suharto, www.newleftreview.org/?view=2714
(Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).
Wahmuji.
6 April 2012. EYD dan Amnesia Nasional, http://lidahibu.com/2012/04/06/eyd-dan-amnesia-nasional/
(Diakses terakhir pada 5 Desember 2015).
sangat bermanfaat mbak Dewi... salam kenal
ReplyDeleteTerima kasih. Salam kenal kembali.
Delete