Surat
edaran Rinkes itu menyebutkan kriteria bacaan yang berterima oleh komisi
tersebut: (1) netral terhadap persoalan agama; (2) tidak boleh mengandung
pandangan politik yang bertentangan dengan pemerintah; (3) tidak menerima
sastra yang bersifat cabul; (4) karya harus ditulis dalam bahasa Melayu tinggi
karena karya tersebut akan dibawa ke sekolah-sekolah; dan (5) sastra semestinya
menerapkan penokohan yang lazim: karakter hitam-putih.[2]
Pada perkembangannya, pemerintah Kolonial Belanda terbilang berhasil menerapkan
aturan-aturan tersebut, terutama dalam mengasingkan bahasa Melayu Populer yang
merupakan bahasa utama dalam penulisan kesusastraan Melayu-Tionghoa sehingga
sejak 1930-an para pengarang pribumi[3]
praktis mulai belajar dan hanya menulis dalam bahasa Melayu tinggi.
Bahasa
Melayu tinggi yang berasal dari Kepulauan Riau kemudian menjadi bahasa
Indonesia dengan corak yang lebih baku, yakni bahasa yang ketika itu digunakan
dalam sekolah-sekolah pemerintah yang kemudian lazim dikenal sebagai bahasa
Balai Pustaka.[4]
Penggunaan bahasa Melayu populer ini baru dibedakan dengan Melayu ala Balai
Pustaka setelah terjadinya pemberontakan PKI di tahun 1920-an.[5]
Terkait hal ini, perlu ditekankan bahwa Claudine Salmon, peneliti kesusastraan
Melayu-Tionghoa, berpendapat bahwa sebelum pertengahan 1920-an, bahasa Melayu
Populer telah lebih intensif dan lebih dahulu dipakai oleh masyarakat pribumi
Indonesia di Jawa dibandingkan bahasa Melayu tinggi yang ditegaskan
penggunaannya oleh Balai Pustaka.
Penerbit
Balai Pustaka sendiri di kemudian waktu berperan besar dalam perpanjangan
tangan politik kolonial Belanda. Oleh komisi tersebut, kesusastraan
dikendalikan dan dihaluskan. Sensor diterapkan untuk hal-hal yang terkait isu
kolonialisme, sebaran ideologi komunis, ataupun pemikiran progresif Islam.
Karya-karya sastra Melayu-Tionghoa, bersama dengan karya sastra generasi awal
penulis sosialis penduduk pribumi—literatuur socialistisch—seperti yang
ditulis oleh Semaoen dan Mas Marco Kartodikromo, dicap sebagai bacaan liar
karena dianggap mengganggu kestabilan pemerintahan kolonial Belanda. Kualitas
karya mereka dinilai berbahaya secara politis dan mengganggu moral masyarakat.[6]
Novel Mas Marco, Mata Gelap (1914), hingga novelnya satu dekade
kemudian, Rasa Merdika (1924), tidak masuk dalam perbincangan sastra
pada ulasan majalah ataupun resensi di masa itu. Demikian halnya dengan novel
Semaoen, Hikajat Kadiroen (1922). Sementara itu, sebagian besar karya
sastra Melayu Tionghoa yang dicap sebagai bacaan liar praktis diberangus habis.
Secara singkat dan gamblang, dapat dikatakan politik Balai Pustaka telah
sepenuhnya bekerja dalam membatasi resepsi pembaca atas karya-karya mereka.[7]
Tradisi Penerbitan
Dalam
tradisi penerbitan di Indonesia, terhitung sejak masa pra-Indonesia, peranakan
Eropa adalah golongan yang memiliki privilese paling besar. Pada periode 1858-1900,
mereka memiliki 14 terbitan surat kabar di Betawi dan 6 terbitan surat kabar di
Surabaya. Pada terbitan-terbitan mereka tersebut, peranakan Tionghoa hanya
dipertugaskan untuk membantu dalam ranah pekerjaan redaksional.[8]
Meskipun pada saat itu pula, Lie Kim Hok, penulis peranakan Tionghoa, telah
dikenal menghasilkan sejumlah karya tulis, dan ia mendapat julukan sebagai
bapak “bahasa Melayu-Betawi” berkat kamus bahasa Betawi yang disusunnya.[9]
Setelah peranakan Eropa, pada tahun 1880-an, peranakan Tionghoa menyusul
memiliki penerbitan sendiri. Dengan demikian, mereka lebih punya kebebasan
sendiri, atas pilihan sendiri, dan dengan tanggung jawab sendiri.[10]
Disusul kemudian kepemilikan penerbitan oleh golongan pribumi pada 1906-1912,
yakni dengan terbentuknya NV. Javaansche Boekhandel en Drokkerij en Handel
in Schrijfbehoeften “Medan Prijaji” yang dipimpin oleh R. M. Tirto
Adhisoerjo.
Sastra Melayu-Tionghoa: Selayang Pandang
Usaha-usaha Percetakan dan
Penerbitan oleh Masyarakat Tionghoa
Usaha
percetakan Tionghoa pertama di Indonesia didirikan pada 1879. Percetakan
tersebut dimiliki dan dikelola oleh Yap Goan Ho. Usaha Yap Goan Ho ini
dilanjutkan oleh Lie Kim Hok, tetapi di tengah jalan mengalami kegagalan
sehingga ia menjual alat-alat percetakannya kepada penerbit Belanda, Albrecht.
Pada umumnya, dana usaha penerbitan buku masyarakat Tionghoa bersumber dari
sebagian hasil usaha dagang mereka di luar percetakan maupun penerbitan.[11]
Hal ini berbeda dengan penduduk pribumi ataupun pemerintah kolonial Belanda
yang masih menggantungkan diri dari subsidi pemerintah. Berdasarkan
karakteristiknya, kesusastraannya tumbuh atas dukungan jurnalisme mereka yang
sudah bermula sejak tahun 1950-an.[12]
Sejalan
dengan adanya usaha percetakan dan penerbitan itu pula, produksi kesusastraan
Melayu-Tionghoa dapat dikatakan membentang dalam kurun waktu cukup panjang,
1870-an hingga 1960. Dalam penelitian ekstensifnya,[13]
Claudine Salmon dan Denys Lombard mendapatkan hasil yang mengesankan mengenai
kesusastraan “yang hilang dan dilupakan” tersebut:
Jumlah
pengarang dan penerjemah : 806
Jumlah
karya-karya mereka : 2.757
Karya-karya
anonim : 248
Jumlah
keseluruhan karya-karya : 3.005
Di
antara ke-3.005 judul tersebut, tanpa memperhitungkan terbitan ulang, terdapat:
73
sandiwara
183
syair
233
terjemahan karya-karya barat
759
terjemahan dari bahasa Cina
1398
novel dan cerpen asli
Sumber:
Literature in Malay by the Chinese of Indonesia: A Provisional Annotated
Bibliography (Etudes insulindiennes-Archipel: 3, Paris, Editions de la
Maison des Sciences de l’Homme, 1981)
Claudine
memyandingkan temuannya tersebut dengan jumlah judul dari tradisi kesusastraan
Indonesia yang didokumentasikan dalam “kesusastraan Indonesia modern”,
bersumber dari penelitian pakar sastra Indonesia, A. Teeuw, yang dinyatakan
meliputi sekitar 175 pengarang dan sekitar 400 karya (1967) dan 284 pengarang
dengan 770 karya (1979).[14]
Hasil penelitian Salmon ini mengoreksi penelitian Teeuw sehingga Teeuw merasa
perlu untuk bermawas diri dan meninjau kembali pandangannya mengenai
kesusastraan modern Indonesia, hingga ia sampai pada simpulan:
“Buku
tersebut [buku Claudine Salmon, sic!] telah memberi landasan kuat bagi
kritik sastra yang sangat diperlukan untuk lebih memajukan penelitian sastra
Indonesia modern. Berhubung dengan alasan-alasan yang diajukan Salmon itu tak
terbantahkan dan begitu meyakinkan, para peneliti perlu melepaskan sikap
apriori bahwa sastra Indonesia awal dan manifestasi satu-satunya sebelum Perang
Dunia Kedua adalah novel-novel Balai Pustaka. Dengan terbitnya buku tersebut,
tak diragukan lagi bahwa sastra peranakan Tionghoa merupakan mata rantai pokok
dari perkembangan sastra Indonesia masa kini…”[15]
Liang
Liji, seorang pembaca kesusastraan Melayu-Tionghoa, merefleksikan bahwa ada dua
hal yang menyebabkan kesusastraan Melayu-Tionghoa tidak mendapatkan tempat
dalam nomenklatur sastra pada masa itu. Diterangkan oleh Liang Liji,
alasan-alasannya di antaranya: pertama, keturunan Tionghoa pada masa itu
berstatus dwi-warganegara dan hanya dianggap sebagai perantau. Padahal,
sesungguhnya mereka bukan hanya merantau, melainkan berimigrasi dan berkehendak
untuk menetap. Mereka berangsur-angsur membaurkan diri dengan masyarakat
Indonesia. Pramoedya Ananta Toer menyebutnya sebagai upaya asimilasi dan menetapkannya
sebagai periode asimilatif atau periode pra-sastra Indonesia, apabila hendak
dikaitkan dengan pembabakan kesusastraan. Dalam sejarahnya kemudian, saat
dihadapkan pada status dwinegara tersebut, mereka lebih memilih Indonesia. Ini
berarti mereka menganggap diri sebagai bagian dari Indonesia dan dengan
demikian semestinya karya kesusastraan mereka dimasukkan dalam kategori
kesusastraan Indonesia.
Kedua,
kesusastraan ini ditulis dalam bahasa Melayu populer yang didiskreditkan oleh
pihak kolonial Belanda sebagai “bahasa Melayu rendah”—atau bahasa Melayu pasar.
Bahasa Melayu rendah ini tidak dipandang sebagai sumber dari bahasa Indonesia
yang digunakan pada masa ini. Ada anggapan bahwa bahasa Indonesia pada masa ini
hanya bersumber dari bahasa Melayu tinggi yang berakar dari bahasa Melayu yang
dipakai di Kepulauan Riau. Padahal, seperti yang dijelaskan Salmon, bahasa
Melayu populer digunakan secara lebih luas di tengah masyarakat karena terasa
lebih cocok dan lancar untuk dipergunakan mengungkapkan perasaan dan pikiran
dalam kehidupan sehari-hari.
Balai
Pustaka menempatkan mutu karya sastra Melayu-Tionghoa sebagai “bacaan liar”,
padahal beberapa karya sastra Melayu-Tionghoa justru bisa dikategorikan sebagai
“kesusastraan Melayu tinggi”. Pertama, karena isinya lebih realistis,
tidak hanya membahas dunia khayal dan mitos, tetapi lebih banyak mengungkapkan
kehidupan dalam masyarakat dan melukiskan suka-duka manusia dalam
kesehariannya. Kedua, penulisannya sudah menerapkan bentuk dan metode
kreasi modern dan meninggalkan gaya penulisan usang. Ketiga, penggunaan
gaya bahasanya telah meningkatkan “bahasa Melayu populer” ke taraf bahasa
sastra dan memopulerkannya ke seluruh Indonesia. Keempat, selain
mengandung nilai sastra, kesusastraan mereka juga dapat disebut sebagai dokumen
sejarah karena isinya yang kontekstual dan berdasarkan peristiwa aktual pada
saat itu. Untuk alasan-alasan ini, Jakob Soemardjo mengafirmasi kesusastraan
Melayu-Tionghoa sebagai cikal bakal sastra modern di Indonesia.[16]