Wawancara dengan J. J. Rizal untuk Reportase Pindai
(September 2015)
Bagaimana tradisi
sejarah di Indonesia? Merujuk buku Vedi R. Hadiz, Ilmu Sosial dan Kekuasaan, pada masa pemerintahan Suharto, ilmu
sosial dikuasai teknokrat Orba. Dalam pengajaran ilmu sejarah sendiri
bagaimana?
Kita menilik kaitan sejarah dengan kekuasaan
sampai jauh ke belakang. Suharto dan Sukarno memandang sejarah sebagai hal
esensial, bahkan sebagai pokok utama. Sebelum lahirnya para sejarawan, mereka
mengembangkan ilmu sejarah sedemikian rupa menjadi bagian aktivitas politik dan
pengembangan ideologi. Hampir semua penggerak zaman itu berpikir untuk
mengonstruksi sebuah nation, karenanya
sejarah jadi hal penting. Sukarno yang punya artikulasi paling besar. Pledoinya
di Landrat, misalnya, “masa lalu gemilang, masa kini penuh derita, dan masa
depan yang harusnya jaya”. Dia melihat sejarah sebagai modal, bahwa di masa
lalu kita punya nation-nation yang besar
dan bahwa nation itu pernah dijeda
oleh kolonialisme. Dalam orasi-orasinya, ia menegaskan, kita harus melanjutkan nation, tapi bukan dengan bentuk nation yang lama seperti nation lama berdasarkan penelitian
arkeologis, sebutlah N.J. Krom yang membicarakan soal Sriwijaya, Majapahit,
dll. Nah, bayangan tentang nation-nation
yang besar dan harapan atas nation
baru inilah, visi ini yang digunakan Sukarno bahwa nation yang sekarang kita bentuk adalah lanjutan dari nation yang dijeda. Yang ingin gue
garisbawahi, selanjutnya yang mengembangkan ilmu sejarah akhirnya bukan para
sejarawan, melainkan para politisi. Salah satunya Bung Karno dan Yamin. Karena
bagi mereka, nation harus diberi roh,
dan rohnya itu adalah sejarah.
Dan dalam konteks itu, kebenaran sejarah kadang
tidak penting. Yang penting adalah kepentingan visioner. Misalnya, Sukarno
bilang Indonesia dijajah 350 tahun, dari mana asalnya? Padahal itu yang
dikatakan oleh Gubjend De Jong ketika menolak permintaan agar meniru langkah
India memberikan kemerdekaan kalau misalnya berhasil dengan Inggris
bergandengan tangan melawan kapitalisme. Kata Gubjend De Jong, tidak, kalau
perlu, Indonesia dijajah 350 tahun. Nah, Bung Karno tahu betul kata-kata itu.
Diadopsi oleh Bung Karno. Secara de facto, tidak ada yang dijajah selama itu.
300 tahun mungkin ada, itu pun hanya Banda dan Batavia.
Jadi, dulu itu
pemahaman sejarah digunakan untuk upaya menyatukan bangsa?
Ya, karena kita baru merdeka. Kita gak punya
tentara. Yang kita punya adalah sejarah sebagai modal untuk menstimulus moral
dan mental masyarakat, dan lahirlah laskar-laskar untuk memerdekakan. Itu
digunakan dengan sangat baik oleh Sukarno, dia menciptakan hari-hari nasional.
Itu yang gue maksud, sejarah digunakan sedemikian rupa. Dia membawa seniman
melukis wajah-wajah pahlawan, mengangkat tokoh-tokoh yang secara faktual
kebenaran historisnya tidak diketahui, tapi yang penting melawan Belanda. Ilmu
Sejarah sendiri baru berkembang secara serius tahun 50an, walau sarjananya
sudah ada lebih dulu, seperti Husein Djayadiningrat. Sebelum itu, sejarah
dikembangkan oleh para politisi. Jadi, kalau bagian dari kekuasaan, menurut gue
itu memang hal yang nyata dalam sejarah kita. Yang lebih gila lagi, visi itu
lebih digunakan secara masif dan sistematis di zaman Suharto. Kita sudah
tahulah bagaimana negara dibangun oleh kebohongan dan propaganda yang disebut
sebagai sejarah. Ngomong apa pun, sebenarnya enggak ada sejarahnya. Lebih
banyak story daripada history. Negara memegang peranan penting saat itu dengan
mendirikan pusat sejarah ABRI/TNI yang membawa seorang yang sebenarnya bukan
jurusan sejarah dan sastrawan yang punya imajinasi tinggi seperti Nugroho
Notosusanto dan melakukan rancangan sistematis serius dan bergerak melalui
kurikulum, permuseuman, nama jalan, monumen. Semua digerakkan demi kepentingan
rezim. Yang merekonstruksi itu adalah tentara.
Lalu, siapa Bapak
Sejarah Formal?
Sejarah formal mulai dirintis Sartono
Kartodirdjo, karena itu beliau disebut bapak ilmu sejarah utama karena dia
melihat sejarah bukan urusan hitam putih. Kita tidak boleh melupakan tempat
rakyat dan orang kecil (petani, nelayan) di dalam sejarah. Nasionalisme
Indonesia dimulai dari petani. Dan mulai mengajarkan dengan apa yang disebut
sejarah kritis, sejarah akademis. Dia mulai merekrut orang-orang. Dari muridnya
seperti Lapian, kita tahu suara dari laut juga jarang, padahal kita negara
berbentuk tanah air.
Jadi, ini lebih ke
struktur birokrasinya, mereka membuat perpustakaan ABRI untuk memanipulasi
sejarah. Kalau tradisi sejarah di kampus bagaimana?
Mereka, kan, masuk melalui kurikulum. Kurikulum
itu yang menelurkan buku-buku babon. Sejarah Nasional Indonesia, misalnya. Buku
itu akhirnya merupakan suatu gambaran kalau nation Indonesia dibentuk oleh
kekuatan tentara. Jadi, wajar tentara punya posisi yang penting di dalam
republik karena mereka punya peranan besar. Di situlah, ada pertengkaran antara
sejarawan: yang ingin melihat sebuah bentuk manifestasi yang serius dari
kecakapan mereka sebagai sejarawan akademis. Konflik dari Taufik Abdullah,
Sartono malah bikin buku sendiri.
Ada kubu-kubu?
Sartono keluar, tidak ikut menulis akhirnya.
Taufik Abdullah juga tidak. Karena mereka merasa dikuasai oleh kubu-kubu
pemerintah yang diwakili oleh Nugroho Notosusanto. Istilahnya Kahtryn McGregor,
kan, sejarah yang berseragam. SNI adalah salah satu contohnya. Terutama pada
periode yang disebut sejarah kontemporer, sejak merdeka sampai 1970-an.
Perdebatannya akhirnya bukan hanya yang diharapkan jadi perdebatan akademis,
memperlihatkan kecenderungan para intelektual Indonesia. Yang terjadi
sebaliknya. Ketika buku itu ditulis kita sedang booming sejarah intelektual
Indonesia. Bukan hanya di regional Asia, tapi tingkat dunia. Mereka terlibat
percakapan serius tentang tema, topik, dan filosofi sejarah, tapi itu tidak
terlihat dalam buku SNI. Itu menyedihkan. Sekarang, kita krisis sejarawan yang
punya kaliber seperti booming tahun 70an itu, yang bisa ikut berdialog.
Booming 70an itu siapa
saja?
Sartono, Onghokham.
Lalu yang menuliskan buku SNI?
Nugroho Notosusanto. Mereka punya struktur
birokrasi, pernah jadi rektor, menteri. Karena itu, kalau sekarang kita
mendebatkan perkara 65, wajah kampus masih kelihatan seperti dulu.
Masih sampai sekarang?
Seperti penolakan kata penambahan G30S/PKI kan
sampai ke kampus-kampus perdebatannya.
Berarti, ada
tulisan-tulisan yang merujuk menolak wacana Orba?
Sartono bikin buku sendiri Dari Imperium sampai
Emporium untuk menolak. Diterbitkan Ombak karena Nursam punya kedekatan dengan
Sartono, dia menulis skripsi tentang Sartono.
Selain itu, siapa
lagi?
Taufik Abdullah menulis tapi tidak dalam bentuk
buku babon. Kemudian, dia menulis, diterbitkan di Singapur. Yah, mereka
mengembangkan dirilah, menulis dalam majalah Prisma dengan menulis sejarah2
alternatif. Ini membawa pengaruh berbeda dengan yang disajikan di SNI. Itu
memberi ruang sebagai suara alternatif dari sejarah resmi yang dijaga bahkan
oleh penjara, pentungan, blacklist.
Bagaimana pengaruh
para sejarawan anti-Orba ini ke para mahasiswa?
Banyak pengaruhnya. “Kalau Pak Ong sudah
protes, berarti rakyat kecil sudah kena pengaruh.” Onghokham dijadikan mistar
pengukur permasalahan. Karena beliau tiap hari pergi ke pasar, doyan masak, ke
mana-mana naik angkot. Lapian juga.
Mereka menulis dan terlibat sebagai intelektual
publik dan menjadi suara alternatif lewat kolom-kolom mereka, warna lain dari
diskursus kekuasaan yang disajikan oleh pemerintah. Mereka melihat Suharto
menerapkan pola kekuasaan Mataram baru yang feodal dan kolonial. Akhirnya,
kita seperti mengulangi sejarah. Dia memberi refleksi, dan akhirnya menjadi
perdebatan, kalau Orba itu adalah new state,
old society.
Kenapa baru ’98 Suharto
tumbang?
Ya, revolusi itu seperti pohon oak. Gak bisa
langsung besar. Harus jauh, mengakar. Revolusi butuh waktu, karena itu proses
mental. Mengubah kultur. Sampai hari ini, secara kultural tidak berubah:
feodalismenya, banditisme partainya. ’98 hanya titik menjatuhkan saja. Ada
studi menarik dari ___, dengan meneliti bacaan para aktivis 98. Mereka adalah
saksi yang tegang dari kekuasaan diktatorian yang fasistik sehingga bacaan
mereka lebih banyak pada bagaimana meruntuhkan rezim, tetapi ketika rezim
turun, bacaannya kurang. Itu yang jadi problem. Kalau kita baca refleksi
historis dari para intelektual sejarah, ya sama, mereka menyamakan Suharto
dengan rezim busuk, tapi apa selanjutnya? Itu berbeda dengan politisi seperti
Sukarno atau Hatta. Mereka bertanya: setelah kolonialisme tumbang, apa yang
akan kita buat? Indonesia ini jembatan emas, tapi seperti apa konstruksinya?
Mereka berdebat. Sementara Reformasi… mereka tidak punya kesiapan.
Mahasiswa-mahasiswa
sejarah UI, dan para pendiri Kobam yang didirikan sehari sebelum Suharto
makzul, apakah tidak punya gambaran besar tentang apa yang harus dilakukan
sekarang?
Kita bikin Kobam karena setelah Suharto jatuh,
kita baru sadar, apa yang menyebabkan Indonesia tumbang dan mengalami krisis
yang dalam. Ada yang bilang krisis politik, lalu mereka masuk partai politik.
Ekonomi, mereka masuk bisnis. Tapi jawaban gue dan teman-teman, karena kita gak
kenal apa itu Indonesia. Caranya kenal bagaimana? Kita harus pulang ke rumah
sejarah. Tapi sejarah Indonesia isinya gak ada sejarah (history), isinya cerita
(story) semua. Bagaimana? Ya, dijernihkan. Caranya bagaimana? Kembali
mewacanakan apa itu Indonesia, apa alasan kita menjadi Indonesia, dan apa
cita-cita kita. Kita harus mengampanyekan ini. Ya, harus bikin penerbit. Harus
menulis. Harus bicara.
[bercerita tentang kasus Kampung Pulo]
Hari ini, sering ada keluhan generasi muda buta
sejarah. Menurut gue bukan hanya mereka, kita semua buta sejarah.
[bercerita tentang Jokowi dan Prabowo dengan
strategi-strategi politiknya]
[kembali bercerita tentang kasus Kampung Pulo]
Minimnya perhatian terhadap masyarakat secara langsung, itu tradisi yang
sudah diwarisi sejak masa pemerintah Orba, kan?
Makanya, sejak ’98 mestinya para intelektual
publik itu dilibatkan. Selama ini, mereka ‘kan dimusuhi. Intelektual publik itu
siapa? Nah, itu banyak sekali kajiannya. Bukan yang untuk melegitimasi dan
mengamini pemerintah. Selama Orba, kerja teknokrat kan mengamini. Memberi
referensi akademik seolah-olah itu benar. Karena ada proyek di situ.
Normalisasi jadinya betonisasi. Itu bukan intelektual publik, karena dia tidak
mementingkan publik. Mereka lebih mementingkan penguasa.
Siapa contoh
intelektual publik yang semestinya bisa ditunjuk saat itu?
Sulit menyebutkan. Kecenderungan kekuasaan
adalah membangun jurang dengan kampus. Contoh paling gampang, kampus dibuang ke
pinggiran semua agar tidak mengganggu. Kalau kampus dekat dengan kekuasaan,
dianggap bisa jadi biang keributan. Tahun ’66, kan begitu. Orde Baru tahu betul
kampus tidak boleh dekat pemerintah. Negara akhirnya tumbuh seperti zombie,
membesar, tapi tidak punya jiwa.
Tetap ada patron di
kampus-kampus itu?
Bahkan setelah jauh pun, pemerintah mengirim
orang untuk menjadi intel dengan NKK/BKK. Orang-orang kampus bukan sebagai
teman dialog. Mereka justru dianggap musuh. Di sini, problem-problem besar
Indonesia dimulai. Hampir semua kebijakan tidak memiliki basis pengetahuan
sejarah. Kurikulum dimanipulasi sedemikian rupa, bisa dibaca di bukunya Saya
Shiraishi, Para Pahlawan Belia,
melalui kurikulum, kita dibentuk menjadi generasi yang minim wawasan dan
pengetahuan. Hampir semua perpustakaan pemerintah rusak, dan kita generasi nol
buku, minat baca rendah.
Maksud dari hampir
semua perpustakaan rusak?
Ya, itu tadi, negara tidak memerlukan
intelektual. Kalaupun perlu, mereka hanya memerlukan doktor dan profesor yang
tukang cap. Bukan keilmuannya yang dibutuhkan. Apalagi keberpihakannya.
Itulah jalan gue: akhirnya terbentur pada
pertanyaan—kalau jawaban dari krisis kita adalah dengan kembali lagi ke rumah sejarah, tapi bagaimana mungkin elu berteriak
berwacana di tengah masyarakat yang tidak membaca, itulah rumitnya.
Lalu, bagaimana
mungkin?
Elu harus jadi intektual publik di media-media,
yang orang tidak perlu baca.
Bukan dengan
meninggikan minat baca?
Ya, kan, tetap menerbitkan terus. Laku enggak
laku, gue terus menerbitkan, tapi ya gue terus ngoceh di mana-mana. Enggak ada
pilihan. Karena itu, gue bisa berbenturan dengan kekuasaan secara langsung.
Sejarahnya sendiri,
kenapa sih masyarakat kita minat bacanya begini?
Ya itu, dimulai dari masa Orba. Ceritanya Pram
yang menurut gue menarik. Di Tiongkok, ada raja bertanya ke penasihatnya
tentang bagaimana caranya melanggengkan kekuasaan. Penasihat itu bilang: “bikin
rakyat bodoh”. Salah satunya ya, pendidikan, itulah bisa dibaca di buku Saya
Shiraishi. Setelah 65, buku diintervensi sedemikian rupa. Kurikulum tidak
membuat daya kritis tumbuh: politiknya bersifat patron-klien, guru yang
menjelaskan di depan kelas adalah patron, murid adalah klien. Patron itu
memberi jawaban benar atau salah. Di zaman Sukarno, murid diberi tugas bacaaan
untuk didiskusikan. Di zaman Suharto, murid diberikan resume, ya belajar
karakter di mana? Kecuali, kita nyempal dari proyek masif kebudayaan Orba itu.
Dan itu memerlukan pertemuan-pertemuan khusus: harus ketemu orang-orang yang
kritis. Inilah akar dari semua itu adalah membaca. Seperti kata Pram, “Saya
bertugas mengajarkan sejarah kepada bangsa saya.” Dengan cara bagaimana?
Dia enggak bikin karya ilmiah karena mungkin dia percaya enggak ada yang baca. Jadi
diseduhlah sejarah itu dalam bentuk novel. Gue orang yang sebiduk dengan Pram
tapi dengan cara berbeda. Mungkin seperti Muhidin dan IVAA dengan cara arsip mereka,
dan banyak orang lagi menurut gue. Jadi, memberikan wacana kritis yang bisa
merontokkan dan mengikis kebudayaaan massa yang diwariskan periode puluhan
tahun lalu—yang sudah seperti membatu, yang digambarkan dengan mudah melalui
sikap para elite sekarang ini. Tidak punya pengetahuan, ya jadinya tidak punya
kemanusiaan.
Itu yang menyebabkan
Kobam menerbitkan karya-karya sastranya Pram dan Sitor Situmorang, ya? Kenapa
dua ini jadi nama utama?
Ya, Pram dengan caranya sendiri menggambarkan
Indonesia sebagai bentuk baru untuk menggantikan Jawa. Bahwa Pram adalah Jawa
yang sangat membenci Jawa, iya. Dia menggambarkan Jawa dengan tegang dan dia
ingin menghapus Jawa itu dengan menggantinya dengan Indonesia, seperti yang
diwacanakan Tirtho Adhi Suryo. Tirtho adalah orang Indonesia modern pertama,
menurut Pram.
Sementara itu, Sitor cukup berbeda. Dia tidak
ingin membunuh masa lalunya. Dia Batak, dia ingin menggambarkan Batak sebagai state, nation, yang pada masa lalu punya
konstruksi yang kuat. Dan harusnya seperti itulah. Itu tawaran yang diberikan
Sitor, diberi dan diupayakan melalui beragam tulisan, dari mulai karya sastra
sampai antropologi historis. Ia menggambarkan keindonesian kita tidak membunuh
kelokalan kita. Bagi Pram, Jawa sudah selesai. Bagi Sitor, kembali harus perlu,
karena setiap kelokalan kita bisa menjadi sumber untuk membentuk Indonesia.
Sitor sadar betul nasionalisme kita sejak awal dikonstruksi bukan untuk
membunuh kelokalan. Ini tergambar dalam peristiwa Kongres Sumpah Pemuda, di
mana bagian ketiga “menjunjung bahasa persatuan: bahasa Indonesia” itu
dihilangkan. Keitka elu bilang menjunjung, artinya elu menghargai ada bahasa
ibu. Ketika elu ngomong tentang bahasa ibu, elu harus menghidupkan
kebudayaannya. Karena bahasa ibu adalah muara dari kebudayaan. Kalau elu mau
ngecek matinya kebudayaan lokal, elu ngecek aja penutur bahasanya.
Mereka dua gambaran yang menarik untuk
menghayati mengapa kita menjadi Indonesia, mereka termasuk generasi kedua
setelah para founding fathers. Nah, sekarang kita enggak belajar lagi menjadi
Indonesia kan karena diputus oleh sistem orde baru itu. Hasilnya, sekarang
contoh-contohnya adalah praktisi-praktisi politik.
Akses materi dari
mana?
Gue bergaul dengan para dosen karena gue merasa
kecewa dengan pengajaran di kampus. Untungnya, ada senior dan jurnal. Kita
mengakses sendiri.
Siapa-siapa saja
anggota Komunitas Bambu?
Awalnya, kita namanya komunitas, karena ada
banyak orang yang bergerak dari aneka macam disiplin tapi menyepakati hal yang
sama: kita gagal memahami sejarah bersama. Bambu, karena dulu Depok
konservatorium bambu. Kobam ini seperti tempat singgah. Gue bertahan karena gue
mengepalai divisi penerbitan dan gue terikat sama kerjasama Adikarya Ikapi; ada
divisi diskusi, penerbitan, dll. Saat itu, mulai lulus kuliah. Erita, Bagus
Takwin, Faturohman, Safaris Dadi, Agus Mediarta, Dony Gahral, Ihsan Abdul
Salam, Tunjung, Lely, etc.
Ada grand design
menerbitkan seri-seri seperti Soeharto, Tionghoa, etc.?
Waktu itu, wacana kita adalah bagaimana
menghadirkan sejarah yang selama ini tidak tersuarakan, karena bagi kita
sejarah seperti album keluarga. Apabila ada unsur yang hilang, bingkai itu
rusak. Ibarat mengisi ruang kosong: kita menulis tentang Tan Malaka, Sukarno,
etc. Karena kalau mau tahu apa itu Indonesia, harus melalui mereka.
Periode pendiriannya
bagaimana?
Kita waktu itu terlibat dalam demo dan aksi.
Kita mendirikan Kobam menjelang Suharto jatuh karena kita mulai berpikir what’s
next? Apa yang menyebabkan Indonesia jatuh begini? Kita mulai mengadakan
diskusi: obat yang dicari atas krisis ini. Kita mulai membicarakan masa lalu
dari aneka macam sisi: psikologi, ekonomi, filsafat.
Sejak 2006, ada
imprint-imprint baru.
Gue ngerasa, kalau elu mau bikin sejarah
nasional, elu harus menguatkan sejarah lokal. Nah, sejarah lokal ini paling
lemah, kita sedikit sekali tahu. Padahal elu gak bisa tahu Jakarta kalau elu
gak paham sejarahnya. Tahun itu, gue baca referensi pada 2025, 70-an persen
masyarakat akan tinggal di kota. Dan perbaikan Indonesia bukan di tangan
presiden, tapi di tangan pemimpin-pemimpin kota itu. Karena itu, gue mulai
nerbitin tentang Jakarta, supaya enggak ahistoris.
Cover Kobam desainnya
berbeda?
Itu kita lakukan karena oplah menurun, dan
harga meningkat. Kecenderungan orang untuk membajak akan besar dengan kenaikan
harga ini. Jadi, kita bikin pembeda dengan kualitas art sedemikian rupa, untuk
entertainment. Itu sebenarnya trik. Lima tahun terakhir surveinya, peminat buku
Kobam menurun terus. Lima tahun lalu, 1500 laku dari 2000, tahun berikutnya
jadi 1000, 800, dan kemarin 600. Di toko, makin drop. Sementara distributor
ongkos makin mahal. Kita sudah mulai gak ikut bookfair karena cost-nya sudah
enggak masuk. Buku Sartono, misalnya, cuma cetak 1500. Kecuali elu punya pabrik
buku raksasa seperti Gramedia, etc.
Terus, strategi
bertahan bagaimana?
Kobam enggak pernah hidup dari Kobam. Kobam
hidup dari artwork. Buku Kobam semacam katalog, orang sering datang ke Kobam
untuk meminta bantuan cara mengemas buku. Kita banyak dapat order dengan bantu
artwork.
Kobam punya percetakan
sendiri?
Setidaknya kita punya banyak rekanan, yang
syaratnya bisa memberi utangan. Karena kalau langsung bayar sering sulit. Enggak
ada bedanya dengan ucapan James Scott tentang nasib petani, terendam sebatas
lutut. Ada riak air sedikit saja, kita tenggelam.
Kenapa masih bertahan?
Ya memberi masyarakat bacaan, masih ada bacaan
yang baik di tengah sampah buku. Elu kan sulit masuk ke toko buku, yang elu
temuin sampah. Nah, untuk itu, Kobam melakukan segala macam hal untuk
memperoleh dana. Kita juga berusaha mendekatkan pembaca dengan penulis dan
faktanya langsung lewat wisata sejarah, misalnya buku-buku Sukarno Muda dan
Nyai Dasima.
Siapa peminatnya?
Banyak. Kita pernah bikin wisata sejarah Nyai
Dasima, sampai 130-an orang yang datang. Ini membantu untuk lebih dekat dengan
pembaca Kobam. Yang harus dibentuk, kan, komunitas pembaca buku Kobam, dan
kalau bisa dilanggan. Waktu ketemu di Bentara Budaya pas acara komik, Seno
Gumira sampai bilang, kan, bahwa saking pentingnya buku-buku Kobam sampai harus
dilanggan.
Setelah Reformasi,
selain pemerintah yang enggak baca buku dan buta sejarah, kenapa konstelasi
politik kita enggak berubah?
Karena orang-orang yang hidup hari ini adalah
orang-orang yang mindset-nya disetir sedemikian rupa, dan menghasilkan
mentalitas manusia yang sama. Enggak ada lagi ideologi bagi mereka. Frankfur
Edi, sosiolog, bilang mereka terjebak dalam kedangkalan. Kalau terjebak dalam
kedangkalan, elu gak punya wawasan. Kalau enggak punya wawasan, enggak punya
cukup pengetahuan. Kalau enggak ada cukup pengetahuan, elu enggak akan punya
ideologi. Dari partai apa pun, semuanya jadi sama, yang mereka tahu adalah
sifat greedy, itu yang khas dari Orba. Sekarang, mahkota adalah uang. Di masa
lalu, mahkotanya adalah pengetahuan.
Persoalan buruknya, kita buntu di sejarah 65,
mayoritas kekuatan kita terserap ke sana. Kampus terbelah. Sejarah maritim,
perempuan, etc. jadi kurang difokuskan.
Dalam beberapa tahun
ke depan, apa ada optimisme?
Menurut gue, optimisme itu etika. Dan sejarah
mengajarkan itu. Kalau elu belajar sejarah, elu pasti punya optimisme. Sejarah
membantu elu keluar dari lubang jarum sekalipun. Suatu saat, Ranggawarsita
pernah menulis tentang Kalabendhu, sudah tidak ada lagi harapan, di depan
hanyalah lorong gelap yang penuh marabahaya. Tapi kemudian kan muncul orang
seperti Kartini, dia bilang Ranggawarsita itu ngaco, muncullah bukunya “Habis
Gelap Terbitlah Terang”, mungkin memang Abendanon yang bikin judul itu, tapi
kalau elu baca surat-surat Kartini, dia adalah orang yang paling senang
menggunakan kosakata terang dan gelap. Sukarno juga orang yang paling senang
dengan kiasan sang fajar. Muhammadiyah juga lahir dengan simbol mentari, itu
juga pengaruh Kartini.
Judul-judul yang
paling representatif untuk tiap seri?
Semua. Kalau tidak mau terjebak dalam politik
rasial Orba, elu harus baca semua buku itu sekaligus.
No comments:
Post a Comment