Ditulis untuk katalog mini Pameran Galeri Nginjen (GANJEN) oleh Indiguerillas & Ketjilbergerak. Pengantar tentang pameran bertajuk "Loneliness and Other Ilnesses" ini diberikan dalam katalog mini tersebut oleh kuratornya, Sita Magfira.
Perkembangan teknologi di setiap zaman selalu memicu gelombang kekhawatiran dan penolakan dari generasi masing-masing. Di masa ini, penggunaan gawai-gawai canggih yang dapat diperoleh dengan mudah adalah salah satu hal yang dikhawatirkan—sekaligus, secara paradoks, dimafhumi—sebagai faktor yang membuat individu tercerabut dari realitasnya. Karya Wulang Sunu yang bertajuk Phones and Children dan karya Ragil Surya Mega yang berjudul Misteri
Wulang menghadirkan fenomena secara apa adanya. Bocah dalam gambarnya adalah potret generasi digital yang menghabiskan waktu dengan gawai. Ia merekam bagaimana para orang tua di masa ini telah membiarkan anak-anaknya terpapar pancaran radiasi dari ponsel bahkan sejak usia dini. Karena itu, sosok bocah bertatapan sayu itu bisa dilihat sebagai maskot tersendiri untuk menanggapi fenomena ini. Dalam artian, ia bisa direproduksi menjadi bentuk karya yang lebih bercerita; semisal comic strip dengan karakter ala Mafalda, bocah berusia enam tahun ciptaan Joaquín Salvador yang selalu bersikap sinis terhadap sekolah, atau ala Calvin and Hobbes dalam versi Wulang: Bocah dan Gawainya.
Berkebalikan dengan Wulang, Ragil menambahkan sosok alien yang umum dikenal: tubuh kerempeng dengan kepala dan bola mata yang berukuran lebih besar daripada “ras manusia” dan ufo sebagai ornamen pada fenomena kegagapan individu ketika dihadapkan pada gawai mereka. Dengan ditambahi penjudulan ‘misteri hilangnya’—atau disingkat menjadi ‘Misteri Bersama’—keikutsertaan ufo dan alien bukan hanya sia-sia, melainkan tampak dipaksakan. Katakanlah, dua hal itu menjadi sebatas ornamen yang diniatkan seirama dengan judul. Alien dan ufo bisa saja dianggap sebagai representasi terbaik dari figur yang asing dan bukan masalah jika saja gaya menggambar Ragil tidak berintensi realis. Detail-detailnya yang serius, seperti kursi yang ditempati kucing yang sedang terlelap atau raut wajah tegang, sedih, dan depresif dari kedua sosok itu, menjadi kalah penting. Meskipun, dilihat dari sudut pandang lain, arsiran gambar Ragil sendiri memiliki ciri yang mewakili karakter gambar sampul buku-buku stensil atau komik silat.
Di luar aspek itu, karya-karya yang menampilkan permasalahan alienasi karena teknologi semacam itu bisa terbaca sebagai klise karena hanya menghadirkan fenomena—apa yang terjadi di permukaan—dan tidak mengeksplorasi persoalan yang lebih sistemik: rantai produksi massal dari hulu ke hilir, roda perekonomian global dan peran negara dalam pembangunan di bidang teknologi, ataupun persaingan bebas yang menjadi mesin penggerak para produsen gawai.
Dua perupa berikutnya, Azis Wicaksono dan Gilang Nuari, menghadirkan banyak simbol. Dua gambar Azis adalah wujud dari dominasi warna rempah-rempah—hijaunya lemon, kuning dan jingganya jeruk, dan merahnya cabai—plus lautan yang biru marine. Pada gambarnya yang pertama, ada beberapa objek orang-orang berjubah, kobaran api, kursi, kotak pos, mata, dan pot bunga. Kecuali pot bunga, objek-objek lainnya serupa pada gambar kedua, dengan tambahan gramofon dan seekor burung hantu yang dua bola matanya dalam posisi tak wajar. Judul dari kedua karya adalah Veil of Pseudo Fear. Ia bisa diartikan sebagai pemujaan terhadap hal-hal yang menjadi fokus di antara orang-orang berjubah tersebut: dalam gambar pertama direpresentasikan oleh pot dan dalam gambar kedua direpresentasikan oleh gramofon.
Masih dengan kekhasan pemilihan warna, dua karya Gilang Nuari adalah wujud dari warna-warna kadar oksigen dalam pemompaan darah ke jantung: merahnya aorta dan birunya vena cava. Karya Gilang yang berjudul Gambling, pertaruhan (?), itu adalah perkara antara sosok manusia yang berhidung bentuk prisma terhadap pisau dan buah delima di hadapannya. Kedua sosok dalam gambar semestinya punya hubungan yang resiprokal; karena mereka menggenggam pisau dalam posisi tangan berbeda dengan pancaran mata yang sendu. Dilihat dari posturnya, mereka juga mewakili gender berbeda. Dengan tekstur cukil kayu, warna merah aorta dan biru vena cava itu juga menghadirkan bentuk penampang, daun/jantung, ataupun pohon.
Adalah tugas ahli semiotika untuk menafsirkan makna dari pemilihan warna dan simbol-simbol dalam karya-karya Azis dan Gilang. Namun, saya mencoba untuk melihatnya dengan kerangka tema loneliness and other ilnesses, di sini karya Azis yang menampilkan sosok-sosok berjubah dengan segala pemujaan mereka (baik kepada pot ataupun kepada gramofon) tidak ubahnya adalah apa yang kita hadapi sehari-hari. Kita punya bentuk pemujaan masing-masing—selain fakta bahwa hal ini terkadang kita lakukan karena kita merasa sendirian (atau kesepian?)—kepada wujud-wujud berbeda. Dari sudut pandang itu, sarana pemujaan bisa dipandang sebagai candu peradaban. Dan karenanya pemujaan yang dilakukan oleh suatu kelompok bisa dilihat sebagai ‘penyakit’ atau ‘kegilaan’ bagi kelompok lainnya. Sementara itu, Gilang memang tidak menampilkan fenomena kekinian—gawai yang membuat masyarakat saling terisolasi atau pemujaan yang bersifat candu—dan dalam gambarnya hanya ada sosok dengan tatapan sendu yang memegang buah delima dan pisau. Namun, di sana dapat dilihat Gilang menekankan fokus karyanya pada sorot mata dan posisi tubuh dari karakternya. Dari dua benda yang dipegang dengan gestur canggung tersebut, ia menghadirkan sekaligus situasi batas Karl Jaspers: 1) Kematian, 2) Penderitaan, 3) Perjuangan, 4) Kesalahan—hal-hal yang dihadapi seseorang pada titik nadirnya. Meskipun, Gilang meluputkan satu pertanyaan: apa alasan atau latar belakang dari situasi yang dihadapi karakter dalam gambarnya?
Di luar aspek intrinsik karya-karya yang dipajang, ada tiga hal menarik yang patut dicatat dalam Galeri Nginjen (Ganjen) oleh seniman komisi ART|JOG|8 “Infinity in Flux” Indieguerillas, duet Miko Bawono dan Santi Ariestyowanti, pada periode 19-23 Juni 2015 yang menampilkan empat perupa muda berbakat ini. Pertama, galeri berbentuk persegi delapan dengan ukuran minimalis; padanya, ada empat lubang bagi pengunjung untuk mengintip karya. Galeri Nginjen (ukuran tinggi 60,5 sentimeter, lebar 17 sentimeter) adalah jawaban bagi keterbatasan atau kemewahan ruang pamer di galeri-galeri pada umumnya. Ia menunjukkan bahwa seniman dapat berkarya dan menampilkannya dalam ruang paling minimalis sekalipun. Kedua, kertas sebagai medium. Drawing, gambar yang dituangkan dalam medium kertas dan pensil/pulpen, alih-alih kanvas dan cat minyak, juga dapat dilihat sebagai wujud kesederhanaan (yang tentunya membutuhkan lebih banyak perawatan untuk menghindari pelapukan). Ketiga, kepekaan kurator—Sita Magfira—yang mengaitkan tema kesepian (loneliness) dengan penyakit-penyakit (ilnesses). Tajuk ini menyepakati bahwa kalaulah loneliness bukan dikategorikan sebagai suatu penyakit, maka loneliness adalah pemicu penyakit. Ada proses dari situasi kesendirian (aloneness) untuk mewujud kesepian (loneliness), dan lantas kesepian (loneliness) untuk menjadi penyakit (ilness). Bahwasannya, sistem imun yang melemah pada orang-orang yang merasa kesepian adalah faktor penyebab penyakit, seperti dinyatakan oleh John P. Capitanio, dkk. dalam temuannya, A Behavioral Taxonomy of Loneliness in Humans and Rhesus Monkeys (Macaca mulatta). Barangkali itu yang luput dihadirkan oleh para seniman dalam pameran minimalis ini. [*]
Sepertinya begitu ya, kita semua butuh berkomunikasi, tapi medianya yang bersosialisasi, dan orangnya malah saling mengalienasi, lalu bergiat menciptakan sekat sesama orang dekat jadi keniscayaan.
ReplyDeleteSyukur seniman masih mau melihat [komunikasi = alienasi] sebagai penyakit. :D