ALIANA berjalan di tengah keramaian, kegaduhan terjadi di
seluruh penjuru ruangan. Dentum musik pameran kala itu mengacaukan pikiran.
Berkali-kali dia berusaha menyelinap di antara kerumunan, menerobos
lalu-lalang, bertekad keluar entah dari pintu mana pun. Dia harus pergi dari
tempat itu. Tak peduli lagi akan janji temu yang dia buat dengan
seseorang-yang-tak-benar-benar-dia-kenal. Sudah satu jam dia di sana dan
keterlambatan lelaki itu tak dapat dia toleransi.
Makara sudah tiba di pintu gerbang ketika tiba-tiba letusan demi letusan
terjadi. Semua lampu padam. Ia menyadari ia memang telah terlambat selama satu
jam, tetapi bukan berarti itu dapat dijadikan alasan oleh gadis pembunuh
misterius itu untuk kembali melakukan satu kasus pembunuhan lagi di keramaian
seperti hari itu.
Para pengunjung berteriak ketika satu persatu orang yang berdiri di sebelah
mereka roboh. Kepanikan memenuhi udara.
Makara tahu benar siapa yang hadir di sana. Ia dapat memprediksikan ketika
gadis itu berlari ke arahnya dengan menghunuskan pisau yang dipegang di tangan
kanan. Tangan kiri gadis itu masih memegang pistol dan mengarahkannya secara
acak, menembak sembarangan.
Alangkah bengis, pikir Makara, ketika menangkap tangan kecil gadis itu.
“Salam kenal?” ujar Makara ketika menangkap sorot mata tajam gadis itu
sekilas lalu.
Tanpa menjawab, seketika itu juga gadis itu menghilang dari pandangan.
Dan, pertemuan itu berakhir dengan kesia-siaan bagi Makara. Pembunuhan
massal yang menewaskan puluhan pengunjung pameran malam itu diberitakan oleh
sepenjuru media massa di Indonesia, tanpa seorang pun tahu siapa pelakunya.
“ALIANA, ini pasti
kau, kan?”
Aliana mengusap mata. Dia masih mengantuk dan ingin meneruskan tidurnya.
“Apa pria itu begitu penting sampai kau hampir membongkar identitasmu tadi
malam?” tanya ayahnya kepada Aliana ketika dia masih menikmati waktu
senggangnya berayunan di kasur gantung.
“Aku membaca tulisannya di suratkabar, dan aku tertarik,” jawab Aliana
sambil bersalto terjun dari ketinggian sepuluh meter, berdiri dengan mantap di
hadapan ayahnya.
Ayahnya hanya melotot, masih menahan amarah.
“Jadi, kau ingin membongkar identitas
kita?”
“Ayolah, Ayah. Sampai kapan pun, tidak akan ada yang tahu kalau aku dapat
berubah menjadi… semut, Laras… kaki seribu, ayah… beruang, atau ibu… serigala.
Hal ini terlalu gila untuk mereka percayai.”
“Mengapa kau selalu mencari masalah? Mengapa kau membunuh manusia-manusia
yang tidak bersalah?”
Aliana tertawa. “Aku hanya bosan dengan keteraturan. Dan berhubung tidak
ada satu pun hukum buatan manusia dapat mengikatku, kenapa tidak?”
“Di mana kau dapatkan pistol itu?”
“Aku dapat berubah menjadi semut kapan pun aku mau, aku dapat mencurinya di
mana saja.”
“Aliana, kutukan ini tidak seharusnya kau pergunakan untuk kejahatan.”
“Ayah, ini tidak jahat. Aku hanya sedikit mengubah keteraturan dunia.
Sekali ini saja, ini yang terakhir.”
“Tidak ada satu pun leluhur kita yang menyalahgunakan kemampuannya,
Aliana.”
“Ayah, aku khilaf.”
“Kau sudah menyalahgunakannya berkali-kali. Dan hanya pria ini, penulis
berita ini yang dapat menangkap semua perilaku jahatmu. MTS, itu identitasnya?”
“Ya, Makara Tirta Samudra. Kupikir, ia lumayan peka.”
“Apa sebenarnya maumu, Aliana?”
“Ayah, kalau kita punya kemampuan, kenapa kita tidak membuat bumi ini
menjadi lebih baik?”
Dan, ayahnya menamparnya.
“Sudahlah, ayah tidak akan mengerti. Ayah tidak pernah mau mendengar!”
sentak Aliana, sekejap kemudian menghilang dari pandangan mata.
BAGI Aliana yang telah hidup selama 19 tahun dan telah
membaur dalam kehidupan manusia, kehidupan di zamannya telah
sedemikian kacau. Dia kadang tidak mengerti apa yang harus dia lakukan jika pun
ayahnya selalu menyuruhnya untuk berperilaku seperti manusia.
Dia sama sekali bukan seperti manusia kebanyakan. Dia mungkin seekor semut
yang manusia, atau seorang manusia yang semut: tanpa identitas yang jelas.
Dengan dia mengalienasikan diri, akhirnya tak ada seorang pun
mengenalnya. Dia sudah bersekolah seperti manusia kebanyakan, dididik dengan
aturan A hingga Z untuk pada akhirnya dijadikan budak dengan rok pendek dan
berias wajah, dia sudah ikut tes ujian masuk negara dan berkuliah. Dia sudah
menuruti segala kehendak ayahnya.
Sampai dia tidak tahu apa yang sebenarnya dia inginkan dari hidup di dunia
yang seperti itu. Segalanya penuh dengan rutinitas. Mengapa dia tak bisa
berkoloni saja bersama semut-semut yang lain dan pergi selama-lamanya dari
keluarganya? Namun, dia sama sekali tidak bisa berkomunikasi dalam bahasa semut! Dia telah dididik
sebagai semut yang manusia.
Padahal, ketika berbaur dengan manusia … dia merasa kecil, terabaikan, bukan
apa-apa, persis seperti kodratnya sebagai semut.
Hari itu, dia benar-benar berpikiran untuk mati. Namun, dia tidak tahu apakah akan mati sebagai
manusia, ataukah semut. Sepanjang siang, dia berjalan melintasi pertokoan buku
bekas, berpikir bahwa untuk mati ditimpa buku mungkin akan menyenangkan.
“Kau gadis itu, kan?” sampai seseorang memegang bahunya. “Yang kemarin
kutemui dan menghilang?”
Matanya bertatapan dengan pria itu. Jantungnya berdebar cukup kencang, dan
itu adalah kali pertama.
“Siapa sebenarnya kau?” Pria itu mendesak.
Sesuatu di dada Aliana mencelos, beruntung dia bisa menyunggingkan senyum.
Dan, pria itu tiba-tiba tertawa begitu hebatnya sampai menekan-nekan lutut.
“Akhirnyaaaaa!! Akhirnya kutemukan juga gadis misterius ini!” dan pria itu
dengan refleks memeluknya.
Aliana mengedip-ngedipkan mata, baru kali itu dia menghadapi situasi
yang amat manusiawi semacam itu. Ibu dan ayahnya tidak pernah memeluknya atau
memperlakukannya seperti manusia pada umumnya.
“Aliana. Namaku Aliana.”
Pria itu tersenyum teramat lebar, mengelus-ngelus rambut Aliana. “Aku tahu
kita pasti akan bertemu. Senang mengenalmu, Aliana!”
Aliana menelan ludah. Spontan terlintas di benaknya, mengapa respons pria
ini sangat jauh berbeda dengan ayahnya?
“Kau senang mengenal orang jahat?” tanyanya.
“Ya! Karena dengan begitu kita dapat bekerja sama!” ujar si pria dengan
ambisius. “Setelah kemunculanmu dan dengan berita-berita yang kutulis, semuanya
mendapatkan respons positif dari atasanku. Aku akan dipromosikan seandainya
semua beritaku sebaik ini!”
“Bagimu itu bukan kejahatan?”
“Tidak! Karena dengan hal-hal yang kau lakukan selama ini, kehidupan jadi
lebih teratur, memang seperti itulah seharusnya hukum. Hukum mati bagi
pembunuh, pemerkosa, dan pengkhianat. Dan caramu membunuh selalu luar biasa! Aku
kagum.”
Hening beberapa saat, hingga Aliana melanjutkan, “Apa aku boleh tinggal
denganmu?”
“Mengapa tidak?”
Aliana terbengong-bengong. Bahkan, pria di hadapannya itu tidak peduli dia
siapa, tidak peduli mengapa dia memiliki kemampuan menghilang, atau dia dari
mana, atau mengapa dia memutuskan tinggal dengan si pria… Namun, entah mengapa
dia merasa senang pria itu dapat menerima kehadirannya tanpa banyak bertanya.
“Ah ya, aku lupa memperkenalkan diri. Aku Makara.”
SELAMA seminggu, Aliana tinggal di apartemen pria itu. Dia diperkenalkan pada kecintaan sang pria terhadap dunia tulis-menulis,
tentang kebenaran fungsional di masyarakat, tentang idealisme avant-garde. Selama itu, dia
diperkenalkan pada citarasa seni yang tinggi dan penghargaan atas segala
sesuatu dalam kehidupan.
Sampai suatu ketika, semuanya menjelma ilusi bagi Aliana. Setelah selusin
pembunuhan telah dia lakukan untuk kepentingan pemberitaan Makara.
“Expectations don’t always go along
with reality,” begitulah pria itu mulai menceritakan rahasia hidupnya pada
Aliana. “Aku harus berputar-putar dulu sebelum akhirnya menjadi jurnalis dan
menemukanmu.”
Aliana memeluk lututnya duduk pada sofa di apartemen Makara, melihat pria
itu menumpuk-numpuk buku baru yang ia beli, seperti sebelum-sebelumnya.
Buku-buku tanpa jiwa. Namun, melihat kecintaan Makara akan buku-bukunya …
“Ayahku selalu ingin agar aku menjadi dokter. Ah ya, aku suka mendengar
musik kalau sedang bercerita dengan kawan-kawanku,” tutur Makara lagi sambil
bangkit dan memutar kepingan hitam pada kotak musik di meja dekat akuarium.
Lagu-lagu seriosa. “Semoga kau suka laguku.”
Bagi Aliana selama ini … Musik-musik yang tercipta hanyalah dongeng picisan
tentang cinta yang diulang-ulang, atau patah hati yang meradang-radang, atau
tentang kisah sepi kehidupan para kaum jalang. Lagu dangdut dengan keindahan
cengkoknya dihancurkan citranya oleh tarian goyang pinggul yang hilang seni,
tak seirama, bisa saja lemuh gemulai tetapi mati pada penjiwaan.
Semua musik selama ini hanya tinggal polusi udara.
Dengan Makara … semuanya menjadi jauh berbeda. Dia lebih menikmati
musik, dia menjadi tertarik dengan buku-buku. Dia benar-benar jatuh cinta
dengan pria di hadapannya itu.
“Aku menurutinya. Dan aku menamatkan kuliahku. Ayahku hampir gila sewaktu
melihatku menggratiskan pengobatanku pada tetangga-tetanggaku. Dan, akhirnya
menyerah untuk menyuruhku melanjutkan kuliah spesialis.”
“Aku kuliah Musik,” ujar Aliana.
Makara tersenyum, “Sama sekali tidak kusangka kau lembut juga ...”
Aliana menggeleng, “Aku suka musik metal. Kau tau, suara tritone. Dan aku kuliah musik, um, hanya
karena sepertinya itu yang paling mudah untuk kuselesaikan.”
“Kupikir kau lumayan kritis … cerdas, berwawasan, setidaknya, caramu
membunuh itu keren dan … sadis.”
Aliana menarik napas. Dia tidak mungkin bilang bahwa dia sama sekali tidak
tertarik dengan segala aspek kehidupan manusia. Dia tidak mungkin mengakui
dirinya adalah seekor semut.
“Ah, aku lupa mematikan televisi.”
Pria di hadapannya tidak pernah sebelumnya seperti itu; hari itu Makara
menyalakan rokoknya dan duduk di sebelah Aliana, menawarinya segelas kecil
tequila.
Aliana tersenyum dan menolak. Seperti ada yang menjepit ulu hatinya.
“Sebenarnya hal apa yang menggembirakan dari hidup di zaman semacam ini?”
tanyanya kepada Makara.
Di sisi lain dunia, berseberangan dengan kehidupan gemerlap yang
menggeliat, para aktivis meledak dan berkoar-koar di jalanan, mereka berwacana
tentang keadilan, dan di tempat lain di gang-gang sempit dunia, manusia-manusia
kelaparan mati tiap detiknya, melata mengharap keajaiban.
Namun, apa yang bisa dia jelaskan kepada Makara? Kepada pria yang ternyata
sama saja?
“Kau menikmati hidup yang seperti
ini?” tanya Aliana.
Aliana menjauh, berjalan mendekati jendela dan membukanya, lantas keluar
menuju beranda. Di sana, dia duduk menyendiri.
“Kau bermasalah dengan kelakuanku, padahal aku tak pernah bilang membunuh
adalah hal yang jahat. Apa artinya kau menggunakan ganja atau tidak? Kau minum
alkohol atau air mineral, apa bedanya?” tuntut Makara.
“Kau mabuk.”
“Justru pada saat mabuk orang bisa menyuarakan kebenaran. Kau harus mabuk
untuk bisa mengakui rahasia-rahasiamu!” Makara membentak. Wajah pria itu merah
padam. Tangannya yang panas memegang erat lengan Aliana dengan penuh emosi.
Dini hari itu, tanpa alasan yang pasti, Aliana terjun dari lantai enam
apartemen. Sebelum jatuh, dia kembali menjadi semut. Dan ketika dia terbangun,
dia telah berkumpul bersama sekoloni semut lainnya, tidak memiliki setitik
ingatan pun tentang masa lalunya. [*]
2011
No comments:
Post a Comment