Ditulis untuk program lokakarya kritik seni rupa dan kurator muda Indonesia 2014 di Dewan Kesenian Jakarta dan ruangrupa.
Tampilan Buku Sastra yang Monoton
Untuk
perayaan atas kesegalaan yang singkat ini, sekian baris puisi pendek tidak lagi
dianggap hadir secara anakronis. Ia dirayakan dan tidak terpisah dari
masyarakatnya. Siapa pun berhak menjadi penyair melalui cuitan di akun Twitter.
Kehidupan kita seketika dibanjiri kata-kata para penyair instan itu. Sayangnya,
hal itu tak serta-merta mendukung penghidupan para penyair. Damhuri Muhammad
dalam suatu pengantar[1]
menyampaikan:
“Seorang petugas pencatat kerjasama penjualan konsinyasi di sebuah toko buku, bahkan pernah mengatakan, “berhentilah menerbitkan buku puisi. Lebih baik kita berjualan buku tentang masak-memasak, atau buku panduan jitu cara bersolek, yang sudah pasti laris.”
Lantas,
jalan sunyi macam apa lagi yang kiranya akan ditempuh para penyair?
Penahbisan
penyair secara kilat dan sambil lalu ini adalah satu hal yang membuat kata-kata
memerlukan bentuk baru agar ia bisa laku, atau agar ia bisa tampil dengan khas.
Saya menulis artikel ini untuk tujuan kedua: mencari kekhasan demi menyudahi gelontoran
karya pastiche yang menjadi primadona
pasar buku hari ini. Meski demikian, saya optimis pasar pun sebenarnya menanti
sesuatu yang berbeda. Karena selain era instan, di masa ini orang-orang mencari
keterkejutan. Gumun yang bisa mereka
bagi lewat media sosial. Untuk merespons kegumunan
itu, mengapa tidak sekalian saja buku puisi ditampilkan dengan jalan yang
benar-benar berlainan dari buku-buku konvensional?
Pencapaian
artistik adalah salah satu alternatif yang diusulkan Damhuri melalui teks
pidatonya. Saya mengartikannya, buku puisi tidak mesti tampil teks belaka. Lewat
ragamrupa cetak grafis, dapat dihadirkan keunikan tipografi demi mewakili
‘suara’ ataupun gambar terpilih demi mewakili ‘visual’. Meskipun, untuk itu,
penyair perlu mengolah teknik dan bereksperimen. Yang mana, juga mendorong
perpaduan antardisiplin apabila diperlukan. Sebagaimana halnya Ellena
Ekarahendy[2]
mengintepretasikan puisi Afrizal Malna “Pada Bantal Berasap” menjadi sebuah
buku puisi dengan tambahan polesan grafis. Namun, untuk metode kerja itu, kita
perlu mempertanyakan kembali: tepatkah apabila genre karya Ellena ini disebut
sebagai puisi konkret atau puisi visual?
Puisi Visual atau Visualisasi
Puisi?
Dalam
kata pengantarnya, Ellena mengakui apa yang dia lakukan bukanlah hal pertama,
dan ia menyebut dua nama lain, Filippo Marinetti dan Tristan Tzara sebagai
pendahulunya. Namun, dia tidak menarik garis penciptaan di mana Marinetti dan
Tzara mengerjakan sendiri visual untuk puisinya, dan bahkan menciptakan
konsepnya terlebih dahulu sebelum dituangkan ke kertas. Bahwasannya, intensi
memvisualisasikan puisi itu dilakukan sendiri oleh penyairnya, seperti yang
dilakukan oleh penyair-penyair di Indonesia, di antaranya Sutarjdi, Ibrahim,
dan Hamid. Inilah apa yang umum dikenal sebagai puisi visual atau puisi
konkret.
Herman
J. Waluyo (Waluyo, 1987) mencatat bahwa puisi konkret terkenal sejak era
1970-an; Sutardji Calzoum Bachri dengan O,
Amuk dan O, Amuk Kapal-nya,
Ibrahim Sattah dengan Hai Ti dan
Hamid Jabbar dengan Wajah Kita pernah
pula menerapkan permainan visual dalam puisinya. Terutama Sutardji, dengan
doktrin puisi mantra, jeda dan repetisi bukan mainan baru baginya. Namun, pada
para penyair yang tidak berlatar belakang desain komunikasi visual, eksperimen
unsur bunyi, tipografi, enjambemen, ataupun ikon parodi tidak ditampilkan
dengan permainan warna atau bentuk yang mendorong interaksi visual. Mereka
hanya berkutat dengan kemungkinan-kemungkinan bentuk teks: lingkaran, segitiga,
baris-baris garis, dan sejenisnya untuk mewakili maksud dari puisi itu.
Seringkali, upaya ini pun hanya hendak menampilkan grafis dari puisi, alih-alih
pemaknaan terhadap teks. Lebih dari itu, hampir kesemua seniman itu berlaku
ideologis dalam mengonsep karyanya, baik dalam makna dan tema bagi karyanya,
ataupun aliran yang kemudian menopangnya.
Teknik
grafis puisi sendiri sudah berkembang sejak era Yunani klasik dengan sebutan technopaigneia, dalam bahasa Latin carmina figurata, dan gesamtkunstwek dalam bahasa Jerman[3]. Kesemuanya, meski tak sepenuhnya sama, mensyaratkan penambahan
elemen untuk menyampaikan maksud dari puisi dengan lebih terang.[4] Kegiatan
perwujudan teks puisi ke dalam medium ini sempat redup di abad ke-12 hingga
ditampilkan kembali oleh George Herbert (Bohn, 2001).
Ellena menyitir Geger Riyanto bahwa Afrizal menyajikan jukstaposisi visualisasi tata bahasa atas benda-benda, yang disebut Asarpin sebagai pengalaman skizofrenia dalam puisi, di mana eksperimen bentuk dan kejernihan visual serta pengalaman ragawi tampak jelas dalam puisi-puisi Afrizal. Berangkat dari hal itu, Ellena menerapkan strategi transformasi puisi ke dalam komposisi visual melalui lima jalan: 1) membaca ulang puisi yang akan ditransformasikan ke dalam komposisi grafis, 2) melakukan break down dan pencatatan kata-kata kunci di masing-masing puisi, 3) dari kata-kata kunci atau kata-kata pokok di masing-masing puisi tersebut, Ellena melakukan brainstorming terutama untuk menangkap konteks dari konten tersebut, 4) dari kata-kata kunci itu pula, dia melakukan pendekatan melalui sketsa terkait grafis-grafis di mana dilakukan terjemahan harafiah dan terjemahan dengan pendekatan majas (personifikasi, alegori, eufemis, dan lainnya) demi merangkum keseluruhan konteks maupun konten puisi, 5) setelah menentukan alternatif sketsa, dia kembali mengkaji karya Afrizal demi mencari padanan konteks dan konten dalam puisi. Dan, dia pun melakukan korespondensi secara langsung dengan penyairnya. (Ekarahendy, 2013)
Afrizal
adalah penyair yang langka dalam kesusastraan Indonesia. Diksi-diksi pilihannya
akrab dengan keseharian yang berpadu padan begitu rupa dengan apa yang
adiluhung: siapa yang bisa membayangkan abad dapat berlari, hujan berpola
arsitektur, pembacaan memiliki biografi, atau ada museum yang menyengaja
memusnahkan dokumen?[5] Judul-judul
puisi di dalam buku itu pun tak kalah ajaib. Misalnya, “Pada Bantal Berasap”
dibagi tiga judul besar: 1) Perjalanan di Kebun Belakang, 2) Pakaian Kotor di
Dasar Jurang, 3) Pidato-pidato dari Bantal Berasap.
Ellena
juga jelas bukan anak kemarin sore di
bidang seni grafis. Dia bereksperimen betul dalam karyanya ini. Menghadirkan puisi ke dalam bentuk
grafis bukan hanya membutuhkan pemahaman akan suara; bagaimana rima, tempo, dan
jeda dalam puisi terdengar, melainkan bagaimana gambar-gambar beserta komposisi
warna dan garis mendukung puisi.
1) Perjalanan di Kebun Belakang
Judul
puisi ditampilkan pada latar berwarna biru navy.
Halaman-halaman selanjutnya dengan latar berwarna putih dibarengi garis
melengkung dengan persegi panjang juga lingkaran berukuran mini berwarna
kontras: merah, biru, hijau magenta, abu-abu dan putih. Terdapat baris puisi
berbunyi ‘saya bosan di sekolah karena harus menggambar gunung-gunung itu
seperti roti, dengan isi coklat dan kacang, saya hanya ingin menggambar robot
di lantai’ diwujudkan dalam tipografi berbentuk separuh lingkaran yang bermuara
pada gambar robot. Di bagian ini, saya merenungkan ‘kebosanan’ yang diwujudkan
dalam separuh lingkaran, seperti menjalani siklus, yang berujung pada
kehendaknya semula: menggambar robot. Puisi itu ditutup dengan baris kalimat
‘jilan... sepatumu kotor sekali. ayah ingin membersihkannya.’ di mana
ditampilkan gambar birama detak jantung untuk panggilan ‘jilan...’ yang diikuti
dengan tipografi sederhana untuk menuntaskan kalimat.
50 tahun usia kuping
Judul
puisi ditampilkan pada latar berwarna merah. Untuk imajeri kuping, Ellena
agaknya sengaja menggunakan simbol-simbol berbentuk lengkung yang mirip dengan
daun telinga: perpaduan ( ), { }, dan penyusunan baris-baris puisi dalam wujud
( ). Saya bersepakat ketika Ellena menggunakan huruf-huruf yang tampak berayun
ketika baris puisi berbunyi ‘lalu aku pergi / seperti / sebuah kuping / yang
setia / mendengar / kisah / kisah / cintamu’.
Judul
puisi ditampilkan pada latar berwarna ungu. Warna ini tetap dipertahankan
hingga akhir puisi pada halaman-halaman berikutnya, dan terdapat senar yang
tampak arbitrer tumpang-tindih dengan layer-layer berisi teks. Penopangan teks
dan layer pada senar agaknya mewakili kesan ‘berjalan di punggung’, atau
pilihan ini diambil karena dalam teks puisi, terdapat beberapa diksi di mana aliran air membentuk resonansi—sebagaimana halnya senar—seperti pada baris puisi
‘sungai yang membawa bantal itu dan sebuah biskuit di atasnya.’ dan ‘aku bukan
tsunami yang berjalan sendiri di hari libur.’
Judul
puisi ditampilkan pada latar berwarna cokelat pudar. Halaman-halaman berikutnya
memunculkan roda sepeda, dengan tipografi yang menerapkan pemenggalan suku kata
dan menempatkannya secara acak dengan kata sebelum dan sesudahnya. Lantaran
terdapat twist dalam plot penutup
puisi, baris kalimat ‘aku tidak akan sempat menyaksikan hujan turun dari
seluruh ingatanku di sana.’ ditampilkan berbeda dibandingkan halaman sebelumnya
karena teks dibuat menyeleras dalam bentuk tetesan hujan.
2) Pakaian Kotor di Dasar Jurang
Judul
puisi ditampilkan pada latar berwarna merah. Pada puisinya sendiri, Afrizal menambal-sulam
huruf pada kata-kata seperti: nabi, babi, nani, napi, rabi, nasi, nari, dengan sekian
kali merepetisi black box sebagai
jeda pertukaran huruf pada kata. Karena itu, Ellena tampak berfokus pada huruf-huruf, bagaimana B, N, S, R, dan P menjadi unsur penting untuk membantu anagram kata tingkat lanjut: mengganti hurufnya, dan mengubah maknanya sekaligus.
Judul
puisi ditampilkan pada latar berwarna biru navy gelap. ‘Kita lihat Sartre malam
itu’ ditampilkan dalam grafis karikatur Sartre, dan halaman-halaman selanjutnya
menampilkan benderangnya cahaya matahari, berkebalikan dengan nuansa 'malam' yang diusung pada baris kalimat sebelumnya. Untuk baris ‘neraka adalah
orang-orang lain’, tipografi membentuk ne R/A ka dengan simbol matahari yang
benderang di bagian tengah.
Judul
puisi ditampilkan pada latar berwarna kuning kunyit. Puisi liris panjang dalam
tiga paragraf itu hanya ditampilkan dalam tiga halaman dengan masing-masing
satu kata di setiap halaman: bicara, bicara, lagi.
3) Pidato-pidato dari Bantal
Berasap
Judul puisi ditampilkan pada latar berwarna cokelat. Namun, apa yang kuat adalah sajian berikutnya: saya bertanya, mengapa
puisi ini didominasi dengan latar warna hitam dengan huruf-huruf berwarna
putih? Barangkali, karena terdapat reptisi ‘ada orang hilang’ dalam puisi itu.
Gelap, nuansa yang timbul dari kalimat lanjutannya ‘aku mayat politik yang
pernah diculik’. Bahkan, untuk memperkuat nuansa itu, beberapa huruf dibuat hilang. Yang berbeda di bagian ini, Ellena menggunakan tiga warna sebagai latar belakang kertas: cokelat, hitam, dan krem.
Grafis-grafis
itu adalah wujud sinestesia apa yang ditangkap indera untuk hadir ke bentuk
visual: 1) ada rasa dan emosi dalam pilihan tipografi, 2) ada cerita dalam
pilihan objek foto atau gambar, 3) serta irama dalam jeda antara halaman. Namun
demikian, kolaborasi ini perlu dipertimbangkan untuk memiliki nama sendiri.
Ellena telah mempertimbangkan penamaan 'typoetry' bagi puisinya, karena itulah yang ditawarkan oleh aplikasi web tempatnya menaruh teaser buku ini, Behance.net. Selain itu, adalah tidak tepat juga untuk menyebutnya sebagai puisi konkret, sedangkan apa yang
sejatinya Ellena lakukan adalah mengalihwahanakan medium teks (sastra) yakni karya
Afrizal Malna ke medium visual (grafis). Karena dalam sejarahnya, puisi konkret
adalah wujud ekspresi langsung dari para penyair. Buku puisi Ellena bukan
digarap oleh Afrizal Malna, Ellena-lah yang membantu menyajikan puisi dalam
bentukan yang dapat lebih dinikmati secara visual. Pun, dia melakukan
penafsirannya sendiri dalam menentukan warna, jenis huruf dan tipografi, hingga
pemilihan gambar-gambar yang sesuai dengan subjek yang dibicarakan dalam puisi. Visualisasi puisi, barangkali, adalah
nama yang lebih tepat untuk itu.
Kepustakaan
Adler,
Jeremy. (2013). “Technopaigneia, Carmina Figurata, and Bilder-Reime: Seventeenth-Century Figured Poetry in a Historical Perspective" dalam Comparative Criticism 4 (1993): 107-48. Web. 25 Feb. 2013.
Bohn,
Willard. (2001). Modern Visual Poetry.
Delaware: University of Delaware Press.
Ekarahendy,
Ellena. (2013).Working
Paper “Perancangan Visual Buku Interpretasi Puisi Afrizal Malna Pada Bantal Berasap”. Dokumen Ellena
Ekarahendy.
Waluyo, H. (1987). Teori dan
Apresiasi Puisi. Jakarta: Erlangga.
[1] Pidato berjudul Jarum dan Timbunan Jerami.
Pengantar Ketua Tim Juri KLA 2013 dalam acara Malam Anugerah Khatulistiwa
Literary Award 2013 pada Selasa, 26 November 2013.
[2] Dengan karyanya mengenai Afrizal
Malna ini, dia memperoleh gelar kesarjanaan di bidang Desain Komunikasi Visual,
Universitas Bina Nusantara di tahun 2013.
[3] Technopaigneia berarti teknik paginasi, carmina figurata adalah puisi dengan bentuk yang tersusun atas
huruf-huruf dalam puisi. Puisi France Preseren berjudul Zdravljica adalah salah
satu contoh bentuk ini. Sementara itu, gesamtkunstwek
hadir dengan makna sedikit berbeda. Ia adalah keseluruhan cabang seni (seni
komprehensif yang memadukan beraneka unsur-unsurnya), diksi ini kali pertama
digunakan oleh filsuf Jerman, K. F. E. Trahndorff dalam esainya di tahun 1827.
[4] Menurut Foucault, puisi visual
berfungsi “loge les enonces dans l’escape
de la figure, et fait direay texte ce que represente le dessin” (menyatakan
puisi sesuai mediumnya, dan membuatnya manyampaikan apa yang direpresentasikan dalam
corat-coret yang dikerjakan oleh penyair).
[5] Judul-judul buku Afrizal Malna
berdasarkan tahun terbit, di antaranya: Abad yang Berlari (1984), Yang Berdiam
dalam Mikrofon (1990), Arsitektur Hujan (1995), Biography of Reading (1995), Museum Penghancur Dokumen (2013).
No comments:
Post a Comment