Siang itu hujan. Kita entah kenapa menyudut pada salah satu jendela restoran itu dengan dua gelas minuman dingin.
Jadi, apa yang paling kamu inginkan di masa kecilmu? Kenapa kamu menulis?
Jadi, apa yang paling kamu inginkan di masa kecilmu? Kenapa kamu menulis?
Minuman di gelasku tinggal separuh.
Memiliki teman. Cukup lama aku mendefinisikan diri sebagai seorang anak tunggal yang tak pernah punya teman akrab. Sewaktu TK, aku pernah punya. Kami ke mana pun bersama. Sayangnya, aku tiba-tiba terbujuk rayuan orang tuaku yang sejak sebelum menikah tampaknya bercita-cita mengoleksi medali dan piala dari anak mereka. Mereka membeli lemari kaca khusus untuk itu bahkan sebelum tahu aku punya bakat apa. Aku terkutuk karena lahir sebagai semata wayang sehingga dijejali harapan ini-itu: petenis, bintang di televisi seperti Maissy si Gadis Cilukba, ataupun pembawa sangsaka merah-putih dalam barisan paskibraka. Padahal, aku hanya ingin menjadi seperti Usagi di Sailor Moon. Pembela kebenaran yang tak perlu bangun pagi. Jadi begitulah, dulu setiap hari, kerjaku hanya menggambari dinding, mewujudkan cita-citaku di sana. Karena itu, usaha utama mereka untuk menjadikanku anak istimewa terbilang mudah. Mereka mendorongku akselerasi kelas ke SD di usia belum genap lima tahun, dan menjauhkanku dari komik-komikku. Yang mau tidak mau, sekaligus menjauhkanku dari sahabat terbaikku di TK itu.
Bagaimana nasib lemari kaca itu?
Kosong melompong hingga hari ini.
Kamu tertawa.
Di bangku SD, hampir semua temanku laki-laki. Karena itulah aku tak pernah merasa canggung berada di antara kaum mereka. Bahkan karena itu aku tak pernah merasakan desir-desir aneh saat duduk beraduan tatapan mata dengan pria yang kutaksir, misalnya. Aku kemudian bosan dengan keadaan itu. Percaya atau tidak, saat SMP, aku melemparkan koin ke kolam dan meminta kehadiran seorang teman kepada kolam itu.
Kamu akhirnya tergelak di bangku di hadapanku. Hampir saja mengambil gelas minum yang sengaja kamu sisihkan untuk dinikmati saat berbuka puasa, tetapi kemudian mengangsurkannya kembali ke meja. Belum waktunya bagimu untuk menutup puasamu.
Kamu melakukannya, katamu, kamu tipikal gadis yang seperti itu.
Ya, pada akhirnya, kolam itu mengabulkan permintaanku.
Itu hanya self-fulfilling prophecy, sahutmu. Pada dasarnya, kamu yang berusaha untuk mendapatkan teman yang cocok denganmu.
Di satu sisi hal itu benar, aku mendapatkan teman-teman itu karena kemudian aku menulis banyak cerita sedih untuk mereka baca di jam istirahat sekolah.
Mereka menyukai cerita-ceritamu?
Mungkin kalau aku menanyai mereka sekarang, mereka akan bilang tidak. Selera kita berubah. Jadi, aku lebih percaya kolam itulah yang mengabulkan segalanya. Ah, aku ingin bertemu dengan kolam itu lagi, dan melemparkan koin yang banyak.
Kali ini, kamu mau meminta apa lagi?
Aku hanya bisa membatin; entahlah, bisakah aku minta kamu?
Aku tak pernah merasa kamu mencintaiku dan tampaknya kolam di sekolahku itu sudah dipugar.
Memiliki teman. Cukup lama aku mendefinisikan diri sebagai seorang anak tunggal yang tak pernah punya teman akrab. Sewaktu TK, aku pernah punya. Kami ke mana pun bersama. Sayangnya, aku tiba-tiba terbujuk rayuan orang tuaku yang sejak sebelum menikah tampaknya bercita-cita mengoleksi medali dan piala dari anak mereka. Mereka membeli lemari kaca khusus untuk itu bahkan sebelum tahu aku punya bakat apa. Aku terkutuk karena lahir sebagai semata wayang sehingga dijejali harapan ini-itu: petenis, bintang di televisi seperti Maissy si Gadis Cilukba, ataupun pembawa sangsaka merah-putih dalam barisan paskibraka. Padahal, aku hanya ingin menjadi seperti Usagi di Sailor Moon. Pembela kebenaran yang tak perlu bangun pagi. Jadi begitulah, dulu setiap hari, kerjaku hanya menggambari dinding, mewujudkan cita-citaku di sana. Karena itu, usaha utama mereka untuk menjadikanku anak istimewa terbilang mudah. Mereka mendorongku akselerasi kelas ke SD di usia belum genap lima tahun, dan menjauhkanku dari komik-komikku. Yang mau tidak mau, sekaligus menjauhkanku dari sahabat terbaikku di TK itu.
Bagaimana nasib lemari kaca itu?
Kosong melompong hingga hari ini.
Kamu tertawa.
Di bangku SD, hampir semua temanku laki-laki. Karena itulah aku tak pernah merasa canggung berada di antara kaum mereka. Bahkan karena itu aku tak pernah merasakan desir-desir aneh saat duduk beraduan tatapan mata dengan pria yang kutaksir, misalnya. Aku kemudian bosan dengan keadaan itu. Percaya atau tidak, saat SMP, aku melemparkan koin ke kolam dan meminta kehadiran seorang teman kepada kolam itu.
Kamu akhirnya tergelak di bangku di hadapanku. Hampir saja mengambil gelas minum yang sengaja kamu sisihkan untuk dinikmati saat berbuka puasa, tetapi kemudian mengangsurkannya kembali ke meja. Belum waktunya bagimu untuk menutup puasamu.
Kamu melakukannya, katamu, kamu tipikal gadis yang seperti itu.
Ya, pada akhirnya, kolam itu mengabulkan permintaanku.
Itu hanya self-fulfilling prophecy, sahutmu. Pada dasarnya, kamu yang berusaha untuk mendapatkan teman yang cocok denganmu.
Di satu sisi hal itu benar, aku mendapatkan teman-teman itu karena kemudian aku menulis banyak cerita sedih untuk mereka baca di jam istirahat sekolah.
Mereka menyukai cerita-ceritamu?
Mungkin kalau aku menanyai mereka sekarang, mereka akan bilang tidak. Selera kita berubah. Jadi, aku lebih percaya kolam itulah yang mengabulkan segalanya. Ah, aku ingin bertemu dengan kolam itu lagi, dan melemparkan koin yang banyak.
Kali ini, kamu mau meminta apa lagi?
Aku hanya bisa membatin; entahlah, bisakah aku minta kamu?
Aku tak pernah merasa kamu mencintaiku dan tampaknya kolam di sekolahku itu sudah dipugar.
4 November 2014
No comments:
Post a Comment