Jauh di ujung dunia, di sudut paling gemerlap kota yang ditata megah, seorang
gadis menjajakan kesedihan di lapaknya yang sederhana. Mereka yang melihatnya terheran-heran karena tak pernah lagi menjumpai kesedihan, tak pula pernah lagi diceritakan turun-temurun oleh
moyang mereka. Pada hari itu, bertanya-tanyalah mereka, bagaimana caraku
menyebut rasa yang muncul ketika melihat gadis itu? Apakah itu yang dinamakan …
?
Kesedihan. Tak lagi ada dalam
silabus sekolah bahwa kesedihan pernah mewujud dalam kata dan bahkan tercatat dalam
sisa-sisa informasi genetis dari moyang mereka. Tak ada dalam kamus bahasa mana
pun, baik lema kesedihan maupun semua referensi kosakata yang mendekati makna kesedihan telah dilenyapkan berjuta-juta
tahun lampau.
Maka, bagi kaum mereka,
menjadi sedih adalah hal mustahil.
Peradaban manusia tak lagi kekurangan suatu apa.
Seluruh dunia saling menyemangati. Tak ada perang. Tak ada kemiskinan. Tak ada
ketimpangan. Tak ada pelecehan
seksual. Tak ada cacian dan hinaan. Semua orang bahagia dengan kehidupannya,
saling bantu mereka untuk tak lagi menyediakan celah bagi kesedihan untuk
mampir.
Kota-kota dibuat jadi seragam. Semua gedung saling
menyerupai. Mereka bertahan hidup dengan bahasa, agama, dan warna kulit
berbeda, tetapi selalu diwanti-wanti untuk meyakini bahwa mereka sama. Hal itu
mungkin saja dilakukan karena para linguis bersepakat untuk menghapus banyak
kata-kata dalam kamus. Begitulah, jauh sebelum membangun peradaban
nir-kesedihan itu, mereka telah menyadari bahwa kata kesedihan ternyata sangat
berhubungan erat dengan kata perbedaan.
Tiap seorang bayi terlahir, mereka diproses sekian
lama, untuk dicatat keseluruhan penerawangan takdirnya, kesukaannya, bakat
genetisnya, dan didaftarkan ke kantor sipil. Semua itu dilakukan supaya di masa
depan mereka berprofesi sesuai dengan kesemua informasi yang dicatatkan.
Dengan segala keteraturan itu, orang-orang bersukacita
melakukan apa pun—utamanya yang tercatat dengan teliti di dalam buku takdir sebagai hal yang mereka
sukai. Tak satu pun berusaha mengingkari
takdirnya. Demi senyum sumringah,
demi gejolak di dada, demi kebahagiaan abadi yang kolektif.
Selama perjalanan awal kehidupan, mereka dapat pergi
ke mana pun untuk memperoleh ilmu yang mereka kehendaki dan mereka dapat menetap
di mana pun kaki mereka mengarahkan. Sampai pada usia tertentu—demi menjaga
kebahagiaan setiap orang terbagi sama rata—mereka harus berhenti menjelajah dan
mulai ditempatkan pada daerah sesuai minat-bakatnya. Sejak titik usia itulah,
yang boleh menjelajah gunung, samudera, ataupun petak-petak pada cakrawala
hanyalah mereka yang pada usia dewasanya ditakdirkan menjadi pendaki dataran
tinggi, pelaut, ataupun penyelam langit.
Demikian juga setiap takdir pertemuan telah diatur
sedemikian rupa, sehingga pertemuan-pertemuan tak lagi menjadi suatu kebetulan
belaka.
Orang-orang tak lagi bertukar pengalaman, karena semua
yang boleh mengisi rongga kepala mereka hanyalah hal-hal yang benar-benar
mereka butuhkan. Mereka tak boleh memikirkan hal-hal yang tak berkaitan dengan
fungsi profesi mereka, mereka tak boleh mempelajari hal-hal yang hanya akan
sia-sia dalam catatan takdir mereka. Bila ingin menjadi dokter, maka mereka tak
diperkenankan mengetahui satu hal pun tentang seni musik ataupun seni lukis,
ataupun apa pun itu.
Dan walau mereka berada dalam
suatu ruang dengan entitas-entitas lainnya (pada zaman itu mereka hidup berbaur
dengan robot dan para arwah), mereka tak pernah menggunakan mulut untuk
berbicara. Sudah sejak lama diupayakan agar selalu ada fasilitas yang dapat
mewadahi mereka untuk berkomunikasi. Seketika pula, kemampuan bicara
mereka merosot sedemikian tajam. Bagaimanapun, hal itu tak pernah menjadi masalah
besar karena kebutuhan komunikasi mereka telah tercukupi dengan penggunaan
piranti-piranti logam yang tak lekang oleh zaman.
Lain halnya pada sekelompok entitas dengan profesi
tertentu yang masih diwajibkan untuk memiliki kepekaan yang tinggi dalam
berbicara. Karena, dalam masyarakat yang sempurna seperti itu pula, tugas para
ahli hukumlah untuk menengahi, misalnya, para dokter yang tak memiliki secuil
pengetahuan pun tentang seni lukis dengan para pelukis yang tak peduli hal apa
pun yang mungkin dapat dikerjakan oleh seorang dokter. Ketika pun pada suatu
sidang dua jenis manusia itu dipertemukan, segala halnya sudah disiapkan untuk
mengawasi segalanya berjalan lancar dan damai. Lagipula, catatan-catatan takdir
manusia yang demikian teratur telah membantu para ahli hukum untuk memetakan
kasus-kasus penyimpangan yang akan terjadi pada takdir pertemuan—dalam contoh
kali ini—antara para dokter dengan para pelukis.
Selain itu, pernah ada orang-orang
tertentu yang melanggar perintah, untuk merekalah suntikan-suntikan ataupun
butir-butir obat anti-perlawanan ditujukan. Dalam zaman itu, mereka tak
menyebut tempat rehabilitasi para pengkhianat itu sebagai rumah sakit jiwa.
Karena bagaimanapun, mereka telah menghapus segala kosakata yang berhubungan
dengan kasus paradoksal kesedihan-dan-kebahagiaan yang sejak berjuta-juta tahun
telah dimediasi sepenuhnya oleh kata ‘kegilaan’.
Ah, aku sudah
terlambat. Ada orang-orang yang menungguku untuk menambal gigi geraham mereka
yang rusak.
Sial, aku tak
seharusnya menonton gadis itu di sini. Lukisan-lukisanku sudah akan diambil
oleh distributorku.
Buku-buku ini. Apa
yang kulakukan di sini. Aku harus segera menemui penyeliaku, karena dia juga
akan menemui bosnya. Ampun, tiga puluh menit lagi?!
Bergegas, mereka yang sempat menonton seorang gadis
dengan pancaran rasa yang tak mereka kenal apa namanya berlari dengan kilat
memenuhi takdir-takdir mereka yang sudah diperingatkan sejak dini hari melalui
gelombang mimpi. Para robot, tentu saja, tak perlu menjadi sepelupa orang-orang
itu, karena mereka sudah menyimpan segala catatan takdir harian mereka dalam chip-nya.
Pada suatu masa, robot-robot itu pernah menuntut
haknya agar sama dengan para manusia. Semenjak seorang penemu asal Rusia
menciptakan program yang mahakompleks untuk memberikan definisi perasaan,
karakter, dan kepribadian bagi makhluk dengan kecerdasan buatan, para robot
semakin marak dijumpai dalam keluarga-keluarga misantropis ataupun mereka yang
berselibat. Suatu gerakan yang besar pernah tercipta ketika musik
metal akhirnya tumbang di tengah rezim otoriter
penguasa dunia baru.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, ya, kau pasti tak asing
dengan istilah ini, ketika itu digulingkan, menyusul organisasi-organisasi
internasional lainnya yang tak menyetujui presiden
dunia pertama naik menjabat.
Tapi bagaimanapun, presiden dunia itu
akhirnya terpilih (dan bahkan sekarang telah berpuluh kali presiden dunia
berganti). Darah tumpah begitu banyak untuk revolusi semacam itu. Perjuangan
untuk mempertahankan kekuasaan menjadi benar-benar tak masuk akal.
Aku tak tahu kapan tepatnya—ketika itu mereka langsung
mengganti penanggalan solar menjadi penanggalan berbalik dari aturan solar
ataupun lunar, ataupun keduanya. Masuk akal mereka melakukan itu, karena segala
sistem dunia memang perlu diubah saat itu juga untuk menghapus jejak sejarah.
Dan untuk urusan waktu, itu akan jadi sangat penting, karena kau tak bisa tahu
pasti kapan waktu berganti. Yang pasti, tepat saat itu pula, segala catatan sejarah dimusnahkan, kronologi dimulai dari titik nol, dan kau tak dapat
melacaknya lagi setelah banyak literatur yang tak sesuai dengan zamannya
dibumihanguskan.
Yang jelas, paling tidak, sejauh apa yang kudengar
dari narasumberku, banyak orang ketika itu masih cukup waras untuk menentang
rezim baru yang luar biasa otoriter itu. Sayangnya, orang-orang yang ketika itu
masih melakukan penentangan tak segan-segan langsung dibasmi dengan beragam
taktik eugenetis yang telah distrategikan jauh-jauh hari oleh para pendukung
presiden pertama dunia kala itu. Itulah yang menyebabkan manusia-manusia yang
kau lihat sekarang seperti itu. Mereka adalah kaum paling pengecut yang pernah
ada dari sekumpulan bangsa manusia.
Dan setelah semua orang pergi, dan si gadis usai
mempertontonkan kesedihannya, di sana dia memutus urat nadinya dan merebahkan
tubuh. Orang-orang, mengejar waktu, berlalu-lalang menginjak-injak jasad si
gadis demi keseharian mereka yang penuh kebahagiaan. [*]
Yogyakarta, 11 Januari 2013
melankoli. seperti biasa kaaak... :)
ReplyDeleteTahun 2013, eh, ini, ditulisnya. Saat ini penulisnya sudah tidak terlalu melankolis. :p
Delete