Industrialisasi oleh negara menjadikan Indonesia hanya sebagai konsumen belaka. Tingginya konsumsi kendaraan mengakibatkan kemacetan di kota-kota yang tidak terencana pembangunannya dan hanya meniru (disebut menjiplak, juga boleh) model-model negara lain. Sedangkan, infrastruktur di desa-desa tetap tidak terurus.
Pada dekade ‘70-an, hampir semua negara di Eropa dan
juga Amerika Serikat menjadikan gagasan Adam Smith dalam An Inquiry Into the Nature and Causes of The Wealth of Nations
sebagai basis menuju gerbang industrialisasi. Meski pengaruh gagasannya yang
melahirkan sistem ekonomi kapitalis itu sempat meredup, terutama saat dunia
usaha mengalami depresi pada 1929-1930, beberapa ekonom liberal tetap teguh
berpegang pada sistem ini. John Maynard Keynes, dalam buku bertajuk The General Theory of Employment, Interest,
and Money (1936), menawarkan solusi untuk menyudahi krisis ekonomi asalkan
sistem ekonomi tetap mengacu pada semangat kapitalisme. Keynes percaya, ekonomi
kapitalisme masih bisa terselamatkan dengan catatan ada sedikit intervensi dari
pemerintah.
Berapa
besar intervensi pemerintah, itu tak pernah tuntas dijelaskan oleh Keynes. Hal
inilah yang kemudian membuat negara merasa memiliki kontrol yang besar. Ian
Chalmers (1996) menjelaskan, akar intelektual kebijakan industrialisasi terletak
pada abad ke-19. Selanjutnya, antusiasme terhadap industrialisasi melanda
seantero Jepang dan dunia Barat. Imbasnya, apa yang semula tak lebih dari
tujuan kebijakan berubah menjadi ideologi independensi ekonomi, yang
menghendaki peningkatan posisi negara serta titik berat industrialisasi sebagai
wahana integrasi nasional.
Chalmers
menguraikan, selang Perang Dunia II, retorika nasionalisme dunia ketiga—termasuk Indonesia—dikaitkan dengan agenda pembangunan industri. Industrialisme
menjadi unsur utama dalam ideologi pembangunan nasional. Pada masa itu, industri
otomotif menjadi tumpuan harapan pembangunan industri dari banyak politisi
negara Dunia Ketiga. Gengsi yang terkandung dalam pengembangan manufaktur, yang
dalam hal ini diartikan sebagai produksi—dan bukan perakitan—mobil ini
menciptakan keterkaitan dengan sektor ekonomi lain.
Mendapat
angin segar, negara-negara industri seperti Amerika Serikat, Kanada, Inggris,
dan Australia pun kian giat memasarkan produksi mobil ke Dunia Ketiga. Seperti
yang diungkapkan Henry Ford, ekspansi mobil ini juga terpengaruh kebijakan
industri nasional yang menuntut perusahaan perakitan mobil merelokasi pasar ke
negara Dunia Ketiga. Di Indonesia, industri otomotif didaratkan lewat
kolonialisme Belanda. Belanda mengusung ide ekonomi kolonial, di mana mereka membebaskan
ekonomi Indonesia dari ketergantungan terhadap sektor pertanian serta ekspor
primer, dan menciptakan struktur ekonomi yang seimbang.
Di
sisi lain, pemerintah kolonial juga menghasilkan dominasi asing terhadap seluruh
sumber daya ekonomi yang penting, dan lingkungan sosial menyediakan lahan subur
bagi perkembangan sentimen anti-asing. Dengan demikian, hasil perkembangan
penting dari masa kolonial Indonesia adalah tekanan politik bagi pribumisasi
pemilikan.
Ikhwal
ini, ada silang pendapat di antara politisi dan ekonom Indonesia era 1950-an.
Mereka terbagi dalam dua poros: dalam negeri dan luar negeri. Dr. Soemitro
Djojohadikusumo—anggota PSI—mewakili pihak luar negeri menghendaki adanya
penanaman modal asing, tetapi juga tampak siap siaga melancarkan intervensi demi
melindungi bisnis pribumi. Sebaliknya, para politisi PKI mendesakkan
nasionalisasi terhadap hak milik asing meski juga menganjurkan proteksi negara
terhadap seluruh modal nasional, termasuk bisnis milik orang Tionghoa.
Di
era ini, ada usaha yang ekstrem dari mereka yang pro-Sumitro untuk meneguhkan peran
borjuasi pribumi. Lewat kebijakan Benteng buatan Dr. Juanda, Menteri Kemakmuran Rakyat,
kelompok bisnis pribumi berhasil melesakkan proteksi negara; pada 1951 impor
mencakup 10 persen; 1952 impor diperluas hingga 25 persen; dan 1954 tercakup 85
persen dari jenis barang impor. Pada suatu waktu, jumlah ini bahkan tercatat menembus
4.000 importir.
Dalam
hal industri otomotif, sekelompok pengusaha pribumi dengan cepat dapat
mengontrol impor mobil. Di kala kecenderungan nasionalisme ekonomi berkuasa dan
pembangunan industri mendapat titik berat, industri mobil pun dibangun.
Sebagian besar mereka yang membangun memiliki keterkaitan dengan PNI
Salah
satu pabrik terbesar di Indonesia adalah pabrik perakitan mobil yang dibangun
di Tanjung Priok pada 1927, yakni NV General Motors Java Handel Mij. Pabrik ini
memulai usaha sesaat sebelum produksi boom
pada 1930-an. Selama sepuluh tahun pertama masa produksi, perusahaan itu
merakit tak kurang dari 47.000 mobil, sebagian besar mobil Chevrolet dan truk
General Motors. Pabrik ini menjadi salah satu manifestasi pertama industri
modern di Indonesia.
Perusahaan
besar kedua sepenuhnya dimiliki negara ini, yaitu Indonesia Service Company (ISC). Pada Oktober 1950, atas negosiasi pemilik dengan Matthew Fox, pengusaha
Amerika Serikat, ISC digabungkan dalam usaha patungan, yang sahamnya dibagi rata antara
Amerika Serikat dan Indonesia, dengan Fox sebagai salah satu direkturnya. Politisi
PSI, Tan Goan Po, menjadi direktur pertama usaha ini dan dua lembaga keuangan
yang berkaitan erat dengan PSI, Zoro Corporation dan NV Putera, menjadi
pemegang saham. Setelah Tan purnatugas, jabatannya dipegang Hasjim Ning. Sosok
Ning begitu intim dengan beberapa politisi penting Indonesia, termasuk Mohammad
Hatta yang berhaluan ekonomi berkiblat ke barat.
Ciri-ciri
pengusaha dalam kelompok Ning sebagaimana importir Benteng adalah kepemilikan
hubungan yang dekat dengan para politisi. Bagi mereka, afiliasi partai bisa
berarti hidup matinya perusahaan, sehingga mereka merasa perlu menjaga hubungan
baik dengan politisi. Dalam kondisi ini, perbedaan antara importir swasta dan
perusahaan negara menjadi begitu kabur. Pasalnya, Ning dan pengusaha terkenal
lain seperti Bachrie dan Hoepoedio juga mengatur perakitan milik negara, ISC.
Menangkap
hal yang tidak beres, Bank Industri Negara (BIN) tak lama kemudian berinisiatif
memborong saham Amerika di perusahaan patungan ISC. Pada 1952, usaha itu
sepenuhnya diubah menjadi milik negara. Walau demikian, ISC tetap memiliki
keterkaitan dengan politisi berhaluan moderat dengan Sumitro sebagai penasihat.
Persaingan
bisnis otomotif makin meningkat di masa Ekonomi Terpimpin (1959). Aziz
mendapatkan keagenan internasional Harvester pada 1959, Suwarma memperoleh
keagenan Mitsubishi dan Mercedes pada 1960, dan Yasrin memperoleh keagenan
Toyota. Seperti yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, pihak-pihak tersebut
senantiasa mendapatkan dukungan politisi kenamaan di Indonesia.
Efek patrimonialisme industri otomotif ialah bahwa persaingan yang meningkat menyebabkan
adanya usaha penggalangan kepentingan bisnis di kalangan pengusaha. Salah satu
upayanya adalah diversifikasi koneksi politik. Ning, misalnya, mengalihkan
kesetiannya pada sayap yang lebih nasionalis dalam PNI. Sementara itu, politisi
terkemuka, Yusuf Muda Dalam, diangkat sebagai Ketua Dewan di ISC.
Cara
lain adalah dengan menyerukan cita-cita politik bagi perkembangan industri.
Ning, Koerwet, dan Eman—para pengusaha yang memprakarsai industrialisasi
otomotif— melipatgandakan upaya mereka. Setelah kegagalan Borgward diatasi—dan pembangunan
pabrik Udatin rampung—produksi dimulai pada 1960. Pada tahun sesudahnya, Eman
mengimpor ribuan mobil pengangkut barang dan sedan CKD merek Holden. Ning juga
menegosiasikan pinjaman modal kedua melalui Dana Pinjaman Pembangunan Amerika
Serikat.
Pada
1961, tibalah alat-alat perakitan seperti mesin pembuat karoseri, pegas, dan
pipa knalpot. Dua tahun kemudian, perundingan kerjasama dengan pihak asing
makin meningkat. Itu melibatkan impor hampir 3.000 buah kendaraan dengan nilai
sekira 13,3 juta dolar AS. Impor ini mencakup mobil Toyota, Mitsubishi, Mazda,
Nissan, maupun kendaraan kecil seperti Daihatsu, Bemo, dan kendaraan dari Blok
Timur: Skoda, Trekka, dan Praga.
Pada
saat-saat terakhir—terkenal sebagai tahun-tahun korporatis dalam ekonomi
terpimpin—ikatan patronase telah sepenuhnya membayangi tujuan industrialisasi. Chalmers menegaskan, seluruh impor
kendaraan dieksekusi berdasarkan perundingan antar-pemerintah, dan bisnis
bergantung penuh pada seberapa lengketnya pengusaha dengan politisi negara.
Konsekuensi
dari segala praktik patrimonialisme ini adalah kekacauan dalam aktivitas bisnis
otomotif. Imbasnya, pada 1965 sistem angkutan umum terhenti sama sekali,
terutama akibat kelangkaan kendaraan yang masih berfungsi serta kekurangan suku
cadang yang kronis.
Hal
ini memicu pengusaha besar seperti Ning (Chrysler, Fiat, Ford), Dasaad (Fiat), Eman (Holden), Panggabean (VW), Lubis (Mazda), Suwarma (Mitsubishi, Mercedez),
Yasrin (Toyota), Markam (Nissan), Koerwet (Trekka), maupun pemerintah Indonesia
dengan General Motor-nya untuk mengubah struktur kepemilikan. Mereka mencari
pengusaha baru untuk memasuki bidang impor mobil. Namun, yang menjadi masalah,
siapa importir yang mampu bertahan dalam pembalikan kebijakan di era Suharto?
Saat
Suharto ditasbihkan menjadi presiden Indonesia, ia meneguhkan kembali
nasionalisme ekonomi dan borjuasi pribumi. Segi penting di era ini adalah
peningkatan jumlah kendaraan bermotor yang luar biasa di dalam negeri. Antara
1969 sampai 1981, keluaran pabik perakitan dalam negeri meningkat dengan
rata-rata sebesar 52 persen.
Meluasnya
pasar dan bergairahnya perakitan dalam negeri memicu produksi komponen. Banyak
perusahaan membangun produksinya secara mandiri dan mulai membeli komponen dari
produsen independen. Menjelang 1984, Departemen Perindustrian memperkirakan
kandungan lokal untuk truk mini dan kendaraan serbaguna mencapai 49 persen dan
45 persen.
Meskipun
sempat surut, dengan puncaknya di tahun 1981, kampanye lokalisasi berlangsung
terus. Proyek paling ambisius yang dijalankan sesudahnya adalah pemberian
lisensi pada tujuh pabrik untuk memproduksi mesin. Empat di antaranya sudah
mulai merakit sejak 1985. Sebagian besar pemain ini bisa langsung dikaitkan
dengan pembelian negara. Khususnya pada 1970, saat Pertamina dan PN Timah
memesan mobil sedan dan kendaraan niaga secara besar-besaran.Laris-manisnya
rakitan mobil ini terutama dipengaruhi oleh konten Kebijakan Repelita yang
digagas Suharto. Tanggung jawab kebijakan diemban Departemen Perindustrian,
Departemen Perhubungan, dan Departemen Perdagangan.
Setelah
peristiwa G-30-S, pemerintah Suharto banyak melakukan “pembersihan” pengusaha.
Sebagai legitimasi, ia mendirikan Satuan Tugas Bidang Angkatan Bermotor Darat
untuk mengawal proses inventarisasi usaha mobil. Selanjutnya, ia juga
mendirikan Badan Pusat Koordinasi Pembinaan Industri Kendaraan Bermotor dan Tim
Penertib Kendaraan Bermotor. Badan-badan ini membantu pengaturan bisnis dengan
mengeluarkan surat keputusan saat terjadi ketidakjelasan politis.
Menjelang
1968, dilatarbelakangi persyaratan kredit IMF yang berupa langkah pengendalian
inflasi, Menteri Perdagangan melarang impor mobil mewah tertentu. Sumitro dalam
hal ini menjadi tokoh kunci dalam upaya lokalisasi industri mobil. Gagasannya
banyak diwarnai upaya Orde Baru memproteksi pengusaha transnasional.
Upaya
proteksi ini penuh misteri tatkala banyak pengusaha otomotif terlibat dalam
lingkaran orang-orang terdekat Suharto. Sebut saja, Jenderal Ibnu Sutowo dengan
lisensi Mercedez dan Mitsubishi, Sofyan Wanandi, William Soeryadjaya dengan PT
Astra International. Semuanya berada dalam lingkaran orang-orang Suharto.
Di
era reformasi, industri mobil berada di bawah kendali pebisnis asing. Pemerintah
yang diharapkan mampu menekan laju pengusaha asing tidak menunjukkan peran yang
signifikan. “Pemerintah bahkan bersinergi dengan pengusaha asing,” ujar Lilik
Wachid, peneliti Pusat Studi Transportasi dan Logistik (PUSTRAL) UGM. Menurut
Purwo Santoso, dosen Ilmu Politik dan Pemerintahan UGM, hal itu lantaran
Indonesia memiliki keterikatan berupa hutang dengan pihak luar. Alhasil,
invansi mobil dari pengusaha asing pun dilegalkan semata-mata demi menjaga
neraca ekonomi tetap seimbang.
Dalih
pemerintah untuk mengintervensi ini menyangkut kesalahpahaman di tingkat hulu.
“Teori pengembangan wilayah yang dianut di Indonesia selalu mengacu pada teori
kutub pertumbuhan (growth poles),” ujarnya.
Pokok gagasan itu menurut Purwo, bahwa perkembangan wilayah mensyaratkan adanya
ketimpangan distribusi sumber daya dan mengeliminir potensi eksploitasi
daerah-daerah yang sudah maju. Untuk poin kedua, pemerintah meyakini apabila jaringan
sistem transportasi berhasil menyambung area pertumbuhan dengan kawasan pinggiran,
ada kemungkinan pihak yang berperan sebagai kutub pertumbuhan lebih diuntungkan
(Jurnal INSIST, 2005).
Celakanya,
pembangunan industri mobil ini justru mengharuskan pemerintah Indonesia
mengeluarkan tenaga dan anggaran ekstra demi penyediaan infrastruktur jalan.
“Sayang, dari dulu hingga sekarang pembangunan dan belanja transportasi hanya
berpusat di perkotaan sebagai sentral peradaban manusia modern,” imbuh Purwo.
Sebaliknya, negara mengabaikan ketimpangan pembangunan transportasi di daerah.
Dalam sebuah dokumen yang dilansir The World Bank (2004), komitmen pemerintah pusat
Indonesia terhadap pengembangan infrastruktur daerah terus surut. Pada 1994,
belanja pusat untuk ini mencapai 4 persen dari gross domestic product (GDP), pada tahun tersebut belanja mengalami
penurunan sebesar 1 persen.
Untuk melihat ketimpangan belanja
pemerintah, kita bisa melihat kondisi di Yogyakarta. Provinsi D.I.Y. dipandang cukup
representatif untuk melihat pemusatan belanja karena memiliki jumlah dealer sebanyak
100 buah. Menurut Purwo, Yogyakarta memang menjadi pasar yang strategis bagi
para produsen kendaraan bermotor. Tidak
cukup dengan hanya gerai penjualan saja, para produsen kendaraan bermotor pun
mendirikan gerai perawatan dan spare part guna
perawatan kendaraan.
Daftar
Produsen Kendaraan Bermotor dan Jumlah Dealernya di DIY
No.
|
Produsen
|
Jumlah Dealer di DIY
|
Jumlah gerai
Sparepart di DIY
|
Jumlah gerai Services
di DIY
|
|
1
|
Kawasaki
|
13
|
*
|
*
|
|
2
|
Yamaha
|
39
|
38
|
38
|
|
3
|
Honda
|
21
|
153
|
30
|
|
4
|
Daihatsu
|
4
|
*
|
*
|
|
5
|
Isuzu
|
2
|
3
|
2
|
|
6
|
Toyota
|
4
|
*
|
*
|
|
7
|
Chevrolet
|
1
|
*
|
*
|
|
8
|
Suzuki
|
4
|
*
|
*
|
|
9
|
Mitsubishi
|
3
|
*
|
*
|
|
10
|
Mercedez Benz
|
1
|
*
|
*
|
|
11
|
Volks Wagen
|
1
|
*
|
*
|
|
12
|
KIA
|
1
|
*
|
*
|
|
13
|
Hyundai
|
1
|
*
|
*
|
|
14
|
Nissan
|
1
|
*
|
*
|
|
15
|
Mazda
|
1
|
*
|
*
|
|
16
|
Vespa
|
1
|
*
|
*
|
|
17
|
Viar
|
1
|
*
|
*
|
|
18
|
Minerva
|
1
|
*
|
*
|
|
19
|
MAK
|
1
|
*
|
*
|
|
20
|
Bajaj
|
1
|
*
|
*
|
|
21
|
TVS
|
1
|
*
|
*
|
|
22
|
Ducati
|
1
|
*
|
*
|
Tabel
1.1
*:
Tidak Diketahui
Sumber: Diolah data
Polda DIY, http://www.kawasaki-motor.co.id/dealers/area/yogyakarta, http://www.yamaha-motor.co.id/dealer
network/?tx_ymkinetwork_pi1[cat]=0&tx_ymkinetwork_pi1[query]=Yogyakarta&doNetSearch=Find, http://www.astra-honda.com, http://www.daihatsu.co.id/dealer, http://www.isuzu-astra.com, dan www.toyota.co.id
Keberadaan gerai perawatan dan spare part dari setiap produsen
mengakibatkan jumlah kendaraan tidak pernah berkurang. Dengan adanya perawatan,
masa pemakaian kendaraan bermotor menjadi lebih panjang. Akibatnya, sampah
kendaraan bermotor tereliminir ke jumlah minimum—sementara itu dealer di Yogyakarta tetap menjamur. Tak
pelak, jumlah kendaraan bermotor setiap tahun meningkat.
Peningkatan Kendaraan
Bermotor Setiap Tahun s/d 2013
Tahun
|
Jenis Kendaraan
|
Jumlah
Tambahan
Kendaraan setiap tahun di DIY
|
|||||
Mobil
Penumpang
|
Mobil Beban
|
BUS
|
Sepeda Motor
|
Kend Khusus
|
|||
1.
|
2005
|
82.703
|
35.670
|
14.685
|
843.077
|
-
|
|
2.
|
2006
|
2.083
|
1.142
|
2.988
|
73.127
|
-
|
79.340
|
3.
|
2007
|
4.812
|
1.725
|
3.559
|
96.115
|
-
|
106.211
|
4.
|
2008
|
18.789
|
1.117
|
-10.357
|
104.625
|
-
|
114.174
|
5.
|
2009
|
6.857
|
1.532
|
34
|
89.919
|
8
|
98.350
|
6.
|
2010
|
8.933
|
1.464
|
56
|
103.378
|
3
|
113.834
|
7.
|
2011
|
14.360
|
2.640
|
22
|
112.906
|
7
|
129.935
|
8.
|
2012
|
13.641
|
3.218
|
32
|
114.387
|
3
|
131.281
|
9.
|
Apr 2013
|
5.884
|
1.318
|
42
|
44.287
|
7
|
51.538
|
Tabel 3.0
Sumber: Olahan dari data Polda DIY
Meningkatnya jumlah kendaraan
bermotor di Yogyakarta mensyaratkan konsumsi BBM yang tinggi. Akibatnya, SPBU pun menjamur.Seperti diungkapkan
pihak Pertamina DIY, penyaluran BBM pada setiap SPBU mengikuti omset yang
menjadi cerminan kebutuhan masyarakat di sekitarnya.
Jumlah SPBU di DIY
No.
|
Kab/Kota
|
Jumlah SPBU
|
1
|
Kota Yogyakarta
|
16
|
2
|
Sleman
|
37
|
3
|
Bantul
|
23
|
4
|
Kulonprogo
|
9
|
5
|
Gunung Kidul
|
8
|
Total SPBU di DIY
|
93
|
Tabel 4.0
Sumber: Olahan
dari data Pertamina DIY
Tabel 4.1
menunjukkan konsumsi BBM menampakkan aksentuasinya di kota. Bila dilihat dari
perbandingan antara jumlah penduduk dan SPBU, konsumsi BBM penduduk Kota
Yogyakarta di atas rata-rata empat kabupaten lainnya. Salah satu bukti bahwa
persoalan kendaraan bermotor lebih menggambarkan fenomena Kota(wi).
No.
|
Kab/Kota
|
Jumlah SPBU
|
Jumlah Penduduk
|
Prosentase penduduk per SPBU
|
Luas geografis
|
Kepadatan Penduduk (Orang/Km2)
|
1
|
Kota Yogyakarta
|
16
|
388.627
|
24.289
|
32,5 Km2
|
11.957,75
|
2
|
Sleman
|
37
|
1.093.110
|
29.544
|
574,82 Km2
|
1.901,66
|
3
|
Bantul
|
23
|
911.503
|
39.631
|
508,85 Km2
|
1.798,37
|
4
|
Kulonprogo
|
9
|
388.869
|
43.208
|
586,28 Km2
|
663,29
|
5
|
Gunung Kidul
|
8
|
675.382
|
84.423
|
1.485,36 Km2
|
454,69
|
Total SPBU di DIY
|
93
|
3.457.491
|
37.177
|
3.185,80
km2
|
1.085,28
|
Tabel 4.1
Sumber: olahan
dari Pertamina DIY, BPS DIY, www.gunungkidulkab.go.id,
http://bantulkab.go.id,
http://www.slemankab.go.id,
http://www.kulonprogokab.go.id,
dan http://www.jogjakota.go.id.
Ragam
kendaraaan bermotor itu telah dihidupi sekaligus menghidupi kota. Maka,
pengaturan sistem transportasi semestinya terintegrasidengan pembangunan kota.
Sayangnya, di Indonesia termasuk Yogyakarta, sejak dulu, ikhwal kendaraan tak pernah direncanakan
secara serius. Terlebih dalam jangka panjang. Dengan demikian, pemerintah perlu
merumuskan dasar pembangunan sebuah kota ideal yang didukung transportasi
memadai bagi warga.“Kita tidak pernah dibiarkan tahu pemimpin Yogyakarta mau membawa rumusan kota ini ke
arah seperti apa. Bila Yogyakarta
memang mau dibawa menjadi kota yang humanis, infrastruktur dan transportasinya
harus mendukung itu,” ungkap Lilik.
Rizki Budi Utomo, S.T., M.T. dari Dinas
Perhubungan DIY, menganggappembangunan
infrastruktur transportasi di perkotaan Indonesia sudah salah kaprah sejak era Suharto.
“Pemerintah keliru saat memilih untuk meniru model kota yang dianut oleh
Amerika. Pembangunan jalan kota Jakarta di era Suharto pada 1970-an, semuanya
mencontoh negara-negara di Amerika Serikat,” jelas Rizki dengan mengambil
contoh negara bagian Los Angeles dan New
York yang bentuk jalannya bertingkat-tingkat.
Pada era itu, Jakarta memang dibuat
meniru model kota-kota metropolitan di Amerika. Lihat saja ruas jalan Semanan-Sunter, Sunter-Bekasi, Duri
Pulo-Kampung Melayu, Kemayoran-Kampung Melayu, Ulujami-Tanah
Abang, dan ruas Pasar Minggu-Casablanca. Lambat laun,
pembangunan kota Jakarta ditiru oleh kota-kota lain. Mengesampingkan kodratnya
sebagai kota dengan geometri sempit, pada 2008, Yogyakarta mengadopsi moda transjakarta menjadi
transjogja. “Yogyakarta
itu jalannya kecil, sehingga tidak mungkin membuat jalan untuk busway di
tengah, mestinya Yogyakarta meniru kota-kota dengan jalan
kecil, bikin jalur kereta bawah tanah,” ungkap Rizki. Ditilik dari konturnya, perkotaan
Yogyakarta yang monarki seperti kota-kota di Eropa cenderung memiliki
jalan-jalan kecil. Prancis, misalnya, memiliki ruas-ruas jalan sempit dan
mereka tetap mempertahankan jalan-jalan kecil tersebut dengan membangun
transportasi bawah tanah.
Ada beberapa keunggulan penerapan sistem ini; lebih irit BBM, mengurangi kemacetan,
hemat penggunaan lahan, dan menciptakan ruang-ruang kota yang minim polusi.
Hal-hal tersebut tentu dapat menjadi pertimbangan pengembangan transportasi perkotaan. Kepala
Dinas PUP-ESDM DIY, Ir. Rani Sjamsinarsi, M.T., mengakui wilayah perkotaan
Yogyakarta telah kehabisan lahan untuk pengembangan jalan. Pertimbangan ke arah pengadaan transportasi bawah tanah tentu akan berbenturan dengan kendala pendanaan.
Selama ini, setiap pembangunan yang dilakukan dinas PUP-ESDM berasal dari pemerintah.
Kalau memang perlu mengadakan jalur transportasi bawah tanah, proses pembangunan perlu merangkul pihak swasta.“Itu
yang sulit, pihak swasta selalu mengharapkan break
even point. Padahal, pembangunan jalur bawah tanah mungkin baru bisa BEP setelah
90 tahun,” ungkap Rani.
Alhasil,
dengan belum adanya terobosan semacam itu, kemacetan di Yogyakarta menumpuk di
hampir semua penjuru perkotaan. Untuk mengatasi kemacetan di jalur barat-timur,
misalnya, dinas PUP-ESDM sebatas mengoptimalkan area selokan Mataram, seperti
memperlebar jalan dengan mengambil jalan-jalan inspeksi yang dulunya hanya
dapat diakses pihak Dinas PUP-ESDM. Sementara itu, Rani mengungkapkan masih ada
masalah di jalur utara-selatan sehingga perlu diupayakan untuk mengembangkan
area Jl. Cokroaminoto.
Panjang Jalan Provinsi menurut
Keadaan Jalan dan Kabupaten/Kota di Provinsi D.I. Yogyakarta
Length of Roads under Provincial by Condition of Roads and Regency/City in D.I. Yogyakarta Province
(km/km)
2010 |
Keadaan Jalan
Condition of Roads
|
Kabupaten/Kota
Regency/City
|
Provinsi DIY
DIY Province
|
||||
Kulon-
Progo
|
Bantul
|
Gunung-
kidul
|
Sleman
|
Kota Yogya-
Karta *
|
||
(1)
|
(2)
|
(3)
|
(4)
|
(5)
|
(6)
|
(7)
|
Jenis
Permukaan/Type of Surface
|
159,90
|
154,04
|
275,91
|
118,39
|
247,287.8
|
708,24
|
1. Diaspal/Asphalted
|
159,90
|
154,04
|
275,91
|
118,39
|
247,287.8
|
708,24
|
2. Kerikil/Gravel
|
-
|
-
|
-
|
-
|
309.0
|
-
|
3. Tanah/Earth
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
4. Tidak Terinci/No cover
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Kondisi
Jalan/Quality of Road
|
159,90
|
154,04
|
275,91
|
118,39
|
247,287.8
|
708,24
|
1. Baik/Good
|
27,99
|
56,31
|
42,03
|
57,09
|
99,153.4
|
183,42
|
2. Sedang/Moderate
|
88,56
|
89,08
|
173,97
|
59,00
|
104,215.6
|
410,61
|
3. Rusak/Damaged
|
43,35
|
8,65
|
59,91
|
2,30
|
44,427.8
|
114,21
|
4. Tidak Terinci/No cover
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
-
|
Kelas
Jalan/Class of Road
|
159,90
|
154,04
|
275,91
|
118,39
|
247,287.8
|
708,24
|
1. Kelas I
|
-
|
-
|
-
|
-
|
16,804
|
-
|
2. Kelas II
|
159,90
|
154,04
|
275,91
|
118,39
|
1,769.0
|
708,24
|
3. Kelas III
|
-
|
-
|
-
|
-
|
26,220.0
|
-
|
4. Kelas III A
|
-
|
-
|
-
|
-
|
166.0
|
-
|
5. Kelas III B
|
-
|
-
|
-
|
-
|
14,391.0
|
-
|
6. Kelas III C
|
-
|
-
|
-
|
-
|
14,391.0
|
-
|
7. Kelas Tidak Dirinci
|
-
|
-
|
-
|
-
|
174,055.8
|
-
|
Sumber : Dinas Pemukiman dan
Prasarana Wilayah Provinsi D.I Yogyakarta
Source : Infrastructure
and Settlement Agency of D.I Yogyakarta Province
*: Data jalantahun 2008 diambildariKota Yogyakarta DalamAngka (Yogyakarta City
in Figures) 2009. KerjasamaBadanPusatStatistik Kota Yogyakarta
denganPemerintah Kota Yogyakarta.Hal. 209 -211
Akan tetapi, membicarakan perihal
kemacetan memang tidak bisa sepenuhnya bergantung pada infrastruktur dan daya
dukung transportasi. Hal lainnya, seperti aspek pariwisata, budaya, dan
terutama jumlah penduduk perlu diperhitungkan. Perda No. 2 Tahun 2010 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi, misalnya, telah membatasi izin pembangunan
permukiman di wilayah kabupaten/kota. Pertumbuhan jumlah penduduk di dalam kota
disinyalir menyebabkan tingginya mobilisasi di perkotaan. Selain menyebabkan
kepadatan wilayah perkotaan, meningkatnya jumlah penduduk dengan dukungan
budaya konsumerisme menarik kebutuhan yang besar untuk kepemilikan moda
transportasi privat.
Jumlah Penduduk Hasil Sensus Penduduk 2010
menurut Jenis Kelamin dan Kabupaten/Kota di Provinsi D.I.
Yogyakarta
Number of Population of 2010 Population Census by Sex and
District in D.I. Yogyakarta Province
(orang/people)
2010
|
Kabupaten/Kota
|
Laki-laki
|
Perempuan
|
Jumlah
|
Sex Ratio (%)
|
Laju Pertum-buhan (%)
|
Kepadatan Penduduk (Orang/Km2)
|
01. Kulonprogo
|
190.694
|
198.175
|
388.869
|
96,23
|
0,47
|
663,29
|
02. Bantul
|
454.491
|
457.012
|
911.503
|
99,45
|
1,55
|
1 798,37
|
03. Gunungkidul
|
326.703
|
348.679
|
675.382
|
93,70
|
0,06
|
454,69
|
04. Sleman
|
547.885
|
545.225
|
1 093.110
|
100,49
|
1,92
|
1 901,66
|
71. Yogyakarta
|
189.137
|
199.490
|
388.627
|
94,81
|
-0,22
|
11 957,75
|
34. D.I.Yogyakarta
|
1.708.910
|
1.748.581
|
3.457.491
|
97,73
|
1,02
|
1 085,28
|
Tabel 1.0
Sumber: Sensus Penduduk 2010, BPS provinsi D.I.Yogyakarta
Source: 2010 Population Census, BPS – Statistics of D.I. Yogyakarta Province
Jumlah Kendaraan
Bermotor Polda DIY s/d 2013 (Jumlah Berjalan)
No.
|
Tahun
|
Jenis
Kendaraan
|
Jumlah
|
||||
Mobil
Penumpang
|
Mobil Beban
|
BUS
|
Sepeda Motor
|
Kend Khusus
|
|||
1.
|
2005
|
82.703
|
35.670
|
14.685
|
843.077
|
-
|
976.137
|
2.
|
2006
|
84.786
|
36.812
|
17.673
|
916.204
|
-
|
1.055.475
|
3.
|
2007
|
89.598
|
38.537
|
21.232
|
1.012.319
|
-
|
1.161.686
|
4.
|
2008
|
108.387
|
39.654
|
10.875
|
1.116.944
|
478
|
1.276.336
|
5.
|
2009
|
115.244
|
41.186
|
10.909
|
1.206.863
|
486
|
1.374.688
|
6.
|
2010
|
124.177
|
42.650
|
10.965
|
1.310.241
|
489
|
1.488.522
|
7.
|
2011
|
138.537
|
45.290
|
10.987
|
1.423.147
|
496
|
1.618.457
|
8.
|
2012
|
152.178
|
48.508
|
11.019
|
1.537.534
|
499
|
1.749.748
|
9.
|
Apr 2013
|
158.062
|
49.826
|
11.061
|
1.581.821
|
506
|
1.801.276
|
Bertemunya simpul jumlah penduduk yang meningkat pesat dan dorongan
konsumsi yang tinggi terhadap kendaraan tak pelak menyebabkan kemacetan di
ruas-ruas perkotaan. Keuntungan dari tingginya daya beli masyarakat ini tentu
hanya masuk pada para produsen kendaraan bermotor di Yogyakarta yang kesemua
kantor pusatnya berada di luar negeri. Lebih celaka lagi, laba dari konsumsi
BBM juga lebih banyak lari ke luar negeri. Sebab, kepemilikan gas alam seperti
gas metana di Indonesia pun juga dikuasai pihak asing. Menurut Rizki, pengentasan
masalah kemacetan saat ini hanya bisa dilakukan dengan mendorong pemerintah
melakukan pembatasan jumlah kendaraan. Beberapa negara dengan wilayah kecil,
Rizki mengambil contoh negara Singapura, melakukan sistem lelang untuk
membatasi pertumbuhan kendaraan pribadi. Sistem lelang ini mendukung ketentuan
negara Singapura yang membatasi pertumbuhan kendaraan pribadi sebesar 5% dalam
setahun.
Di Singapura, pemerintah mengawasi jumlah kendaraan dan dengan begitu
produsen kendaraan tidak bisa sembarangan menjual produknya.“Cara lelangnya
mudah. Masukkan nama, alamat, nomor KTP, pendapatan ke internet, lalu ikut
lelang. Mobil untuk tahun depan biasanya dilelang tahun ini.” Misalnya, harga
awal kendaraan itu dibuka dengan Rp 300 juta. Di hari terakhir lelang, peserta
lelang dengan tawaran harga termahal bisa membeli mobil, sebut saja Rp 700
juta. Dari perhitungan itu, harga asli dari kendaraan itu, 300 juta, masuk ke
pendapatan dealer, sementara 400 juta masuk kas daerah untuk
membangun angkutan umum.
Sayangnya, aturan pembatasan semacam itu tidak berlaku di Indonesia. Di
mana menurut Rizki, aturan pembatasan kendaraan—berbeda dari pembatasan akses—mesti
berlaku nasional. Indonesia yang berbentuk negara kepulauan dianggapnya
menjadi kendala utama aturan ini tidak mampu dilakukan. “Karena kebutuhan
tiap-tiap daerah, kan, berbeda,” ujarnya.
Oleh karena itu, menurut Rizki jalan yang bisa ditempuh pemerintah hanyalah
dengan membatasi akses kendaraan. Di Jakarta, hal itu dituangkan dalam program
3-in-1 (satu mobil yang mengangkut tiga orang) demi menghindari penumpukan
jumlah kendaraan di satu titik area—namanya electronic roadphasing
jakarta. Strategi ini sudah mulai diterapkan di wilayah padat pariwisata
Yogyakarta, seperti Malioboro, dengan melakukan pengalihan jalan pada
waktu-waktu tertentu.
“Dengan kepadatan permukiman di Yogyakarta, pembangunan jalan sudah tidak
memungkinkan. Pertumbuhan kendaraan pribadi mestinya bisa dicegah dengan
pemerintah mengalihkan perhatian pada angkutan publik,” ungkap Rani.
Raden Sigit Waluyo Wibawa, S.Sos. dari Dinas Perhubungan DIY, mengungkapkan apabila pembatasan jumlah kendaraan tidak
memungkinkan, optimalisasi angkutan publik bisa menjadi jalan pintas. Walaupun
ia mengakui, selama ini keadaan angkutan publik tidak menarik perhatian
masyarakat karena faktor keterlambatan dan fasilitas yang kurang nyaman.
Tonggak sejarah revitalisasi pernah dilakukan pada 2008, bertepatan dengan
diinisiasinya Transjogja. Namun, program perbaikan atas bis-bis reguler (Kop
Kopata, Puskopkar, Aspada, Kobutri, Damri pun) tidak berlanjut karena sistem
kelolanya yang masih diserahkan pada operator dari pihak swasta. Berbeda dengan
transjogja yang disubsidi pemerintah, bis-bis reguler itu menggunakan sistem
setoran, termasuk juga dalam program revitalisasi. Dengan adanya operator
swasta yang menagih iuran pada sopir, setiap bis reguler diharuskan bersaing
demi memperebutkan penumpang. Sementara itu, sopir tidak mungkin mendorong
operator melakukan revitalisasi karena iuran yang seringkali pas-pasan.
Akibatnya seperti bumerang. Di satu sisi, penumpang semakin menyusut karena
kondisi bus semakin tua, di sisi lain pemasukan sopir-sopir itu menurun.
Dengan keadaan itu, jumlah armada angkutan umum reguler yang beroperasi
semakin berkurang.Melalui peraturan gubernur tentang kuota kendaraan sejak
2002, diatur jumlahangkutan perkotaan sebanyak 591, taksi maksimal 800, AKDP
maksimal 951. Namun, seiring waktu jumlah angkutan yang terdaftar dan
beroperasi aktifjustru di bawah itu. Meski sudah tak layak pakai lagi, kendaraan itu masih tetap digunakan hingga sekarang.
“Keadaan Transjogja misalnya, di jalur 1A penumpang sangat banyak, karena
itu kami ambil armada dari jalur yang lebih sepi seperti 3A dan 3B, sehingga
kalau ada penumpang di jalur itu, merekaharus menunggu hingga satu jam.”
Demi mengatasi jumlah armada, pada 2015, Dishub DIY merencanakan
penambahan 200-an bis Transjogja. “Untuk itu, bis-bis reguler akan dilebur dan
dijadikan transjogja,” ungkap Rizki. Penambahan jumlah armada ini juga akan
didukung dengan pembangunan jalur-jalur mandiri untuk transjogja.Pemerintah menggunakan sistem buying service bagi armada transjogja. Artinya, pemerindah
daerah menyediakan uang untuk membeli jasa angkutan bus transjogja berdasarkan
Rp/bis/kilometer. “Jadi, semuanya disubsidi. Bis itu setiap jalan 1 km sudah
dibayar oleh pemerintah,” ungkap Rizki.
Selain keharusan pemerintah untuk melakukan perombakan mendasar dan
komprehensif, masyarakat juga dituntut aktif berkontribusi. “Masyarakat
Yogyakarta semestinya bisa lebih kritis mengevaluasi kebijakan pemerintah,”
ujar Purwo. Ia menjelaskan, masyarakat cenderung abai dan menerima setiap
kebijakan tanpa mengritisinya. “Hal itu lantaran sudah terbiasa dengan slogan
gotong-royong, swasembada, mandiri, berdikari yang ditanamkan sejak Orde Baru.
Masyarakat tidak sadar, slogan-slogan tersebut hanyalah manifestasi keacuhan
pemerintah,” ujarnya. Jika mau berkontribusi, lanjut Purwo, hal paling
sederhana yang bisa dilakukan adalah memberi masukan kepada pemerintah
sekaligus melontarkan kritik yang substantif. [*]
No comments:
Post a Comment