Sebenarnya aku mengharapkan hal yang berbeda dengan program mentoring, yang kupikir akan menjadikan suasana pembelajaran lebih informal dan tiap pertemuan akan menjadi kesempatan untuk saling berbagi. Aku tidak akan berteori macam-macam dalam mentoring dan hanya menyampaikan apa-apa menurut pengetahuan yang kumiliki. Dan merespons perkembangan pekerjaanmu dalam cara seperti itu juga. Tapi kok pertemuan kita tidak berjalan lancar ya?
Melalui jawabannya itu, saya
menduga AS Laksana meminta ketuntasan beberapa bab Obituari Omi untuk kemudian dikomentari. Apalagi, saat ia
menambahkan: “Jadi, kita saling menunggu. Padahal yang lebih baik adalah saling
mendahului.”
Bila kamu dalam keadaan dengan sengaja vakum menulis
fiksi selama setahun (dan kerjamu hanya berkutat dengan naskah nonfiksi) dan kamu
merasa ada kisah yang mesti kamu tuliskan, tapi rasanya berat betul untuk
memulainya, bagaimana perasaanmu saat membaca kalimat itu?
Sekarang sudah bulan Juni, dan saya belum mulai
menulis Obituari Omi. Dan, sejak
surel dibalas pada pertengahan Mei, saya tidak berani menyambangi sang mentor
karena saya tak menghasilkan perkembangan apa pun. Padahal sebelum ini, saya
terbilang cerewet sekali untuk bertanya. Misalnya, dalam satu percakapan, saya
pernah menanyakan tentang Indonesianis di Australia yang
banyak menerjemahkan karya-karya penulis Indonesia, tapi tak melihat
kecenderungan orang Indonesia balik menerjemahkan karya-karya penting di
Australia atau Oseania. Ambil contoh, Patrick White yang menjadi satu-satunya pemenang Nobel dari
Australia, bila kita tak menghitung Coetzee yang sejatinya kelahiran
Afrika. Saya belum melihat teman saya punya karya terjemahan Patrick White. Atau,
suatu kali saya pernah menanyakan pendapatnya tentang Omi Intan Naomi dan
Oriana Falacci, dua perempuan galak yang menjadi model peranan karakter Omi
dalam Obituari Omi.
Meski saya tampak tak peduli-peduli amat pada
euforia menjelang pilpres ini (yang membuat orang-orang tampaknya sedikit
melupakan Piala Dunia minggu depan), selama mengerjakan novel Obituari Omi ini, saya dibarengi
tuntutan kerjaan lain yang benar-benar menyita waktu dan pikiran. Kalau tiba
masanya saya punya waktu untuk menggarap si jabang novel, saya justru sulit
berkonsentrasi.
Plot dan karakter sudah benar-benar utuh di kepala.
Setting dipilih di rumah makan Cina karena saat meminjam toilet di sebuah rumah
makan Cina, saya melihat sebuah keluarga sedang makan malam, dengan seorang
kakek duduk di kursi roda, saya juga merasakan interaksi yang hangat di antara
pengolah masakan dan pencuci piring di rumah makan itu. Sesederhana itu. Selain
itu, Omi ternyata punya seorang adik perempuan dengan karakter bertolak
belakang darinya karena saya tiba-tiba merasa karakter Omi tidak akan hidup
bila dia menjadi anak tunggal. Kedua orang tuanya tidak jadi mati karena
kecelakaan, saya menyisakan ibunya untuk Omi, sementara ayahnya terbunuh secara
janggal dan karena peristiwa pembunuhan janggal itu, sang Ibu akhirnya menjadi
gila dan dirawat di rumah sakit jiwa. Yang masih tetap sesuai dengan plot
semula hanyalah nenek dan kakeknya yang cerewetnya tiada tara. Selain itu, Omi
akan berkuliah Filsafat dan dia akan memiliki kelompok pergaulan seperti
teman-teman di Lifepatch. Dalam satu
kesempatan, saya menculik
seorang teman dari Jakarta dan pacar adik sepupu saya untuk mampir ke sana dan kami sepakat bahwa
semangat interdisipliner baik ditumbuhkan dalam satu karakter. Saya ingin para
muda-mudi yang membaca Omi akan memiliki ketertarikan luas, mendalam, dan
mendasar seperti Omi (ceile). Meskipun saya sudah merencanakan demikian, saya
sejujurnya masih ketar-ketir juga memikirkan teknik yang tepat untuk menjadikan
ide-ide ini tidak bermuatan berat. Saya ingin menuliskan kisah remaja yang
sederhana, tapi menunjukkan rasa penasaran, gejolak hidup, keceriaan,
kejahilan, humor gelap, persahabatan, dan semua hal-hal mendasar itu dalam
karakter Omi dan teman-teman di sekitarnya.
Jadi, dengan betapa terangnya kisah Obituari Omi ini di kepala, plot dan
fragmen itu sebetulnya hanya tinggal dituliskan kalimat per kalimat. Ada beberapa hambatan kecil sebelum kesadaran "disiplin" itu datang pada saya. Kibor laptop saya sempat rusak karena sederetan huruf di bagian 'zxcvbnm,.' begitu susah ditekan (saya sampai perlu seperti memukul-mukul mereka untuk bisa mengetikkan huruf di barisan itu), dan itu lumayan menghambat produktivitas (untuk segala hal yang berkaitan dengan ketak-ketik). Untunglah, hati saya akhirnya terketuk untuk merelakan kibor (yang membantu menyelesaikan SPTJKYJTC) diganti dengan yang baru. Selain masalah kibor,
entah kenapa, terkadang saya merasa tak menemukan tantangan dalam menggarap Obituari Omi. Saya masih mencari-cari "eksperimen" macam apa yang bisa saya lakukan dalam mengeksekusi ide-ide itu. Maka itu, kerja saya sehari-hari, untuk
menyemangati diri menulis novel, adalah membaca wawancara-wawancara di The
Paris Review atau mencari informasi seputar film yang saya sukai (siapa
sutradaranya, apa yang sedang digarap penulis skenarionya, dobrakan apa yang
mereka rencanakan) dan mengunduh buku-buku elektronik seputar tema novel. Artikel-artikel
di Paris Review, misalnya, berguna juga untuk melihat pergulatan hidup para
penulis, mengetahui resep rahasia dalam menggarap karya-karya mereka, atau
setidaknya berbagi derita betapa penuhnya
hidup. Dan, tetap saja saya belum bisa mulai menggarap novel saya sendiri. Terlalu banyak asupan informasi yang tertimbun, entah di sebelah mana di kepala ini.
Saya mengirimkan plot novel ke AS Laksana, sekitar 4
halaman berisi fragmen-fragmen dan karakterisasi, pada 13 Mei. Senormalnya
kelas berjalan setiap dua minggu. Namun, saya lebih sering merasa sedang belum
perlu berkonsultasi hingga awal Juni ini, sebab balasan surel AS Laksana esok
harinya membungkam saya:
Sudah kubaca, Dewi. Aku belum bisa membayangkan detailnya akan seperti apa dan cerita ini bakal berkembang ke arah mana. Tapi menulis novel seringkali begitu. Dalam hal ini aku agak sepakat dengan E. L. Doctorow yang mengatakan, "Menulis novel serupa dengan mengemudikan mobil di malam hari. Kita hanya bisa melihat ke depan sejauh nyala lampu, tetapi kita tetap bisa menempuh perjalanan sampai tujuan."
Saranku, menulislah setiap hari pada jam yang sama. Terserah kau bisa memilih waktumu sendiri. Menulis pada jam yang sama adalah cara yang baik untuk mempersiapkan tubuh dan kesadaran. Sehingga menulis akan sama dengan kegiatan sehari-harimu yang lain, seperti makan, tidur, dan sebagainya. Menulis pada akhirnya hanya cara kita membangun kebiasaan.
Nanti akan kubaca satu kali lagi, satu kali lagi, satu kali lagi, dan seterusnya dalam seminggu ini, sampai aku menjadi akrab dengan cerita yang hendak kautulis.
Atau, sepertinya saya akan mulai berkonsentrasi
menggarap Obituari Omi ini di bulan
Juni. Saya sering bilang kepada beberapa orang, bahwa bulan Juni adalah bulan
keberuntungan bagi saya: bulan ketika cerpen saya dimuat untuk kali pertama,
ketika saya memulai kalimat pertama SPTJKYJTC
dan kemudian saya menjadikannya cerpen
untuk hadiah ulang tahun diri sendiri, dan ketika akhirnya SPTJKYJTC terbit.
Saya pikir, saya mesti menambah satu keberuntungan lagi dalam daftar itu: bulan
ketika naskah novel Obituari Omi ditamatkan.