Pertemuan terjadi di Hotel Santika dan kami mengobrol di kursi sebelah kolam renang hingga dini hari. Bayangkan betapa bahagianya saya bertemu duo sahabat penulis ini dalam satu kesempatan: AS Laksana dan Yusi Avianto Pareanom.
Saya selalu senang bertemu mereka. Yusi tahu tempat
makan enak dan suka membagi humor, sehingga setiap makan bersama, saya kerap
memesan menu yang sama dengannya. Malam itu pun saya menerapkan kebiasaan saya
itu. Dalam perkara menulis, Yusi suka menganalogikan proses menulis seperti
proses memasak: ada bahan belanjaan, resep masakan dan perkakas, serta cara pengolahan
yang tepat. AS Laksana kira-kira mempraktikkan metode penulisan yang
sebelas-dua belas; silakan diakses lewat buku Creative Writing. Sudah lama saya menganggap dua orang ini seperti
guru sendiri. Walaupun baru belakangan melalui tulisan Diego Christian, saya
tahu di kelas Jakarta School AS Laksana pernah menjadi guru dari beberapa
penulis produktif.
Di pertemuan pertama, keajaiban itulah yang
dilakukan mentor saya. Kejaiban yang tampaknya bisa membuat seseorang menjadi
penulis produktif. Saya sempat menganggap menulis menjemukan. Alasannya banyak.
Berbagai pemicu menulis (writing prompt)
telah saya coba untuk mengatasinya: memilih tiga kata unik dan menebarkan kata-kata itu di dalam
tulisan secara acak, menonton film dan mengambil satu fragmen menarik dan
memulai cerita dari sana, mencomot satu kalimat dari buku favorit sebagai
pembuka cerita, hingga mengumpulkan kliping-kliping koran untuk dijadikan
sumber ide. Kesemuanya gagal dan hampir dipastikan saya vakum menulis dalam setahun itu. Saya masih merasa buntu. Namun
kebuntuan itu dengan mudahnya ditembus oleh AS Laksana dengan bilang, “Menulis
jelek saja di awal, yang terpenting kemudian kamu harus mengeditnya sampai jadi
bagus.” Penulis yang baik adalah mereka yang menyiapkan waktu untuk membaca
kembali tulisannya dan melakukan koreksi tanpa manja menunggu orang lain untuk
melakukannya. Menulis jelek di awal dan baru kemudian mengeditnya hingga jadi
bagus, itu adalah ide yang sangat brilian.
“Lantas, kapan kita tahu harus berhenti mengedit?”
tanya saya waktu itu.
“Sampai kita sudah merasa kewalahan,” jawab AS
Laksana. Hingga hari itu, ia sudah mengedit bakal novelnya, Medan Perang—yang dahulu
terbit berkala sebagai cerita bersambung di harian Suara Merdeka, hingga tiga
puluh kali.
Jadi, malam itu, persoalan terkait hambatan menulis
(writer’s block) terpecahkan.
Perkara substansi, untuk proses mentor ini saya
menyiapkan naskah novel tentang seorang gadis remaja, sejauh ini dia
yatim-piatu dan dibesarkan oleh kakek-neneknya saja, cuplikan (snippet) bisa dilihat di sini. Ada
latar belakang yang pilu sehingga dia menjadi sosok dingin, terkadang angkuh.
Judul novel ini nantinya Obituari Omi.
Kehidupannya cukup ajaib karena dia, kemungkinan besar, akan memiliki kemampuan
supranatural. Dia bisa meloncat-loncati dimensi waktu melalui mimpi.
Berkali-kali, dia datang ke masa depan lewat mimpi. Selain itu, barangkali akan
ada kebencian yang sangat pada sistem pendidikan di Indonesia yang menjadikan
guru dan murid selayaknya robot, saya belum tahu apakah akan menjadikan cerita bernuansa
utopis, tapi sepertinya jangan sampai. Saya dan mentor saya, kendati novel mengandung
unsur-unsur mistis itu, meniatkan novel ini bersifat realis. Jadi, PR yang harus
saya pecahkan ada dua: 1) Menjadikan unsur-unsur paranormal itu tampak riil
(mungkin menambahkan unsur sureal, tapi bagaimana?), 2) Mengolah alur kehidupan
Omi yang bertumpuk-tumpuk agar tak terkesan dipaksakan—alias deus ex machina (kata AS Laksana, saya
bisa mengusahakan kemulusan cerita di tataran plot). Oh, ya, Omi memelihara
hamster dan reptil, juga membuat taman di belakang rumahnya. Juga, lantaran Omi
seusia dengan mahasiswa baru, jadi dia akan menemukan teman-teman di kelas
perkuliahan. Saya juga akan mengambil setting
daerah pertanian. Sejauh ini, karakter telah terbangun, selain dua PR di atas,
saya masih mesti mencarikan plot untuk menjadi jalur perjalanan bagi Omi.
Oh, ya, saya membuat corat-coret selama mendengarkan
petuah dari sang mentor. Saya mungkin akan menyertakan fotonya di tulisan
berikutnya.
No comments:
Post a Comment