Don Hasman, seorang fotografer kawakan, kembali mengajari
saya cara menghirup kopi. Kakek jenaka yang menampung dunia di kepalanya ini
cukup dikagumi oleh Mas Pepeng, dokter penjaga Klinik Kopi yang saya singgahi
sore ini. Di depan sang kakek, jagoan kopi ini menunjukkan wawasannya. Ia
menunjukkan gambar biji kopi yang berwarna merah rekah berkualitas premium dan
membandingkannya dengan biji-biji kopi di pasaran yang sudah tak elok lagi.
Untuk percobaan pertama, saya menghirup kopi Takengon, yang
konon diperoleh dari permukiman Suku Gayo di ketinggian 1.300 mdpl. Kopi
disajikan sesuai dengan lama penggilingan yang dikehendaki. Semakin lama menit
penyajian, semakin asam rasa kopi. Kopi Ciwidey, favorit Mas Pepeng, tersaji
untuk Pak Don dan kakek itu pun menceritakan tentang seseorang di Surabaya yang
pernah ia wawancarai dan katanya bisa mengidentifikasi hingga 86 jenis kopi,
urutan ke-2 dunia. Pemenangnya orang Brazilia atau Kolumbia yang bisa
mengidentifikasi hingga 160-an jenis kopi.
Saya bahkan tak bisa membedakan kopi dari dua merek berbeda.
Kalau betul menghirup adalah cara yang tepat menikmati kopi, maka secangkir kopi
Takengon saya hari ini menjadi kopi pertama yang saya nikmati dengan cara yang
terpuji.
Sudahlah tentang kopi. Mari bincangkan fotografi. Tujuan saya
singgah ke Klinik Kopi karena kebetulan Pak Don mengisi diskusi tentang etnofotografi.
Sekalian juga saya ingin mampir ke pameran Komunitas Analog Jogja (KAJ) dengan
tema yang sangat biasa bagi saya yang termasuk bukan orang baru lagi di Yogya; Face of Jogja. Sayangnya, tema biasa ini
pun diperlakukan dengan alakadarnya. Foto-foto tampil dengan objek dan eksekusi
monoton yang lebih banyak mengeksplor adat Jawa yang itu-itu saja (tapi saya pun
tak begitu paham kamera analog, kecuali saat SMP pernah diajari mengatur
eksposur, ASA, dan lainnya oleh ayah-saya-yang-tukang-foto dan saya kemudian kapok
tak ingin mencoba lagi). Selebihnya, ada dua foto dari Hardy Wiratama dengan
teknik cukup menarik, membuat gabungan rerimbunan pohon dan bangunan yang belum
jadi, lalu satu foto berjudul Double Date—entah oleh siapa—yang menampilkan dua pasangan yang memadu
cinta sementara di belakangnya ada sosok pemulung yang tidur terlentang.
Highlight acara
mungkin ada pada Pak Don yang enerjik. Usianya sekira tujuh puluhan, dan masih
doyan jalan kaki, keliling-keliling, naik gunung, sambil memotret. Pak Don
bikin presentasi tentang potret-potret etnografisnya di Tengger. Kunci dari
foto-foto etnografisnya terletak pada detail proses kehidupan masyarakat suku
yang ditelitinya, dari lahir hingga mati, dengan penekanan pada sosok
masyarakat yang ekspresif—dan kalau bisa diambil dengan candid, budaya, arsitektur, hingga kuliner. Ia selalu bikin rencana
dan melakukan riset sebelumnya. Dan, untuk sekali potret suatu daerah—contohnya
Baduy, ia perlu tinggal langsung dengan warga setempat selama delapan tahun. Pengalaman
Pak Don keliling Indonesia, mendaki Himalaya, pergi ke Tibet, menjelajahi Eropa,
dan membayangkan seluruh dunia sebagai destinasinya, memicu saya untuk menggali
lebih banyak lagi tentang kemanusiaan di setiap tempat di dunia dan
menuliskannya menjadi fiksi. Jangan salahkan kalau besok-besok saya akan banyak
menulis cerpen dengan muatan unsur lokal karena ingin menjelajahi tempat-tempat
itu melalui fiksi saya. Terima kasih, Pak Don. Sebuah kesempatan yang
menyenangkan untuk bertemu denganmu hari ini.
P.S. Sepertinya saya tak akan mencari-cari lagi nama samaran
karena belakangan waktu ini kebanyakan membaca nonfiksi Pram, Nyanyi Sunyi Seorang Bisu—yang walau
dibenci oleh orang-orang di dunia kecil-nya,
ia tetap tangguh untuk menggunakan nama asli pemberian orang tuanya.