(Cerpen ini pernah dimuat di Media Indonesia, 9 Juni 2013.)
PRIA
itu meninggal dua tahun lalu. Menjelang hari kematiannya, saat terbangun dari
tidur, ia telah habis menggigiti lidahnya hingga putus. Ia biarkan lidah itu
mengering di seprai. Namun, kalian perlu tahu, ia meninggal bukan karena
lidahnya putus. Pagi itu, ia masih dapat beranjak ke kamar mandi, bercermin, dan
menyeringai lebar ke arah dirinya sendiri. Tak ambil pusing melihat bibirnya
yang merah oleh darah.
Rumahnya hari itu sepi. Keluarganya pergi menginap ke vila di wilayah pegunungan. Setelah mengambil koran di teras depan dan menyetel televisi, ia membuka keran air untuk mengisi bak mandi, lantas pergi ke dapur dan di sana menyiapkan sarapan telur ceplok tanpa garam dan kopi luwak tanpa gula.
Selama menunggu bak penuh terisi, ia merinci detail matriks kerjanya hari itu. Sehari-hari, ia menjadi reporter lepas. Setiap pagi, ia selalu merinci daftar kegiatan baru yang dapat ia lakukan selain meliput dan menulis berita. Hari itu, ia berencana meliput desas-desus presiden yang hendak dimakzulkan dan perkara kenaikan harga daging sapi. Karena dua-duanya berkaitan dengan para pejabat, ia tinggal pergi menuju tempat yang sama.
Sekilas lalu di televisi ia melihat seorang pria yang mati dikeroyok karena mengumpat Tuhan di internet. Lantaran kejadian yang ia lihat itu, ia tiba-tiba teringat akan Karl Jaspers—seorang eksistensialis Jerman yang selama enam tahun tiga bulan di masa kuliah pernah ia dewakan. Hari itu setelah meliput perkara daging sapi, ia berencana membaca ulang empat situasi batas dalam teori Jaspers itu, tentang 1) Kematian, 2) Penderitaan, 3) Perjuangan, dan 4) Kesalahan. Keempatnya berkaitan dengan takdir si pengumpat Tuhan.
Selain menambahkan daftar bacaan untuk hari itu, masih ada tiga target kegiatannya yang belum tuntas: 1) Menerjemahkan I La Galigo ke dalam bahasa Inggris dan rumpun bahasa Semitik serta Armenia, 2) Belajar melukis dengan aliran ekspresionisme, dan 3) Berkorespondensi melalui surel dengan para pengoleksi tengkorak.
Setelah merapikan dan memasukkan kembali semua perkakas pewartaannya ke dalam koper tua, barulah ia menuju kamar mandi.
Pada hari-hari biasa, kulitnya yang terkikis oleh sabun tidak seberapa tebal. Namun, kali ini, setelah diguyur secentong air, seluruh bagian kulitnya dalam sekejap terlekang. Air yang dingin gigil pagi itu seolah-olah kawah candradimuka. Setelah kulit dari ujung rambut hingga mata kakinya rontok, otot dan saraf pria itu seketika saja mengering dan mengeras.
Bila kalian pikir pria itu langsung mati begitu seluruh permukaan kulitnya lepas dari tubuh, kalian salah besar. Dengan telapak kaki hanya berbalut otot yang membatu, ia keluar dari kamar mandi sambil membaluti tubuh dengan handuk. Otot-ototnya yang membatu terkikis sedikit demi sedikit hingga sepanjang ia berjalan kemudian menyisakan genangan air yang becek berbaur butiran-butiran kulit yang menjelma pasir.
Tentu ia berteriak saat di cermin ia mendapati tubuhnya tinggal tulang belulang. Organ internalnya masih menggelantung pada tulang dan tengkoraknya; mata, jantung, paru-paru, saluran eustasius, usus, lambung, dan kerongkongan. Namun, tak berapa lama, ia berhasil mengabaikan kenyataan itu. Toh, tenggorokannya masih dapat ia beri asupan telur dan kopi. Pada menit berikutnya, ia meraba isi tenggorokannya. Dengan tangan, ia mendorong makanan masuk ke dalam tenggorokan. “Lidahku lenyap,” begitu pikirnya.
Namun seperti sebelumnya, ia kembali melupakan kenyataan itu. Saking merasa lapar, ia sorongkan kepala agar makanan bisa secara langsung mengalir masuk ke tenggorokannya. Ia belum mati, bahkan ketika semua yang dicernanya membanjiri ranjang tempat ia makan. Ia masih bisa berjalan sejauh seratus meter untuk mengambil mobil dari garasi dan menyalakan mesin.
Ia sempat merasa gamang sewaktu melihat tangannya yang tinggal tulang yang mengendalikan kemudi, tapi ia tidak peduli karena ia mesti menjemput pacarnya. Baginya, menjemput pacar adalah prioritas utama dibandingkan meliput berita. Kebetulan pacarnya seorang teller bank yang dituntut bekerja Senin-Jumat (dari pukul 7 pagi hingga 4 sore). Gadis itu tetap bekerja di bank meski setiap hari merajuk ingin berhenti.
Jalanan hari itu lengang, masyarakat di kota itu seperti lenyap ditelan langit yang mendung. Hari itu hari Senin, hari di mana ia dan pacarnya saling bertukar hadiah, tetapi mobil si pria melintasi begitu saja toko bunga di mana ia kerap membeli bunga lili untuk pacarnya.
Pada hari kematian pria itu, si gadis menunggu si pria di teras rumah. Berdandan dengan standar yang ditetapkan kantor, rok mini, lipstik merah, dan bedak tebal. Sewaktu melihat mobil si pria terparkir di depan rumah yang berpagar pendek, si gadis dengan girang berjalan menghampiri. Kaget dan berteriak-teriaklah si gadis ketika melihat si pria menyeringai dari dalam mobil dengan kondisi mengenaskan. Demikian kencang teriakan si gadis, hingga saluran eustasius dan gendang telinga yang masih menempel di tulang telinga si pria meledak dan menyemburkan darah. Karenanya, si pria tak dapat mendengar teriakan si gadis saat pacarnya itu tunggang-langgang berlari masuk ke rumah.
Mencemaskan pacarnya, si pria keluar dari mobil, dengan tertatih ia berjalan menuju rumah si gadis. Mertuanya menyambut dengan teriakan yang tak kalah kencang. Para tetangga sang mertua kemudian keluar dari rumah mereka.
“Mayat hidup, mayat hidup,” begitu teriak orang-orang itu.
Namun, pria itu tidak mendengar. Orang-orang memburu, mengitarinya, dan memukulinya dengan sapu dan tongkat. Tulang rapuh pria itu remuk redam diinjaki. Jantung, mata, lambung, usus, dan segala dagingnya yang tersisa ditebas-tebas dengan senjata tajam yang dibawa oleh sebarisan tetangga calon mertuanya.
Begitulah cara kematiannya. Namun, kisahnya tak berhenti di sana.
Selang beberapa menit setelah ia dikeroyok tetangga calon mertuanya, darah encer si pria yang membanjiri pelataran teras lantas menguap dan kembali ke langit, serpihan-serpihan tulangnya yang remuk terbang mengikuti arah angin.
Begitulah ia mati dengan tanpa meninggalkan jasad untuk diupacarai.
Keluarga pacarnya lantas menelepon keluarga calon besan mereka untuk mengabarkan lenyapnya tubuh si pria di teras rumah mereka. Rumah kedua keluarga lantas dirundung duka. Tak ada pihak yang dapat disalahkan atas dipukulinya tulang-belulang si pria di depan rumah pacarnya hingga kemudian ia lenyap. Bahkan, tanpa sepengetahuan siapa pun, segera setelah pria itu mati, lidahnya yang masih tertinggal di seprai dan kulit tebalnya yang terlepas di kamar mandi tiba-tiba turut lenyap.
Dalam upacara 40 hari kematian pria itu, orang-orang bertandang ke rumahnya dan mencibiri perihal lenyapnya jenazah si pria, “Patriotkah ia? Mati di medan perangkah ia?” begitu mereka berbisik-bisik di belakang. Orangtua si pria hanya mampu mengelus dada. Namun begitu, kabar bahwa pria itu mati dengan cara tak lazim lantas menyebar ke seluruh penjuru kota. Bagi mereka, pria itu barangkali terkutuk dan selama hidupnya yang singkat telah menjadi penyembah berhala. Orangtua si pria masih menanggung aib itu hingga hari ini. Dari hari ke hari, mereka pun membenci putra mereka sendiri.
Selebihnya, tak banyak yang bisa kalian kenang darinya. Ia banyak menerjemahkan, tetapi tak ada yang mengerti bahasa yang digunakan si pria (ia poliglot, dan seringkali bereksperimen menerjemahkan karya-karya lokal berbahasa lokal Indonesia ke dalam rumpun bahasa Roman, Afroasiatik, ataupun Sino-Tibetan), tak juga ada yang paham lukisan-lukisan apa yang dibuatnya pada kanvas-kanvas yang berjejer di kamarnya dari lantai hingga ke langit-langit (mereka menduga beragam aliran lukisan yang diterapkan si pria sebagai bentuk dari penyembahan belaka), ataupun pada puisi, catatan-catatan kecil, partitur-partitur musik, dan tulisan fiksinya—orang-orang menuntut agar keluarga si pria segera memusnahkan semua sarana pemujaan setan tersebut seketika itu juga.
Maka kalian tahu, yang tersisa darinya hanyalah artikel berita yang pernah ditulisnya untuk koran harian lokal. Itu pun dengan inisial yang bahkan selalu berganti-ganti pada setiap koran. [*]
No comments:
Post a Comment