(Cerpen ini dimuat di Bali Post, 4 Januari 2015)
SUATU hari, dalam tidurku, aku mengingat lagi semua penitisanku. Setelah aku terjaga, segera mimpiku itu kuumumkan ke jalanan.
Seharian aku meyakinkan orang-orang yang lalu-lalang. Aku bilang kepada mereka, di salah satu kelahiranku aku pernah menjelma burung yang terbang bebas di angkasa. Ketika musimnya tiba, aku dan sekawanan burung akan terbang dari utara ke selatan. Aku menunjukkan bagaimana bebasnya aku terbang. Kukepak-kepakkan tangan dan berlari demikian kencang dari satu gang ke gang lain.
Dengan gigih, setelahnya kuceritakan aku juga pernah menjelma menjadi semut. Kuterangkan apa yang biasa dilakukan para semut pekerja. Kuperlihatkan kepada mereka bagaimana caranya membungkuk hormat kepada sang ratu. Aku tunjukkan caraku meliuk-liuk membawa bongkahan gula-gula besar dengan gigiku. Bagaimana biasanya aku bertikai dengan semut-semut lainnya saat gula-gulaku hendak direbut.
Makin hari aku makin kerasan mempertontonkannya. Bedanya, makin hari, aku mendapatkan uang dari apa yang kulakukan. Receh demi receh memenuhi jalanan. Mereka melempar begitu saja uang-uang logam itu. Mereka pikir aku membadut.
Aku terus berusaha. Kulakukan beragam cara agar mereka percaya. Aku meloncat dari satu genteng rumah tetangga ke genteng tetangga lainnya dan mengaku bahwa aku pernah hidup menjadi kera di kawasan hutan Kalimantan Selatan.
Anak-anak kecil di sekitar rumahku dengan sukacita bertepuk-tepuk riang, tertawa-tawa, sesekali meminta naik ke punggungku sewaktu aku beratraksi laiknya simpanse sirkus. Untuk tontonan itu, mereka memberikanku roti bekal mereka ketika jam istirahat sekolah.
Aku hanya perlu mendongengi mereka setiap hari. Sembari meloncat-loncat, meliuk-liukkan tubuh, merayap di tanah, semuanya kulakukan. Menggonggong, menjerit, mencicit, mendesis, tiap hari kusiarkan bunyi apa pun yang bisa kuperdengarkan kepada mereka.
Untuk semua itu, mereka menyayangiku lebih dari apa pun.
Hingga hari itu mereka datang dengan setumpuk buku bacaan. Aku bilang kepada mereka aku tak pernah bisa membaca. Mereka melempariku batu-batu kecil. Mereka bilang mereka tak percaya aku tak bisa membaca. Namun guru mereka akhirnya menyahuti, binatang memang tidak pernah bisa membaca. Binatang-binatang itu bodoh.
Aku mengurung diri di rumah. Malu benar aku dibuatnya. Aku hanya makan saat ada tetangga yang menaruh piring nasi di depan pintu rumah. Biasanya mereka akan mengetuk pintu sebelum pergi. Aku tidak menampakkan muka, tapi kuambil piring makanan itu.
Aku merasa takut untuk keluar rumah. Aku takut anak-anak itu mengata-ngataiku. Aku takut mereka bilang aku binatang bodoh. Bahkan pada saat hari kelulusan mereka, aku tetap bersembunyi. Dari jendela rumahku, aku hanya memperhatikan mereka berkejaran mencoreti seragam menggunakan semprotan aneka warna.
Seingatku, pada hari kelulusan itu, ada seorang gadis setinggi dadaku berdiri beberapa meter di depan pintu rumah.
Di sana dia berdiri. Rambutnya sebahu dengan ujung melekuk ke dalam. Tatapannya kosong. Tangannya mengepal. Dia berdiri sedari siang berjam-jam lamanya. Kami berdiri saling berhadapan. Namun seperti dugaanku sepanjang hari itu, pada akhirnya aku tidak bernyali untuk keluar rumah dan menemuinya.
Pada senja kala, gadis itu beranjak pergi dengan dituntun oleh seorang ibu bersanggul penuh.
SEPERTI itulah waktu enam tahun yang kulalui berakhir. Beberapa tahun setelahnya, aku mulai memberanikan diri untuk keluar. Aku mulai membiasakan diriku bercakap-cakap dengan tetangga yang berbaik hati menghidupiku beberapa saat lalu. Aku bahkan bilang aku bersedia menjadi anjing peliharaan mereka yang setia semenjak saat itu.
Awalnya mereka menolak, tetapi aku tetap memaksakan diri. Aku tidur bertelungkup di depan pintu rumah mereka setiap malam. Pada saat ada petugas ronda melewati rumah majikanku untuk berpatroli, aku menyalak-nyalak senang menyapanya. Kugerak-gerakkan buntut seolah aku punya ekor di sana. Ia tertawa-tawa melihatku melakukan itu. Kepalanya menggeleng kuat-kuat dan bilang, 'ada-ada saja orang satu ini’.
Tiap pagi, majikanku memberikanku semangkuk susu. Aku menjilat-jilatinya senang. Meski, mereka tidak memberiku tulang kering seperti apa yang kuharapkan. Tetap saja, aku menggonggong-gonggong bahagia setiap makananku datang.
Aku melupakan segalanya. Aku telah menjadi anjing peliharaan kesayangan majikanku. Aku hanya tahu aku adalah anjing yang setia. Kujagai rumah tuanku sepanjang hari. Kadang, kutengok juga rumah lamaku di sebelah rumah majikanku. Orang-orang tidak menyebutnya rumah, mereka bilang itu gubuk. Ada sebuah sumur berlumut dengan air kumuh di sana. Tidak beralaskan ubin, dinding tersusun dari papan dan triplek, beratapkan kayu-kayu yang datar dan ditutupi jerami. Dengan dua jendela tanpa daun dan satu pintu kecil.
Aku lupa siapa yang membangun rumah itu. Sejauh yang kuingat, di suatu pagi setelah aku mendapati mimpi itu, aku terbangun di atas jerami. Tidak ada orang yang kukenal pada saat aku keluar rumah. Tidak ada yang tahu entahkah aku pernah bernama. Mereka bahkan tidak sudi memberikan nama julukan untukku.
SAMPAI suatu malam, tidak kudapati lagi majikanku yang baik meletakkan mangkuk susu di depan pintu rumah. Mereka sekeluarga tidak keluar rumah berhari-hari.
Petugas ronda lewat, dan aku menggonggong-gonggong panik. Sebagai anjing yang setia, aku tidak bisa dengan mudah berbahasa manusia untuk sekadar bilang kepada orang itu bahwa majikanku sudah beberapa hari tidak keluar-keluar juga dari dalam rumah. Yang dapat kulakukan hanyalah menggonggong kesetanan. Ia tak menghiraukanku. Aku tetap menjilat-jilati kakinya. Kucakari celana bahannya, kutarik-tarik, hanya agar ia bersedia mengikutiku ke rumah tuanku.
Ia mau tak mau menurut saja pada akhirnya. Aku meloncat dan membentur-benturkan tubuh ke pintu sambil mataku tetap menatap nanar ke arahnya. Di sana di hadapanku ia berdiri tidak paham, menggaruk-garuk kepala. Aku menyahuti dengan gonggongan. Aku harap ia menyadari aku adalah anjing yang khawatir akan keadaan majikanku.
Esoknya, tubuh-tubuh mati para majikanku ditemukan di dalam rumah.
Ibu yang begitu baik—yang setiap pagi memberikanku semangkuk susu—membusuk di atas kasur dengan usus memburai. Anak-anaknya yang masih balita memegang tangan ibunya. Kain panjang mengikat kencang leher mereka. Sementara tuan rumahku, sang suami, terduduk di lantai dengan mulut berbusa dan air mani melimbah. Di sebelahnya ada sebuah botol racun.
Aku melolong sedih mendapati kejadian itu, tapi orang-orang justru membawa sapu dan memukuli punggung dan buntutku. Aku mengaing-aing kesakitan dan berlari menjauh. Dari kejauhan aku masih melolong.
Mulai hari itu, mereka menjulukiku manusia siluman.
SETELAHNYA, tak ada yang berani mendekatiku atau memberikanku makanan. Aku mulai mengais-ngais sampah makanan dan membawanya pulang ke rumah. Orang-orang melihatku dengan tatapan jijik. Sehari-hari aku tidak pernah bersentuhan dengan air terkecuali air hujan. Aku suka berputar-putar dan menggonggong di tengah lapangan sewaktu hujan turun.
Suatu hari, bocah-bocah kecil pada masa laluku datang kembali. Saat melihatku, mereka mulai meledek-ledek. Aku masih bergerak-gerak seperti simpanse kesayangan agar mereka kembali mengingatku. Namun mereka tak peduli lagi dan berlalu pergi.
Aku kembali mengurung diri di dalam rumah. Semalaman terdengar suara burung gagak. Ia bertengger di dekat sumur.
Aku dulu juga pernah menjelma menjadi burung gagak. Setiap kali aku berhinggap di rumah-rumah orang dan memperdengarkan suaraku, maka akan ada orang-orang berteriak histeris dan menangis di dalam rumah. Esoknya, akan ramai orang-orang berkunjung ke sana karena selalu ada seseorang mati di dalam rumah.
Sewaktu kini sang burung gagak mulai memperdengarkan suaranya dari arah belakang rumahku, aku membalasnya dengan suara yang sama. Dia menyahut, bagaimana bisa aku mengerti bahasanya, bukankah aku seorang manusia dan bukan seekor burung sepertinya.
Aku lantas bercerita bahwa aku pernah lahir menjadi binatang.
Dengan senang ia hinggap di atas bahuku.
Kutanyai ia, apakah hari itu adalah saatnya aku akan mati.
Ia bilang ia tidak tahu, tetapi setiap kali ia datang ke rumah-rumah orang dan memperdengarkan suaranya, pasti saja selalu akan ada yang mati di dekat sana.
Pada hari itu—hari kematianku—seorang gadis berdiri di depan rumahku. Kini dia lebih tinggi dariku. Rambutnya sebahu dan melingkar-lingkar ikal. Tangannya mengepal.
Dia akhirnya mengetuk pintu rumahku.
Apa kau tahu siapa dia, apakah dia yang akan menjemputku dan membawaku ke alam orang-orang mati, kutanyai burung buruk rupa di bahuku.
Burung itu pergi dan terbang menjauh tanpa menjawab pertanyaanku.
Di depan rumahku gadis itu terus-menerus mengetuk pintu. Tatapan kosong di mata gadis itu seperti pernah kulihat sebelumnya.
Seseorang dari kejauhan berteriak memanggil namanya, “Aram!” begitu teriak orang itu kepada si gadis.
Tetapi ketika pintu berhasil dia dobrak, aku sudah tak merasakan apa pun lagi. [*]
No comments:
Post a Comment