Semasa SD, saya termasuk anak
badung dalam artian sesungguhnya. Suka menghitamkan kulit dengan berjemur
main layangan di loteng rumah teman, berkejaran saat tali nilon dari layangan
yang beradu di langit putus, atau sekadar jalan-jalan dengan kaki telanjang di
sungai. Pernah bolos sekolah hingga enam bulan. Pernah ditelepon kepala sekolah
SD sementara saya sedang main lompat tali di halaman rumah, dan menyuruh Nenek
berbohong. Saya cuma berteman dengan laki-laki. Laku saya saban hari hanyalah
menjadi kanak-kanak yang tak kenal sekolah: bangun pagi, kelayapan keluar
rumah, pulang malam; setelah adu kelereng, main layangan, mampir di rumah teman
ini dan itu, mencuri ubi dari halaman rumah orang, bikin ogoh-ogoh, dan
entahlah apa lagi.
Sementara itu, di sekolah, saya tak pernah memperhatikan
pelajaran. Masa bodoh dengan guru bahasa Indonesia dan Matematika di depan
kelas. Saya asyik menggambar di sudut kelas paling belakang. Pernah, saya
ditegur dan diminta untuk ajak orangtua ke sekolah. Ibu saya dinasihati untuk
memindahkan saya ke sekolah luar biasa
dalam artian sesungguhnya. Saya tak ingat apa yang membuat saya berkarakter
seberandalan itu.
Buku yang saya temukan saat kelas 1 SMP ini mengubah
segalanya, dalam artian sesungguhnya. Saya sebagai bocah lugu yang tak punya
masa depan ini, yang lulus dari SD dengan nilai IPS 5,4 di ijazah, tiba-tiba
menemukan buku “Filsafat Ilmu” di rak ibu saya. Gambar di sampulnya lucu, gajah
yang pegang macam-macam. Kelak saya mengenalnya sebagai Ganesha, dewa
kecerdasan dan adik dari Dewi Saraswati.
Saya baca macam-macam sebelum ketemu “Filsafat Ilmu”, yang
kebanyakan berupa cergam: Candy-candy-nya Yumiko Igarashi, Doraemon-nya Fujiko
F. Fujio, Dewi Matahari-nya Suzue Miuchi. Juga seri awal Harry Potter edisi
bahasa Indonesia. Namun, tak ada yang mengubah saya sedahsyat apa yang
dilakukan buku ini.
Ada orang yang tahu di tahunya
Ada orang yang tahu di tidaktahunya
Ada orang yang tidak tahu di tahunya
Ada orang yang tidak tahu di tidaktahunya
(Halaman 19)
Ditambah dengan ilustrasi-ilustrasi yang sederhana nan lucu;
ilustrasi Einstein yang bersimpuh dan tampak kebingungan memikirkan rumus
matematika, juga ilustrasi yang berbunyi “Orang itu adalah ilmuwan ahli fisika
nuklir yang diculik makhluk halus dan diselamatkan oleh dukun yang ahli ilmu
gaib...” atau “Dia tidak tahu apa-apa kecuali fakta” dengan ilustrasi
orang-orang yang sibuk berdiskusi dan tak peduli terhadap satu sama lain, dan
banyak lagi. Anak kecil mana yang tidak jatuh cinta menemukan buku yang penuh
pertanyaan dan gelitikan tetapi disajikan dengan jenaka ini?
Buku yang hampir merangkum segala hal ini, dari yang
remeh-temeh;
Ragukan bahwa bintang-bintang itu api;
Ragukan bahwa matahari itu bergerak;
Ragukan bahwa kebenaran itu dusta;
Tapi jangan ragukan cintaku.
Kebenaran
adalah pernyataan tanpa ragu!
hingga pengenalan ke hal-hal rumit: penalaran, logika, sumber
pengetahuan, kriteria kebenaran, metafisika, dan lainnya. Buku ini barangkali
sangat bagus untuk menjadi awal perkenalan seseorang kepada betapa luasnya
dunia. Betapa luasnya semesta. Namun, tentu, pembahasannya secara populer dan
hanya dikurasi tema-tema yang elementer.
Barangkali pengaruh kegemaran pada puisi yang membuat saya
menyukai buku Filsafat Ilmu yang disisiri hal-hal romantis seperti kutipan di
atas. Dulu, saya suka baca buku-buku puisi. Suka sekali, dalam level ketagihan.
Lewat “Filsafat Ilmu”, saya juga diajak untuk membayangkan orang-orang yang
dapat jadi hebat di bidangnya masing-masing, tetapi menjadi medioker di bidang
lain karena keberadaan ilmu yang begitu luas. Memikirkan pilihan-pilihan hidup
orang lain. Memikirkan pohon silsilah dari ilmu-ilmu pengetahuan. Filsafat,
benar-benar mendasar dan menyeluruh.
Entahlah, tapi kalau kembali ke konteks semasa SMP, buku ini
menjadi pengingat bagi saya bahwa tak ada kata terlambat untuk mendalami bidang
yang saya sukai. Lantaran membaca penjelasan soal Epistemologi. Jadi, ada tiga aspek dalam filsafat ilmu: ontologi (apa yang dikaji oleh
pengetahuan), epistemologi (bagaimana
cara mendapatkan pengetahuan itu), aksiologi
(untuk apa pengetahuan itu dipergunakan). Bagaimana cara memperoleh ilmu
pengetahuan yang lengkap? Bikinlah peta pengetahuan, tentukan hal-hal apa yang
kamu sukai, dan tekuni salah satunya. Karena di SD-SMP, saya gagal di bidang
akademis, saat SMA saya menebusnya dengan mulai menyukai pelajaran Kimia, yang
baru diajarkan di SMA. Dan benar-benar menggilai pelajaran itu. Tiga tahun
selalu mendapatkan nilai bagus di bidang IPA, bukan hanya di Kimia, itu
menyenangkan.
Saya tak bisa menerangkan lagi apakah saya paham tentang
Filsafat Ilmu setelah membaca pengantar singkat melalui buku ini—sejak SMP pula.
Lucu, anak SMP sok baca yang judulnya beginian. Kemungkinan besar, jawabannya: saya
tetap tidak paham. Di kemudian hari, teman-teman kuliah saya mengambil mata
kuliah ini dan mengumpat-umpat betapa mereka tidak menyukai mata kuliah ini.
Sebagian besar lainnya mengaku tak paham apa gunanya Filsafat. Tanya ke
teman-teman yang kuliah Filsafat, mereka justru meragukan kewarasan dosennya. Saya merasa sedih melihat mereka seperti itu.
Atau mungkin Filsafat memang demikian rumit dan tidak menyenangkan? Tidak lagi
menampung pertanyaan-pertanyaan yang mendasar dan menyeluruh? Ataukah semua
pertanyaan-pertanyaan memang sudah terjawab dengan begitu mudah di zaman edan
ini? Dan orang-orang, di satu saat, merumitkan hal yang semestinya mudah dan
mensimplifikasi hal yang semestinya kompleks?
Saya tak tahu.
Barangkali saya akan menemukan jawaban-jawaban dari
pertanyaan saya sendiri bukan dari orang lain. Barangkali saya harus
menciptakan karakter-karakter fiksi yang saling berdebat. Mendebatkan apa pun.
Tulisan ini jadi melenceng begitu jauh. Anggaplah ini bukan
resensi. Masih terlalu awam untuk meresensi buku yang terakhir kali dibaca
serius bertahun-tahun lalu. Sudah kadung lupa sebagian besarnya.
Catatan menarik dari Jujun
S. Suriasumantri tentang bukunya:
“Mengapa kamu menulis buku filsafat ilmu ini secara santai dan guyonan?”
tanya teman saya yang terkenal sebagai ilmuwan yang serius.
Sebab asumsi saya adalah seseorang itu lebih mudah belajar tentang
sesuatu yang baru dalam suasana yang santai: tanpa tersinggung kita
menertawakan kebodohan kita sendiri, tanpa wasangka kita melihat kebenaran
orang lain, dan tanpa sadar, lho, kita telah mengembangkan paradigma baru.
Semoga asumsi itu benar, ancam dia, sebab kalau tidak, maka buku kau
ini tidak akan dibaca kaum ilmuwan melainkan para pelawak.
Saya baca buku ini saran dari dosen, dan ternyata emang beneran ngefek ke kehidupan juga. Reviewnya bukunya pas banget. Salam kenal mba.
ReplyDelete