Sebelum usia lima tahun, menjelang saya tidur dan giliran
Ayah mendongeng, sudah pasti Ayah menceritakan kisah-kisah pewayangan.
Mahabharata, Bharatayudha, dan Ramayana tidak pernah absen dari daftar cerita
yang ia repetisi setiap malam. Sementara Ibu hanya hafal satu cerita: Sampek
Engtay, dan satu cerita itu yang kerap dia repetisi. Mungkin karena mereka
bosan saya mintai mendongeng, maka dibelikanlah saya buku berukuran kitab yang
judulnya “Mahabharata” dengan gambar tokoh wayang itu. Kertasnya kertas buram,
baunya enak sekali, seperti mencium aroma dupa, tapi lebih pekat dan bukan beraroma bunga. Gambar-gambar tokohnya juga
tegas seperti digambar pakai tinta Cina, dan cergam ini menggunakan huruf-huruf
kapital untuk teks di balon-balon dialog.
Dalam prakata, ketahuan bahwa kisah Mahabharata diolah jadi cergam
oleh R.A. Kosasih pada tahun ’50-an. Karena masih banyak peminat dan perlu
terus dicetak ulang, cergam yang saya akses adalah versi EYD sesuai aturan pemerintah.
Alur Mahabharata linear dan kejadian-kejadiannya menerapkan
hukum karmaphala di mana setiap perbuatan tokoh akan mendapat ganjarannya
sepanjang cerita ke depan. Cerita dibuka dengan perburuan Prabu Sentanu, Raja
Hastinapura, diiringi pasukan kerajaan. Dalam perburuan itu, ia tersesat dan
terpisah dari pasukannya. Setelah lama mencari-cari pasukannya, ia kelelahan
dan beristirahat di bawah pohon. Di sana, dia kemudian bertemu seorang putri
tanpa asal usul yang kelak dijadikannya permaisuri.
[Ketika itu, teringatlah sang prabu kepada pesan ayahandanya dahulu
bahwa bilamana berjumpa dengan seorang putri di dalam rimba, janganlah
menanyakan asal usulnya, kawinilah dia segera dan jadikan permaisuri, sebab
putri itu adalah anugerah dewata.]
Dipintalah sang putri menjadi permaisuri. Uniknya, sang
putri menetapkan syarat:
[Inilah permohonan hamba: bahwa kesatu, gusti jangan sekali-kali
bertanya asal usul hamba. Kedua: bila di kemudian hari ada perbuatan hamba yang
aneh yang menyimpang dari hukum kemanusiaan jangalah gusti prabu berani
menegurnya. Ingatlah itu gusti...]
Prabu Sentanu menyanggupi. Ia tak tahu bahwa yang dimaksud “perbuatan
aneh dan menyimpang” adalah membuang keturunan mereka ke Sungai Gangga. Tujuh
kali bayi-bayi mereka dibuang ke sungai, sampai suatu hari Prabu Sentanu
memergoki permaisurinya. Kenapa istrinya bisa demikian tega membuang putra-putra
mereka? Cergam ini pun lantas ber-alurmundur-ria. Putri itu ternyata adalah
seorang dewi, Dewi Gangga, yang dihukum turun ke mayapada (dunia). Dia hanya
boleh kembali ke surga apabila dapat menemukan suami yang berbudi luhur tetapi melanggar
janji. Dalam hukumannya di mayapada, dia kebetulan bertemu delapan wasu
(penduduk khayangan yang setengah dewata) yang juga menjalani hukuman dari
khayangan. Para wasu harus terlahir lewat rahim seorang dewi dan segera dibuang
ke Sungai Gangga setelah lahir untuk dapat ke khayangan. Dewi Gangga
menyepakati untuk membantu mereka. Ketujuh wasu itu telah dibuang ke sungai,
dan karena terpergok sang prabu, Dewi Gangga tidak membuang wasu kedelapan. Dan
karena sang prabu melanggar janji, Dewi Gangga pun kembali ke khayangan dengan
meninggalkan bayi itu. Bayi yang di kemudian hari berikrar untuk tidak menikah
dan menjadi ksatria sejati: Bhisma, kakek dan guru bagi para Pandawa Lima.
Kelak, Bhisma ini akan bersumpah untuk tidak menikah seumur
hidupnya demi ayahnya sang Prabu Sentanu dapat menikah kembali dengan seorang dewi
yang (kembali) secara kebetulan ia temui di hutan. Adalah seorang putri raja
bernama Dewi Setyawati yang mengasingkan diri ke hutan lantaran baunya yang
amis ikan. Dia kemudian berobat dan sembuh, dari tubuhnya malah menguar wangi.
Ia kemudian melahirkan seorang putra, namanya Abiyasa Dwipayana, tetapi
putranya itu tetap bau amis dan lahir dengan tampang buruk. Putra itu kemudian
terasing darinya.
Prabu Sentanu yang duda bertemu dengan Dewi Setyawati yang
janda di tengah hutan. Diajaklah sang putri menikah oleh sang prabu. Namun,
kembali dilancarkan syarat untuk menikah: sang raja harus menjadikan putra dari
Dewi Setyawati sebagai raja. Itu artinya, Bhisma yang saat itu menjadi putra
mahkota harus rela tidak menjadi raja.
Saya melihat, Bharatayudha (Perang Saudara) tergiring dan
bermula dari sumpah-sumpah ini. Banyak hal terjadi karena Bhisma tidak menjadi
raja.
Dewi Setyawati akhirnya menikah dengan Prabu Sentanu dan
dikaruniai dua orang putra: Citragada dan Wicitrawirya. Citragada ini pintar,
memahiri macam-macam ilmu yang diturunkan kakaknya, Bhisma. Berbeda dengan
Wicitrawirya yang pendiam dan “telat mikir”. Namun karena kesaktian yang
didapatnya, Citragada menjadi sombong. Ia suka melancarkan perang dan “membuat-buat”
masalah hingga terjadi perang. Dewata tidak menyukai sikapnya. Dikirimlah
utusan ke mayapada untuk membunuh Citragada. Setelah Citragada mati,
Wicitrawirya mesti menggantikan kakaknya. Permaisuri Setyawati pun mulai
kebingungan tentang pelanjut takhta kerajaan. Dengan siapa Wicitrawirya patut
dinikahkan?
Bhisma kemudian bilang ada sayembara pemanahan di negeri
seberang. Tiga orang putri dipertaruhkan dalam sayembara itu. Karena
Wicitrawirya tak cakap apa pun, Bhisma mafhum dan mengikuti sayembara untuk
memenangkan ketiga putri, yang kelak diketahui bernama Amba, Ambika, dan
Ambalika. Bhisma, dengan kesaktiannya, tentu memenangkan sayembara. Diboyonglah
ketiga putri pulang.
Dewi Amba, karena merasa usianya lebih tua daripada
Wicitrawirya, menolak dipersunting. Lagipula, ia sudah jatuh cinta dengan
Bhisma. Dan Bhisma pun telah membunuh Prabu Salya, calon suami Dewi Amba, dalam
sayembara. Bhisma yang sudah kadung bersumpah untuk tak menikah lantas
menakut-nakuti sang dewi dengan panahnya. Sayangnya, panah itu terlepas dari
busurnya tanpa disengaja. Dewi Amba pun mati. Sebelum mati, lagi-lagi
terlancarkan kutukan. Bahwa kelak akan datang seorang dewi di medan
Bharatayudha. Ia yang akan membunuh Bhisma dengan tangannya dan mengajak arwah
Bhisma bersatu di khayangan.
Mengetahui ini, Permaisuri Setyawati sedih. Cepat-cepat,
Wicitrawirya diminta sanggama dengan Dewi Ambika dan Dewi Ambalika. Namun, ia
kemudian keburu berpulang. Putra yang tersisa di kerajaan hanyalah Bhisma. Bingunglah sang permaisuri.
Akan tetapi, Bhisma mengingatkan kembali bahwa Setyawati
masih memiliki seorang putra: Abiyasa. Setyawati lantas memanggil Abiyasa yang
sedang dalam pertapaannya. Dia minta putranya yang buruk rupa itu (ringkih,
bermata satu, dan bau amis) untuk sanggama dengan kedua putri. Dari adegan ini,
saya belajar tentang kemurnian dan kesucian pikiran dan laku seorang ibu
menentukan wujud putra mereka. Ambika yang jijik melihat Abiyasa, misalnya, dan
memejamkan matanya selama sanggama, lantas melahirkan Destarastra yang kemudian
buta. Sementara itu, Ambalika memasang muka pucat pasi, saat sanggama dan
terlahirlah Pandu Dewanata dengan raut wajah putih pias seperti salju.
Setyawati tidak menginginkan kedua cucu cacat itu. Maka dimintalah Abiyasa
melakukan sanggama kembali kepada salah seorang putri. Putri-putri itu merasa
jijik dan meminta seorang sudra (dayang) untuk tidur dengan Abiyasa. Dari persenggamaan
ini, lahirlah Widura yang di kemudian hari akan menjadi penasihat kerajaan
seperti halnya Bhisma.
Ketiga putra yang cacat ini kemudian dididik oleh Bhisma. Destarastra diberi kesaktian hambalageni,
Pandu menjadi ahli panahan, dan Widura dibekali ilmu kenegaraan dan tata susila
manusia. Setelah itu, mereka dikirim kembali ke ayahnya, Abiyasa, untuk
diberikan pemahaman tentang kebijaksanaan.
Tiba waktunya bagi mereka untuk menjadi raja dan menikah.
Pandu diangkat sebagai raja karena kakak sulungnya yang buta. Maka ia mengikuti
sayembara untuk memenangkan seorang putri demi dijadikan permaisuri.
Sayembara itu terbilang mudah: memanah burung dalam sangkar
yang sedang berputar. Pandu yang ahli panah pun lantas memboyong Dewi Kunti
pulang. Di tengah perjalanan, ia dihadang Narasoma yang mengaku dapat
memenangkan sayembara pemanahan. Ia pun beradu kemampuan panahan dengan Pandu
dan menjanjikan adiknya, Dewi Madrim, untuk diserahkan kepada Pandu apabila ia
kalah. Benar, dalam cerita ini, perempuan memang betul-betul penurut dan
dijadikan barang lelang di sana-sini. Bagaimanapun, Pandu yang sudah dasarnya
ahli memanah tentu memenangkan pertaruhan. Di perjalanannya itu pula, ia
bertemu dengan Sakuni dan ditantang kembali untuk mengadu kesaktian panahan.
Kali ini, Sakuni mempertaruhkan kakaknya, Dewi Gandhari. Pandu menyanggupi dan
kemudian menang. Dua putri itu pun kemudian diboyong pulang oleh Pandu.
Sesampai di Hastinapura, Setyawati menyarankan agar ketiga
putri dibagi rata kepada ketiga saudara (Destarastra, Pandu, dan Widura). Pandu
pun merelakan agar kakak sulungnya yang memilih. Ketiga putri itu tentu segan
untuk menikahi seorang pangeran buta. Dewi Kunti berdoa kepada Sang Hyang
Surya, Dewi Madrim kepada Sang Hyang Aswin, dan Dewi Gandhari meminta saran
adiknya, Sakuni, supaya tidak dipilih Destarastra. Meskipun ketiga orang ini
gigih dengan usahanya masing-masing, pilihan harus ditentukan dan jatuh pada
Dewi Gandhari. Sejak saat itu, karena kesedihannya, sepanjang harinya Dewi
Gandhari mengenakan penutup mata dan baru membukanya menjelang malam. Sementara
itu, Widura memutuskan untuk tidak menikah.
Suatu hari, saat melakukan perburuan, Pandu melihat dua rusa
sedang berkasih-kasihan. Kedua rusa itu sebenarnya adalah penyamaran dari
Bhagawan Kindama dan istrinya yang sungkan melakukan sanggama dalam wadag
manusia. Karena tak nyaman melihat adegan itu, Pandu memanah rusa yang jantan.
Rusa itu mati, dan berubah wujud kembali menjadi manusia, dan sebelum mati
mengutuk Pandu agar bila suatu hari ia melakukan sanggama, maka ia akan mati.
Pandu terkejut bukan main mendapatkan kutukan itu. Ia
kembali ke Hastinapura dan memberitahukannya kepada dua istrinya. Karena
terpukul, mereka bertiga memutuskan mengasingkan diri ke hutan untuk melakukan
pertapaan. Destarastra yang lantas menggantikan Pandu menjadi raja untuk
Hastinapura. Dewi Gandhari senang bukan kepalang. Adiknya, Sakuni, diangkat
menjadi patih sama seperti Bhisma dan Widura.
Sakuni membangun kebun binatang untuk menggantikan taman.
Auman dan raungan binatang-binatang di sana yang diceritakan merasuki dan menjadi nyawa dari sosok-sosok
seratus Kurawa. Mengenai seratus kurawa, diceritakan karena takut takhta tidak aman di tangannya,
Gandhari pun ingin berketurunan. Maka bertapalah dia meminta keturunan dan menyanggupi
sanggama dengan Destarastra yang buta. Saat dia hamil, bahkan dia masih
sempat-sempatnya memohon pada dewata agar diberikan keturunan sebanyak yuyu
(kepiting) yang dia lihat di kebun binatang. Benarlah kejadian. Saat
melahirkan, di bulan keenam belas, hanya keluar sebongkah daging besar. Karena
sedih, ditendangnya daging itu, pecah menjadi dua bagian, lalu ditendangnya
lagi dan tercuil menjadi bagian-bagian lebih kecil. Bongkahan daging itu yang kemudian menyosok
sebagai seratus Kurawa. Kedua bongkah daging besar menjadi Duryadhana dan
Dursasana. Dari seratus anak itu, hanya ada seorang putri yang kemudian dinamai
Dursilawati.
Mendengar kabar itu, Dewi Kunti dan Dewi Madrim pun bersepakat
untuk meminta anugerah pada dewata agar dikaruniai keturunan. Memiliki seratus
putra, pikir mereka, pasti juga menjadi campur tangan dewata. Mereka
menyampaikan hal ini pada Pandu, dan setelah disetujui, mereka bertiga pun
bertapa tidak makan dan minum selama berhari-hari. Mendengar kesungguhan
mereka, dewata pun menurunkan Bhatara Dharma untuk membuahi Dewi Kunti,
terlahirlah Yudhistira. Lalu berturut-turut dengan Bhatara Bayu melahirkan
Bima, dengan Bhatara Indra melahirkan Arjuna, dan Bhatara Aswin dengan Dewi Madrim
melahirkan dua putra kembar, Nakula dan Sadewa. Pandu yang tak kuat menahan
hasrat pun sanggama dengan salah seorang dari istrinya, lantas meninggal. Dewi
Madrim yang sedih mendapati suaminya meninggal kemudian melakukan labuh geni
dan ikut meninggalkan dunia.
Jadi, dari sanalah asal Pandawa Lima dan Seratus Kurawa.
Cerita berikutnya akan menggiring ke banyak subplot dan menghadirkan
sosok-sosok baru. Dari kisah Mahabharata ini, saya belajar tentang betapa
rumitnya perbuatan baik/benar dan buruk/salah, yang pada satu waktu akan saling
berkaitan. Saya ingat ada beberapa sosok yang saya kagumi dalam kisah ini, dua
di antaranya Bhisma dan Dewi Amba yang kelak menjadi Srikandi.
Kelak saat saya SMP, saya kemudian tahu kisah Mahabharata
ini merupakan epos, bagian dari Kitab Itihasa—Upaweda. Namun hingga hari ini,
saya tidak pernah membaca Mahabharata yang versi serius dari Bhagawan Byasa.
Konon, kitab ini terbagi ke dalam delapan belas bagian (parwa), sering dikenal
sebagai Astadasaparwa. Entahlah, mungkin karena tidak ada gambarnya. Baru kali
ini, saya merasa aneh, bila membaca buku tanpa gambar.
Yang saya tuturkan di atas baru satu bagian dari delapan
belas bagian kitab itu (Adiparwa) dan itu pun sudah lumayan ngos-ngosan untuk
mengikuti alur dan tokoh-tokohnya. Mungkin, di kemudian hari, saya jadi suka
cerita-cerita yang kompleks lantaran Mahabharata ini. Dari kisah Mahabharata,
pula, saya memahami filosofi Hindu, yuga-yuga (zaman-zaman): Satyayuga,
Tetrayuga, Dwaparayuga, dan Kaliyuga, juga caturwarna, juga perbuatan manusia. Betapa kehidupan hanyalah untuk memenuhi dharma.
(*) Tulisan ini merupakan ajakan menulis-blog-kembali dari Irwan Bajang dengan tagar #5BukudalamHidupku.
No comments:
Post a Comment