Sepuluh atau dua puluh tahun dari sekarang, semua kawan kita—bahkan
mereka yang kini mengaku paling kesepian sekalipun—sudah akan menikah.
Kawan gay, kawan lesbi, semua kawan kita tak terkecuali. Mereka akan
bekerja di perkantoran, membangun usaha mereka sendiri, ataupun
menganggur dan tetap bersuka cita dengan hal-hal kecil yang mereka
lakukan. Atau menjadi gila karena dunia.
“Sudah selesai. Sudah beres. Sebentar aku pulang dan mengemasi semua barang.”
Tahun-tahun ke depan, kita semua akan mulai mewujudkan mimpi. Menang
ataupun kalah bukan tujuan. Karena aku percaya, kau akan melanjutkan
hidupmu bahkan ketika semua mimpimu tak berhasil kau wujudkan. Karena
kita hanya merebut kembali apa yang sempat kita lepas. Kegembiraan anak
kecil yang bercita-cita.
“Tidak, aku malas berfoto. Maksudku, aku mengiyakan untuk wisuda pun
hanya agar kamu senang saja. Tapi ternyata kamu ada kerjaan lain.
Mengecewakan.”
Pada saat apa pun, ayah-ibumu, adikmu, dan semua sahabatmu mungkin
akan selalu menemanimu di sisimu. Seperti hari ini. Mereka dapat
memelukmu, mengecup pipimu, memukul-mukul pundakmu, dan berbagi tawa
denganmu. Menceritakan hal-hal lucu yang akan membuatmu terpingkal.
Menaruh kesedihanmu di pundak mereka. Hari ini, kalian dapat segera
berlarian, meloncat, dan kamera-kamera akan mengabadikan semuanya.
Ataupun kau dapat melempar togamu ke angkasa. Biarkan mereka
menangkapnya kembali untukmu.
“Tidak, hanya bercanda. Bukan masalah. Aku menikmati. Kalau tidak,
aku pasti sudah pulang dari tadi. Aku suka melihat suasana ini. Semua
temanku bergembira.”
Selamanya aku hanya akan menjadi pemujamu. Tak akan selangkah pun
mendekat. Tak akan memulai pembicaraan. Bila kelak kita bertemu lagi,
kita hanya akan bertukar tatap. Membagi senyum sebagai kawan lama. Yang
satu almamater, yang seringkali berjumpa di kesempatan-kesempatan tak
terduga, dan tak pernah berkesempatan untuk saling mengenal.
“Aku tak menganggap perayaan semacam ini penting. Lagipula aku ada
banyak pikiran sekarang. Kontrakan rumahku selesai bulan ini. Aku akan …
pergi. Pindah ke suatu tempat. Atau mungkin hidup nomaden.”
Setelah hari ini, kau akan mencintai gadis lain. Menikahinya.
Beranak. Membesarkan anak-anak kalian agar menyerupai kalian.
Bertahun-tahun kemudian, mungkin aku akan jatuh cinta kepada anakmu.
“Bodoh. Sekalipun nomaden, aku tak ingin berkeliling dunia. Itu sudah terlalu mainstream.”
Jadi kita berpisah di tikungan ini. Aku tahu kau tidak akan menyadari
perpisahan ini. Selamat tinggal untuk cinta empat tahunku kepadamu.
*
#25 Juni 2012
Subscribe to:
Post Comments (Atom)
Tulisan Terdahulu
-
Untuk Rio Johan . Saat aku menunggu jadwal penerbanganku di bandara, jasad seorang kawan di kampus yang juga tinggal satu ind...
-
Pada 2022, Sekolah Pemikiran Perempuan membuka ruang belajar informal bagi para perempuan yang berkecimpung di bidang seni dan budaya. Kela...
-
Ingatan tentang ibu sebagai seorang filatelis yang menyimpan setiap edisi perangko terbitan Perum Pos (PT Pos Indonesia), yang sialnya leb...
-
Cerita pendek ini juga dimuat di Bacapetra.co Di siang yang terik itu, Paman Hansa pulang bersama Kalaya dan Phichai dengan membawa baha...
-
Ditulis untuk program lokakarya kritik seni rupa dan kurator muda Indonesia 2014 di Dewan Kesenian Jakarta dan ruangrupa. Tampil...
No comments:
Post a Comment