Sebelum usia saya genap lima tahun, saya lebih sering menghabiskan waktu dengan kakek dan nenek. Ayah dan ibu senantiasa pulang larut malam, atau pada dini hari. Kendati, mereka hampir selalu membawakan oleh-oleh martabak ataupun terang bulan untuk kakek dan nenek. Pukul dua pagi, perlahan ayah akan menggendong saya—merebut saya dari bantal yang saya peluk di kamar nenek—dan membawa saya ke kamar ayah dan ibu. Bertahun-tahun kami tidur bertiga. Kakek, sepagi itu, akan mulai menyirami tanaman atau berbicara dengan angin; atau menekuri anjing peliharaan yang tidur pulas di halaman rumah. Nenek akan melanjutkan lagu-lagu kataknya untuk dirinya sendiri. Bila saya terbangun dan tak kunjung juga tertidur, ayah akan mulai menceritakan kisah-kisah pewayangan, atau ibu akan mengulang lagi kisah angsa yang menautkan leher dalam cerita Sampek Engtay. Mereka akan bercerita sepanjang malam hingga saya lanjut tidur.
Ayah kakek (kakek buyut saya) adalah seorang petani, cukup sering—meski tak mengelola sawah—kakek menggendong saya ke persawahan. Dari rumah kami di Jalan Imam Bonjol, ia akan berjalan kaki sembari membawa saya sebagai beban di pundak menuju sejauh tiga kilometer untuk mencapai persawahan terdekat. Untuk mencapai sawah, kami perlu melintasi lapangan sepak bola—di mana, pada ingatan saya, kakek selalu dapat bertemu dengan rekan-rekannya sesama veteran tentara. Saya tak pasti ingat apakah kakek memang pernah menjadi tentara; sebab ia juga adalah pensiunan guru SD (kalau bukan guru SMP).
Sawah di Denpasar pada medio 1990 tak jauh berbeda dengan sawah pada era milenium. Kecuali mungkin; lebih hijau-kekuningan, penuh dengan pondokan kecil yang terletak pada tiap empat barisan petak-petak sawah, ada banyak orang-orangan sawah yang dipasangi caping dan mengenakan pakaian lusuh berwarna biru army dan celana berwarna cokelat kumal, dan pada pinggiran aliran perairan Subak terdapat baling-baling kecil yang tak henti-hentinya berputar seiring dengan pergerakan angin. Persawahan itu selalu ditanami padi dan kacang kedelai, di sana kakek pernah menangkap katak dan melepaskannya lagi. Beberapa kali pula kami melihat ular sawah.
Tanpa diajak; ataupun dikalungi tali kait, anjing peliharaan kami—waktu itu adalah anjing ras Kintamani berwarna putih yang kira-kira berusia empat tahun dengan rambut yang lebat, namanya Rambo—selalu turut serta dalam perjalanan. Rambo selalu peka cuaca, ia akan pulang mendahului kami bilamana hujan berkemungkinan turun. Hujan sendiri tak pernah menjadi masalah bagi kakek. Kaki kakek selalu memijak dengan kuat. Menantang becek dan hujan. Mungkin hal ini menurun dari kakek buyut saya yang tak pernah saya kenal.
Kakek selalu suka berbicara dengan dirinya sendiri; lebih tepatnya, menggumamkan kata-kata yang tak terekognisi bahasanya. Kata salah seorang dalam keluarga besar kami, kakek pernah beberapa tahun mendekam di rumah sakit jiwa pasca kejadian gestapo. Ayah pernah bercerita tentang apa yang terjadi di halaman rumah kami pada tahun 1965; leher-leher yang dipenggal, tubuh-tubuh yang tercecer katanya pernah memenuhi ruang-dan-waktu kala itu. Namun begitu, kakek selalu netral setiap membicarakan soal PKI—yang dalam usia itu tak benar-benar saya pahami apa maksudnya. Pikir saya waktu itu; beberapa meter jaraknya dari rumah kami, ada sungai yang mengalir dari Sungai Badung. Mungkin tubuh-tubuh yang terpotong itu sempat dibuang ke sana.
Meskipun berprofesi guru, kakek bisa saya bilang bukanlah tipikal orang yang berstrategi baik. Pada awal 1990, ia menjual lahan belakang rumah kepada saudara nenek. Bertahun-tahun setelah rumah baru dibangun di lahan itu—dan telah cukup lama ditempati—Pohon Asam besar tempat saya bermain dengan kawan-kawan seusia menjelang tahun 2000 pada akhirnya ditebang. Dulu saya selalu mengambil buah-buah asam di sana, saya ingat jelas bagaimana cara lidah saya memisahkan serabut buah asam dengan bijinya.
Di rumah kami pula, terdapat sanggah keluarga besar—semacam pusat tempat bersembahyang keluarga besar kami. Kira-kira sebelas pelinggih kecil dan dua pelinggih besar (tempat berstananya Sang Hyang Bhatara Guru dan Tri Murti) dibangun di sana. Menurut kepercayaan, dewa-dewa berstana pada tiap pelinggih. Dua bale berhadapan di depan pelinggih-pelinggih tersebut. Di luar sanggah keluarga besar, juga terdapat dua bale lain dengan ukuran sama (3x4). Di dua bale itu, biasanya, bila akan diadakan upacara Ngaben—kremasi jenazah bagi umat Hindu—jenazah disemayamkan, dimandikan, dan ditusuk-tusuki dengan jarum, dan dilapisi dengan kain-kain sebelum akhirnya diupacarai ke Setra (pekuburan). Terpikir oleh saya, hari ini mungkin kakek sudah disemayamkan di salah satu bale.
Saya tak pernah dekat lagi dengan kakek sejak awal tahun 2000-an selepas kami berpisah rumah. Sekolah dan orangtua, juga permasalahan keluarga dengan saudari-saudari ayah saya, adalah jurang utama di antara kami. Maka setelahnya, segala hal yang saya ingat tentang kakek hanyalah kepada pria tua yang acapkali menggendong saya di tengah persawahan, berhujan-hujan, berbecek-becek, menyanyikan lagu-lagu tentang katak, berkejaran mengambil sandal saya yang terjatuh-terseret banjir dan memasangkannya kembali sementara saya masih berada di gendongan; kepada pria tua yang selalu terbangun pukul dua dini hari hanya untuk menyirami tanaman; kepada pria tua yang mewangi air seni dengan rambut putih yang menipis, selalu hadir dengan senyum jenaka, dan senantiasa terpingkal-pingkal sendiri tanpa alasan pasti. Dan setelah itu, tidak ada lagi. Kecuali, barangkali potongan-potongan ingatan tentang kakek yang sempat jatuh pingsan di kamar mandi dan dua kali terkena serangan jantung, kakek yang tidur pada ranjang bersebelahan dengan nenek yang stroke, dan kakek yang suka menyembunyikan uang gaji pensiunannya di bawah bantal dan sembunyi-sembunyi memberikannya kepada saya. Dan setelah tiga tahun tak bersua, pagi tadi kakek berpulang sebelum menjelang ulang tahunnya di bulan Juni. Dari keempat kakek-nenek saya di pihak ayah-ibu, hari ini ia menjadi orang pertama yang meninggalkan cucunya. [*]
A Memorial. Yogyakarta, 21 Mei 2012