(Cerpen ini dimuat di Bali Post, 15 September 2015)
Hari itu ketika kami semestinya diwisuda, pada jam-jam di
mana seharusnya kami menunggu di gedung kampus dengan aku berpakaian kebaya dan
ia rapi dengan jasnya—duduk lama menanti kesempatan pemindahan tali toga—aku
justru bertemu dengannya di perpustakaan. Buku-buku lapuk bertumpuk di meja.
“Membaca Wilde lagi?” tanyaku, mengambil tempat di
hadapannya.
“Kamu tak wisuda hari ini?”
Begitulah. Aku akan memulai dari A, ia bukan
menjawab B, melainkan Z.
“Oscar Wilde seorang gay.” Aku mengomentari buku yang
dibacanya.
“Aku juga membaca Nietzsche.”
“Nietzsche pemain wanita, meninggal karena raja singa.
Kamu mencemooh orang-orang seperti mereka, biasanya. Kamu tak dapat menolerir
tindakan-tindakan buruk seperti itu, bukan?”
“Sepertinya kamu memang lebih hobi membaca biografi.
Kuduga kamu lebih suka menilai buku dari sampulnya?” balasnya.
Aku menyunggingkan senyum ketus untuk menuding. “Bukannya
kamu yang begitu? Pria yang sangat membenci humanisme.”
Humanisme. Pernah satu waktu—aku lupa kami sebelumnya membahas
apa—dengan mengutip kamus, ia bilang ia bukan seorang humanis. Menurut
manifesto para pencipta kata tersebut, humanisme ialah paham yang menganggap
manusia berada di tingkatan kesadaran paling tinggi, di mana para humanis tidak
memercayai keberadaan hal-hal mistis dan juga bahkan tidak pula Tuhan.
Pria di hadapanku ini seperti halnya kamus berjalan. Ia
penghafal sekian banyak istilah. Bila bicara dengannya, aku perlu tahu tiap
makna dari lema yang seringkali spontan saja kuucapkan. Dan begitulah semua
percakapan panjang lebar kami selalu bermula dari kata-kata yang salah
kudefinisikan dan lantas ia betulkan.