Jumat (27/7), sejak pukul 09.00 hingga 18.00 Komunitas Etnohistori
mengadakan rangkaian acara kuliah umum, peluncuran perdana Jurnal
Etnohistori, diskusi buku The Will to Improve oleh Prof. Dr. Tania M. Li. dan buku The Angle of Vision oleh
Andi Achdian, serta program buka bersama. Di Auditorium Fakultas Ilmu
Budaya (FIB) UGM, pengurus redaksi Majalah Loka mengisi acara terakhir,
diskusi buku The Angle of Vision. Diskusi buku ini mendatangkan
juga Hatib Abdul Kadir M. A., dosen Jurusan Antropologi Universitas
Brawijaya, dan M. Nazir, M. A., pengajar di Sekolah Tinggi Pertahanan
Nasional, sebagai panelis.
Buku The Angle of Vision yang diterbitkan LOKA Publishing pada Juni 2012 ini membawa tagline “Mereka
yang Tidak Menyerah pada Sejarah”. Melalui bukunya, Andi mengajak
pembaca mengenal delapan tokoh yang dekat di hatinya; (diurutkan
berdasarkan Daftar Isi) Kartini, Sukarno, Soedjatmoko, Gunawan Wiradi,
Onghokham, Imam Muhaji, Bre Redana, dan Linda Christanty.
Hatib berpendapat kumpulan tulisan Andi menggunakan penulisan
etnografi kontemporer. Jelasnya, penulisan etnografi tradisional masih
menggunakan sudut pandang pertama, terwujud dalam penggunaan kata ganti
mendaku (saya, aku, dst.), sementara etnografi kontemporer telah lepas
dari penggunaan kata ganti orang pertama. “Ini terjadi karena seringkali
etnografer pada masa ini takut bila dimintai pertanggungjawaban,”
ungkapnya.
Sementara itu, Nazir menganggap buku Andi ini sebagai suatu milestone yang
baik bagi penulisan sejarah kontemporer; terutama dengan menampilkan
profil tokoh-tokoh dengan ragam potensi. Menurutnya, cukup lama
penulisan sejarah Indonesia hanya terpaku pada masa lalu.
Hatib menyebutnya sebagai sejarah kosmopolitan. Ia menarik benang
merah dari delapan tokoh yang dihadirkan Andi dalam bukunya ini.
Tokoh-tokoh yang dihadirkan adalah tokoh-tokoh yang membuka diri kepada
dunia global, juga gemar berinteraksi dengan dunia membaca dan menulis.
Beberapa dari mereka bahkan telah membaca karya-karya adiluhung sejak
usia muda. Meskipun, bagi Hatib, pemaparan dalam buku masih kurang
dalam.
Yang menarik, Hatib melihat, penulisan profil Linda nampak sangat
intim. Andi, dalam diskusi, mengakui kedekatannya dengan Linda. Baginya,
intensitas wawancaranya dengan Linda yang berkali-kalilah yang
menimbulkan kesan itu. Andi lantas juga memaparkan tokoh-tokoh lainnya
dengan beragam profesinya. “Ada yang menjadi penulis, dramawan, tokoh
politik. Delapan orang ini dapat menjadi contoh terbaik menyangkut
profesi yang digelutinya. Buku ini bisa menjadi referensi bila generasi
muda kita ingin belajar caranya menjadi penulis, atau dramawan yang
baik, misalnya,” jelasnya.
Tidak berhenti hanya di diskusi buku, Balairungpress.com mendapatkan kesempatan wawancara khusus dengan Andi Achdian di akhir acara.
Bagaimana tanggapan Andi tentang pernyataan Hatib; ia bilang, buku ini bisa menjadi referensi untuk bahasan kosmopolitanisme?
Kira-kira memang betul. Indonesia dibentuk oleh tokoh-tokoh penting
yang pada saat mudanya berkenalan dengan dunia luar yang lebih luas;
baik keseharian maupun kesempatan belajar. Rumusan-rumusan tentang
Indonesia dibuat oleh pemikiran yang sangat modern, mondial. Mereka
tidak hanya berkutat dengan sebuah negeri kecil, mereka dapat bicara
tentang sesuatu yang besar. Jadi ada perbandingan yang mereka lakukan,
mereka tidak terkurung. Mereka menunjukkan bahwa kita adalah bagian dari
dunia, bukan orang yang tertutup.
Lalu kenapa hanya delapan tokoh ini? Tadi di dalam (auditorium
FIB—red.), Andi memaparkan delapan orang ini dapat menjadi representasi
yang baik untuk profesi-profesi intelektual, penulis, tokoh politik, dan
sebagainya. Kenapa hanya delapan profesi?
Keterbatasan memberitakan banyak hal. Jadi saya ambil yang paling
saya kenal. Paling tidak ada benang merah, bahwa masing-masing dari
mereka punya drive, angle of vision, untuk terus berkembang. Mereka semua berhasil melakukan hal yang orang-orang pada umunya lihat sebagai mustahil.
Apa bisa diceritakan satu per satu?
Tadi saya sudah paparkan tiga orang di dalam (Soekarno, Kartini, dan Linda—red.).
Soedjatmoko, waktu kuliah saya sangat terkesan dengan tulisannya.
Walaupun tidak ada kerangka teoretis yang dikemukakan dalam tulisannya,
ia orang yang merepresentasikan Indonesia yang begitu besar. Ia menjadi
rektor pertama Universitas PBB di Tokyo, ia menjadi bagian dari dunia
yang besar, ia menjadi bagian global.
Gunawan Wiradi, orang yang pantang menyerah, punya banyak masalah
tentu, tapi ia aktif menjadi generasi yang mencoba membuat definisi baru
tentang Indonesia. Terlihat dari karakternya; baginya, masalah gagal,
itu lain soal.
Imam Muhaji, terlihat seperti orang biasa, ia aktivis politik, meski
tingkat kampung, tapi punya sikap yang gigih, ia juga bisa realistis,
punya kreativitas. Kalau keadaan menekan; kan, kita selalu bertanya,
kita bisa bagaimana? Nah, Imam bisa menjawabnya. Kita butuh orang-orang
yang bisa menjawab itu.
Bre Redana, ia memberikan makna baru terhadap sejarah ’65.
(Ingatannya tentang sejarah ’65 muncul dalam novel semiotobiografinya
yang berjudul Blues Merbabu dengan nama pena Gitanyali. Ia tidak
menulis tentang kekejaman yang terjadi pada 1965, kendati ia berasal
dari Merbabu, Salatiga di mana kekejaman tentang kejadian itu barangkali
telah didengarnya dari banyak versi—red.)
Onghokham, dia guru saya, secara pribadi. Ia intelektual yang bisa
bicara besar tentang sejarah, ia membicarakan lebih dari kapasitasnya,
lebih dari sekadar sejarah, ia intelektual publik yang mewakili hasrat
masyarakatkita tentang demokrasi. Saya pernah belajar di rumahnya.
Empat orang dalam daftar isi bagian awal, Kartini, Sukarno,
Soedjatmoko, Gunawan Wiradi, saya belum pernah ketemu. Empat orang dalam
daftar isi bagian bawah, Onghokham, Imam Muhaji, Bre Redana, dan Linda
Christanty, saya pernah.
Kalau mengenai penulisan, profil yang kali pertama ditulis?
Saya mulai sejak Juni tahun lalu, saya menulis tentang Linda, waktu
ada acara diskusi. Panjang tulisan setiap tahun berbeda, ketika itu saya
belum menemukan kunci yang bisa menyatukannya. Baru bisa ketemu
belakangan setelah dimuat di Majalah Loka (via daring melalui
http://lokamajalah.com—red.). Yang paling puas, mungkin ketika menulis
Kartini—saya banyak bermain dengan metafor, menggunakan lika-liku detail
yang naratif sifatnya.
Dan dari delapan ini, kenapa perempuannya hanya dua? Kenapa tidak komposisi empat-empat?
Karena pilihan subjektif, yang paling menonjol ya saya lihat dua itu, ha ha ha.
Tapi apa ada tokoh lain yang potensial, utamanya wanita, namun tak dieksplor?
Dolorosa Sinaga, ia perupa, saya berniat menulis tentangnya. Waktunya
tak terkejar, dan belum mendalam. Selebihnya, bagi saya, baru dua itu
yang istimewa, Linda dan Kartini.
Ada hambatan dalam pengerjaan?
Teknis saja, mencetak dan menulis dua hal yang berlainan. Kendalanya, sebatas rasa malas saja, mungkin.
Terakhir, apa yang melatarbelakangi buku ini?
Ada juga inspirasi awal, ada orang yang saya tak kenal, tapi dia tahu saya. Dia menghubungi lewat YM (aplikasi Yahoo! Messenger—red.),
kami bicara, dari pernyataannya: Kok susah ya ketemu tokoh yang menarik
di Indonesia. Kita tidak punya seseorang yang “wah”. Harusnya ada.
Bermula dari pembicaraan itu, saya ingin menulis suatu sejarah yang
bukan sekadartextbook yang berlaku untuk kalangan akademis. Orang
biasa, anak SMA, dan orang-orang yang tidak berhubungan dengan sejarah
bisa suka dengan buku ini. Supaya anak-anak Indonesia suka sejarah.