Pertemuan dan Perpisahan
“Dengan kereta malam ku pulang sendiri
Mengikuti rasa rindu pada kampung halamanku
Pada ayah yang menunggu, pada ibu yang mengasihiku”
Tembang kenangan dari Franky & Jane tersebut mengabadikan perjalanan seorang individu; seorang diri, memenuhi rindunya bertemu dengan orangtua dan keluarga di kampung halaman, tentang bagaimana kemudian dia belajar mengenai kehidupan dari orang-orang yang dia temui di dalam kereta. Dia bertemu seorang ibu yang anaknya telah tiada; dan wajah anak itu mirip dengannya. Kesan akrab tergambar dari situasi tersebut.
Hanya di gerbong kelas ekonomi atau bisnis, orang-orang asing dapat leluasa saling bercengkerama. Setiap tahunnya menjelang hari lebaran, ribuan kepala mengisi gerbong-gerbong KA kelas ekonomi; mengantarkan para perantau pulang ke tanah kelahiran. Sebutlah, melestarikan tradisi. Padahal KA kelas ekonomi bukan moda transportasi yang ramah. Banyak kasus pencopetan dan penodongan senjata tajam terjadi di dalam kereta. Kenyamanan pun harus ditanggalkan; karena alasan kebersihan dan jumlah penumpang.
Banyak yang tetap menggunakan jasa KA kelas ekonomi dan tidak memedulikan tradisi kesemrawutan yang bakal terjadi di hari lebaran. Tumiso, tukang becak yang telah bekerja selama 10 tahun di Stasiun Lempuyangan, mengatakan ia selalu menyempatkan diri pulang ke kampung halaman dengan KA kelas ekonomi. Karenanya, meski izin cuti istrinya baru keluar pada hari H, mereka sekeluarga akan tetap pulang. Ia memilih pulang dengan moda transportasi KA kelas ekonomi karena ongkos yang lebih murah 4 sampai 5 kali lipat daripada tarif kelas bisnis. “Saya merasa berdosa kalau tidak pulang. Silaturahmi setahun sekali kepada orangtua. Minta restu dan minta maaf, itu penting. Uang cuma cukup kalau naik kereta ekonomi,” ujarnya.
Di Stasiun Kereta
Sore itu, seorang wanita tua tidur bersandar pada tumpukan kardus berisi makanan. Setiap minggu sejak 1985, dia dan suaminya membeli berkarung-karung sembako di Yogyakarta untuk dijual kembali ke Pasar Pangandaran. Saat itu, cincin emas masih terpasang di jari manisnya sekalipun suaminya telah satu tahun meninggal. Sejak suaminya meninggal, dia terbiasa bepergian sendiri dengan membawa pulang bersamanya hingga belasan karung barang dagangan. “Kadang saya masih ingat suami, setiap pulang-pergi,” ujar wanita yang lupa saya tanyakan namanya itu, karena saya menduga pembicaraan kami hanya sekilas lalu.Lebih muda darinya, Cak Slamet, 65 tahun, saat itu duduk sendiri menanti gerbong kereta Sri Tanjung tujuan Mojokerto yang akan datang esok hari. Tidak ada tempat singgah baginya di Yogyakarta. Ia datang sesekali ke stasiun Lempuyangan hanya untuk tidur di sana, menempuh perjalanan selama tujuh jam demi kembali melesakkan kenangan di stasiun itu. Dulu ia pernah bekerja sebagai tukang bangunan di dekat Stasiun Lempuyangan. Kini, sendiri di stasiun kereta, entah apa yang ia nanti di sana.
Atun, 60 tahun, duduk di lantai di sudut Stasiun Lempuyangan, menyandarkan tubuh pada tembok dekat kafetaria stasiun. Setelah suaminya menikah lagi dengan wanita lain, dia menumpang tinggal di rumah Bu Sugiman di Jalan Tukangan, dekat stasiun. Anaknya hanya satu, menikah dengan seorang pria asal Klaten. Bertahun-tahun setelah suaminya menikah lagi, dia menunggui anaknya, Susianti, 25 tahun, yang berjualan nasi di kereta. Ketika itu belasan wanita berseragam hijau menawarkan beragam nama penganan kepada penumpang di dalam kereta.
Kesan kosong terpancar dari mata Atun. Dia tidak bangkit untuk mencari putrinya, “Anak saya naik kereta Bengawan, jam 6 sore nanti baru sampai,” ujarnya. Tetapi, Sungging Raga, seorang anggota Edan Sepur (semacam perkumpulan pecinta kereta), mengatakan bahwa kereta Bengawan tidak tiba sore hari. Maka entahlah, Susianti benar datang ataukah tidak; saat itu tiba-tiba saya menyadari semua orang yang melihat saya mengobrol dengan Atun mungkin menganggap saya gila, seolah saya selama setengah jam hanya berbicara dengan dinding. Apa yang terjadi sebenarnya?
Di dalam Gerbong Kereta
Beberapa di antara wanita berseragam tadi memasuki gerbong kereta. Saya dapat membayangkan bagaimana situasi di dalam kereta dengan hanya melihat dari kejauhan. Dengan atau tanpa petugas On Trip Cleaning (OTC)—pembersih gerbong kereta menjelang kereta tiba di stasiun tujuan—timbunan sampah tetap akan memenuhi lantai setiap gerbong. Bau busuk menyengat dari saluran limbah dan bau tersebut akan menguar ke sepenjuru gerbong.
“Sepertinya enggak ada lagi kata bersih dalam KA kelas ekonomi,” komentar Sungging. Setiap kali, selalu meninggalkan kesan serupa; entah itu tentang seluruh lantai gerbong yang berserakan kertas koran, bungkus makanan, tumpahan minuman, atau sisa nasi dan lauk yang tidak dihabiskan; ataupun tentang petugas OTC yang kesulitan memenuhi tugasnya karena padatnya penumpang kereta ekonomi. Bahkan acap kali dilihatnya lantai gerbong dipenuhi tubuh manusia yang duduk berselonjor kaki di atas tikar atau koran yang bercampur sampah.
“Namun penumpang tetap berjejal, selalu ada penumpang yang rela tidur hingga di kolong bangku, nenek yang tak kuat berdiri, ibu-ibu yang memeluk anaknya yang masih balita,” ujar Sungging lagi. Puluhan kali ia menumpang kereta, pikir saya, mungkin hanya pemandangan-pemandangan semacam itulah yang menjadi penghiburannya.
Memang aneh kerinduan itu. Tidak hanya kenangan yang dapat menggilakan. Rindu pun demikian. Sejak H minus sekian lebaran, cara masuk para penumpang tidak akan lagi elok. Seluruh gerbong kereta tiba-tiba penuh secara tidak wajar, orang-orang berdiri dan duduk di seluruh penjuru gerbong. Ketika itu, jendela pun dapat menjadi pintu masuk.
Dari delapan gerbong kereta yang beroperasi, dapat menampung seribuan orang, dan toilet pun bisa beralih fungsi sebagai tempat duduk dan tempat menaruh barang. Tiket kereta berdiri memungkinkan hal ini dapat terjadi. Pungli dan sekadar ‘salam tempel’ antara petugas dengan penumpang mempermudah urusan.
Demi kerinduan pada kampung halamanlah orang-orang itu menahan derita neraka yang ditawarkan moda transportasi kereta ekonomi. Selama perjalanan, dengan tiket tanpa tempat duduk, ratusan orang tidur dalam posisi berdiri di atas kereta yang bergoyang-goyang disertai dengan suara gemuruh. Berjuang seperti itu selama dua belas, sembilan, atau tujuh jam—tergantung seberapa jauh mereka pergi merantau.
Toilet pun dipadati penumpang, selalu ditempati dua sampai tiga orang, kadang ada pula anak-anak yg tak mengerti dengan keramaian, mereka bertumpuk di situ selama berjam-jam bersama aroma yang tak menyenangkan.
Khairun Zenas, penumpang kereta Purwokerto–Jakarta, menceritakan ada seorang temannya yang mesti menggunakan pamper dari rumah untuk urusan ‘buang hajat’. Mereka sudah tahu kalau toilet kereta akan digunakan sebagai tempat duduk atau tempat menaruh barang pada hari-hari menjelang lebaran, sehingga mereka tak berharap menggunakan toilet dalam kereta. Sekalipun terkadang ada toilet yang bisa digunakan, mereka enggan menggunakannya. Bukan apa-apa, toiletnya memang kotor dan baunya bukan main. “Teman saya bahkan pernah menemukan orang yang sampai-sampai nekat membuang hajat di botol air mineral karena saking terpaksa,” ujar mahasiswa Ilmu Sejarah Universitas Indonesia itu.
Lain halnya dengan yang dilakukan Sasmito Yudha Husada, penumpang KA kelas ekonomi tujuan Jakarta-Purworejo. Ia mengungkapkan, pada pemberhentian di salah satu stasiun kecil, dirinya pernah keluar dari kereta untuk buang hajat di pinggir sawah karena saking terpaksa.
Bayu Candra Setiawan, mahasiswa STAN, mengaku pernah hampir masuk rumah sakit karena harus menahan buang hajat. Ketika itu, dia menumpang gerbong kereta Kertajaya jurusan Surabaya. “Itu terjadi di awal-awal naik kereta. Saya, kan, kampungnya di Situbondo,” ujar Bayu.
Menurut saya, perihal nama ‘ekonomi’ dan tarifnya yang murah itulah yang menyebabkan pemerintah dapat menyepelekan pengguna kereta. Mulai dari soal kebersihan, tata kelola, hingga keteladanan pihak-pihak yang bekerja di dalam KA kelas ekonomi. Sungguh sangat disayangkan. Kapankah pemerintah akan benar-benar memperhatikan masyarakat pengguna kereta ekonomi, dengan memberikan pelayanan yang optimal dan tidak hanya sekadar menaikkan tarif?
"Kereta ekonomi itu miniatur Indonesia. Jangan sampai, lah, untuk menaikkan kualitas, tarifnya perlu dinaikkan juga. Naik eksekutif harganya sudah gila-gilaan, kasihan yang enggak mampu. Saya berharap suatu saat pemerintah memperbaiki kualitas pelayanan kereta ekonomi tanpa menaikkan tarif." tandas Bayu. Ketika itu, matanya menerawang, seolah ia tak yakin dengan harapan yang baru saja diucapkannya.[*]