ALIANA berjalan di tengah keramaian, kegaduhan terjadi di
seluruh penjuru ruangan. Dentum musik pameran kala itu mengacaukan pikiran.
Berkali-kali dia berusaha menyelinap di antara kerumunan, menerobos
lalu-lalang, bertekad keluar entah dari pintu mana pun. Dia harus pergi dari
tempat itu. Tak peduli lagi akan janji temu yang dia buat dengan
seseorang-yang-tak-benar-benar-dia-kenal. Sudah satu jam dia di sana dan
keterlambatan lelaki itu tak dapat dia toleransi.
Makara sudah tiba di pintu gerbang ketika tiba-tiba letusan demi letusan
terjadi. Semua lampu padam. Ia menyadari ia memang telah terlambat selama satu
jam, tetapi bukan berarti itu dapat dijadikan alasan oleh gadis pembunuh
misterius itu untuk kembali melakukan satu kasus pembunuhan lagi di keramaian
seperti hari itu.
Para pengunjung berteriak ketika satu persatu orang yang berdiri di sebelah
mereka roboh. Kepanikan memenuhi udara.
Makara tahu benar siapa yang hadir di sana. Ia dapat memprediksikan ketika
gadis itu berlari ke arahnya dengan menghunuskan pisau yang dipegang di tangan
kanan. Tangan kiri gadis itu masih memegang pistol dan mengarahkannya secara
acak, menembak sembarangan.
Alangkah bengis, pikir Makara, ketika menangkap tangan kecil gadis itu.
“Salam kenal?” ujar Makara ketika menangkap sorot mata tajam gadis itu
sekilas lalu.
Tanpa menjawab, seketika itu juga gadis itu menghilang dari pandangan.
Dan, pertemuan itu berakhir dengan kesia-siaan bagi Makara. Pembunuhan
massal yang menewaskan puluhan pengunjung pameran malam itu diberitakan oleh
sepenjuru media massa di Indonesia, tanpa seorang pun tahu siapa pelakunya.