BIDADARI kecil itu memegang setangkai panjang jajanan arum manis di genggamannya. Sambil menangis, kutempelkan dahiku di dahinya. Sore itu di hari Minggu, kami duduk berdua di alun-alun kota.
Gadis kecilku itu tidak akan bertanya mengapa aku menangis. Dia hanya akan selalu menyodorkan arum manis di tangannya ke permukaan bibirku, kubalas dengan mengusapkan pipiku di pipinya dan menggigit sebagian kecil arum manisnya, dada kami lantas menempel. Kupeluk dia seerat mungkin hingga detak jantungnya bersatu dengan detakku dan detak-detak kami kemudian akan menyanyikan sunyinya irama angin.
Aku tidak menyangka hidupku telah berjalan dengan begitu cepatnya. Dan aku telah melewati begitu banyak jalur-jalur perhentian. Dalam tiap perhentian, aku menanti dan cemas. Namun di saat aku kembali melanjutkan perjalanan setapakku, kadang kupikir aku hanya tinggal menjalani saja hidup di depanku karena semuanya seolah sudah tertera di langit.
Konstelasi bintang yang saling berpegangan tangan satu sama lain barangkali adalah representasi nyata dari takdir-takdir pertemuan manusia di muka bumi.
Tangan kecil Naya mengusap bekas arum manis di bibirku. Pancaran matanya sangat kusuka. Teduh. Seolah tidak ada sesuatu pun yang akan dia cemaskan dalam hidupnya. Sekarang ataupun kelak.
Kelak, kelak jauh di masa depan bahkan kendati nyawaku telah mesti kembali ke surga, jalan hidup Naya tidak akan diubah oleh apapun. Aku yakin dia pasti akan tumbuh menjadi gadis pemikat hati banyak pria kelak suatu saat. Aku hanya yakin sekali, tidak tahu kenapa.
Kami masih duduk di taman kota sampai bulan tiba dan menyapa dari atas. Di sana aku mengajari Naya menunjuk-nunjuk bintang dan menghitungnya satu per satu. Aku mengenalkan nama-nama para bintang kepadanya. Aku tidak berharap dia akan mengingatnya sebaik aku menyimpannya dalam kenanganku. Aku hanya ingin memperkenalkan Naya pada bintang-bintang itu, para sahabat yang sudah kukenal sejak lama.
Aku suka sekali menghitung bintang.
Meskipun aku tahu aku mungkin bisa saja salah menghitung bintang yang sama berkali-kali. Tapi aku tetap suka sekali menghitung mereka.
Meskipun para ilmuwan telah memastikan bahwa aku hanya bisa menghitung keberadaan enam ribu bintang saja di tiap langit malam yang kujumpai setiap harinya. Dalam enam belas tahun, jika aku telaten mendapati satu bintang baru setiap harinya, aku telah akan menghitung semua bintang di langit malam. Tapi aku tetap menghitung mereka bahkan sampai sekarang. Sampai aku memiliki gadis kecilku sendiri yang bisa kulatih menghitung bintang bersama-sama setiap malamnya. Karenanya kupikir, mungkin hal ini akan menjadi siklus turun temurun.
Aku sendiri sudah melakukannya sejak kecil. Dulu, ibu selalu mengajakku memanjati genteng rumah kami yang curam. Dengan bobot tubuh ibu yang begitu ringan dan bentuk tubuh masa kecilku yang begitu mungil, aku tak heran kalau ketika itu bahkan kami bisa bersama-sama merebahkan tubuh di permukaannya sembari menunjuk-nunjuk bintang di langit.
Rumah kami berdiri dengan bentuk yang sama seperti rumah-rumah sederhana di Indonesia pada umumnya. Satu kamar utama untuk ayah dan ibu, dua kamar tidur, kamar tamu, ruang tamu, dan dapur. Tidak ada kamar mandi di tiap ruangan. Kamar mandi terletak terpisah dari rumah, di belakang rumah. Sebuah sumur ada di dekatnya. Rumah kami dibangun di wilayah pegunungan. Tidak ada begitu banyak tetangga. Lampu-lampu hanya kadang-kadang saja dinyalakan.
Maka karena ayah dan ibu tidak pernah suka menyalakan lampu, di tiap ruangan hanya dinyalakan obor berpendar jingga. Dan karena nihilnya iluminasi dari lampu-lampu buatan manusia, di saat aku dan ibu merebahkan tubuh berduaan di atas permukaan genteng, iluminasi bintang akan menggantikan ketiadaan cahaya-cahaya lampu itu.
Saking banyaknya bintang yang muncul, mungkin karena didesak imajinasinya, ibu sempat bilang sesuatu semacam... bahwa dari sejuta bayi makhluk hidup yang lahir di muka bumi ini dalam satu hari, satu bintang turut lahir bersama mereka. Sejuta bayi itu memiliki bintang yang sama.
Ah, aku ingat sekali semua kenangan itu dengan setiap detailnya. Jika aku harus dengan detil menyebutkan perasaan seperti apa yang muncul di diriku ketika harus kehilangan masa-masa itu, aku tak bisa lebih banyak lagi berkata-kata selain memeluk Naya yang kupangku bersamaku dengan lebih erat dan semakin mencoba tertawa tergelak-gelak bersamanya bahkan sekalipun aku tak tahu apa yang membuatku harus begitu bahagia.
Tidakkah ini menyenangkan? Aku telah melewati jalan hidupku sejauh ini, telah berputri, aku bisa berjalan berkeliling dengan darah dagingku sendiri. Tidakkah tidak ada satu hal pun yang perlu kukhawatirkan lagi? Karena ketika pun aku harus mati, aku telah menjalankan kewajiban manusia yang paling utama.
Kepala Naya mendesak-desak di dadaku. Matanya terpejam dan permukaan bibirnya sedikit bergerak-gerak. Dia barangkali sedang bermimpi. Setangkai arum manis yang masih terbungkus terlepas dari sebelah tangannya, jatuh di kursi. Kuambil arum manis itu dan kuhadapkan ke wajahku.
“Kau tercipta menjadi sesuatu yang manis dan kau disukai oleh anak-anak, apakah pernah kau meratapi hidupmu yang hanya sebentar kalau dalam hidupmu itu kau bahkan telah berarti banyak dengan hanya digigit dan dikulum?”
Kubuka plastiknya dan kugigit awan-awan berwarna merah jambu itu sedikit demi sedikit. Selama menikmatinya, aku tetap mengajak arum manis itu mengobrolkan tentang pertanyaan-pertanyaan hidup yang selalu muncul di benakku setiap saat. Sampai habis. Sampai yang tersisa hanya tinggal setangkai lidi arum manis dan setangkai pertanyaan tentang kehidupan setelah kematian yang tak akan terjawab sebelum aku nanti mati.
*
Gerimis turun perlahan. Kubangunkan Naya meskipun dia masih terlelap, kuikatkan dia dengan kain gendong dan kugendong dia di dadaku. Dan tanpa isyarat apapun, kepalanya yang mungil merebah kepadaku dan dia kembali tidur. Nafasnya terasa hangat. Kukecup ubun-ubunnya sambil aku membuka payung.
Kukeluarkan sandal jepit dari dalam tas dan kumasukkan sepatuku dalam kantong platik. Tas ransel untuk perlengkapan kami kugendong di punggungku. Hujan melebat. Dan entah hal apa yang ada di kepalaku ketika aku melewati mobilku yang kuparkirkan di parkiran. Aku seolah tidak kasihan pada Naya yang daya tahan tubuhnya masih lemah.
Sebut saja kalau adalah hal yang wajar untuk menemukan banyak orang jahat berkeliaran di sekitar. Maka aku sedang menjelma menjadi salah satu sosok ibu yang jahat untuk malam ini. Jadi kalaupun ada seseorang yang melintas di depanku, maka jahatku adalah jahat yang wajar di mata orang itu. Jahat yang sehari-hari dia lihat, jahat yang ibu lain juga lakukan kepada anak-anaknya.
Malam ini ada sesuatu di kepalaku, yang tidak kuketahui apa tepatnya, membawaku ke taman ini dan menentukan setiap gerak langkahku. Biasanya aku tidak terlalu suka berjalan kaki seperti ini. Apalagi berjalan kaki dengan perjalanan tanpa arah tujuan seperti ini.
Di pertokoan-pertokoan sekitar jalan Malioboro, aku melewati orang-orang yang saling menghangatkan tubuh dengan bercakap-cakap satu sama lain. Penjual jagung dan kacang rebus menemani orang-orang itu. Suasana kota yang biasanya selalu ada orang-orang ribut menawar harga, di malam itu, berubah menjadi suasana kota yang lebih hangat dengan senyum-senyum mereka yang masih terjaga.
Beberapa orang lainnya ada yang tertidur di pelataran di depan pertokoan. Mengalasi tubuh mereka hanya dengan surat kabar bekas. Kupikir, benarlah bahwa setiap orang memang dapat memilih pintu-pintu berbeda untuk mengunjungi negeri mimpi.
Perlahan, dari kejauhan, aku melihat kantor tempatku bekerja. Semakin aku mendekat, kantor itu berubah menjadi abu. Api masih menjalar di beberapa bagian, kendati hujan masih dengan kewalahan membantu memadamkan api.
Di jalan di depan kantorku, orang-orang telah berkerumun. Padahal hujan. Mereka memegang payung di tangan masing-masing. Yang tidak memegang payung, telah mengenakan jas hujan dan sepatu bot. Mobil polisi dan pemadam kebakaran berjajar bersamaan. Di atap-atap bangunan, para petugas pemadam memegang selang air.
Mobil ambulans, menyuarkan lampu merahnya, datang dari kejauhan. Ketika aku tak sengaja melihat tubuh-tubuh yang diangkat, aku melihat tubuhku sendiri di sana. Tubuhku yang lebih tua bersama dengan tubuh-tubuh teman kerjaku. Wujud mereka terlihat puluhan tahun lebih tua daripada yang kulihat terakhir kalinya pada Sabtu kemarin.
Ketika kudekati orang-orang itu, mereka tiba-tiba menghilang. Dan kusadari mereka hanya bayang-bayang. Namun tiba-tiba mereka muncul kembali. Senyum mereka mengembang lebar. Namun senyum mereka terlampau mengerikan untuk kubalas dengan senyumku. Hingga karenanya, aku hanya mampu menggeleng-gelengkan kepalaku dan memejamkan mata. Naya menangis dan berteriak-teriak di pelukanku.
Akan tetapi, ketika sekejap kemudian kubuka mataku, suasana berubah menjadi begitu sunyi. Hujan telah berhenti. Naya masih dengan anteng menafaskan mimpinya lewat hembusan di bibinya yang mungil. Di jalan di sekitarku, tidak ada sesiapa. Lampu-lampu padam dan langit menjadi begitu terang, berpendar hijau toska. Aurora. Sesuatu yang seharusnya kudapati di kutub-kutub bumi.
Tiba-tiba di dadaku ada gejolak yang tak kukenali. Aku seolah hidup sendiri. Seolah mendapati mimpi di alam nyata. Seolah dengan seketika bisa mempercayai segala hal gaib nan ajaib dalam dongeng dan mitos.
Saat ini, aku merasa tidak punya keterikatan apapun pada manusia-manusia di muka bumi, selain Naya. Tiba-tiba muncul sesuatu di benakku, bagaimana kalau aku sebenarnya adalah utusan organisasi rahasia di luar bumi dan aku bisa kapan saja meloncat ke langit dan keluar dari bumi, lagipula jarak langit kelihatannya hanya sejengkal.
Atau bagaimana kalau misalnya bumi ini adalah sebuah bola percobaan artifisial yang diciptakan oleh sesuatu yang entah apa.
Aku telah terbangun dari percobaan itu. Dengan manusia-manusia lainnya yang mungkin telah terbangun terlebih dahulu.
Sejak kecil aku sering berkhayal kalau-kalau aku adalah tokoh rekaan dalam cerita yang tidak akan pernah bisa bertemu dengan pengarangku. Ah, tidak, tidak persis seperti itu. Aku lebih sering membayangkan kalau-kalau aku dan manusia-manusia lainnya adalah seperti tikus got yang digunakan sebagai percobaan di laboratorium.
Bumi seperti halnya sebuah bola kristal yang berusia miliaran tahun. Warga bumi dalam tiap peradaban selalu takut bola itu akan retak dan pecah berkeping-keping. Beragam bentuk peradaban telah pernah ada dan sepanjang hidupnya, mereka khawatir kalau-kalau bumi akan pecah. Namun seiring berjalannya waktu, sentuhan kehidupan selalu membuat manusia melupakan betapa lemahnya bola kristal yang mereka tempati.
*menyerah melanjutkannya*
Dua hari satu malam.
14/03/2010 17:38:31
No comments:
Post a Comment