MALAM di musim pengujan itu ia kembali mengetuk pintu. Aku
menghampirinya sebagaimana biasa, membukakan pintu untuknya, menyambutnya dengan
senyuman. Ia seperti biasa, terjatuh di
lantai, muntah.
Sebuah suara memanggilku dari arah atas. Aku segera berlari menaiki anak tangga, menuju ke kamar tempat di mana aku dan seorang pria sebelumnya bermesraan denganku.
“Jim, tolong pergi,” kataku kepadanya sembari melempar celana bahannya ke pangkuannya.
Pria yang sedang bertelanjang dada itu melotot, sedikit mengangkat tubuh. Pantulan sinar dari kalung salib di dadanya menyentuh retinaku.
“Suamiku pulang,” Aku membantu mengancingkan kemeja Jim.
“Lima ratus ribu.” Ia menyelipkan uang sejumlah yang disebutnya itu ke sela payudaraku.
“Tolong, Jim. Aku tidak mungkin membiarkan suamiku membeku di bawah.”
“Kau tidak mungkin menyuruhku pulang, hujan lebat begini!” tukasnya sambil meraih pinggangku dan mendekapku lebih erat. Ciuman bertubi-tubi mendarat di leherku.
“Kau membawa mobil,” bisikku.
“Suamimu juga sudah di dalam rumah, ia tidak mungkin kehujanan.” Ia balas berbisik. Tangannya memainkan rambut ikalku, meremas-remas leherku.
“Ia mabuk, Jim,” jawabku keras, lantas kudorong tubuhnya hingga terjungkal kembali ke atas kasur.
“Oh, Lara… aku juga mabuk!” Tiba-tiba seluruh wajahnya merah padam. Ada sesuatu yang berkobar di matanya, barangkali api kemarahan.
“Aku istrinya,” tandasku, mencoba bersikap tenang.
“Baiklah!” Ia beranjak dari ranjang dengan kilat, dikenakannya kembali celana, sabuk, dan kaus kakinya. Lalu ia berjalan melewatiku. “Lain kali jangan suruh aku datang kalau pulangnya harus dengan cara kau usir seperti ini,” ujarnya dekat-dekat ke telingaku, masih seraya sedikit memaksa mengecup bibirku, sebelum akhirnya kudorong ia ke arah pintu.
Ia menuruni tangga, aku mengikutinya dari arah belakang.
Diludahinya suamiku yang sedang terkapar di lantai tak sadarkan diri. “Oh, Jim!” teriakku. Ia pergi, tak peduli.
Setelah ia berlalu, kututup pintu rumahku.
Lalu kutatapi seseorang yang tidur di lantai itu, pria yang sepuluh tahun lalu layaknya suamiku. Ia yang tak kuketahui kapan bisa hadir menemaniku. Jikapun ia ada di rumah, lebih sering tak ada sepatah kata yang mampu keluar dari bibirku. Lebih sering kami terdiam. Atau aku terdiam, menatapinya merokok, minum-minum.
Tubuhnya begitu berat. Susah untuk kupindahkan. Maka seperti biasanya, kuambil selimut dari kamar, kubiarkan ia tertidur di depan pintu. Aku duduk menemaninya di tangga. Menontoninya tidur pulas, seperti itu, meringkuk seperti kucing kecil.
Sebuah suara memanggilku dari arah atas. Aku segera berlari menaiki anak tangga, menuju ke kamar tempat di mana aku dan seorang pria sebelumnya bermesraan denganku.
“Jim, tolong pergi,” kataku kepadanya sembari melempar celana bahannya ke pangkuannya.
Pria yang sedang bertelanjang dada itu melotot, sedikit mengangkat tubuh. Pantulan sinar dari kalung salib di dadanya menyentuh retinaku.
“Suamiku pulang,” Aku membantu mengancingkan kemeja Jim.
“Lima ratus ribu.” Ia menyelipkan uang sejumlah yang disebutnya itu ke sela payudaraku.
“Tolong, Jim. Aku tidak mungkin membiarkan suamiku membeku di bawah.”
“Kau tidak mungkin menyuruhku pulang, hujan lebat begini!” tukasnya sambil meraih pinggangku dan mendekapku lebih erat. Ciuman bertubi-tubi mendarat di leherku.
“Kau membawa mobil,” bisikku.
“Suamimu juga sudah di dalam rumah, ia tidak mungkin kehujanan.” Ia balas berbisik. Tangannya memainkan rambut ikalku, meremas-remas leherku.
“Ia mabuk, Jim,” jawabku keras, lantas kudorong tubuhnya hingga terjungkal kembali ke atas kasur.
“Oh, Lara… aku juga mabuk!” Tiba-tiba seluruh wajahnya merah padam. Ada sesuatu yang berkobar di matanya, barangkali api kemarahan.
“Aku istrinya,” tandasku, mencoba bersikap tenang.
“Baiklah!” Ia beranjak dari ranjang dengan kilat, dikenakannya kembali celana, sabuk, dan kaus kakinya. Lalu ia berjalan melewatiku. “Lain kali jangan suruh aku datang kalau pulangnya harus dengan cara kau usir seperti ini,” ujarnya dekat-dekat ke telingaku, masih seraya sedikit memaksa mengecup bibirku, sebelum akhirnya kudorong ia ke arah pintu.
Ia menuruni tangga, aku mengikutinya dari arah belakang.
Diludahinya suamiku yang sedang terkapar di lantai tak sadarkan diri. “Oh, Jim!” teriakku. Ia pergi, tak peduli.
Setelah ia berlalu, kututup pintu rumahku.
Lalu kutatapi seseorang yang tidur di lantai itu, pria yang sepuluh tahun lalu layaknya suamiku. Ia yang tak kuketahui kapan bisa hadir menemaniku. Jikapun ia ada di rumah, lebih sering tak ada sepatah kata yang mampu keluar dari bibirku. Lebih sering kami terdiam. Atau aku terdiam, menatapinya merokok, minum-minum.
Tubuhnya begitu berat. Susah untuk kupindahkan. Maka seperti biasanya, kuambil selimut dari kamar, kubiarkan ia tertidur di depan pintu. Aku duduk menemaninya di tangga. Menontoninya tidur pulas, seperti itu, meringkuk seperti kucing kecil.