(Cerpen ini dimuat di Koran Tempo, 24 September 2016)
Bila kau membaca
tulisan ini, perlu kau ketahui, ini adalah isi kepalaku yang terekam secara
otomatis ke dalam bentuk tulisan ketika aku menyentuh logam di tanganku. Ini adalah
teknologi kuno di zamanku, tapi di zamanmu mungkin saja berbeda, maka kupikir
perlu dijelaskan. Logam ini kuperoleh dari orang tuaku pada kelahiranku yang
kedua, saat itu umurku seratus dua puluh tahun. Selain merekam, logam ini bisa
menganalisis isi pikiranku dan secara otomatis menerjemahkan sandi keluarga
kami ke dalam bahasa Indonesia.
Serangkaian kejadian menjadi alasan mengapa aku perlu merekam pikiranku
saat ini, dan menyampaikan ini padamu. Dunia sedang bergejolak hebat.
Tubuh-tubuh meledak dalam berita televisi yang disiarkan langsung dari lokasi
kejadian. Dan penyiar televisi yang menyiarkan kejadian itu sekejap kemudian
lenyap. Sebagian penduduk di suatu negara mati karena epidemi. Dataran itu
ditinggalkan penghuninya dan mereka lebih memilih mengapung-ngapungkan diri di
perairan.
Puncaknya, seluruh anggota keluarga kami menerima panggilan untuk berkumpul
di ruang bawah tanah milik keluarga besar. Keluarga besar kami menghuni seluruh
bagian dunia. Dan masing-masing dari kami membawa kekuatan keluarga, simbolnya
berupa sebuah permata dengan bentuk dan warna permata yang berbeda untuk
keluarga di tiap negara.
Separuh anggota keluarga yang terlampir dalam daftar undangan tampak di
ruang bawah tanah itu ketika kami tiba. Mereka tampak gelisah.
Kami adalah keluarga besar dengan perbedaan warna kulit dan rambut dan tak
satu pun dari kami berkewarganegaraan sama. Hampir seluruh anggota keluarga
kami menduduki kursi tertinggi pemerintahan dunia. Kerap kulihat mereka tampil
di pemberitaan media. Kecuali ayah dan ibuku. Di negaraku, entah mengapa,
mereka ditempatkan hanya sebagai mata-mata.
Tak terlampau sering kami berkumpul di ruang bawah tanah berlorong panjang
ini. Ini kali pertama aku diundang serta.