[1]
DINI HARI pada saat aku sedang kehilangan ide untuk kutulis, televisi yang masih menyala tiba-tiba menampakkan bintik-bintik semut di layar, kemudian gambar hilang sama sekali, dan televisi padam. Layar monitor di hadapanku juga padam. Suara musik Tchaikovsky yang sejak tadi kuputar untuk menemaniku menjemput inspirasi mengabur menyatu udara, senyap.
Di luar, kulihat dari jendela, hujan sudah lebat sekali padahal sejam lalu masih gerimis kecil-kecil. Udara dingin menusuk-nusuk padahal aku sedang berada di dalam rumah. Kuperhatikan dengan saksama, bongkahan-bongkahan es jatuh dari langit, membentur jalan aspal di depan rumahku dan atap-atap rumah tetanggaku, BRUK, membentur juga rumahku. Jika bisa bicara, jalan-jalan dan rumah-rumah mungkin akan bilang, mereka merasa kesakitan saat itu.
Kemudian semuanya tiba-tiba gelap. Tak ada celah cahaya, setitik pun. Wanita-wanita yang masih terjaga dari tidurnya dari rumah-rumah sebelah rumahku berteriak histeris menyambutnya. Aku hendak bergegas naik ke kamar istriku untuk membangunkannya yang sedang tertidur pulas bersama Alia dan Jala ketika kudapati suara jejak kaki terburu-buru menuruni tangga.
“Indra? Kamu di sana?” suara istriku, Alea, datang dari arah tangga. Aku hafal betul arah mata angin di rumahku meski tanpa penerangan sekali pun, aku sudah tinggal di sini hampir sepuluh tahun, “Mengapa bisa tak ada cahaya, Yah?”
Dia berjalan tergesa ke arah rak perlengkapan di dapur. Suara gesekan korek dinyalakan, tapi tidak ada api yang menyala. Hingga akhirnya tak satu pun lilin mampu dia nyalakan.
Alia dan Jala berlari ke arahku ketika kupanggil mereka. Masing-masing mereka memelukku erat, gemetar. Aku berharap mereka menanyakan sesuatu tetapi mereka tak bertanya, atau mungkin aku yang tak mampu mendengarnya karena sejak tadi Alia dan Jala menarik-narik lengan kemeja panjangku seolah berusaha meyakinkan aku mampu mendengar suara mereka. Aku pun ternyata tak mampu bersuara. Meski aku berteriak, suaraku tak terdengar sama sekali. Cahaya yang tersedot dan gelombang bunyi yang hilang.
Kami tidak mungkin keluar rumah untuk bertemu para tetangga, batu es dari langit bisa menghantam kepala kami kapan saja. Seketika itu juga aku sadari, hari itu hari pertama kami bisa merayakan ketiadaan presiden, listrik, dan internet di hidup kami.
[2]
SUARA muncul kembali. Batu-batu es yang membentur atap. Kemudian suara hujan. Kemudian suara tetangga yang berteriak-teriak.
Lantai yang kupijak bergetar. Rak-rak di dapur yang membuka menjatuhkan piring-piring, gelas, dan peralatan kecil-kecil kesayangan istriku. Telingaku tiba-tiba peka dan percaya akan ada sesuatu terjun dari atas kepala kami, kutarik Alia dan Jala, lampu hias membentur lantai dan pecahannya menusuk kulitku. Alia dan Jala berteriak. Pecahannya juga mengenai mereka.
Kemudian, suara orang-orang menggedor rumah kami. Suara orang-orang berteriak di jalan. Perintah agar kami turut turun ke jalan, agar kami keluar sebelum rumah kami yang berpondasi dari beton sekali pun rubuh dan menanam kami hidup-hidup.
Aku berteriak kepada Alea yang naik ke kamarnya untuk mengambil barang-barang pentingnya agar cepat turun. Orang yang menggedor-gedor rumahku meneriakkan bahwa tak ada lagi yang bisa mereka lakukan untuk kami, kemudian mereka pergi entah ke mana. Tak ada suara kendaraan apa pun, berarti mereka semua berjalan kaki atau berlari untuk menyelamatkan diri.
“Tangkap!” Alea dari arah tangga melempar tiga mantel ke arahku, sayangnya bukan mantel baja. Aku berpikir tidak mungkin untuk masuk ke dalam lemari dan membuat dua lubang di bawah lemari dan berjalan menenteng lemari ke sana kemari agar tak mati ketika kepalaku dibentur oleh bongkahan es, tidak mungkin juga mengendarai mobilku karena tetangga-tetanggaku sepertinya tak menggunakan mobil mereka.
“Alea, bergegaslah.”
Dia turun dengan tergesa, napasnya yang terengah masih bisa kudengar kerika dia berhadapan denganku. Namun hari itu aku tak bisa melihat wajahnya yang selalu memerah berkeringat pada saat kelelahan.
“Kau gendonglah Alia, Lea. Aku bawa Jala bersamaku.”
Hap. Dia baru saja menggendong Alia bersamanya. Kugenggam tangannya dan kami berjalan keluar rumah.
Benar-benar gelap, langkah-langkah begitu pelan, langkah-langkah tanpa arah tujuan tanpa bantuan indera penglihatan. Kupeluk Jala seerat-eratnya, kugenggam tangan Alea sekuat mungkin.
“Ini yang namanya kiamat ya, Yah?” tanya Jala kepadaku.
Kudiamkan saja, itu kali pertama dalam hidupku aku berusaha meyakinkan diriku agar tak perlu menjawab pertanyaannya dengan apa yang ada di dalam kepalaku.
[3]
“MAU ke mana kita?”
Itu pertanyaan yang sejak tadi kudengar dari orang-orang yang berjalan di sekelilingku selain suara teriakan yang diakhiri dengan suara bedebam tubuh yang rubuh.
Aku mengikuti orang-orang yang bertanya dan terus berjalan. Kami tak tahu arah dan di jalan mana kami berada.
Aku bertanya kepada mereka, “Apa benar tidak ada satu pun mesin kendaraan bisa dihidupkan? Bagaimana bisa?”
Mungkin karena pertanyaanku cukup panjang, mereka tidak mendengarnya dengan saksama. Atau mungkin karena mereka juga tidak tahu. Dini hari itu kami memiliki banyak sekali pertanyaan dan tak satu pun jawaban.
“Ayah, mengapa kau terus bertanya dan tidak menjawab pertanyaan mereka?” untuk meyakinkanku, Jala membisikkannya malam itu.
[4]
ENTAHLAH, katanya kami telah sampai di perbukitan, pada saat sebuah balok es besar tepat membentur bahu kiriku. Mungkin benar juga karena rasanya sejak tadi aku seolah perlu mendaki. Sedang aku tak pernah tahu, pusat daerah di Yogyakarta memiliki bukit. Juga tak tahu seberapa jauh perjalanan yang telah kami tempuh hingga aku dari rumahku di Kaliurang bisa tiba-tiba sampai ke daerah perbukitan. Aku bahkan tak tahu apakah aku menuju ke arah Gunung Kaliurang atau ke arah perbukitan tempat lain. Aku benar-benar buta arah.
“Lalu siapa ketuanya di sini?”
“Hei, Bung! Tidak ada ketua di sini!” seseorang mengumpatku.
“Lalu siapa yang bisa kita dengar kata-katanya?”
“Kau ikuti kata hatimu sendiri!” suara yang sama kembali mengumpat.
“Mengapa kau terus yang menjawab? Mana yang lainnya?”
Hening.
“Kita sudah tidak memiliki presiden. Tidak ada pejabat apa pun lagi. Tidak ada raja. Kita bahkan tidak punya lagi alat komunikasi apa pun, tapi sekarang kita membutuhkan seseorang untuk menyatukan pendapat kita.”
Tetap hening.
“Kita selamat dari keadaan ini bersama, kita pula harus berani mati bersama,” lanjutku.
[5]
AKHIRNYA, kami memutuskan untuk mendaki bukit. Bukit yang aku tak tahu namanya. Untuk apa mendaki, aku juga tidak paham. Dan mengapa aku punya keberanian untuk memimpin sekian banyak orang yang berjalan di belakangku, aku juga tak mengerti. Yang kutahu, selama ini aku hanya bisa berdiam diri dan mengatur karakter-karakter dalam cerita fiksiku saja, tidak pernah sekali pun mengatur manusia yang lalu-lalang di sekitarku.
Aku menghentikan langkahku ketika suara-suara hilang kembali.
Aku berteriak, suaraku tidak terdengar. Air menembus sepatu kulitku dan menyentuh celana kainku. Kukecup dahi Jala dan kuturunkan dia dari gendonganku. Kemudian dia meremas tanganku erat. Aku tidak sedang bermimpi, Pulau Jawa tenggelam.
[6]
KETIKA semua orang berlari menerobos ke atas bukit, aku baru paham bukit apa yang sedang kudaki. Sebagian pulau telah retak dan tenggelam, dataran masih berguncang. Aku memeluk Jala erat-erat di pelukanku, tangan Alea masih di genggamanku. Kami tidak menuju ke mana pun.
Suara-suara tiba-tiba terdengar lagi. Orang-orang meneriakkan sesuatu tentang kiamat. Aku tidak mengerti kiamat macam apa. Ke mana matahari? Ke mana bulan satelit bumi? Mengapa gelap sekali?
“Lalu, apa kita akan mati sekarang?” suara Lea, aku tak tahu sepucat apa wajahnya ketika mengatakan itu.
“Belum.” Kuputuskan untuk ikut terus mendaki ke atas bukit. Tangan Alea masih di genggamanku. Bukit yang licin, kulepaskan sepatuku, kulemparkan ke bawah. Suara sepatu menyentuh perairan, jauh sekali.