SUATU hari seorang bocah
menemukan seorang pria tua sedang duduk di taman di pinggir danau.
Siapa laki-laki itu? Sedang apakah pria
tua itu di sini?
Tetap bertanya-tanya, ia mencoba mendekati
si pria tua. Ia lalu memanjat pohon dan mengintai pria tua itu dari sana.
Sang pria tua duduk di kursi taman,
memegang buku sketsa di tangan. Tangan tuanya masih dengan lincah melukis pada
buku sketsa. Pada lembar yang terlihat, terdapat taman dan danau yang
indah—tetapi lebih indah daripada taman dan danau saat itu. Taman dan danau
yang sama dengan tempat mereka berada.
Di taman dan danau di sketsa itu ada kursi
taman yang persis seperti kursi taman pada kejadian sore itu; seorang gadis
yang duduk di sana, dan seekor anjing kecil menemaninya di sisinya: dengan
lidah menjulur dan ekor bergoyang-goyang cepat. Di langit di sketsa itu,
matahari sedang terbenam. Di sudut sebelah kanan, terdapat tulisan kanji
besar-besar, bertuliskan: Pertemuan.
“Mengapa mengintip saja?” Pria tua itu
berkata, tanpa sebelumnya sempat menoleh ke arah bocah yang sedang
mengamatinya dari atas pohon, “Turunlah, duduklah di sampingku,” lanjutnya.
Mata bocah itu melebar. Iakah yang
dimaksud? Tapi bagaimana bisa pria tua itu mengetahui kehadirannya tanpa
sedikit pun mengalihkan pandang?
“Apa kabarmu?” Pria tua itu bertanya
ketika si bocah sudah turun dan berjalan ke arahnya.
“Ba… baik. Bagaimana Kakek tahu, aku
sedang memperhatikan Kakek dari sana?”
“Duduklah, aku sudah lama tidak berbincang
dengan diriku sendiri.”
Di… dirinya sendiri?
Bocah itu mengambil tempat di sisi
pria tua.
“Kau tahu siapa aku?” Pria tua itu
kemudian bertanya lagi.
Bocah menggeleng, “Bagaimana aku
bisa tahu?”
“Apa kau tidak melihat kemiripan di wajah
kita?”
Bocah itu mengamati. Memang mirip,
sedikit mirip. Lalu apa artinya—terdapat keterkaitan di antara mereka?
“Sungguh-sungguh tak mengenali siapa aku?”
Bocah itu menimbang-nimbang, “Apa
Kakek sedang mempermainkanku?”
Pria tua itu tersenyum, “Pilihlah satu
dari dua kemungkinan. Aku adalah malaikat pelindungmu yang selalu ada di sisimu
ataukah aku adalah dirimu dari waktu yang berbeda. Tebakanmu betul, kuberikan
kau sebungkus manisan cokelat kesukaanmu.”
Pria tua itu mengangkat sebungkus cokelat
dari dalam kopernya yang lusuh lalu meletakkan bungkusan itu di pangkuan si
bocah.
“Kenapa aku harus menebak?”
“Karena aku akan memberimu hadiah jika
tebakanmu betul.”
“Tapi kedua pilihan yang Kakek berikan,
bagiku tidak masuk akal.”
Pria tua itu berdeham sejenak, “Apa kau
tak percaya kepada malaikat pelindung?”
“Kenapa aku harus percaya?”
“Karena mereka ada. Benar-benar ada.
Baiklah, kau membuatku kalah,” ujar si pria tua. “Aku malaikat pelindungmu.”
“Aku tak percaya.”
“Kalau kau percaya, kuberikan sebungkus
manisan cokelat itu cuma-cuma untukmu.”
“Aku tidak menerima makanan dari orang
asing. Terima kasih.” Bocah itu mengembalikan bungkusan merah itu kepada si
pria tua. “Sekarang katakan mengapa Kakek mesti berbohong kepadaku…”
“Setiap anak kecil di usiamu selalu
percaya dongeng tentang malaikat pelindung, mengapa kau tidak?” Pria tua itu
kemudian bertanya.
“Aku bahkan tidak percaya Tuhan.”
“Oh, ya?” Pria tua itu terkesiap,
“Bagaimana bisa? Umurmu berapa, Bocah?”
“Kupikir dunia hanya dikuasai oleh kepala
manusia yang isinya berbeda-beda. Aku hanya percaya hal baik akan selamanya
baik. Aku hanya butuh berkarma baik.”
“Maksudmu? Kau tidak percaya Tuhan tapi
kau percaya agama?”