“APA Papa juga
memperhatikan mereka? Yang berjalan di sana?” Dengan satu tangannya masih
menopang dagu yang bersandar di tembok restoran, matanya asyik melotot
memandangi orang-orang yang berjalan di depan kami. Mulutnya dikerutkannya sejenak,
telunjuk tangan kanan bermain-main di cangkir teh pada meja di depannya.
“Macam-macam orang,” sahutku.
“Orang-orang yang duduk?”
Aku memperhatikan kursi tunggu yang dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu
kereta malam, kemudian kembali memandang ke arahnya, ke arah gadis kecilku yang
telah dewasa, “Hal apa yang kamu minta untuk Papa perhatikan?”
“Lihat betapa mereka yang berjalan kelihatan sangat sibuk. Mereka berjalan
cepat menarik kopernya seolah akan tertinggal kereta, para pengangkut barang
seperti berlari mengejar mereka. Sementara orang-orang yang duduk, mereka
begitu santai menonton televisi atau membaca novel atau bercengkerama dengan
keluarga mereka.”
“Lihatlah, Papa ... mengapa duduk dan berjalan membuat orang terlihat
berbeda?” dia melanjutkan.
“Orang yang berjalan, toh, akan duduk. Orang yang duduk juga akan berjalan.
Bukannya begitu?” mungkinkah dia sedang menggiringku pada topik kegemarannya—menarik-narik
logikaku agar bisa dia pereteli seperti dulu ketika kecil dia gemar
membongkar-pasang mainan-mainannya.
“Aku takut, Pa ... takut sekali untuk harus tinggal sendiri.”
Kutatap matanya, kosong tanpa air mata.
“Kalau aku duduk sendiri seperti ini suatu saat nanti, apa mungkin aku
hanya akan memandangi orang-orang di sekitarku seperti selama ini—tanpa teman untuk diajak berbicara?”
“Bukannya Papa selalu ada buatmu? Kamu bahkan bisa menelepon Papa kapanpun
kamu mau.”
“Mama dulu juga bilang begitu.” Dia menatapku, tersenyum samar, “Lagipula, Papa enggak akan
menemaniku di Jogja. Aku akan tinggal sendiri dan berkuliah dan mencari gelar.
Tanpa Papa. Apalagi Mama.”
“Hanya empat tahun. Kalau kamu rajin, bahkan bisa lebih sebentar lagi.
Kalaupun kamu mau pulang ke rumah kita tiap liburan, dengan kereta atau dengan
pesawat, Papa sanggup membiayainya.”
“Aku yang memutuskan untuk tinggal jauh dari Papa. Sampai kuliahku selesai,
aku tidak akan pulang ke rumah.” Begitu jawabnya, sama seperti tadi di rumah,
sama seperti saat-saat lalu ketika mamanya masih ada untuk melarangnya pergi
jauh dari pelukan kami.
“Jadi, Papa, selama empat tahun ini mungkin aku akan berjalan saja,”
tutupnya, karena setelahnya bergaung panggilan dari arah kereta untuk para
penumpang. Dia menggendong ranselnya dan menggiring kedua kopernya. Kupandangi
kepergiannya dari kursiku. Entah dia yang bertambah kuat semakin dia tumbuh
dewasa atau aku yang bertambah lemah sehingga tak mampu berdiri untuk sekadar
memeluknya atau mengantarnya ke kereta.
MUNGKIN
keberangkatannya ke Yogyakarta malam tadi yang membuatku bermimpi buruk dan
terbangun pukul satu pagi. Kuambil kaca mata di meja di samping tempat tidur,
menyampirkan selimut, dan berjalan menuju kamarnya.
Dia putriku satu-satunya tapi sejak kecil dia tak pernah betah berada di
lindunganku maupun mamanya. Kakaknya pun demikian. Mereka tak pernah bekerja
sama untuk saling melindungi, apalagi memahami.
Kakaknya yang laki-laki memilih ikut mamanya dan istriku membiarkanku
merawat putrinya. Katanya, supaya adil. Katanya, karena sifat putriku sangat
mirip denganku. Lalu bagaimana dengan putraku? Akankah istriku mendidiknya
menjadi banci?
Aku masih ingat masa-masa ketika Andreas masih kecil, aku mengajaknya
belajar bersiul di teras. Siulan pertamanya entah lagu apa. Dan sejak itu, dia
selalu bersiul-siul di tempat lapang. Setelah dia bosan bersiul, dia memintaku
untuk mengajarinya bermain gitar. Dia seketika menguasainya dan dia dengan
cepat jadi lebih mahir bermain gitar ketimbang papanya.
Dulu mereka selalu melihatku bertengkar dengan istriku. Andreas pulang
dengan santai dari kegiatan kuliahnya, melewati aku dan mamanya yang sedang
berkelahi, sementara Diandra mengetuk-ngetuk pintu kamar kakaknya dan duduk di
sana sampai kemudian mendapati kakaknya baru pulang dari kegiatan kuliah.
Andreas akan melotot dan menyuruh adiknya tidak mengganggunya. Dia capek
dengan kuliahnya. Kami capek dengan kegiatan kami. Dan Diandra akan berlari ke
kamarnya, membanting pintu, lalu menangis.
Andreas akan menoleh ke arahku dan istriku, memasang tatapan protes. Tapi
kami tidak akan memedulikannya. Dia, toh, sudah cukup dewasa untuk mengerti
bahwa perkelahian di rumah tangga adalah hal yang wajar dan sepele.
“Mama tadi keluar dengan siapa?”
“Kenapa Papa tanya begitu tiap hari?” dia masih mengenakan seragam
kerjanya, tas kerjanya ditentengnya di tangannya.
“Saya suamimu, Lis.”
“Saya bekerja dan kamu tidak,” tukasnya.
Aku tahu dia pasti lelah karena bekerja dari pagi sampai sore bahkan kadang
melembur tidak pulang. Tapi entah apa dia mengerti bagaimana perasaanku. Sejak
kecil aku bercita-cita menghidupi keluargaku, menjadi ayah yang baik untuk
anak-anakku. Salah siapa kalau aku tiba-tiba di-PHK? Salah siapa kalau aku
menganggur dan tak bekerja?
“Tapi saya dulu bekerja!”
“Saya dulu tak pernah tanya kenapa kamu pulang malam dan mabuk.”
“Jadi sekarang giliranmu untuk balas dendam? Kamu ke mana saja? Kerja apa kamu
sampai pagi begini?”
“Pertanyaanmu nggak jelas, To! Saya capek. Saya mau tidur!”
“Kita suami-istri. Mana waktumu untuk saya? Kamu enggak pernah memasak
untuk saya dan anak-anak. Hari libur pun kamu enggak di rumah!”
“Saya bekerja dan kamu tidak. Apa itu kurang jelas?”
“Lis! Dengar saya!”
“To, saya sudah bekerja untuk keluarga kita. Selama ini saya sudah
melakukan semua kewajiban saya sebagai ibu yang baik. Sedang kamu hanya
merokok, minum minuman keras dan mabuk, anak-anakmu kamu biarkan mengurus
hidupnya sendiri. Sekarang saya yang mengurusi mereka, uang jajan mereka, biaya
sekolah mereka, segala-galanya. Saya capek dan kamu bisa kembali merokok dan
minum sesukamu. Saya mau tidur!”
“Lis! Saya sudah berhenti merokok! Saya sudah nggak minum lagi!”
“Oh, bagus. Tapi kau main dengan pelacur!”
Kutarik tangannya lalu kutampar pipinya, “Jaga ucapanmu!”
“Kau yang jaga tanganmu!” dia berteriak lantang.
Ditendangnya perutku dengan hak sepatunya yang runcing, kemudian dia
melangkah cepat menuju kamar. Kukejar langkahnya lalu kutarik tangannya dan
kuhempaskan dia ke lantai. Dia berteriak memanggil nama kedua anaknya.
Malam itu aku menampar-nampar pipi dan menjambak rambutnya seperti orang
kesurupan. Belum puas, kuseret dia ke arah toilet dan kutumpahkan kepalanya ke
dalam bak mandi. Dia meringis dan berteriak. Dia memukul-mukul dadaku,
menendangku. Kami saling jambak, saling membenamkan kepala ke bak mandi.
“Apa salah saya? Kenapa saya harus menikah denganmu?” sampai akhirnya dia
menangis di hadapanku malam itu. Aku tiba-tiba sadar dan berulang kali meminta
maaf darinya.
“Lis, bukan maksud saya seperti itu. Kamu tahu, saya pasti sedang khilaf
tadi. Lis..”
Tapi dia terus menangis sepanjang malam dan kami tidak tidur selama itu.
Keesokan harinya di meja makan, saat aku sedang mengolesi roti tawarku
dengan selai kacang, dia menyuguhkan segelas teh tawar hangat untuk kami
berempat, pipinya biru lebam dan kata-kata yang keluar dari bibirnya lebih
mirip sengauan ketimbang kepastian, “Mas Anto, saya pikir kita lebih baik cerai
saja.”
Dan mungkin memang begitulah yang terbaik karena entah kenapa proses
perceraian kami berjalan lancar, kami saling bertukar anak; aku memeroleh
pekerjaan sebulan kemudian, menjadi editor di sebuah koran nasional untuk
meliput berita kriminal, masa depan Diandra aman bersamaku.
“AKU akan kuliah
Teknik Nuklir, Papa.” Hingga dia bilang begitu kepadaku suatu hari.
“Papa pikir kamu ingin jadi dokter?” Kutinggalkan kliping-kliping dan
naskah yang berserakan di lantai, menuju dia yang berdiri di pintu ruang
kerjaku.
“Aku sudah mendapatkan beasiswa penuh. Kupikir aku lebih baik tidak
merepotkan Papa dengan biaya kuliahku,” ujarnya mantap.
“Beasiswa penuh?”
“Dan setahun lagi, di tahun keduaku, aku akan cari beasiswa ke luar
negeri.” Kata-katanya semakin optimis, “Prospek di Teknik Nuklir cukup
menjanjikan untuk beasiswa penuh ke luar negeri.”
“Tapi apa cita-citamu memang untuk menjadi ahli nuklir?”
“Aku akan senang bekerja di industri, Papa. Papa kuliah Ekonomi dan bukan
Kriminal, kenapa tiap hari Papa bekerja dengan urusan kriminal? Apakah tempat
kerja kita ditentukan oleh konsentrasi pendidikan kita?”
“Bukan karena beasiswa penuh. Papa mungkin, pikirmu, tidak cukup uang untuk
membiayai kuliahmu, tapi apa kamu bisa sedikit lebih bijaksana dengan hidupmu?
Dengan masa depanmu?”
“Apa Papa di masa muda Papa dulu dibebaskan oleh orang tua Papa untuk
memilih masa depan Papa?” Dia mendebatku.
Dia mengerti arti dari sunyi yang muncul setelah pertanyaannya, maka dia
melanjutkan, “Orang tua yang baik memang akan selalu mengira anaknya masih
balita dan harus diatur mesti ke mana dia mengejar cita-citanya.”
Kata-katanya barusan terdengar sadis sekali di telingaku. Dia
mengucapkannya dengan nada kemarahan yang intelek. Nada seorang komunikator ulung.
“Kupikir, seandainya aku memilih untuk tidak lahir di tempatmu, mungkin aku
tidak akan punya kedua orang tua yang bercerai. Bayangkan seandainya aku anak
orang lain, apa Papa masih bisa mengaturku?
Kupikir, aku memiliki jiwaku sendiri. Akulah yang mengatur harus ke mana
aku melangkah. Apa sebelum aku lahir, jiwa kita sudah saling mengenal? Bolehkah
Papa mengatur jiwaku?”
“Dan aku tidak akan meminta biaya kuliah sepeser pun dari Papa. Papa boleh
tenang untuk itu. Aku juga tidak akan meminta dari Mama. Aku tidak akan
memihak.”
Aku tidak tahu kenapa masih ada nada kemarahan yang kental teraduk dari
tiap kata-katanya. Aku tidak tahu seberapa menyakitkannya memiliki kedua orang
tua yang bercerai. Aku tak pernah menjadi dia. Tapi apa dia pernah sedikit saja
membayangkan – bagaimana seandainya jika aku memilih tak mengadopsinya?
Yakinkah jiwanya akan memiliki tempat untuk tinggal sampai usia belianya?
KAMARNYA
menyimpan segala kenangan tentangnya. Termasuk masa-masa kecil Andreas dan
Diandra. Diandra kuadopsi dari panti asuhan. Setelah Andreas sudah berumur
sembilan tahun, Lis merasa kesepian karena cita-citanya semula untuk memiliki
seorang anak perempuan yang tak pernah kesampaian. Kami mengecek ke dokter,
ternyata aku steril. Kami berkelahi habis-habisan selama semalam mengenai hal
ini. Lalu bagaimana Lis bisa hamil bayi Andreas?
Lis tak tahu-menahu tentang itu. Dipikirnya dia hamil karena aku.
“Aku melakukan itu denganmu saja, To.”
“Tidakkah kamu ingat pernah melakukannya dengan laki-laki lain?”
Dia tak henti-hentinya menangis malam itu. Andreas yang masih berusia
sembilan tahun asyik bermain dengan nintendo-nya.
“Aku diperkosa!” kemudian dia berteriak. Andreas sampai menoleh memperhatikan
pertengkaran kami.“Aku diperkosa sehari sebelum kamu datang ke rumah untuk
melamarku!”
“Bagaimana aku tahu kamu tidak sedang membohongiku?” seolah tak memiliki
perasaan, aku memuntahkan kalimat itu kepadanya. Janji untuk saling percaya,
seketika terlupakan.
Seketika dia memelukku, “Anto... maaf.” Jadi keberuntungan itu
menggiringnya untuk bahkan tak perlu tahu-menahu bahwa selama enam tahun ini
dia menikahi seorang pria mandul.
Dan keesokan harinya kami memutuskan untuk menghubungi staf bagian adopsi
anak di Yayasan Sayap Ibu. Kami dibuatkan janji untuk konsultasi dengan
pengurus yayasan dan Lis mengurus semua surat dan akta untuk kelengkapan proses
pengadopsian Diandra.
Waktu kami datang ke panti beberapa minggu kemudian, orang-orang di sana
sedang meributkan seorang bayi mungil yang katanya baru ditemukan di tong
sampah di dekat daerah rukun tetangga panti. Kami ikut memperhatikan bayi
mungil itu. Kulitnya seputih salju dan hidungnya mancung. Ketika aku
mendekatinya, dia tersenyum ke arahku. Aku heran kenapa orang tuanya tega
membuangnya ke tong sampah. Dia bayi yang sangat manis.
Bahkan Andreas pun sangat senang berada di dekat bayi itu, “Siapa dia, Pa?”
waktu itu Andreas bertanya.
“Dia adikmu, Nde. Mamamu baru saja melahirkannya,” ujarku.
“Tapi Mama enggak pernah hamil?”
“Mama ikut program bayi tabung. Kalau Mamamu hamil lagi susah, Nde, perlu
operasi. Waktu kamu lahir juga lewat jalan operasi. Mamamu benci dioperasi.”
“Siapa nama adikku, Pa?”
“Dian.. seperti nama tantemu yang meninggal dulu. Namanya Diandra.”
ENAM tahun
kemudian, kejadian lain lagi menimpaku.
“Papa baru saja di-PHK.”
Gerak sendok di tangan Lis berhenti. Andreas dan Diandra memelankan
kunyahannya.
“Bank tempat Papa bekerja di-merger dengan bank lain. Papa sudah
tidak dibutuhkan lagi untuk bekerja di sana.”
“Tapi Papa bekerja dari pagi sampai malam. Papa tidak mungkin di-PHK!” Lis
menukas.
“Mungkin teman-teman Papa bekerja dari pagi sampai pagi lagi.” Kucoba untuk
menerima kenyataan ini dengan bijaksana.
“Papa sudah bekerja selama dua puluh tahun di sana! Papa sudah mendapatkan
banyak penghargaan. Bagaimana mungkin Papa di-PHK?” tuntut Lis. ”Apa Papa tidak
akan melaporkan ini ke Komnas HAM?”
“Lis, sudahlah. Mungkin memang harus begini jalannya.”
“Pa!”
“Lis, saya capek dengan hidup saya. Biarkan saya lepas dari semua tuntutan
ini dan saya tak perlu banyak bekerja. Tabungan saya bisa mencukupi kebutuhan
kita sehari-hari. Percayalah, Lis.” Kucoba meyakinkannya.
“Tapi, Pa.. orang yang sudah kaya turun-temurun pun juga membutuhkan
pekerjaan.”
“Saya tak perlu kaya turun-temurun untuk tahu bahwa saya tak perlu bekerja
lagi jika saya sudah payah.” Kudorong kursiku ke belakang dan kutinggalkan
ruang makan.
Diam-diam, di kamar, aku menghabiskan berkotak-kotak rokok kretek yang baru
tadi siang kubeli di warung.
Mulai saat itu, hidupku berputar seratus delapan puluh derajat. Aku menjadi
perokok dan tiap hari keluar malam mencari pekerjaan di diskotek. Istriku tak
pernah marah ataupun mengeluh. Beberapa bulan setelah kejadian itu, dia
tiba-tiba langsung mendapatkan pekerjaan padahal selama ini ketika aku masih bekerja,
dulu pekerjaannya hanyalah mengurusi Andreas dan Diandra di rumah. Namun saat
itu, dia bilang, dia diterima menjadi sekretaris bos besar di sebuah perusahaan
besar yang dia rahasiakan di mana tempatnya.
Aku mengiyakan dia ikut-ikutan pulang malam atau pagi atau bahkan tak
pulang. Kupikir Andreas sudah cukup dewasa untuk tahu diri bahwa dia mesti
menjaga dan membimbing adiknya di rumah meski aku dan mamanya tak pernah ada
untuk menemani mereka.
SUATU malam, ketika
pulang dari acara minum-minum dengan wanita-wanita sewaanku dan beberapa
temanku yang patungan membayar wanita sewaan malam itu, aku melihat Andreas dan
Diandra sedang makan di pinggir jalan. Mereka duduk lesehan. Di sebelah Andreas
ada gitar yang direbahkan dan di sebelah Diandra ada kincringan dan sebotol air
mineral.
Karena belum mabuk benar, aku berjalan mendekati pedagang soto tempat
Andreas dan Diandra makan, “Mas, itu anakku berdua. Enggak tahu kenapa mereka memilih
mengamen malam-malam. Aku di sini mengawasi mereka, ya. Kamu suruh aku cuci
piring juga boleh.”
Pedagang soto itu memperhatikanku, mungkin dia sangat familiar dengan bau
alkohol dan bekas asap rokok dari mulutku, hampir saja dia bilang tidak, aku
langsung mengamit piring-piring kotor di dekatnya dan membawanya ke ember
cucian, “Sudahlah. Anggap saja boleh.”
Dari sana kemudian aku mencuri dengar percakapan kedua anakku.
“Sudah terkumpul berapa hari ini, Di?” Andreas bertanya ke adiknya.
“Tujuh puluh ribu, Kak.”
“Uang sekolahmu kurang berapa?”
“Aku dapat potongan beasiswa dari sekolah karena dapat juara umum dua. Paling-paling uang ini bisa Kakak pakai untuk biaya kuliah Kakak mulai tahun depan saja dulu. Kita menabung biar Kakak bisa kuliah.”
“Yakin enggak apa? Untuk jajanmu sehari-hari?”
Diandra terkekeh, “Kan, bisa mengamen lagi untuk urusan itu. Mana yang
lebih penting, mending itu yang
didahulukan.
Kakak pasti butuh uang itu.”
“Aku memikirkan, kenapa hidup kita jadi seperti ini, Di.”
“Tapi aku senang, Kak. Banyak orang yang benar-benar sendiri dalam
hidupnya. Ke mana-mana harus sendirian, mengatur hidup sendiri, menangis
sendiri, tanpa teman, tanpa siapa-siapa. Tapi aku bisa punya Kakak di sini.
Kita sama-sama mengamen, Kakak mengajariku pelajaran-pelajaran yang susah aku
mengerti di sekolah, kita seharian bareng-bareng, makan lesehan sama-sama.
Mengobrol seperti ini. Mungkin suatu saat enggak akan ada saat-saat seperti ini
lagi.”
Senyum Diandra malam itu membuatku merasa beruntung pernah mengadopsinya.
“Apa enggak seharusnya kita punya kehidupan yang lebih baik? Kamu cerdas ...
dan mungkin hanya karena masalah ini kamu enggak bisa
melanjutkan kuliahmu. Seperti Kakakmu ini.”
“Kita enggak boleh mendahului Tuhan, Kak. Jangan bilang Kakak enggak bisa
sebelum Kakak mencobanya. Jangan menyerah sebelum semua kesempatan Kakak coba.”
“Tapi biaya kuliah ini, Di ... cita-cita Kakak sejak kecil ... Kamu, kan,
tahu biaya kuliah sekarang mahal. Kamu tahu bangsa kita lagi krisis. Di
mana-mana orang-orang ribut soal nilai rupiah yang turun habis-habisan.
Petrus-petrus berkeliaran. Salah omong sedikit, langsung tembak. Masyarakat
kita semakin kacau.
Kehidupan keluarga kita juga jatuh ke titik terendah setelah Papa di-PHK.
Sedangkan Mama kita hanya kerja untuk uang makan kita sehari-hari, Papa enggak
kerja, tiap hari mengambil uang jajan kita. Kakak enggak kuat, Di. Enggak tahu
kenapa ini harus terjadi pada kita.” Andreas mendorong piring sotonya,
merebahkan kepalanya di meja.
“Ada orang yang kehidupannya lebih susah dari kita, Kak. Dan mereka lebih
semangat untuk meraih masa depannya. Di sekolah, aku ikut tim PMR, aku ikut tim
membantu anak-anak kecil yang butuh belajar membaca dan menulis. Mereka bahkan enggak
punya kesempatan untuk sekolah. Mereka tidur di kolong-kolong jembatan.”
“Tapi masa depan kita seharusnya lebih cerah dari itu, Di. Kamu enggak
seharusnya menyamakan dirimu dengan mereka.”
“Tapi aku enggak akan kuat untuk menyamakan diriku dengan anak-anak yang
bernasib beruntung untuk lahir di keluarga kaya. Ke mana-mana diantar jemput
sopir, naik mobil mahal, sekolah di tempat bagus, bisa belajar apa pun yang
mereka mau karena orang tua mereka punya banyak uang untuk membiayai
kursus-kursus dan segala embel-embelnya yang kelihatan bisa mencerdaskan mereka
dengan instan. Mereka bahkan bisa kuliah ke luar negeri tanpa perlu bantuan
beasiswa pemerintah. Kita enggak perlu menyamakan diri kita sama mereka, Kak.
Karena kalau aku melakukan itu, besok saja aku sudah akan memutuskan untuk
bunuh diri.”
Mendengar kata-kata Diandra, bukan Andreas saja yang dibuat terdiam. Aku
juga turut ikut merasa bersalah. Seandainya Diandra tidak kuadopsi saat itu,
mungkin saja dia akan diadopsi oleh keluarga kaya dan seharusnya nasibnya tidak
seperti ini.
“Kamu tahu, Kak? Aku mungkin masih terlalu kecil untuk bilang begini.”
Aku menanti kata-kata Diandra selanjutnya. Entah apa yang akan diucapkan
gadis delapan tahun itu.
“Aku pikir, apa yang terjadi di hidupku hari ini, akan berarti untuk
hidupku di masa depan mungkin saat umurku tujuh belas atau malah ketika umurku
tujuh puluh tahun. Kesulitan apa yang menimpa kita sekarang, mungkin akan
berarti untuk kita di masa depan kalaupun Kakak lihat tidak berarti untuk saat
ini.
Tapi aku lihat, kesulitan hidup kita sekarang membuat kita semakin kuat.
Dan membuat kita semakin dekat.”
Andreas memegang bahu Diandra dan mengusap rambut Diandra, “Kakak masih kepikiran dengan jalan hidup gadis
sepertimu.”
“Semuanya akan baik-baik saja, Kak.”
Mulai malam itu aku memutuskan untuk berhenti merokok, untuk menghentikan
pergaulanku dengan teman-temanku di diskotek, untuk berhenti minum-minum, untuk
belajar lagi memeroleh pekerjaan, untuk memeroleh uang dan mengumpulkannya demi
masa depan kedua anakku.
Aku heran
mengapa setelah itu kedekatan antara Andreas dan Diandra merenggang. Seolah ada
tali tak kasat mata di antara mereka yang telah terputus. Setelah Andreas
kuliah, mereka tak pernah lagi kulihat berbicara bersama. Andreas disibukkan
dengan kegiatannya dan seolah ada jarak yang memisahkan mereka sekalipun mereka
saling bertemu di meja makan saat kami makan bersama.
BUNYI telepon dari
arah ruang tamu mengagetkanku dari lamunanku. Masih beberapa lama telepon
berdering dan aku tetap berjalan menuju ke arah ruang tamu untuk menerima
panggilan-entah-dari-siapa itu. Namun beberapa meter sebelum aku sampai, telepon sudah
berhenti berdering. Dan kini giliran ponsel yang kuletakkan di kamar tidurku
berbunyi dari kejauhan. Aku bergegas berjalan memutar arah menuju kamarku.
Entah kenapa aku menjadi sangat lemah akhir-akhir ini.
“Halo, Pa,” ujar
suara dari seberang.
“Ini Andreas, Pa. Andreas.”
“Oh, halo, Andreas. Ada apa? Apa kabarmu, Che?”
Suara di seberang sana berisik sekali.
“Kabarku baik, Pa. Diandra ada di sana?” Andreas bertanya.
“Dia baru saja berangkat ke Jogja via kereta tadi malam.”
“Oh, bagus! Soalnya aku melihat seseorang mirip Diandra di sini, Pa. Aku
pikir itu pasti memang dia. Ma kasih, ya, Pa. Aku harus cepat-cepat menghampiri dia,
sebelum dia pergi.”
Kulihat jam dinding. Sudah pukul lima pagi. Baru kusadari, ternyata hampir
empat jam aku melamun di kamar Diandra. Syukurlah Diandra sudah tiba di Yogyakarta
dengan selamat.
“Nak ...
tunggu sebentar.”
“Iya, Pa? Dia lagi menyeberang. Tunggu, tunggu. Aku harus panggil dia.”
Di, Di!—Diandra, Diandra.—kudengar suara
teriakan Andreas memanggil nama adiknya.
“Andreas ... Papa perlu menyampaikan hal ini padamu. Jangan tutup
teleponnya dulu.”
“Oh, oke, Pa. Bilang saja. Aku ngedengerin,
kok.”
Suara di seberang semakin ribut, suara orang-orang menawarkan taksi atau
tumpangan lainnya semakin terdengar.
“Aku baru selesai makan angkringan di dekat sini dan tiba-tiba aku melihat
seseorang mirip Diandra. Dan dia sedang jalan di depanku. Dari tadi kupanggil-panggil
susah sekali.”
Suara Andreas yang terengah-engah seolah menunjukkan ketergesaannya
mengejar adiknya yang katanya berjalan mendahuluinya di depannya.
“Diandra!” “Hei, Diandra!”
“Diandra!” Hingga suara panggilannya untuk ketiga kalinya
menjadi berbeda …
“Diandraaaaaaaaaaa!”
Suara bising. Suara tabrakan. Suara kaki-kaki yang berlari dan
sepatu-sepatu yang menapak beton dengan keras.
“Diandraa!” Andreas terdengar berteriak.
Entah ke mana dijatuhkannya ponselnya, suara sekitar semakin samar-samar.
Bunyi gemerisik. Pasti Andreas memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya atau
saku kemejanya, pakaian wajibnya.
“Kecelakaan, ya?”
“Iya, ditabrak taksi sepertinya.”
“Sopirnya mabuk mungkin.”
“Mungkin saja begitu. Taksinya sudah kabur. Lalu laki-laki itu siapanya? Orang sok kenal sok dekat?”
Suara orang-orang berbicara.
“Andreas ...” aku memanggil-manggil putraku, “Kamu di sana?”
“Darahnya banyak habis, ya, sepertinya?”
“Untung ambulans segera datang.”
“Siapa yang golongan darahnya kira-kira sama dengan dia?”
“Saya ... saya pasti sama dengannya. Kami saudara kandung.”
Andreas terdengar menawarkan diri.
Dari kejauhan aku ingin menyampaikan kalimat yang sejak tadi tak sempat
kusampaikan. Hingga akhirnya pembicaraan terputus karena mungkin kehabisan
pulsa.
Mungkin di rumah sakit, Andreas akan menyadari bahwa Ibunya bergolongan
darah O, Ayahnya bergolongan darah B, dia bergolongan darah A, dan adiknya
bergolongan darah AB. Sesuatu yang tak sempat aku dan istriku sampaikan secara
langsung kepada mereka berdua. [*]
Oya salam kenal,komentar anda saya tunggu di blog saya yang masih baru...trims
ReplyDelete