“APA Papa juga
memperhatikan mereka? Yang berjalan di sana?” Dengan satu tangannya masih
menopang dagu yang bersandar di tembok restoran, matanya asyik melotot
memandangi orang-orang yang berjalan di depan kami. Mulutnya dikerutkannya sejenak,
telunjuk tangan kanan bermain-main di cangkir teh pada meja di depannya.
“Macam-macam orang,” sahutku.
“Orang-orang yang duduk?”
Aku memperhatikan kursi tunggu yang dipenuhi oleh orang-orang yang menunggu
kereta malam, kemudian kembali memandang ke arahnya, ke arah gadis kecilku yang
telah dewasa, “Hal apa yang kamu minta untuk Papa perhatikan?”
“Lihat betapa mereka yang berjalan kelihatan sangat sibuk. Mereka berjalan
cepat menarik kopernya seolah akan tertinggal kereta, para pengangkut barang
seperti berlari mengejar mereka. Sementara orang-orang yang duduk, mereka
begitu santai menonton televisi atau membaca novel atau bercengkerama dengan
keluarga mereka.”
“Lihatlah, Papa ... mengapa duduk dan berjalan membuat orang terlihat
berbeda?” dia melanjutkan.
“Orang yang berjalan, toh, akan duduk. Orang yang duduk juga akan berjalan.
Bukannya begitu?” mungkinkah dia sedang menggiringku pada topik kegemarannya—menarik-narik
logikaku agar bisa dia pereteli seperti dulu ketika kecil dia gemar
membongkar-pasang mainan-mainannya.
“Aku takut, Pa ... takut sekali untuk harus tinggal sendiri.”
Kutatap matanya, kosong tanpa air mata.
“Kalau aku duduk sendiri seperti ini suatu saat nanti, apa mungkin aku
hanya akan memandangi orang-orang di sekitarku seperti selama ini—tanpa teman untuk diajak berbicara?”
“Bukannya Papa selalu ada buatmu? Kamu bahkan bisa menelepon Papa kapanpun
kamu mau.”
“Mama dulu juga bilang begitu.” Dia menatapku, tersenyum samar, “Lagipula, Papa enggak akan
menemaniku di Jogja. Aku akan tinggal sendiri dan berkuliah dan mencari gelar.
Tanpa Papa. Apalagi Mama.”
“Hanya empat tahun. Kalau kamu rajin, bahkan bisa lebih sebentar lagi.
Kalaupun kamu mau pulang ke rumah kita tiap liburan, dengan kereta atau dengan
pesawat, Papa sanggup membiayainya.”
“Aku yang memutuskan untuk tinggal jauh dari Papa. Sampai kuliahku selesai,
aku tidak akan pulang ke rumah.” Begitu jawabnya, sama seperti tadi di rumah,
sama seperti saat-saat lalu ketika mamanya masih ada untuk melarangnya pergi
jauh dari pelukan kami.
“Jadi, Papa, selama empat tahun ini mungkin aku akan berjalan saja,”
tutupnya, karena setelahnya bergaung panggilan dari arah kereta untuk para
penumpang. Dia menggendong ranselnya dan menggiring kedua kopernya. Kupandangi
kepergiannya dari kursiku. Entah dia yang bertambah kuat semakin dia tumbuh
dewasa atau aku yang bertambah lemah sehingga tak mampu berdiri untuk sekadar
memeluknya atau mengantarnya ke kereta.