(I)
JADI ceritanya dia sama sekali tidak lapar. Seharian sejak dari rumah hingga
dia memutuskan untuk pergi jalan-jalan di tengah hari, dia mengunci mulut untuk
tidak bicara juga tidak makan apa pun.
Siangnya, hujan turun begitu lebat. Dia berjalan tanpa payung. Arus air
yang menuju ke bawah berlawanan dengan langkahnya yang menanjak ke atas.
Ditendangnya aliran air itu. Berkecipratan.
Ingin sekali dia berjalan dengan memejamkan mata atau merentangkan tangan
seperti yang biasa dia imajinasikan sejak kecil.
Ada sesuatu pada hujan yang selalu merenggut orang-orang yang dia kasihi.
Sesuatu tentang hujan yang selalu menyita kenangan-kenangannya. Hingga setiap
hujan tiba, dia kembali teringat akan orang-orang yang dia kasihi juga
kenangan-kenangan yang sekian lama disita oleh waktu. Hingga dia selalu ingin
hujan tak pernah berhenti dan dia bisa terus merentangkan tangan di sepanjang
perjalanan pulang.
Sama seperti hari ketika ibunya meninggal, hujan turun begitu lebat. Sama
seperti saat itu, dia menyusuri jalan dengan merentangkan tangan, sejak keluar
dari kamar mayat rumah sakit hingga rumah. Seperti itulah kini dia
mengulangnya.
Dia sampai di gerbang rumah. Tempat yang tanpa siapa-siapa karena kini
hanya tinggal dia yang mengisi ruangan-ruangan itu. Rumah yang tanpa denyut,
tanpa napas. Kosong.
Dibukanya pintu rumah. Tidak ditutupnya lagi. Tidak dipedulikannya keadaan
rumah yang begitu berantakan. Dia berjalan ke arah kamar mandi, menyalakan
keran air. Sementara air memenuhi bathtub, dia mengambil semua
berkas-berkas di lemari, ijazah-ijazah sejak SD hingga dia lulus dengan gelar
magister.
Dibawanya semua berkas itu turut bersamanya ke arah dapur. Dinyalakannya
kompor gas di dapur lalu dibuangnya satu per satu semua berkas itu ke atas api.
Tidak dimatikannya kompor gas itu. Lalu dia berjalan ke arah kamar mandi. Bathtub
sudah dipenuhi air. Dituangnya sebotol cairan pembersih lantai kamar mandi
ke dalam bathtub.
Dia melangkah keluar lagi, menuju ke arah kamar. Mengambil kertas dan
menuliskan sesuatu. Setelah beberapa saat, dimasukannya kertas itu ke dalam
amplop.
Teruntuk Clara. Ditulisnya di sudut kanan atas permukaan amplop. Kemudian diletakkannya
amplop itu di atas meja baca. Setelah itu, dia membuka laci dan lalu mengambil
sebuah pisau lipat, dibawanya menuju ke kamar mandi.
“TY?” Seorang gadis memanggil-manggil dari arah gerbang yang tergembok.
Dilihatnya pintu rumah Ty tidak terkunci. Terasa janggal karena tidak biasanya
Ty lupa mengunci pintu rumah jika dia sudah menggembok pagar.
“Mungkin dia sedang tidur?” Pria di sebelah gadis itu berpendapat. Si gadis
menoleh dengan enggan lalu menggelengkan kepala. Tidak mungkin Ty tertidur dan
lupa mengunci pintu.
“Kecurigaanmu berlebihan, Clar.” Pria itu melanjutkan.
“Kartu-kartuku tak pernah salah, Ar.” Clara menjawab.
“Aku harap kali ini salah.”
Gadis itu sejenak menarik napas, “Aku juga.”
Tapi asap muncul dari arah belakang rumah. Bagian belakang rumah di hadapan
mereka dilalap api yang mengganas.
ORANG-ORANG telah
membantu mereka dengan memadamkan api dan menyirami sepenjuru rumah dengan
berember-ember air. Di luar begitu ramai dan di hadapan mereka, mayat Ty memerah di dalam bathtub. Cairan yang entah apa
menggumpal-gumpal dan terapung di atas air. Aria memeluk Clara. Gadis itu
menangis di bahu Aria.
Ketika mayat Ty diangkat, Clara berteriak. Aria refleks menghalangi penglihatan
Clara dengan tangan kanannya. Sementara dia melihat tubuh Ty yang membeku.
Bagian bawah tubuh jenazah Ty berwarna merah keunguan. Darahnya mengendap
searah dengan arah gravitasi bumi, tanda bahwa jantung Ty sudah tidak lagi
berdetak, sudah tidak lagi memompa darah.
“Itu mayat, Ar?” Clara bertanya terbata.
“Itu mayat.” Aria menarik Clara semakin erat ke dalam pelukannya, “Itu Ty.”
Clara,
Kamu tahu betapa lelahnya aku menjalani hidup.
Tanpa siapa-siapa menemaniku di sisiku. Aku tahu kamu mungkin tidak akan pernah
menyadari kelelahanku menyimpan jiwa seorang anak-anak di dalam diriku.
Ketakutanku melewati jalan-jalan baru. Dan aku terlalu takut untuk terus hidup.
Sendiri dan tanpa arah tujuan. Bisakah kamu bayangkan rasanya hidup seperti
itu, Clar?
Air mata Clara terjatuh di atas kertas itu. Aria membelai rambut Clara dan
lalu mengecup ubun-ubunnya, “Semuanya akan baik-baik saja.”
PAGI itu musik mengalun di telinganya.
I'm so tired of being here …
Saat lagu dimulai, dalam bayangannya, ada hari di mana Ty menangis di
hadapan nisan ibunya dan Clara menemaninya. Mereka terpaku bahkan hingga hujan
turun dan menggenangi tempat Clara berdiri, sementara Ty tetap bersimpuh di
sisi nisan. Setia menangis di sana.
Suppressed by all my childish fears
Hari di mana Ty lulus sarjana dengan cum
laude tetapi tak ada ibunya menemaninya. Tentang cerita Ty bahwa dia
terlalu takut untuk mewujudkan mimpi seorang diri. Namun hari itu dia
mengalaminya. Untuk harus merasa bahagia meski baru pada hari sebelumnya dia
kehilangan ibunya.
And if you have to leave, I wish that you would just leave
Cause your presence still lingers here
And it won't leave me alone
Saat-saat ketika mereka bersama. Melempar bantal dan meramal dengan kartu
tarot. Berjalan-jalan di pantai, tiduran di atas bukit di dekat pantai lalu
bergantian memandangi awan yang berarakan dan ombak yang berkejaran.
Menunjuk-nunjuk sesuatu yang entah apa di langit dan di lingkar laut.
Membayangkan persahabatan mereka selama bertahun-tahun. Sesuatu yang hilang dan
membuatnya merasa sendiri.
These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time cannot erase
Luka yang tak akan tersembuhkan. Cakra di dalam kepalanya berputar-putar
ketika jenazah Ty yang dibungkus kain kafan diangkat lalu disemayamkan di dalam
liang kuburan. Diam-diam dia berharap jenazah itu akan bangkit. Akan bernapas
dan meneriakkan namanya.
When you cried I'd wipe away all of your tears
When you'd scream I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have all of me
Dulu ada Ty yang selalu menghapus tangisnya dan mengatakan, bahwa hidup
adalah untuk dihadapi dengan berani. Bahwa ada tangan Ty yang akan selalu
menggenggam tangannya. Bahwa ada seseorang yang akan terus dia miliki sampai
kapan pun.
You used to captivate me by your resonating light
Now I'm bound by the life you left behind
Your face it haunts my once pleasant dreams
Your voice it chased away all the sanity in me
Dia teringat karakter Ty. Keceriaannya, semangat itu, semangat yang tak
pernah hilang dari matanya. Aura yang berbeda dan bersinar. Suaranya yang
berapi-api. Berdemo dan berorasi di hadapan umum. Menyuarakan semangat,
menyatukan pendapat-pendapat. Seseorang yang takkan dengan mudahnya
tergantikan.
These wounds won't seem to heal
This pain is just too real
There's just too much that time cannot erase
Dia mengingat segalanya, juga tentang lagu yang sedang didengarnya. Lagu
yang mendekatkan dia dan Ty. Bahkan pada hari ketika mereka terpisah. Hari
ketika Ty dikuburkan dan dia harus menyaksikan dengan mata kepalanya.
When you cried I'd wipe away all of your tears
When you'd scream I'd fight away all of your fears
And I held your hand through all of these years
But you still have all of me
Aria di sisinya memeluk Clara, tapi seolah dia tak pernah ditemani siapa
pun lagi setelah hari kepergian Ty ke alam berbeda, kehampaan menamai ruang di
dalam hatinya.
I tried so hard to tell myself that your gone,
But though you're still with me, I've been all alone all along
Setengah mati dia mencoba menyadari. Bahwa Ty telah mati.
KARTU-KARTU. Ditebarnya empat-empat. Selalu tentang kematian. Bahwa tak hanya Ty yang
mati. Bahwa akan ada lima orang lagi yang mati. Bahkan lebih. Disobeknya semua
kartu.
Cangkir itu. Biji kopi di dalamnya, juga tentang kematian. Dilemparnya
cangkir-cangkir ke tembok.
Dia benci dunianya mulai bercerita tentang kematian.
Clara menangis di pojok ruang kamar. Kepala menempel di lutut. Sudah
dimatikannya semua lampu di rumah, termasuk di dalam kamar. Gelap tanpa cahaya.
Sudah dimatikannya ponselnya dan dibantingnya, kemudian dilemparnya
laptopnya—yang lalu pecah tercerai-berai. Dia benci kenangan-kenangan itu.
“Clara …” Seseorang berteriak-teriak memanggilnya dari arah luar rumah,
“Clara.”
“Clara ...”
“Clara ...”
Entah mengapa dia jadi membenci namanya sendiri.
ARIA mendobrak pintu kamar Clara. Didapatinya busa keluar dari mulut kekasihnya
itu. Di sebelahnya berdiri sebotol obat nyamuk. Ia berjalan menuju tubuh Clara
yang bersandar di tembok. Bagian-bagian laptop Clara yang tercerai berai dan
ponsel dengan layar yang pecah. Sepatu Aria menginjak pecahan cangkir.
Kartu-kartu yang sobek. Aria yakin, Clara baru saja meramal sesuatu yang selama
ini mereka takutkan.
“Clara..”
Ia mencoba memanggil seseorang yang pasti telah mati. Ia memanggil nama
jenazah kekasihnya, berulang-ulang.
(II)
WAKTU berlalu. Ia semakin rapuh. Jatuh dalam keterpurukan.
Siapa yang akan membelamu dan mengatakanmu waras? Mempercayaimu, bahwa kamu
tak pernah menjadi seseorang yang gila. Bahwa kamu baik-baik saja, kamu normal,
dan kamu tidak pantas menghuni sel rumah sakit jiwa?
Apa itu yang ia tanyakan setiap melihatku berdiri di hadapannya? Ar sudah
mati setelah Clara mati.
Aku tak pernah ada lagi dalam hidupnya. Ia tak pernah melihatku lagi. Tak
pernah melihatku ada. Seolah setelah ia menjalani shock treatment, aku tak sungguh-sungguh lagi berwujud sebagai
seorang manusia. Seolah, bagi dunia, aku ada. Namun, baginya, aku tak pernah
ada.
ADA hari-hari saat ia merasa tenang dan duduk di ayunan. Seperti yang kini
kulakukan. Ada saat-saat di mana aku ingin sekali memeluknya, mengecup dahinya
seperti biasa. Seperti detik-detik ketika kami masih bersama. Meski aku
selamanya hanya bisa menjadi sekadar sahabat.
Tapi apa dayaku, aku bukanlah seseorang baginya. Aku hanya ada. Menatapinya
duduk di ayunan itu, berayun tanpa kesetimbangan. Tanpa kesadaran. Begitu
lemah.
Kakinya memijak tanah dan kemudian mengayun di udara. Seperti langkahnya
yang kadang terhenti, tertatih, tetapi terus mencoba bangkit. Berjalan sebagai
seseorang yang tegar. Yang walau kini tidak lagi.
Ia tidak akan pernah mengerti bagaimana caranya rasa kehilangan di dalam
diriku mewujudkan diri.
Untuk tiap hari melihat ia di hadapanku tanpa pernah menyadari aku selalu
ada bersamanya. Menantinya merasakan keberadaanku. Sesuatu yang hanya ada. Tak
berwujud apa pun baginya.
Apakah aku boleh bertanya kepada-Mu, Tuhan. Akukah yang sesungguhnya Kau
utus untuk jadi malaikatnya—malaikat Aria?
TUHAN menciptakan langit tempat kita bisa menyimpan hal-hal yang berarti bagi
kita. Hingga pada saatnya, kau akan dengan mudah menemukan masa lalu kita di
bintang-bintang. Tak ada yang akan hilang dari hidup kita, Yara.
Ia pernah berkata begitu. Sewaktu aku dengan konyol menangis di
bahunya—tentang kehilangan-kehilangan yang bergantian hadir di dalam
hari-hariku. Ia serius berkata begitu—dengan sorot mata yang sama cemerlangnya
seperti kilat pada waktu hujan.
Dulu, sewaktu kami bergenggaman tangan ketika tersesat dalam perjalanan.
Dan dini hari ini, langit membiaskan kata-katanya. Memantulkannya lewat
bintang-bintang ke dalam bola mataku.
Aku duduk pada ayunan di bawah pohon beringin besar. Puluhan
kompleks-kompleks berjajaran mengitariku. Rumput basah bekas hujan tadi malam.
Sunyi dan gelap, tapi sungguh aku tak tahu harus berada di tempat mana lagi
selain di situ. Pada ayunan tempat kulihat ia biasa duduk terpaku.
Pada siang pada suatu hari, dia berayun tanpa kesetimbangan di ayunan yang
kini kududuki. Bagian bawah matanya kehitaman. Rambutnya dipelintir tak rata,
sebagiannya lagi botak entah oleh sebab apa. Ia tidak berkata-kata sewaktu aku
berdiri di hadapannya. Ia hanya memandangiku—lekat sampai saraf mata.
Apa yang ia bisa harapkan dariku?
Ar,
Aku mencintaimu sewaktu kamu menjadi dirimu yang
sederhana. Yang tak perlu kulukiskan dengan kosa kata mewah dan hanya bisa
kumengerti jika aku memiliki sebuah kamus. Aku mencintaimu saat kamu tak menyadarinya.
Saat kamu tertidur di sisiku, menemaniku sampai pagi di lantai kamarmu. Saat
kamu berdiri di belakangku, tanpa menatapku menangis kehilanganmu yang mengaku
telah mencintai orang lain dan saat itu kamu berdiri bersamaku melihat matahari
terbenam. Saat kamu berjalan tanpa payung di hadapanku di bawah hujan, bersiul
dan menyanyikan laguku. Aku mencintai persahabatan kita. Aku mencintaimu saat
kamu menyanyikan lagu dan bukan memainkan gitar. Aku mencintaimu saat kamu
bercerita tentang dirimu dan bukan tentang Newton atau Einstein. Atau Clara
atau Ty. Aku mencintaimu saat kamu menemaniku berjalan kaki dan bukan berjalan
dengan mobil. Aku mencintaimu saat kamu menontonku mendongeng diam-diam. Aku
sudah puas dengan hanya mencintaimu yang hanya akan tersenyum. Yang hanya akan
bilang, bahwa kita akan berjalan bersisian bersama. Di saat tak seorang pun
kita kenal, di saat tak satu tempat pun kita ketahui, aku akan menyasarkan
diriku bersamamu. Sejauh apa pun kamu membawaku, aku akan tetap mencintaimu. Aku
hanya ingin mendengar darimu, seberapa buruknya aku serta masa laluku dan
seberapa buruknya kamu serta masa depanmu, tidak perlu kita melihat orang lain
untuk bisa mengerti satu sama lain. Aku hanya ingin aman di dalam selimut
kata-katamu. Tidak perlu kita takut atas apa kata orang tentang diri kita. Di
saat aku benar-benar sendiri, aku hanya membutuhkan seseorang berkata begitu
padaku. Bisakah kamu melakukannya seperti saat-saat sebelumnya? Karena aku
hanya mencintaimu. Aku hanya ingin mencintaimu. Dan aku memang hanya bisa
mencintaimu.
Ar,
Bisakah kamu
kembali seperti dulu lagi? Bisakah aku tak menggenggam tangan orang lain supaya
aku merasa aman? Meski aku harus melihat tanganmu tak kunjung melepas
genggamanmu di tangan Clara. Bahkan hingga kematiannya.
(III)
SUDAH lama dia tak pernah punya doa lagi pada Tuhan. Dan ketika gadis yang baru
semalam dikenalnya—dan membuatnya jatuh cinta pada pandangan
pertama—mengajaknya pergi ke Pura tempat umat mereka biasa bersembahyang, dia
sungguh lupa bagaimana cara untuk menyapa Tuhannya.
Hampir lima belas tahun dia tak pernah lagi duduk bersila seperti saat itu.
Tak pernah mendampingi seorang gadis duduk bersimpuh di sebelahnya. Melupakan
cara memanggil dan tata krama berbicara dengan seorang pria berjanggut putih
yang berpakaian serba putih dan menggunakan aksesoris persembahyangan suci
seorang Brahmana di sekujur tubuhnya. Pria itu membawa lonceng berwarna
keemasan di tangan dan membunyikannya. Beberapa wanita berkebaya menyanyikan
tembang-tembang asing di sekelilingnya.
Dia lupa nama-nama bunga yang digunakan sebagai banten, dia lupa nama
tarian yang ditarikan gadis-gadis remaja sebelum acara persembahyangan
dilangsungkan. Namun ketika gadis di sisinya tersenyum kepadanya dan meremas
tangannya, dia melupakan semua kealpaannya selama ini.
“Bagaimana caranya berdoa? Mantra apa yang harus kusebut?” Dia sungguh
ingin bertanya begitu pada gadisnya ketika mata mereka bertemu pandang di satu
kesempatan, tapi diurungkannya. Malu.
Maka dia hanya bisa mengamati gamelan dimainkan oleh para pemuda, mengamati
liak-liuk pinggang para penari, juga menikmati gerak mata gadis-gadis itu. Maka
baginya bertandang ke Pura pagi itu, adalah semata-mata untuk memeroleh
hiburan.
LIMA belas tahun dia pergi dari kampung halaman dan kini kembali lagi berkat
dipengaruhi bujuk rayu kekasih barunya. Betapa sudah hampir lima belas tahun
juga dia hanya mengenal gadis-gadis bermulut manis yang tidak religius.
Dan kini, semuanya berubah. Pertanyaan-pertanyaan baru melingkupi ruang
pikirnya.
Mengenai orang-orang sepertinya—yang kehilangan doa untuk dipanjatkan, yang
kehilangan permintaan untuk dikabulkan, apakah lebih cukup bernilai untuk
bertandang menemui-Nya dibanding orang-orang yang senantiasa datang namun
selalu berdoa untuk kekayaan dan untuk kehancuran hidup orang lain—atau untuk
cinta yang semu, atau untuk jabatan dan nama baik yang tak pernah abadi? Apa
yang sebenarnya mereka minta? Yang mereka harapkan dari hal-hal yang mereka
minta? Sadarkah mereka untuk menjadi diri sendiri akan lebih nyaman ketimbang
menjadi orang lain. Sadarkah mereka, bahwa meski alam semesta terlihat tak
beraturan, Tuhan dengan kasat mata memiliki aturan-aturan? Masih perlukah
mereka meminta?
Apakah sebenarnya arti dari doa? Apakah sebenarnya arti dari takdir—nasib, hari
baik, dan hari kelahiran? Rantai-rantai yang berpisahan namun sesungguhnya
bersatuan, sambung-sambungan membentuk dunia yang seperti saat ini. Apakah
hal-hal itu saling melingkupi atau sesungguhnya berlepasan namun berkaitan oleh
banyak sebab?
Apakah sebenarnya arti dari doa? Pertemuan yang khusyuk antara dia dan
Tuhan? Jika Tuhan maha tahu—maha segala, maka tidakkah dengan mudahnya Tuhan
menyadari ketulusan dari umat-Nya tanpa perlu dia bertandang datang mengucap
mantra?
Di mana Tuhan selama empat puluh tahun perjalanan hidupnya? Selama dia
kehilangan Clara, juga Yara, juga masa lalu, juga kebersamaan. Selama dia
kehilangan kekasihnya dan menjadi gila.
Apa yang dimaksud dengan Tuhan tidak bermain dadu? Bahwa Ia tidak pernah
bermain peluang di Matematika? Lantas, bermain apakah? Apakah monopoli atau
catur? Ataukah bermain-main dengan jalan hidup ciptaan-Nya?
Benarkah Tuhan mengetahui segalanya namun Ia hanya menunggu—pada satu titik
entah di mana. Ataukah? [*]
# Mencari keping jiwa yang hilang,
Akankah tertemukan?
Atau entah sudah tertemukan?
Oleh orang lain dan bukan aku?
Lunes, 06 de Abril de 2009 | 11:04:57 p.m.
No comments:
Post a Comment