Aku juga menyukai pemandangan di belakang restoran.
Menyukai Gunung Batur yang diselimuti awan putih. Ditambah lagi, saat itu hujan
hadir langsung dengan begitu lebat. Para pelancong, yang sebelumnya asyik
mengambil foto berlatar gunung berselimut awan putih, dengan gesit berlarian ke
arahku juga ke arah gazebo-gazebo lainnya.
Hingga beberapa saat kemudian perhatianku teralihkan oleh
sesuatu yang janggal. Oleh seorang gadis kecil berambut blonde dengan pita merah yang menggendong seekor anjing ras
Kintamani di pelukannya. Dia meletakkan anjing itu di atas gazebo di tengah
kolam ikan. Gazebo yang tidak dipilih oleh siapa pun. Beberapa saat kemudian
gadis itu ikut naik, menemani anjingnya.
Aku terpaku di posisiku, lebih dari sejam. Seolah
tersihir oleh sesuatu yang entah apa. Aku menyadari ada sesuatu yang mistis
dari caranya berjongkok di hadapan anjing itu. Sedari tadi, kulihat mereka
asyik bercakap-cakap. Kuperhatikan, dia—gadis kecil itu—begitu mahir
mengonggong. Tidak ada kecanggungan sama sekali.
Hampir berjam-jam mereka sama-sama berjongkok. Perawakan
gadis kecil itu tinggi seperti umumnya kelahiran blasteran dan caranya
mengambilkan sosis dari pinggan pelayan untuk diberikan kepada anjingnya—yang
sedari tadi dia ajak berbincang dengan gonggongan—menunjukkan bahwa dia adalah
orang penting di restoran itu. Gerak mata dan air mukanya mencirikan bahwa
kemampuannya juga bukan seperti gadis biasa. Dia istimewa.
Betapa akhirnya kusadari banyak orang juga ikut
memperhatikan tingkah gadis itu. Bukan hanya aku. Masing-masing dari kami
memesan berulang kali kepada pelayan yang lewat—memesan apa pun yang bahkan
tidak kami pedulikan harganya. Gadis itu seperti tontonan musik di restoran
itu. Seperti pemandangan yang menyihir—seolah kami menunggu sesuatu terjadi.
Tapi tidak ada sihir yang terjadi—tidak sampai sore itu
berakhir. Tidak sampai dia dijemput oleh seseorang bersetelan serba hitam dan
digendong menuju pelataran parkir lalu dimasukkan ke kursi belakang mobil
dengan beringas. Dia, sampai hari itu berakhir, memang seperti boneka tontonan
yang mendekati sempurna.
KARENA penasaran, hari ini aku mengunjungi rumah pemilik
restoran itu. Tak ada yang berbeda dari tata bangunan rumahnya jika
dibandingkan dengan restoran yang kemarin kusinggahi sampai larut malam.
Kupikir, adalah hal yang wajar jika seorang tuan tanah menjalin ikatan
terus-menerus dengan seorang arsitek brilian.
Aku menekan bel dan menunggu seseorang membukakan pintu
gerbang. Awalnya aku berharap pelayannyalah yang membukakan pintu, tak
kusangka, si gadis blonde-lah yang
langsung membukakannya, “Hai!” Dia menyapa. Logatnya khas Bali. “Kamu yang akan
membunuh kedua orang tuaku,” dia enteng berujar. Kalau aku tak memperhatikan
intonasi suaranya, pasti kuduga dia bercanda.
“JADI,
bagaimana caramu membunuh kedua orang tuaku?” tanpa basa-basi dia bertanya
begitu ketika aku sudah duduk di salah satu sofa di ruang tamunya.
Ini konyol karena aku bahkan tak mengenal siapa orang
tuanya.
“Aku tahu akan ada seorang pria lajang yang membunuh
kedua orang tuaku. Itu kamu. Aku hanya tidak tahu bagaimana caramu
melakukannya.” Dia melanjutkan. Seolah belum jelas, dia kembali membuka mulut,
“Seorang pria yang suka berkelana dan sekali dia membunuh, dia tidak akan
terhentikan. Orang tuaku akan menjadi korban pertamamu.”
Aku menarik napas,
“Umurmu berapa?”
“Di kelahiranku sebagai manusia, umurku genap seribu
tahun.”
Kontan aku tertawa. Gadis kecil yang gila.
“Aku sering berbicara dengan alam,” ujarnya sambil lalu
bersiul. Nada yang indah.
Beberapa saat kemudian, seekor anjing berlarian menuju ke
arahnya, lalu melompat ke pelukannya. Dibelainya bulu lebat anjing itu—anjing
Kintamani kemarin.
“Anjingku bisa melihat masa depan. Dia melihatmu
menghunus pedang di tanganmu. Begitulah caramu selanjutnya membunuh
korban-korbanmu. Pedang dengan dua sisi bagiannya yang sama-sama tajam.”
“Aku bisa berbahasa binatang.” Sesuatu yang luput dari
benakku, dijelaskannya lebih awal sebelum kutanya. Rupanya, dia memang benar
gila dengan sempurna. “Seperti kelahiran-kelahiranku sebelumnya, akulah yang
membantumu melakukan pembunuhan-pembunuhan itu. Aku memiliki kucing yang bisa
melihat masa lalu.”
Sejujurnya aku tak ingin bereaksi atas kegilaannya tetapi
yang terkumpul di kepalaku justru kegilaan-kegilaan baru yang sama
dengannya—bahkan yang lebih kompleks lagi.
“Aku pulang dulu.”
Aku berpamitan kepadanya. Beranjak dari kursiku.
“Kamu meninggalkan separuh jiwamu kepadaku.”
AKU tidak pernah menyangka untuk sekadar penasaran dengan
seorang gadis kecil, akan menghadirkan invers yang hebat dalam grafik hidupku.
Mudah saja melupakan kata-katanya, kupesan saja tiket pulang ke Jakarta,
menikah dengan Tania, memiliki keturunan, tidak kembali lagi ke Bali.
Namun semuanya telah berubah. Ketika tadi di tengah
jalan, aku menabrak motor sepasang muda-mudi yang melintas di depan mobilku.
Keduanya luka parah dan segera dilarikan ke rumah sakit terdekat. Aku menemani
mereka. Lalu menemani polisi yang setia menginterogasiku. Menyerahkan semua
kartu pengenal yang kumiliki di dalam dompetku. Dipenjara. Selanjutnya, mereka
mengabari bahwa kedua muda-mudi itu telah meninggal.
“Tan, aku dipenjara,” ujarku di telepon.
Kekasihku itu tertawa, “Dipenjara oleh Bali dan tidak
ingin pulang?”
Dari mana dia tahu kalau aku sedang berada di Bali?
“Ayahmu bilang kepadaku, kamu ada urusan di sana. Jadi,
apa kamu sudah menemukan gadis Bali tambatan hati sehingga tak ingin pulang
lagi? Kamu dipenjara oleh cinta gadis itu?” lanjutnya seolah memahami
kebingunganku.
Aku maklum jika dia mengiraku bercanda, “Banyak hal
terjadi, Tan. Datang saja. Aku akan ceritakan langsung. Dan kumohon, jangan cerita
kepada siapa pun.”
“Kamu bercanda, kan, Sayang?” Kudengar nada khawatir dari
getar suaranya.
“Benar-benar ada sesuatu yang akan mengubah jalan
hidupku, jalan hidup kita, kalau kamu tidak segera datang. Pesanlah penerbangan
terakhir hari ini.” Aku memohon.
DI penghujung hari, dia datang. Dengan payung basah yang
terlipat di genggaman tangan.
“Apa yang terjadi?”
Aku hanya bisa diam mematung melihat kehadirannya.
“Kamu kenapa?”
Ragu-ragu kugenggam pergelangan tangannya yang dingin,
“Hentikan aku sampai di sini.”
“Kamu kenapa?” Dia melepas tanganku lalu memegang pipiku,
“Ceritakan kepadaku.”
Aku sudah lupa bagaimana caranya mengawali sebuah cerita.
Yang kutahu, aku hanya ingin mengakhiri cerita ini. Aku ingin mengakhiri
hidupku supaya kata-kata gadis kecil itu tak menjadi kenyataan. Aku
menceritakan setiap detailnya kepada Tania.
Dia membekap mulutnya dengan tangannya, menggelengkan
kepala tidak percaya. Aku menceritakan semuanya dengan kilas balik yang cukup
berantakan, diawali oleh seekor kucing hitam yang melintas di tengah
perjalananku pulang sehingga aku memutar haluan karena ketakutan, lalu aku
menabrak motor sepasang muda-mudi. Pertemuanku dengan gadis kecil berambut
blonde di restoran favoritku, tentang gadis itu yang bisa berbahasa binatang
dan tentang binatang-binatangnya yang bisa melihat masa lalu juga masa depan.
Tentang dia bilang bahwa aku adalah seorang calon pembunuh.
Tania menangis, “Siapa gadis kecil itu?”
Itulah yang juga tak kuketahui hingga detik ini. Aku
bahkan tak sempat menanyakan siapa namanya.
“Aku akan
menemanimu di sini malam ini,” bisik Tania.
Kukecup keningnya. “Jangan, menginaplah di hotel. Selamat
tidur.”
MALAM itu aku terjaga setelah bermimpi aneh. Aku memutar mataku
melihat ke sekeliling, tetapi aku tidak sedang berada di dalam sal penjara. Aku
berada di dalam sebuah ruangan bercat putih. Mungkin saja aku berada di sebuah
kamar rumah sakit, karena di pergelangan tangan kananku terpasang infus
glukosa.
Kucoba mengangkat tubuhku, tidak ada siapa pun
menemaniku.
“Sudah kubilang separuh jiwamu tertinggal kepadaku.”
Seseorang berkata dari arah pintu. Aku menoleh. Gadis kecil berambut blonde
berjalan ke arahku. Pitanya hari itu berwarna hijau.
Aku menatapnya tidak percaya.
“Siapa sebenarnya kamu?” Aku bertanya, “Apa maksudmu?”
Di sebelah kiriku, di dekat wastafel, ada sebuah cermin.
Kuputuskan jarum infusku, lalu aku berlari ke arah cermin. Dan kulihat yang
berdiri di sana bukanlah aku, tapi seorang pria berperawakan besar tinggi dan
berkulit legam.
“Siapa kamu?” Aku menatapnya. Bertanya sungguh-sungguh.
“Dari semua kelahiran penjemput nyawa, akulah yang paling
berkuasa. Aku atasanmu. Dan dari semua kelahiran malaikat kematian, kamulah
yang paling tangguh.”
“Setan!” Aku berteriak, “Kenapa harus aku?”
“Karena kamu begitu berharga, kamu adalah setannya. Aku
tanpa setanku, tidak akan bisa menjaring manusia untuk kubawa ke neraka.” Dia
menjawab, “Kamu tidak akan ingat semua itu. Ingatanmu cukup kepada caramu
membunuh. Pedang-pedang bermata ganda. Kusimpan di ruang bawah tanah di rumahku.”
Aku berlari ke luar kamar, menabrak tubuh gadis kecil
itu. Ke mana orang tua gadis kecil itu? Ke mana orang-orang—mengapa gadis ini
dibiarkan menjadi gila sendiri?
Tawanya membahana. Kami sedang berada di lantai tiga
rumahnya dengan langit-langit berbentuk oval, “Kau sudah membunuh kedua orang
tuaku malam kemarin.”
Aku berlari ke arahnya, mendorong tubuhnya hingga
terjengkang.
“Setan sialan!” Aku berteriak, “Apa sebenarnya maumu
dariku?”
Dia kembali tertawa lalu bersiul, “Aku mau kau menemaniku
melakukan pembunuhan. Seperti yang kamu lakukan kepada dua kepala itu tadi
malam.”
Seekor anjing dan seekor kucing. Masing-masing menyeret
sebuah kepala di mulutnya. Kepala seorang lelaki Bali dan kepala seorang wanita
bermata sipit berambut dicat kemerahan, kepala seorang wanita Jepang.
“Menarik, kan?” Dia menengahi.
Aku ingin muntah ketika melihat wajah tanpa darah itu.
Rongga kepala kedua orang itu berlubang. Otaknya hilang dari tengkoraknya.
“Pergilah dan kalian akan saling membunuh.” Dia
berteriak. “Suatu kodrat jiwa yang terpisah.” [*]
Piring Energi
ReplyDeleteUnik..
Langka..
efek Fantastik..
yang tidak dimiliki oleh Piring Biasa
http://piring-energi.blogspot.com
Miliki Sekarang!!