February 16th 2008 – February 16th 2009
Pria kecil,
PAGI ITU,
saat kamu menaruhku di dalam toples kaca sebelum berangkat sekolah, entah
perasaan apa yang ada di dalam diriku. Aku tak ingin kamu meninggalkanku.
Karena entah kenapa, aku tahu kamu tidak akan pernah kembali.
Tapi aku terus menanti kedatanganmu. Sampai akhirnya Ibumu mengangkat
telepon dan menangis setelahnya. Katanya kamu telah meninggal.
Hari itu Sabtu. Begitu kelabu buatku. Rumahmu sepi. Semua orang pergi ke
rumah sakit untuk memastikan bahwa itu memang kamu. Bahwa kamu memang telah
meninggal.
Andai kamu tahu. Aku selalu suka melihatmu tertidur di sebelahku, melihatmu
bernapas dan bermimpi. Aku suka memperhatikanmu tertawa. Sambil menanti saatnya
kamu akan memperhatikanku. Untuk mengatakan betapa manisnya diriku.
Aku tak tahu kenapa aku bisa menjadi begitu istimewa bagimu. Kami datang
berdua belas. Kami ditaruh dalam sebuah kotak. Jauh-jauh dibawa Ayahmu dari negeri seberang. Tapi aku heran kenapa kamu hanya memakan kesebelas saudaraku. Tidakkah
aku nampak manis bagimu?
Kami berkumpul, berwarna-warni bagai pelangi. Apa karena aku berwarna
kuning maka kau tak menyukaiku? Kata orang-orang warna kuning adalah warna yang
dekat dengan simbolisme kematian. Tapi aku tidak percaya. Aku tahu ada alasan
lain kamu enggan memakanku.
Kamu menaruhku di dalam toples. Tidak pernah kamu makan, hanya kamu
pandangi lekat. Sampai pagi itu kamu mengambilku dari dalam toples, menatapku.
Aku pikir kamu akan memakanku. Aku yakin kamu akan menyukaiku.
Tapi Ibumu memanggilmu untuk mengikat tali sepatumu dan mengajakmu
berangkat ke sekolah. Kamu mengantongiku dan berlari ke arah Ibumu.
Ayahmu duduk di meja makan, setangkup roti bakar ada di atas piring
besarnya. Aku ingat ketika dulu beliau membeli kami untuk dijadikannya
oleh-oleh buatmu. Khusus buat putra tunggalnya yang baru saja memenangi
olimpiade fisika nasional, katanya. Kami diboyong mengelilingi kota, ke
bandara, kami diajak ke rumah makan, ke toko pakaian, ke segala tempat yang
ingin dia kunjungi sebelum pulang ke rumah, sampai akhirnya kami diberikan
kepadamu. Dan pagi itu, hanya aku seorang yang tersisa.
Tapi saking asyiknya aku memperhatikan Ayahmu, tak kusangka aku akan jatuh
dari kantongmu. Ibumu mengambilku. Dia bilang bahwa kamu tidak boleh memakan
coklat untuk sementara waktu. Katanya kamu sudah terlalu banyak memakan coklat.
Beberapa gigimu berlubang karenanya. Maka dia bilang agar kamu menyimpanku
kembali ke dalam toples.
Aku mendengar percakapan kalian. Aku memperhatikanmu. Perjuanganmu untuk
memakanku. Ternyata ada alasan mengapa kamu memutuskan untuk memakanku paling
akhir.
“Ini warna favoritku, Ibu. Coklat ini favoritku.. Aku sudah memutuskan
untuk memakannya sekarang,”
“Ibu tahu kamu selalu memakan makanan yang kamu sukai paling akhir, tapi
dokter gigimu bilang kamu tidak boleh makan coklat lagi untuk sementara waktu.”
“Tapi Ibu..,”
“Kamu bisa memakannya lain waktu.”
Biarpun wajahmu berkerut kesal, kamu tetap melakukan perintah Ibumu dengan
patuh, kamu membawaku kembali ke kamarmu dan meletakkanku di dalam toples di
sebelah segelas penuh air minum pada meja panjang di pinggir jendela.
Setelahnya kamu membuka gorden. Aku melihat cahaya matahari masuk melalui
celah-celah ventilasi di bagian atasnya. Lalu kamu menutup toples.
Pria kecil,
ANDAI kamu
mengerti. Aku berharap kamu ada di sisiku saat ini. Dunia kecilku di dalam
toples kaca ini begitu menakutkanku. Matahari begitu terang, aku yakin alangkah
panasnya di luar sana. Segelas air di sisiku sudah menguap. Aku takut aku juga
akan meleleh. Tapi ketika segelas air itu sudah hampir habis, aku belum juga
meleleh. Tapi aku tetap ketakutan. Aku tetap merasa kehilanganmu. Aku menangis.
Beberapa tetes air yang tersisa di gelas itu menatapku ketika aku menangis
ketakutan. Bertanya kenapa aku menangis.
Aku menjawab, karena aku telah kehilanganmu dan aku juga bertanya mengapa
dia tidak menangis padahal kamu telah meninggal.
Dia menjawab bahwa seharusnya aku merasa beruntung. Karena aku diletakkan
di dalam toples kaca yang terlindung dari cahaya dan debu. Tidak seperti dia
yang dibiarkan terbuka tanpa penutup oleh Ibumu dan menguap karena cahaya
mentari.
Tapi aku adalah milikmu. Aku seharusnya dimakan olehmu, kataku dalam hati. Aku tetap menangis. Semakin keras.
Beberapa tetes air yang tersisa menatapku geram namun penuh kesabaran.
Sebentar lagi air itu akan habis.
Apa kamu tahu benda-benda seperti kita juga memiliki
takdirnya? Pria kecil itu menyayangimu maka dia menjagamu bahkan sampai
saat-saat terakhirnya. Dia tidak mengajakmu pergi pagi ini. Kamu beruntung. Dia
batal memasukkanmu ke dalam kantongnya. Dia meletakkanmu di wadah yang aman di
dalam toples. Sementara aku? Ibunya meletakkanku begitu saja di meja ini. Di
sebelah jendela. Alangkah panasnya,
dia menjawab.
Kamu seharusnya bersyukur, dia melanjutkan.
Aku menatapnya. Sebentar lagi dia akan habis menguap.
Caraku tersakiti dalam wujudku ini adalah dengan hilang
begitu saja tanpa pernah diminum oleh siapa pun, dia berkata. Tapi aku yakin dalam wujudku yang lain,
aku akan menjadi apa yang kuinginkan. Aku mungkin akan menguap, aku akan pergi
ke awan-awan, kemudian turun lagi sebagai hujan.
Sesungguhnya, Permen Kuning, kita tidak pernah kehilangan
apa pun. Peringatan terakhir darinya. Karena
kita adalah zat, Pria Kecil itu adalah zat, dan kamu Permen Kuning, juga
adalah zat. Akan berubah wujud. Tubuh kita bersatu dengan alam semesta. Kita
tidak terpisah, kita hanya bergerak acak.
Manusia yang kita kenal seperti Pria Kecil itu mungkin
tidak pernah tahu bahwa kita memiliki kesadaran. Ketidaksadaran itulah yang
membuat wujud kita terpisah-pisah. Manusia mengira kita adalah benda mati,
seperti dia kira matahari juga adalah benda mati, planet-planet adalah juga
benda mati. Mereka tak menyadari bahwa kita hanya berubah wujud. Tidak ada yang
pergi dan tidak ada yang datang. Kita semua adalah bagian dari alam semesta.
Menempati dan menyatu dengan wadah kita masing-masing.
Dan Permen Kuning, aku yakin, suatu hari nanti, pasti
akan ada orang yang akan memakanmu. Bahkan bagiku, kamu begitu manis, Permen
Kuning. Jangan takut. Jangan menangis lagi. Aku benci melihatmu menangis. Kamu
harus tahu, sekarang, aku tidak pergi meninggalkanmu. Aku hanya berubah wujud.
Aku menatapi kepergian tetes-tetes air itu. Dia hanya
berubah wujud, katanya. [*]
---
: “How do you say good bye to someone you can’t imagine living without? I didn’t say good bye. I didn’t say anything. I just walked away.”
Elizabeth ~ My Blueberry Nights
In a room at CLX7,
Lunes, 16 de Febrero de 2009
8:20:32 a.m.
you're strong...
ReplyDeleteand you'll getting stronger. :-)
*terharu mode*
ReplyDeleteHug-hug, Villam...